Anda di halaman 1dari 20

TUGAS JURNAL

Spatial Analysis onVulnerability to Dengue


Hemorrhagic Fever in Kotabaru Subdistrict, Jambi Municipality,
Jambi Province

DOSEN:
dr. SOTIANINGSIH, Sp.PK

KELOMPOK 1:

IMAM AGASI G1A113010


MUTIA YUDHA PUTRI G1A113016
RIZKY RAFIQOH AFDIN G1A114001
ANNISA PUJA IKRIMA G1A114002
FITRAH AFDHAL G1A114056
FITRIA RISNA PUTRI G1A114062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

PENDAHULUAN
Tingkat kejadian 5 tahun untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
tergolong tinggi, dimana terdapat tingkat rata-rata 60 kasus per tahunnya, bahkan
semua wilayah kecamatan Kotabaru merupakan daerah endemis dengue.
Informasi terkait vector, faktor serupa, indeks virtual, transovarial, dan
resistensi dari nyamuk Aedes sp di Kota Jambi terhadap insektisida sangat dibutuhkan
untuk program pengendalian vektor. Kesuksesan dalam memusnahkan DBD sangat
dipengaruhi oleh faktor resistensi nyamuk terhadap insektisida1.
Faktor lingkungan, dimana lebih padat populasi di suatu lingkungan akan
meningkatkan resiko infeksi dari virus DBD2. Kondisi lingkungan juga merupakan
resuko sendiri untuk menjadi tempat perkembang-biakan untuk nyamuk yang bisa
diukur dengan parameter indeks Maya.
Terdapat hubungan bermakna antara Indeks Maya (Indikator untuk tingkat
higienitas lingkungan/indikator resiko higienitas) dengan tingkat kejadian DBD
karena terdapat objek yang bisa menjadi tempat perkembang-biakan untuk nyamuk
yang tidak terkontrol sehingga bisa menyebabkan peningkatan jumlah nyamuk3.
Sering terjadinya hujan juga bisa membuat tempat perkembang-biakan nyamuk
semakin meningkat, banyak barang untuk hal ini seperti kaleng, botol plastik,
bungkusan plastik, ban bekasm dan sejenisnya yang dibuang sembarangan, dan
menyebabkan peningkatan kasus DBD4.
Tidak adanya informasi tentang hubungan antara kepadatan penduduk, daerah
pemukiman, indeks Maya, dan densitas dari Aedes sp, tingkat resistensi dan
transovarial virDen terhadap tingakt kejadian DBD serta sekelompok kasus dan
daerah yang masih dicurigai sebagai kejadian dengue akan mempengaruhi tingakt
pengendalian Dengue di kecamatan kotabaru.
Geographic Information System (GIS) dapat digunakan untuk memantau vektor
dan faktor yang mempnegaruhi tingkat kejadian DBD, dan setidaknya bisa
memberikan gambaran daerah yang sangat rentan terhadap DBD di kecamatan
Kotabaru, sehingga kita bisa menentukan langkah operasional untuk pencegahan dan
pemusnahan dari dengue.

