Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar,
acuan, atau pedoman syariat Islam. Ajaran Islam adalah pengembangan
agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu
Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama
agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan
akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain, yakni
kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran
Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan
kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna
kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman
manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu
dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuk ajaran mengenai hukum
(fikih) Islam dari keduanya.
Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang
berkenaan dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting
dilakukan, karena kualitas pemahaman ke Islaman seseorang akan
mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan ke Islaman yang
bersangkutan. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan
pemahaman tentang Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Al-Qur’an ?
2. Apa pengertian dari Sunnah ?
3. Apa pengertian dari Ijma’ ?
4. Apa pengertian dari Qiyas ?
5. Apa pengertian dari Istihsan ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian tentang Al-Quran
2. Menjelaskan pengertian tentang Sunnah
3. Menjelaskan pengertian tentang Ijma’
4. Menjelaskan pengertian tentang Qiyas
5. Menjelaskan pengertian tentang Istihsan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al – Qur’an
Al – Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Ayat yang pertama kali turun adalah ayat 1- 5 dari QS
Al – Alaq. Ayat pertama turun menunjukkan bahwa al – qur’an mengajak
manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Sedangkan ayat terakhir
yang turun adalah QS – Maidah ayat 3. Al – Qur’an turun secara
berangsur-angsur selama 23 tahun yaitu masa dimana keislaman Nabi
Muhammad berlangsung.
Surat dalam Al-Qur’an sebagian ada yang turun di Makkah dan
sebagian yang lain turun di kota Madinah. Ayat – ayat al-qur’an yang
turun di makkah, kebanyakan atau seluruhnya menerangkan tentang
akidah islamiyah yaitu al – wahdaniyah (Ke - Esaan Tuhan), keimanan
terhadap para malaikat , para nabi, dan hari akhir. Di dalam ayat-ayat
makkiyah juga menerangan tentang akibat orang yang berbuat syirik dan
durhaka di beberapa negeri, dan mengajak kepada kebebasan berfikir dan
melepaskan dari apa yang dianut oleh orang tua dan nenek moyang
mereka. Tatkala mereka menjawab dengan mengakatan :

ۗ
َ ‫َب ْل نَـت َّ ِب ُع َم ۤا ا َ ْلفَ ْينَا‬
‫علَ ْي ِه ٰا َبا َءنَا‬
“(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (al – Baqarah :170).

Maka dikatakan kepada mereka :

َ َ‫ا َ َولَ ْو َكانَ ٰا َبا ُؤ ُه ْم ََل َي ْع ِقلُ ْون‬


َ‫ش ْيئًـا َّو ََل َي ْهتَد ُْون‬
“(apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk
?”. (al – Baqarah :170)

3
Sedangkan ayat – ayat al-qur’an yang turun di Madinah,
mengandung hukum-hukum fiqih, aturan pemerintahan, aturan keluarga,
dan aturan tentang orang-orang muslim dengan non muslim yang
menyangkut perjanjian dan perdamaian.
1. Kemutawatiran Al-Qur’an
Kemutawatiran (keberuntungan) Al-Qur’an itu terjadi dari generasi
ke generasi. Pada mulanya Nabi menghafal Al-Qur’an dan membacanya di
hadapan Malaikat Jibril. Pemeliharaaan Al-Qur’an dengan cara para
sahabat ra. Menghafal Al-Qur’an dan selanjutnya dilakukan oleh para
Tabi’in. Meskipun pada masa para sahabat, Al-Qur’an telah tertulis di
mushaf-mushaf, namun hal ini tidak mengurangi semangat para Tabi’in
untuk menghafal dan menerima secara langsung dari
2. Kemukjizatan Al-Qur’an
Al-qur’an adalah mu’jizat Nabi Muhammad SAW. Kemu’jizatan
disini bersifat ma’nawi (abstrak), bukan sebagai mu’jizat yang bersifat
madiy (fisik) seperti menyembuhkan kebutaan, dan penyakit lepra,
mengubah tongkat menjadi seekor ular yang merayap engan cepat, dll.
Dari kemu’jizatan Al-Qur’an Nabi Muhammad Saw pernah
menantang kaum kafir Quraisy supaya membuat semisal Al-Qur’an,
ternyata mereka tidak sanggup. Kemudiang di tantang membuat sepuluh
surat saja, walaupun dengan menjiplak ternyata mereka tidak mampu juga.
Akhirnya Nabi Muhammad SAW menantang mereka membuat satu surat
saja dengan menjiplak, ternyata mereka tidak mampu juga membuatnya.
Adapun mu’jizat yang bersifat ma’nawi ia tetap langgeng bersamaan
dengan terkandungnya kemu’jizatan dan bukti kerisalahan sampai pada
hari kiamat. Seperti halnya dengan kemu’jizatan Al-Qur’an dan berbagai
aspek yang memang selalu relevan dibicarakan pada setiap zaman tidak
hanya pada zaman tertentu saja.
3. Bentuk-Bentuk Kemukjizatan Al-Qur’an
Kemu’jizatan Al-Qur’an terletak pada Al-Qur’an itu sendiri,
bukan karena sesuatu yang ada di dalamnya. Para ulama terdahulu telah
membicarakan tentang bentuk-bentuk kemu’jizatan Al-Qur’an, meskipun

