DOSEN:
dr. SOTIANINGSIH, Sp.PK
KELOMPOK 1:
PENDAHULUAN
Tingkat kejadian 5 tahun untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
tergolong tinggi, dimana terdapat tingkat rata-rata 60 kasus per tahunnya, bahkan
semua wilayah kecamatan Kotabaru merupakan daerah endemis dengue.
Informasi terkait vector, faktor serupa, indeks virtual, transovarial, dan
resistensi dari nyamuk Aedes sp di Kota Jambi terhadap insektisida sangat dibutuhkan
untuk program pengendalian vektor. Kesuksesan dalam memusnahkan DBD sangat
dipengaruhi oleh faktor resistensi nyamuk terhadap insektisida1.
Faktor lingkungan, dimana lebih padat populasi di suatu lingkungan akan
meningkatkan resiko infeksi dari virus DBD2. Kondisi lingkungan juga merupakan
resuko sendiri untuk menjadi tempat perkembang-biakan untuk nyamuk yang bisa
diukur dengan parameter indeks Maya.
Terdapat hubungan bermakna antara Indeks Maya (Indikator untuk tingkat
higienitas lingkungan/indikator resiko higienitas) dengan tingkat kejadian DBD
karena terdapat objek yang bisa menjadi tempat perkembang-biakan untuk nyamuk
yang tidak terkontrol sehingga bisa menyebabkan peningkatan jumlah nyamuk3.
Sering terjadinya hujan juga bisa membuat tempat perkembang-biakan nyamuk
semakin meningkat, banyak barang untuk hal ini seperti kaleng, botol plastik,
bungkusan plastik, ban bekasm dan sejenisnya yang dibuang sembarangan, dan
menyebabkan peningkatan kasus DBD4.
Tidak adanya informasi tentang hubungan antara kepadatan penduduk, daerah
pemukiman, indeks Maya, dan densitas dari Aedes sp, tingkat resistensi dan
transovarial virDen terhadap tingakt kejadian DBD serta sekelompok kasus dan
daerah yang masih dicurigai sebagai kejadian dengue akan mempengaruhi tingakt
pengendalian Dengue di kecamatan kotabaru.
Geographic Information System (GIS) dapat digunakan untuk memantau vektor
dan faktor yang mempnegaruhi tingkat kejadian DBD, dan setidaknya bisa
memberikan gambaran daerah yang sangat rentan terhadap DBD di kecamatan
Kotabaru, sehingga kita bisa menentukan langkah operasional untuk pencegahan dan
pemusnahan dari dengue.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kejadian DBD yang tinggi terjadi pada
Desa Mayang Mangurai dengan IR per 10.000 populasi adalah 7.00 (22.10%) dan
desa Simpang III Sipin dengan IR per 10.000 populasi adalah 6.16 (19.5%) dan Desa
Kenali Bawah dengan IR per 10.000 populasi adalah 3.7 (11.68%).
Resiko DBD dari setiap RT yang tergolng rendah-sedang, tidak ditemukan
adanya tingkat kejadian lDBD lebih dari 3.
1. Kepadatan penduduk
Data kepadatan penduduk berdasarkan daerah administratif di setiap desa
ditampikan di Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa desa Simpang III Si[in mempunyai tingkat
kepadatan populasi yang lebih luas dibandingkan desa lainnya, diikuti dengan desa
Rawasari, Sukakarya, dan Beliung. Pada desa yang padat penduduk, kasus DBD yang
ditemukan tergolong tinggi. Tidak seperti desa Rawasari, Beliung dan Sukakarya,
walaupun mempunyai tingkat populasi yang tinggi, tingakt kejadian DBD pada
aderah ini tidak terlalu tinggi (p = 0,551), hal ini hanya bisa terjadi karena jumlah dari
tingkat kejadian DBD di setiap RT kurang dari 3 kasus dan tidak ditemukan transmisi
transovarial yang menyebabkan penyebaran Virden DBD menjadi rendah karena
transmisi transovarial virDen memainkan peran penting dalam memperbaiki dan
memelihara tingkat epidemik Dengue13. Tingkat transovarial vir Den tergolong tinggi
pada daerah endemik dibandingkan sporadic14.