METODE DAN BAHAN


Tempat penelitian adalah seluruh daerah di kecamatan Kotabaru yang memiliki
tingkat kejadian DBD yang tertinggi. Metode yang digunakan merupakan survei
observasional dengan rancangan cross sectional dan menggunakan Geographic
Information System (GIS) dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran hasil tentang
daerah yang rentan terhadap kejadian DBD. Jumlah dari sampel untuk tingkat
densitas Aedes dan Indeks Maya dinilai pada 100 rumah di setiap daerah (desa)
dengan menggunakan metode Depkes5, uji resistensi dan sampel virDen transovarial
nyamuk juga diambil dari tiga tempat yang berbeda (rumah pasien, SD,
kebun/kuburan) dengan menggunakan 11 ovitrap di setiap desa.
Pengumpulan data dilakukan dalam beberapa fase, yaitu Fase Lapangan dengan
mengambil angka koordinat yang menggunakan GPS Oregon 550 untuk semua lokasi
pasien DBD dan mapping dari area batas administratif regional dari RT hingga desa
setempat. Tingkat kejadian DHF berdasarkan wilayah RT akan dibagi menjadi
kategori rendah (untuk 1 kasus DBD/RT), sedang (2-3 kasus DBD/RT), dan tinggi
(>3 kasus DBD/RT)6, untuk kategori desa dengan kejadian DBD akan dibagi
berdasarkan penilaian Departemen Kesehatan yang sudah dimodifikasi 7. Tingkat
kepadatanpenduduk dinilai berdasarkan perhitungan range (jarak), yang didapatkan
dari perbedaan tingkat kepadatan tertinggi dan terendah dibagi dengan jumlah dari
kategori tersebut. Pengumpulan telur dari Aedes sp dilakukan dengan menggunakan
ovitrap. Setiap rumah pasien diberikan ovitrap sebanyak 2 buah (1 ovitrap di dalam
dan 1 ovitrap di luar rumah). Setiap sekolah dipasangkan ovitrap sebanyak 2 buah (1
ovitrap di dalam dan 1 ovitrap di luar gedung sekolah). Ovitrap pada lahan terbuka
akan ditempatkan pada tempat yang tidak terpapar langsung oleh sinar matahari dan
hujan. Kertas saringan pada ovirap dan air di dalam ovitrap akan diganti setiap 3 hari
hingga 3 kali pengulangan.
Wada air yang menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes sp akan
dikelompokkan kedalam kategori di bagian kontrol dan daur ulang, serta indeks maya
akan menentukan nilai indikator dari HRI dan BRI8. Pemilihan dari sampel untuk
tingkat kepadatan larva bersamaand engan indikator HI, Ci, dan BI, dilakukan
berdasarkan prosedur untuk melakukan survei (larva/larva)5. Tingkat kepadatan larva
dibagi menjadi kategori rendah, sedang, dan tinggi9. Kolonisasi dari telur nyamuk
yang didapatkan pada ovitrap dilakukan pada laboratorium parasit di Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Larva nyamuk yang tekrumpul di setiap desa
akan diambil sebanyak 23 ekor, dan kemudian akan iduji tingkat resistensi dan
dianalisa dengan cara membaca nilai absorbance value (AV) dengan menggunakan
pembacaan elisa pada e = 45010. Uji transovarial dilakukan dengna menggunakan
metode Immunohistokimiawi SBPC. Preparat dari kepala nyamuk Aedes sp yang
digepengkan yang berusia ±7 hari yang sudah dipisahkan dari tubuhkan ke dalam
glass object khusus dilakukan berdasarkan standar SOPs11.
Tahap dalam penerapan Geographic Information System (GIS) dilakukan untuk
mendapatkan peta dari tingkat kejadian DBD dan peta untuk variabel yang
mempengaruhi tingkat DBD tanpa tumpang-tindih. Daerah pemetaan yang rentan
terhadap kejadian DBD didapatkan dengan menilai variabel berdasarkan kriteria
penilaian yang sudah dibagi, dikalikan dengan faktor berat berdasarkan ada atau
tidaknya sekelompok variabel yang dominan12. Kelas daerah yang rentan terhadap
DBD akan dibagi menjadi daerah dengan kategori tingkat kerentanan rendah (skor
<28), sedang (skor 28-39)m dan tinggi (skor >39).
Analisa dari data akan dilakukan dengan menggunakan ArcGIS versi 9.3 di
laboratorium Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kejadian DBD hanya terjadi pada 9 desa dengan tingkat kejadian beragam, dan
ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kejadian DBD yang tinggi terjadi pada
Desa Mayang Mangurai dengan IR per 10.000 populasi adalah 7.00 (22.10%) dan
desa Simpang III Sipin dengan IR per 10.000 populasi adalah 6.16 (19.5%) dan Desa
Kenali Bawah dengan IR per 10.000 populasi adalah 3.7 (11.68%).
Resiko DBD dari setiap RT yang tergolng rendah-sedang, tidak ditemukan
adanya tingkat kejadian lDBD lebih dari 3.
1. Kepadatan penduduk
Data kepadatan penduduk berdasarkan daerah administratif di setiap desa
ditampikan di Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa desa Simpang III Si[in mempunyai tingkat
kepadatan populasi yang lebih luas dibandingkan desa lainnya, diikuti dengan desa
Rawasari, Sukakarya, dan Beliung. Pada desa yang padat penduduk, kasus DBD yang
ditemukan tergolong tinggi. Tidak seperti desa Rawasari, Beliung dan Sukakarya,
walaupun mempunyai tingkat populasi yang tinggi, tingakt kejadian DBD pada
aderah ini tidak terlalu tinggi (p = 0,551), hal ini hanya bisa terjadi karena jumlah dari
tingkat kejadian DBD di setiap RT kurang dari 3 kasus dan tidak ditemukan transmisi
transovarial yang menyebabkan penyebaran Virden DBD menjadi rendah karena
transmisi transovarial virDen memainkan peran penting dalam memperbaiki dan
memelihara tingkat epidemik Dengue13. Tingkat transovarial vir Den tergolong tinggi
pada daerah endemik dibandingkan sporadic14.
Faktor yang memainkan peran dalam penularan virus dengue adalah manusia,
perantara, dan virus. Manusia yang mempunyai status immunitas yang baik adalah
salah satu faktor yang melindunginya dari demam dengue. Teori dari infeksi sekunder
menyatakan bahwa seseorang yang mendapatkan infeksi primer dari salah satu virus,
maka akan membentuk kekebalan juga terhadap tipe virus ini untuk jangka yang
lama15. Dipastikan juga bahwa demam dengue ditemukan pada pedesaan, 50% dari
mereka tidak menunjukkan adanya manifestasi klinis (asimptomatis) yang sering
tidak dilaporkan16.
Tingkat kepadatan penduduk (jiwa/ha) dapat menyebabkan penularan DBD
semakin meningkat, dimana jarak terbang nyamuk berkisar ±100 meter 17. Namun
kepadatan penduduk (jiwa/ha) tergolong samar karena perhitungan ini hanya
berdasarkan batas administratif dimana terdapat lahan terbuka/tidak berpenghuni dan
lahan pembagunan yang tidak digunakan untuk tempat pemukiman sehingga hal ini
juga tetap dimasukkan kedalam penghitungan sebagai denominator18. Tingkat
kejadian DBD yang terbukti bermakna (p = 0.009) terdapat pada desa dengan tingkat
populasi (jiwa) yang tinggi. Pada populasi yang luas, transmisi virus menjadi lebih
mudah2, namun penelitian di kota Banjarmasin menyatakan bahwa penularan
transmisi tidak berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk19.