4
pada masa Nabi yang pertama (ketika di Makkah) kemu’jizatan itu telah
nyata terbukti, yakni dengan adanya tantangan kepada kaum Quraisy
untuk mendatangkan karya yang semisal Al-Qur’an dan ternyata mereka
tidak mampu. Kemu’jizatan Al-Qur’an bersifat dzatiy (esential), bukan
bersifat relatif (idhofi). Memang sesungguhnya kemu’jizatan Al-Qur’an
bukan hanya untuk bangsa arab saja tetapi untuk semua umat
manusia.sebagaimana Firman Allah Swt :

َ ‫َو َم ۤا ا َ ْر‬
َ‫س ْل ٰن َك ا ََِّل َر ْح َمةً ِل ْـلعٰ لَ ِميْن‬
“dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)rahmat
bagi semesta alam.”(QS.al anbiya :107)
Berikut ini bentuk kemu’jizatan Al-Qur’an yang pernah
diungkapkan oleh para ulama :
a. Kebalaghahan Al-Quran (segi keindahan Al-Qur’an)
b. Pemberitaan Al-Qur’an tetang keadaan yang terjadi pada abad-abad
yang silam. Al-qur’an telah menceritan tentang kasus kaum ‘ad dan
Tsamud, kaum Luth dan kaun Nuh, kaum Nabi Ibrahim, tentang musa
beserta kaumnya, kasus Fir’aun, tetang Maryam dan kelahirannya,
kelahiran Yahya, kelahiran Isa Al-Masih dan sebgainya. Padahal berita
itu keluar dari lisan seorang yang ummi, tidak tahu tulis baca, tidak
pernah belajar kepada guru dan buku. Namun kedatangan Al-Qur’an
membawa kebenaran yang disampaikan oleh seorang yang ummi.

c. Pemberitaan Al-Qur’an tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa


datang. Antara lain pemberitahuan Al-Qur’an mengenai kaum
mukminin kelak akan menjadi penguasa di bumi sebagaimana orang-
orang yang sebelum mereka. Firman Allah :

‫ف‬ ِ ‫ت لَـيَ ْستَ ْخ ِلفَـنَّ ُه ْم ِفى ْاَلَ ْر‬


َ َ‫ض َك َما ا ْست َ ْخل‬ ‫ّٰللاُ الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ِم ْن ُك ْم َو َع ِملُوا ال ه‬
ِ ٰ‫ص ِلح‬ ‫عد َ ه‬
َ ‫َو‬
ۖ ‫الَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم‬
“dan allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal yang shaleh bahwa dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana dia telah

5
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa........ (QS.an-
nur :55)

Sungguh janji tuhan itu telah terbukti dimana pada masa Nabi umat
islam telah menguasai seluruh jazirah arab. Kemudian setelah zaman
Nabi, para sahabat melanjutkan penaklukan ke neger persia, byzantium
(romawi) sampai mesir.
d. Kandungan Al-Qur’an yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang
tidak mungkin diketahui oleh seseorang ummi yang tidak pandai baca
tulis. Dan tidak ada suatu perguruan atau lembaga pendidikan yang
mengajarkannya. Al qur’an mengandung realitas ilmiah tentang
kejadian langit dan bumi, seperti dinyatakan bahwa langit dan bumi itu
dulunya berasal dari suatu gumpalan, kemudian terjadi ledakan yang
membuatnya terpecah-pecah menjadi beberapa pelanet. Allah Swt
berfirman :

‫ض َكانَـتَا َرتْقًا فَفَت َ ْق ٰن ُه َما ۗ َو َجعَ ْلنَا‬ ِ ‫ا َ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذيْنَ َكفَ ُر ۤ ْوا ا َ َّن السَّمٰ ٰو‬
َ ‫ت َو ْاَلَ ْر‬
ۗ ٍ ‫ش ْيءٍ َحي‬ َ ‫ِمنَ ْال َما ِء ُك َّل‬
َ‫اَفَ ََل يُؤْ ِمنُ ْون‬
“tidakkah orang-orang kafir melihat bahwa lagit dan bumi itu
dulunya merupakan satu yang padu kemudian Kami pisahkan
keduanya, dan kami jadikan segala sesuatu uang hidup itu dari
air.maka mengapa mereka juga tidak mau beriman. “ (QS. Al –
anbiya : 30)