Faktor yang memainkan peran dalam penularan virus dengue adalah manusia,
perantara, dan virus. Manusia yang mempunyai status immunitas yang baik adalah
salah satu faktor yang melindunginya dari demam dengue. Teori dari infeksi sekunder
menyatakan bahwa seseorang yang mendapatkan infeksi primer dari salah satu virus,
maka akan membentuk kekebalan juga terhadap tipe virus ini untuk jangka yang
lama15. Dipastikan juga bahwa demam dengue ditemukan pada pedesaan, 50% dari
mereka tidak menunjukkan adanya manifestasi klinis (asimptomatis) yang sering
tidak dilaporkan16.
Tingkat kepadatan penduduk (jiwa/ha) dapat menyebabkan penularan DBD
semakin meningkat, dimana jarak terbang nyamuk berkisar ±100 meter 17. Namun
kepadatan penduduk (jiwa/ha) tergolong samar karena perhitungan ini hanya
berdasarkan batas administratif dimana terdapat lahan terbuka/tidak berpenghuni dan
lahan pembagunan yang tidak digunakan untuk tempat pemukiman sehingga hal ini
juga tetap dimasukkan kedalam penghitungan sebagai denominator18. Tingkat
kejadian DBD yang terbukti bermakna (p = 0.009) terdapat pada desa dengan tingkat
populasi (jiwa) yang tinggi. Pada populasi yang luas, transmisi virus menjadi lebih
mudah2, namun penelitian di kota Banjarmasin menyatakan bahwa penularan
transmisi tidak berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk19.
3. Indeks Maya
Wadah penampungan air yang mengandung larva positif sebanyak 500 buah.
Kategori kontrol pada wadah air mencapai 89%, dimana tingkat tertinggi pada air
mandi (43.2%), kemudian drum (31%), dan ban bekas (6.8%). Tingginya status dari
Indeks Maya (IM) di desa Simpang III Sipin dengan 10% rumah yang memiliki
resiko tinggi sebagai tempat perkembang-biakan Aedes sp, Mayang Mangurai dengan
4.8% rumah, Kenali Besar dan Kenali Bawah dengan 3% rumah di setiap daerah yang
mempunyai resiko indeks maya yang tinggi. Hasil dari aalisa antara tingkat
persentase dari DBD yang mempunyai status IM yang tinggi dinilai bermakna (p =
0.001).
Jumlah dari rumah dengan satatus IM yang tinggi mempunyai resiko 11.46x
lebih tinggi untuk mengalami endemis DBD22, karenanya desa yang mempunyai (CS)
atau Breeding Rist Indicator value (BIR) dan tingginya persentase rumah dengan IM
yang tinggi menunjukkan bahwa status dari desa ini masih mempunyai potensi untuk
menjadi lahan perkembang-biakan Aedes sp, karena tingginya nilai BRI
menunjukkan tingginya nilai dari resiko terjadinya tempat tersebut sebagai lahan
perkembangbiakan vektor dengue8.
6. Resistensi
Uji resistensi dari larva Aedes sp dilakukan pada semua desa yang mengalami
resistensi terhadap penyemprotan organophosphate insektisida di Kecamatan
Kotabaru. Data lebih lanjut ditampilkan pada Tabel 5.
7. Hujan
Tingkat kejadian DBD dan hujan di Kecamatan Kotabaru ditampilkan pada
Gambar 2.
8. Cluster DBD
Hasil Cluster dari kasus dengue SaScan dengan menggunakan Space-Time
Poisson Model menunjukkan bahwa nyamuk berlokasi pada koordinat tertentu
(342691, 9818080, utm) dengan nilai p 0.002 yang dinyatakan bermakna terhadap
tingkat kejadian cluster, hal ini ditampilkan di Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan adanya peningkatan dari nyamuk terutama pada empat
desa yaitu Simpang III Sipin, Mayang Mangurai, Kenali Bawah dan Beliung. Daerah
yang termasuk mengalami peningkatan merupakan daerah dengan tingkat kejadian
DBD yang tinggi. Selain itu, Simpang II Sipin dan Mayang Mangurai mempunyai
potensi untuk mengalami pembentukan cluster DBD dikarenakan luasnya area
pemukiman disana, tingginya vector dan persentase Maya Indeks. Cluster akan
menyebabkan peningkatan resiko penyebaran dengue hingga 61855 jiwa. Namun
orang diluar cluster tetap harus berhati-hati, walaupun tidak ada bukti adanya
penularan transovarial. Penularan virus dengue terjadi secara horizontal melalui
manusia yang terinfeksi dan menunjukkan tidak adanya gejala atau hanya
menunjukkan gejala ringan seperti demam, hal ini lebih berbahaya karena
penularannya bisa semakin meluas dengan tingginya tingkat pergerakan manusia,
sehingga carrier (manusia yang membawa virus) akan emmainkan peran penting
terhadap penularan virus35.