2. Luas daerah pemukiman


Tingkat kejadian DBD yang tinggi pada desa dengan area pemukiman yang
luas, ditampilkan pada tabel 3 di bawah.
Tabel 3 menunjukkan desa yang memiliki daerah pemukiman yang luas akan
mengalami tingkat kejadian DBD yang tinggi, yaitu desa Simpang III Sipin, Mayang
Mangurai, Kenali Besar dan Kenali Bawah. Kedua hal ini mempunyai hubungan yang
kuat dan bermakna (p = 0.004).
DBD terus meningkat karena adanya perubahan dari lahan yang digunakan
untuk pemukiman sehingga membuat banyak tempat penggenangan air untuk
perkembang-biakan Aedes sp20. Tabel 3 menunjukkan daerah terluas di desa Bagan
Pete mempunyai lahan yang tidak dihuni dibandingkan lahan pemukiman,, dan
tingkat kejadian DBD pada daerah ini sangat rendah. Tidak seperti desa Simpang III
Sipin yang mempunyai lebih banyak daerah pemukiman dibandingkan lahan kosong,
sehingga tingkat kejadian DBD pada daerah ini sangat tinggi. Hasil ini bisa
menyimpulkan bahwa lahan kosong yang digunakan untuk pemukiman mempunyai
resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kasus DBD. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian di Johar Bahru, Malaysia, yang menyediakan informasi bahwa 76%
kasus DBD di Johar Bahru ditemukan pada daerah pemukiman21.

3. Indeks Maya
Wadah penampungan air yang mengandung larva positif sebanyak 500 buah.
Kategori kontrol pada wadah air mencapai 89%, dimana tingkat tertinggi pada air
mandi (43.2%), kemudian drum (31%), dan ban bekas (6.8%). Tingginya status dari
Indeks Maya (IM) di desa Simpang III Sipin dengan 10% rumah yang memiliki
resiko tinggi sebagai tempat perkembang-biakan Aedes sp, Mayang Mangurai dengan
4.8% rumah, Kenali Besar dan Kenali Bawah dengan 3% rumah di setiap daerah yang
mempunyai resiko indeks maya yang tinggi. Hasil dari aalisa antara tingkat
persentase dari DBD yang mempunyai status IM yang tinggi dinilai bermakna (p =
0.001).
Jumlah dari rumah dengan satatus IM yang tinggi mempunyai resiko 11.46x
lebih tinggi untuk mengalami endemis DBD22, karenanya desa yang mempunyai (CS)
atau Breeding Rist Indicator value (BIR) dan tingginya persentase rumah dengan IM
yang tinggi menunjukkan bahwa status dari desa ini masih mempunyai potensi untuk
menjadi lahan perkembang-biakan Aedes sp, karena tingginya nilai BRI
menunjukkan tingginya nilai dari resiko terjadinya tempat tersebut sebagai lahan
perkembangbiakan vektor dengue8.

4. Tingkat kepadatan populasi Aedes sp.


Tingkat kepadatan nyamuk (Density Figure) didapatkan dari nilai gabungan
antara Hi, CO, dan BI. Data dari ketiga indikator ini ditampilkan di Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan abhwa Desa Simpang III Sipin, Mayang Mangurai,
Kenali Besar, dan Kenali Bawah mempunyai tingkat kejadian DBD yang tinggi
dengan tingakt kepadatan Aedes sp yang tinggi juga (p = 0.001).
Hasil dari 90 ovitrap yang ditempatkan di lapangan terbuka menunjukkan
tingkat kepadatan telur yaitu 31.3 telur/ovitrap, dari 120 ovitrap yang ditempatkan di
SD menunjukkan tingkat kepadatan telur 18.7 telur/ovitrap, dan dari 120 ovitrap yang
dipasang di rumah pasien DBD, menunjukkan tingkat kepadatan telur 18.1
telur/ovitrap. Daerah padat dengan tingakt kepadatan telur ditemukan pada desa
Simpang III Sipin, dan Mayang Mangurai, desa yang padat seperti ini juga
mempunyai tingkat kejadian DBD yang tinggi. Hubungan antara banyaknya telur
dengan tingakt kejadian DBD di kecamatan Kotabaru ditampilkan di Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan adanya hubungan antara jumlah telur dan tingkat


kejadian DBD pada daerah pemukiman (rumah pasien) dan non-pemukiman (SD),
hasil pemeriksaan dari jumlah telur dengan tingkat kejadian DBD terbukti bermakna
(p = 0.001 dan p = 0.009), sebaliknya pada lahan terbuka (kebun/kuburan) jumlah
telur tidak mempengaruhi tingkat kejadian DBD dengan hasil uji p = 0.4333.
Tingginya jumlah Aedes sp dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat
bahaya demam dengue pada daerah tersebut5. Hal ini dipastikan dengan penelitian
apda 100 rumah yang dilakukan pemeriksaan, dan tingakt kepadatan vektor tergolong
tinggi diikuti dengan tingkat kejadian DBD di desa Wonokusumo, Surabaya 23.
Banyaknya jumlah larva pada daerah dengan tingkat kejadian DBD yang tinggi
menunjukkan bahwa penerapan dari pemberantasan sarang nyamuk (PSN) pada
daerah tersebut masih belum efektif dan partisipasi dari masyrakat masih tergolong
kurang. Hal ini dikarenakan, metode dari program pengendalian dengue yang efektif
dan bertahan lama masih membutuhkan parisitipasi komunitas masyarakat 7.
Berdasarkan tingginya persentase dari larva, yaitu pada bak mandi (43.2%) dan
drums (31%) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih kurang.