Simpang III Sipin dan Mayang Mengurai tergolong rentan dan mengalami
peningkatan kejadian DBD. Kedua daerah ini mempunyai luas 680 ha, yang berarti
melingkupi 8.74% daerah Kotabaru, dan mempunyai potensi tinggi untuk mengalami
DBD. Dimana terdapat 38446 penduduk yang mempunyai resiko terkena DBD.
Ppoulasi beresiko DBD pada desa Mayang Mangurai menyebar di seluruh 8 RT
dengan total daerah 1.68 km2, hingga ke Simpang III Sipin dimana penduduk yang
mengalami resiko DBD terdapat pada 9 RT dengan luas daerah 0.62 km2. Desa yang
rentan terhadap tingakt kejadian DBD biasanya mempunyai jumlah nyamuk yang
banyak, dimana lahan yang digunakan untuk daerah pemukiman dan persentase dari
rumah dengan Indeks Maya masih terglong tinggi. Desa Beliung dan Kenalibawah
langsung diketagorikan sebagai daerah rentan dan bisa menyebabkan peningkatan
kejadian DBD. Sebagai pencegahan, terutama pada desa Kenali Bawah yang
mempujnyai jumlah nyamuk Aedes, daerah administrasi luas, dan daerah pemukiman
terbesar dimana hanya ±10% dari lahan tersebut digunakan sebagai daerah
pemukiman, dan bisa menyebabkan peningkatan kejadia DBD pada daerah ini.
Ketika tulisan ini diterbitkan pada Desember 2011, Kota Jambi mengalami
kejadian luar biasa DBD dengan tingkat kejadian dengue tertinggi pada desa Mayang
Mangurai.
KESIMPULAN
Tingkat kejadian DBD dipengaruhi oleh jumlah dari Aedes sp, luasnya daerah
pemukiman, serta persentase rumah dengan indeks Maya yang tinggi. Tingkat
kejadian DBD pada kecamatan Kotabaru dipengaruhi oleh jumlah populasi Aedes
yang tinggi, daerah pemukiman, serta persentase dari rumah dengan status virtual
indeks yang tinggi,sehingga untuk menekan angka kejadian DBD, partisipasi
masyarakat hingga institusi administratif dibutuhkan untuk PSN dan pemantauan dari
nyamuk Aedes sp terutama pada bagian kontrol.
Pada penelitian ini, kepadatan penduduk, hujan yang sering, vektor resistensi,
dan tingkat infeksi transovarial tidak mempengaruhi tingginya kejadian DBD,
sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut terutama untuk penilaian resistensi dan
transovarial pada pemukiman pasien dengan DBD hingga 100 meter darerah
sekitarnya, dimana hal ini bisa menyediakan sampel dan informasi yang akurat dalam
bentuk teks, spatial, atau keduanya.
Desa yang rentan dan memiliki potensi tinggi terhadap kejadian DBD adalah
Simpang III Sipin dan Mayang Mangurai. Daerah dengan tingkat suspekbilitas DBD
dan mempunyai jumlah nyamuk yang banyak, penggunaan lahan untuk daerah
pemukiman dan persentase rumah dengan indeks Maya yang tinggi mempengaruhi
hal ini. Pemantauan dan pencegahan ketat pada desa Simpang III Sipin dan Mayang
mangurai harus dilakukan untuk mencegah kejadian luar biasa, serta pengembangan
data berbasis GIS untuk penaganan DBD (bergeoreferensi), juga sumber
perkembangan manusia untuk mendukung operasi dari GIS dan mengubah data
menjadi informasi yang berguna.
REFERENSI
1. Sungkar S. Pemberantasan DemamBerdarah Dengue: sebuah tantangan yang harus
dijawab. Majalah Kedokteran Indonesia,2007;57(6):167-70.