5. Transovarial Virus Dengue


Uji transovarial virDen DBD tidak menunjukkan adanya transovarial virDen
DBD pada nyamuk Aedes sp pada Kecamatan Kotabaru. Hal ini mungkin saja
disebabkan karena sampel telur yang ditetaskan biasanya berasal dari lapangan
terbuka (kebun/kuburan) dengan jumlah telur 31.3 telur/ovitrap. Uji statistik
menyatakan bahwa jumlah telur pada lapangan tebruka tidak mempengaruhi tingkat
kejadian DBD (p = 0.433), sehingga pada nyamuk betina tidak mengandung larva
yang infeksius24.
Peneliti lain menyatakan bahwa tidak semua nyamuk dapat menularkan Virden
transovarial, dimana hal ini berdasarkan strain virus dan strain geografik dari nyamuk
itu sendiri25.
Kedua, hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban dari
kondisi lapangan tempat perkembang-biakan nyamuk, sehingga pada saat
pembuahanm namuk dewasa biasanya akan tewas. Kematian ini biasanya disebbakan
karena berbagai kondisi laboratorium atau lapangan, nyamuk yang mati ini bisa saja
nyamuk yang terinfeksi oleh Virden. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tingkat
kematian nyamuk yang belum atang atau dewasa yang terinfeksi oleh virDen-3 dan
vir-Den-2 lebih tinggi dibandingkan nyamuk kontrol yang tidak terinfeksi virus
tersebut26,27. Penelitian di Thailand terhadap nyamuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus
pada daerah kota dan desa tidak menunjukkan adanya penularan transovarial 28,
temuan ini menyatakan tidak adanya penularan transovarial virDen di kecamatan
Kotabaru, dimana penularan kemungkinan terjadi secara horizontal, yaitu dari pasien
dengan demam dengue, ditularkan ke manusia lainnya melalui vektor nyamuk Aedes
sp.

6. Resistensi
Uji resistensi dari larva Aedes sp dilakukan pada semua desa yang mengalami
resistensi terhadap penyemprotan organophosphate insektisida di Kecamatan
Kotabaru. Data lebih lanjut ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan bahwa keseluruhan desa dengan persentase absorbance


value (AV) lebih dari 65% yang berabrti bahwa semua desa di Kecamatan Kotabaru
termasuk dalam kategori resistan. Bahkan pada lima desa yaitu Mayang Mangurai,
Bagan Pete, Kenali Asa, Bawa, Paal V, dan Sukakarya, abosrbance value (AV)
mencapai 100%. Tidak terdapat kemaknaan pada uji korelasi dengan nilai p 0.823.
Larva dari Aedes aegypti yang pertama kali mengalmi resistensi terhadap
temefos ditemukan di Brazil29, namun masiih bersifat tolerant di Surabaya30.
Berdasarkan beberapa ahli entomologist, jika digunakan dalam skala luas secara
berkelanjutan, dan dilakukan dalam periode lama dengan frekuensi yang sering,
penyemprotan insektisida bisa menurunkan tingkat suspekbilitas nyamuk31. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunakan abatisasi dan malathion dari tahun 2000 hingga
sekarang dari Departemen Kesehatan Kota sebagai insektisida juga mempunyai peran
besar terhadap tingkat resistensi nyamuk sekarang.

7. Hujan
Tingkat kejadian DBD dan hujan di Kecamatan Kotabaru ditampilkan pada
Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan bahwa tingginya kejadian hujan tidak mempengaruhi

tingkat kejadian DBD. Walaupun hujan mempunyai hubungan erat dengan


peningkatan dari tempat perkembang-biakan nyamuk pada barang-barang buangan
seperti kaleng, gelas plastik, kantong plastik, ban bekas, dan hal ini bisa
meningkatkan jumlah dari nyamuk. Wadah penampungan air pada tempat
pembuangan di Kecamatan Kotabaru hanya mencakup 11% dari keseluruhan.
Setidaknya tempat pembuangan yang menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk
tidak akan menjadi ancaman karena derasnya hujan, sehingga faktor hujan tidak
menjadi pengaruh peningkatan kejadian DBD. Kemungkinan lainnya, derasnya hukan
akan menyapu telur nyamuk pada temat penampungan air sehingga populasi nyamuk
semakin berkurang32. Serupa dengan hal ini, tingakt kejadian di Puerto Rico dan
Srilanka dimana DBD menjadi epidemic tidak terjadi pada saat hujan deras33,34.

8. Cluster DBD
Hasil Cluster dari kasus dengue SaScan dengan menggunakan Space-Time
Poisson Model menunjukkan bahwa nyamuk berlokasi pada koordinat tertentu
(342691, 9818080, utm) dengan nilai p 0.002 yang dinyatakan bermakna terhadap
tingkat kejadian cluster, hal ini ditampilkan di Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan adanya peningkatan dari nyamuk terutama pada empat

desa yaitu Simpang III Sipin, Mayang Mangurai, Kenali Bawah dan Beliung. Daerah
yang termasuk mengalami peningkatan merupakan daerah dengan tingkat kejadian
DBD yang tinggi. Selain itu, Simpang II Sipin dan Mayang Mangurai mempunyai
potensi untuk mengalami pembentukan cluster DBD dikarenakan luasnya area
pemukiman disana, tingginya vector dan persentase Maya Indeks. Cluster akan
menyebabkan peningkatan resiko penyebaran dengue hingga 61855 jiwa. Namun
orang diluar cluster tetap harus berhati-hati, walaupun tidak ada bukti adanya
penularan transovarial. Penularan virus dengue terjadi secara horizontal melalui
manusia yang terinfeksi dan menunjukkan tidak adanya gejala atau hanya
menunjukkan gejala ringan seperti demam, hal ini lebih berbahaya karena
penularannya bisa semakin meluas dengan tingginya tingkat pergerakan manusia,
sehingga carrier (manusia yang membawa virus) akan emmainkan peran penting
terhadap penularan virus35.

9. Daerah yang rentan terhadap kejadian DBD


Desa dengan tingkat kerentanan yang tinggi adalah Simpang III Sipin (skor =
44), dan Mayang Mangurai (skor 43), desa dengan tingkat kerentanan sedang adalah
Kenali Besar, Beliung, Paal V, Kenali Bawah dan Sukakarya, sementara desa dengan
tingkat kerentanan rendah adalah Bagan Pete, Rawa Sari dan Kenali Atas (Gambar 4).

Simpang III Sipin dan Mayang Mengurai tergolong rentan dan mengalami
peningkatan kejadian DBD. Kedua daerah ini mempunyai luas 680 ha, yang berarti
melingkupi 8.74% daerah Kotabaru, dan mempunyai potensi tinggi untuk mengalami
DBD. Dimana terdapat 38446 penduduk yang mempunyai resiko terkena DBD.
Ppoulasi beresiko DBD pada desa Mayang Mangurai menyebar di seluruh 8 RT
dengan total daerah 1.68 km2, hingga ke Simpang III Sipin dimana penduduk yang
mengalami resiko DBD terdapat pada 9 RT dengan luas daerah 0.62 km2. Desa yang
rentan terhadap tingakt kejadian DBD biasanya mempunyai jumlah nyamuk yang
banyak, dimana lahan yang digunakan untuk daerah pemukiman dan persentase dari
rumah dengan Indeks Maya masih terglong tinggi. Desa Beliung dan Kenalibawah
langsung diketagorikan sebagai daerah rentan dan bisa menyebabkan peningkatan
kejadian DBD. Sebagai pencegahan, terutama pada desa Kenali Bawah yang
mempujnyai jumlah nyamuk Aedes, daerah administrasi luas, dan daerah pemukiman
terbesar dimana hanya ±10% dari lahan tersebut digunakan sebagai daerah
pemukiman, dan bisa menyebabkan peningkatan kejadia DBD pada daerah ini.
Ketika tulisan ini diterbitkan pada Desember 2011, Kota Jambi mengalami
kejadian luar biasa DBD dengan tingkat kejadian dengue tertinggi pada desa Mayang
Mangurai.