4. Supartha IW. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes
aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Makalah
disampaikan pada Dies Natalis Universitas Udayana.Denpasar, 2008.
11. Umniyati SR. Teknik Imunositokimia dengan Antibodi Monoklonal DSSC7 untuk
kajian Patogenesis Infeksi dan Penularan Transovarial Virus Dengue serta Surveilansi
Virologis Vektor Dengue. [Disertasi ]. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2009
13. Lee HL, Rohani A. Transovarial Transmission of Dengue Virus in Aedes aegypti
and Aedes albopictus in Relation to Dengue Outbreak in An Urban Area in Malaysia.
Dengue Bulletin, 2005;29:106-11
14. Gustiansyah. Bukti Adanya Transmisi Transovarial Virus Dengue pada Nyamuk
Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur
Kalimantan Tengah. [Tesis]. Yogyakarta, Universitas GadjahMada, 2008.
15. Soegijanto Soegeng. Patogenesis dan Perubahan Patofisiologi pada Infeksi Virus
Dengue. Surabaya:
19. Liani, Evi. Analisis Kluster Demam Berdarah Dengue di Kota Banjarmasin, Juli
2008 – Juni 2009. [Tesis]. Yogyakarta, Pasca Sarjana- Universitas Gadjah Mada,
2009.
20. Sutaryo. Dengue. Medika, Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.,2004. 4-48
21. Seng SB, Chong AK, Moore A. Geostatistical Modeling, Analisis and Mapping of
Epidemiologi of Dengue Fever in Johor State. Malasya. Presented at SIRC- The 17th
Annual Colloguium of The Spatial Information Research Centre University of Otago,
Dunedin. New Zealand, 2005
24. Leake CJ. The vector competence of colonized Aedes (Stegomyia) katherinensis
for dengue-2 virus. Transactions of The Royal Society Of Tropical Medicine and
Hygiene, 1984;78:829-32.
25. Miller BR, Mitchell CJ. Genetic selection of a flavivirus-refractory strain of the
yellow fever mosquito Aedes aegypti. AmJ Trop Med Hyg, 1991;45:399–407.
26. Watt DM, Horisson BA, Pantuwatana S, Klein TA, Burke DS. Failure to Detect
Natural infection by Dengue viruses of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera:
Culicidae). J Med Entomol, 1985;22:261-5
27. Joshi V, Mourya DT, Sharma RC. Persistence of Dengue-3 Virus Through
Transovarial Transmission Passage In Successive Generations of Aedes aegypti
Mosquitoes. Am.J.Trop.Med.Hyg, 2002;(67):158-61.
28. Castrol MG, Nogueira RMR, Schatzmayr HG, Miagostovich MP, & Oliveira RL.
Dengue Virus Detection by Using Reverse Transciption- Polymerase Chain Reaction
in Saliva and Progeny of Experimentally Infected Aedes
albopictusfromBrazil.MemInstOswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 2004;99(8):809-14.
29. Lima EP, Paiva MHS, Araujo AP, Silva EVG, Oliveira LN, Santana AEG. et al.
Insecticide resistensi in Aedes aegypti populations from Ceara, Brazil. Parasites &
Vektor, 2011;4:5
30. Tatontos EY. Uji Resistensi Larva Aedes sp dari daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue Kota Mataram dan Larva Aedes aegypti Koloni Lembaga Penyakit
Tropis Universitas Airlangga Surabaya terhadap Temefos. [Tesis]. Surabaya, Pasca
Sarjana Fakultas Kedokteran: Universitas Airlangga 2008.
31. Mula MS, Thavara U, Tawatsin A, Chompoosri J. Procedures for The Evalution
of Field Efficacy of Slow-Release Formulation of Larvacides Against Aedes aegypti
in Water-Storage Containers. Journal of The American Mosquito Control Association,
2004;20:64-73.
32. Seng SB, Chong AK, Moore A. Geostatistical Modeling, Analisis and Mapping of
Epidemiologi of Dengue Fever in Johor State. Malasya. Presented at SIRC- The 17th
Annual Colloguium of The Spatial Information Research Centre University of Otago,
Dunedin. New Zealand, 2005.
33. Johansson MA, Dominici F, Glass GE, Local and Global Effects of Climate
Dengue Transmision Puerto Rico. PLoS Negleted Tropical Deseases, 2009. Volume 3.