KESIMPULAN
Tingkat kejadian DBD dipengaruhi oleh jumlah dari Aedes sp, luasnya daerah
pemukiman, serta persentase rumah dengan indeks Maya yang tinggi. Tingkat
kejadian DBD pada kecamatan Kotabaru dipengaruhi oleh jumlah populasi Aedes
yang tinggi, daerah pemukiman, serta persentase dari rumah dengan status virtual
indeks yang tinggi,sehingga untuk menekan angka kejadian DBD, partisipasi
masyarakat hingga institusi administratif dibutuhkan untuk PSN dan pemantauan dari
nyamuk Aedes sp terutama pada bagian kontrol.
Pada penelitian ini, kepadatan penduduk, hujan yang sering, vektor resistensi,
dan tingkat infeksi transovarial tidak mempengaruhi tingginya kejadian DBD,
sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut terutama untuk penilaian resistensi dan
transovarial pada pemukiman pasien dengan DBD hingga 100 meter darerah
sekitarnya, dimana hal ini bisa menyediakan sampel dan informasi yang akurat dalam
bentuk teks, spatial, atau keduanya.
Desa yang rentan dan memiliki potensi tinggi terhadap kejadian DBD adalah
Simpang III Sipin dan Mayang Mangurai. Daerah dengan tingkat suspekbilitas DBD
dan mempunyai jumlah nyamuk yang banyak, penggunaan lahan untuk daerah
pemukiman dan persentase rumah dengan indeks Maya yang tinggi mempengaruhi
hal ini. Pemantauan dan pencegahan ketat pada desa Simpang III Sipin dan Mayang
mangurai harus dilakukan untuk mencegah kejadian luar biasa, serta pengembangan
data berbasis GIS untuk penaganan DBD (bergeoreferensi), juga sumber
perkembangan manusia untuk mendukung operasi dari GIS dan mengubah data
menjadi informasi yang berguna.
REFERENSI
1. Sungkar S. Pemberantasan DemamBerdarah Dengue: sebuah tantangan yang harus
dijawab. Majalah Kedokteran Indonesia,2007;57(6):167-70.

2. Fathi, Keman S, Wahyuni CU. Peran FaktorLingkungan dan Perilaku Terhadap


Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan
Lingkungan,2005;2(1):1-10.

3. Nicolas Dumas, Darmawansyah, Arsunan Arsin. Analisis Faktor yang


Berhubungan dengan Kejadian DBD di Kecamatan Baruga Kota Kendari. Analisis,
2007;4(2):91-100.

4. Supartha IW. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes
aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Makalah
disampaikan pada Dies Natalis Universitas Udayana.Denpasar, 2008.

5. Dirjen PP dan PL. Modul Pelatihan BagiPelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk


Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan Pendekatan Komunikasi Perubahan
Perilaku (Comunication for Behavioral
Impact). Depkes RI. Jakarta 2008; 46-55.
6. Rianta SE. Multi Risk Hazard Mapping in Kelurahan Kampung Melayu, Cipinang
Besar Utara and Penjaringan in DKI Jakarta Propince. Report of Action Contre la
Faim (ACF) Disaster Preparedness Programme, 2008

7. Depkes RI. Kebijaksanaan Program P2-DBD dan Situasi TerkiniDBDIndonesia.


Jakarta, 2004.
8. Lozano RD, RodriquezMH, Avila MH. Gender Related Family Head Schooling
and Aedes Aegypti Larval Breeding Risk in Southern Mexico. Salud publica de
Mexico, 2002; 44(3):237-42.

9. Santoso, Budiyanto A. Knowledge, Attitude and Practice Relationship of The


Community Towards Dengue Hemorraghic Fever (DHF) in Palembang City South
Sumatra Province. Jurnal Ekologi Kesehatan, 2008;7(2):732-9.

10. Widiarti, Suskamdani, Mujiono. Resistensi vector malaria terhadap insektisida di


Dusun karyasari dan Tukatpule Pulau Bali dan Desa Lendang Ree dan Labuhan Haji
Pulau Lombok. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2009;19(3):154-64.

11. Umniyati SR. Teknik Imunositokimia dengan Antibodi Monoklonal DSSC7 untuk
kajian Patogenesis Infeksi dan Penularan Transovarial Virus Dengue serta Surveilansi
Virologis Vektor Dengue. [Disertasi ]. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2009

12. Subagyo Pangestu. Statistik Terapan. Yogyakarta: BPFE, 2010;23-6.

13. Lee HL, Rohani A. Transovarial Transmission of Dengue Virus in Aedes aegypti
and Aedes albopictus in Relation to Dengue Outbreak in An Urban Area in Malaysia.
Dengue Bulletin, 2005;29:106-11

14. Gustiansyah. Bukti Adanya Transmisi Transovarial Virus Dengue pada Nyamuk
Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur
Kalimantan Tengah. [Tesis]. Yogyakarta, Universitas GadjahMada, 2008.

15. Soegijanto Soegeng. Patogenesis dan Perubahan Patofisiologi pada Infeksi Virus
Dengue. Surabaya:

16. Djunaedi D. Demam Berdarah (dengue DBD). Malang: UMMPress, 2006.

17. Widianto T. Kajian Manajeman Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah


Dengue (DBD) di Kota Purworejo Jawa Tengah. [Tesis]. Semarang Universitas
Diponegoro, 2007

18. Yunus HS. Manajemen Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005;20-31.

19. Liani, Evi. Analisis Kluster Demam Berdarah Dengue di Kota Banjarmasin, Juli
2008 – Juni 2009. [Tesis]. Yogyakarta, Pasca Sarjana- Universitas Gadjah Mada,
2009.
20. Sutaryo. Dengue. Medika, Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.,2004. 4-48

21. Seng SB, Chong AK, Moore A. Geostatistical Modeling, Analisis and Mapping of
Epidemiologi of Dengue Fever in Johor State. Malasya. Presented at SIRC- The 17th
Annual Colloguium of The Spatial Information Research Centre University of Otago,
Dunedin. New Zealand, 2005

22. Panca Wati NA. Perbedaan Faktor-Faktor Resiko yang Mempengaruhi


Keberadaan Jentik Vektor Dengue (Aedes aegypti & Aedes albopictus) antara Desa
Endemis dan Sporadis Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. [Tesis].
Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2009.

23. Yudhastuti R, Vidiyani A. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan Perilaku


Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis
Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2005;1(2).

24. Leake CJ. The vector competence of colonized Aedes (Stegomyia) katherinensis
for dengue-2 virus. Transactions of The Royal Society Of Tropical Medicine and
Hygiene, 1984;78:829-32.

25. Miller BR, Mitchell CJ. Genetic selection of a flavivirus-refractory strain of the
yellow fever mosquito Aedes aegypti. AmJ Trop Med Hyg, 1991;45:399–407.

26. Watt DM, Horisson BA, Pantuwatana S, Klein TA, Burke DS. Failure to Detect
Natural infection by Dengue viruses of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera:
Culicidae). J Med Entomol, 1985;22:261-5

27. Joshi V, Mourya DT, Sharma RC. Persistence of Dengue-3 Virus Through
Transovarial Transmission Passage In Successive Generations of Aedes aegypti
Mosquitoes. Am.J.Trop.Med.Hyg, 2002;(67):158-61.

28. Castrol MG, Nogueira RMR, Schatzmayr HG, Miagostovich MP, & Oliveira RL.
Dengue Virus Detection by Using Reverse Transciption- Polymerase Chain Reaction
in Saliva and Progeny of Experimentally Infected Aedes
albopictusfromBrazil.MemInstOswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 2004;99(8):809-14.

29. Lima EP, Paiva MHS, Araujo AP, Silva EVG, Oliveira LN, Santana AEG. et al.
Insecticide resistensi in Aedes aegypti populations from Ceara, Brazil. Parasites &
Vektor, 2011;4:5
30. Tatontos EY. Uji Resistensi Larva Aedes sp dari daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue Kota Mataram dan Larva Aedes aegypti Koloni Lembaga Penyakit
Tropis Universitas Airlangga Surabaya terhadap Temefos. [Tesis]. Surabaya, Pasca
Sarjana Fakultas Kedokteran: Universitas Airlangga 2008.

31. Mula MS, Thavara U, Tawatsin A, Chompoosri J. Procedures for The Evalution
of Field Efficacy of Slow-Release Formulation of Larvacides Against Aedes aegypti
in Water-Storage Containers. Journal of The American Mosquito Control Association,
2004;20:64-73.

32. Seng SB, Chong AK, Moore A. Geostatistical Modeling, Analisis and Mapping of
Epidemiologi of Dengue Fever in Johor State. Malasya. Presented at SIRC- The 17th
Annual Colloguium of The Spatial Information Research Centre University of Otago,
Dunedin. New Zealand, 2005.

33. Johansson MA, Dominici F, Glass GE, Local and Global Effects of Climate
Dengue Transmision Puerto Rico. PLoS Negleted Tropical Deseases, 2009. Volume 3.

34. Pathirana S, Kawabata M, Goonaatilake R. Study of Potensial Risk Dengue


Desease Outbreak in Sri Langka Using GIS and Statistical Modeling. Journal of
Rural Tropical Public Health, 2009;(8):8-17.

35. WHO. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, Pengeobatan dan Pengendalian.


Edisi 2. Buku Kedokteran. Jakarta: EGC, 1999.

Anda mungkin juga menyukai