4. Al-Qur’an Adalah Lafadz Dan Makna

6
Al-quran adalah meliputi lafadz dan makna. Ia merupakan kitab
suci yang berbahasa arab, sebagaimana firman allah swt yang berbunyi :

َ‫انَّ ۤا ا َ ْنزَ ْل ٰنهُ قُ ْرءٰ نًا َع َر ِبيًّا لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْع ِقلُ ْون‬
“sesungguhnya kami menurunkannya, berupa al-qur’an dengan
berbahasa arab, agar kamu memahaminya”. (QS.Yusuf : 2)

Juga Firman Allah Swt. Dalam surat Fushilat :

َ‫ت ٰا ٰيتُهٗ قُ ْر ٰانًا َع َربِيًّا ِلقَ ْو ٍم يَّ ْعلَ ُم ْون‬ ِ ُ‫ِك ٰتبٌ ف‬
ْ َ‫صل‬

“kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa


arab, untuk kaum yang mengetahui”. (QS.Fushilat :3)

5. Al-Qur’an Adalah Berbahasa Arab


Al-qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt. Dengan
lafazh dan juga maknanya. Al-qur’an diturunkan dengan memakai bahasa
arab.
Imam Syafi’i dalam kitabnya risalat Al-Ushul menjelaskan, landasan
bahwa Al-Qur’an itu bahasa arab ada dua hal, yaitu :
a. Bagi seseorang yang tidak mengetahui uslub-uslub bahasa arab secara
mendalam, maka tidak diperbolehkan menjelaskan makna-makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
b. Bagi setiap orang islam wajib mengetahui bahasa arab, minimal
sekedar untuk dapat beragama dengan benar serta mampu membaca
dan memahami Al-Qur’an.

6. Penjelasan Al-Qur’an
Al-qur’an adalah syari’at islam yang bersifat menyeluruh dan merupakan
sumber rujukan yang pertama bagi syari’at, karena didalamnya terdapat
kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
Ibnu Hazm berkata :”setiap bab dalam fiqih pasti mempunyai landasan
yang di jelaskan oleh as-sunnah, sebagaimana firman allah yang berbunyi :

7
ٓ ٰ ‫وما ِم ْن َدآ بَّ ٍة فِى ْاْلَ ْرض و َْل‬
ْ ‫طئِ ٍر ي َِّطي ُْر بِ َجنَا َح ْي ِه ا َّ ِْۤل ا ُ َم ٌم ا َ ْمثَالُـ ُك ْم ۗ َما فَ َّر‬
ٍ‫ش ْيء‬ ِ ‫طنَا فِى ْالـ ِك ٰت‬
َ ‫ب ِم ْن‬ َ ِ َ َ
َ‫ث ُ َّم ا ِٰلى َربِ ِه ْم يُحْ ش َُر ْون‬
“tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam kitab,
kemudian kepada tuhan mereka dikumpulkan.” (QS.Al-an’am :38)

B. SUNNAH
Sunnah adalah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Sunnah berfungsi sebagai penopang dan penyempurna
Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum-hukum syara’. Sunnah dilihat dari
segi materi dan esensinya terbagi menjadi tiga macam :
1. Sunnah Qauliyah (ucapan)
Contoh sunnah qauliyah seperti sabda Nabi Muhammad SAW :

‫ص ْو ُم ْوا ِل ُرؤْ َيتِ ِه َو ْق ِط ُروا ِل ُرؤْ َيتِ ِه‬


ُ

“berpuasalah karena melihat tanggal (satu ramadhan) dan


berbukalah (lebaran) karena melihat tanggal (satu syawal).”

Dan sabda Nabi Muhammad SAW :


َ ‫ص ََل ِة اَ ْو نَ ِس َي َها فَ ْل ُي‬
‫ص ِل َها اِذَا ذَك ََرهَا‬ َ ‫َم ْن ن‬
َّ ‫َام َع ِن ال‬
“barangsiapa tidur sehingga meninggalkan sholat, ata lupa, maka
kerjakanlah sholat (yang ditinggalkan itu) ketika ingat.”

2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan)


Contoh sunnah fi’liyah seperti praktek sholat dan haji Nabi
Muhammad SAW . sabda Nabi Muhammad SAW:
َ ُ ‫صلُّ ْوا َك َما َرأَ ْيت ُ ُم ْونِى ا‬
‫ص ِل‬ َ
“lakukanlah sholat sebagaimana kalian melihatku mengerjakan
sholat.”

Dan sabda Nabi Muhammad SAW :


‫ُخذ ُ ْوا َعنِى َمنَا ِس َك ُك ْم‬

8
“belajarlah dariku, manasik haji kalian.”

Sunnah fi’liyah adalah tindakan-tindakan nadi di dalam peperangan.


Hal itu tergolong di syari’atkan lantaran dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW.
3. Sunnah Taqririyah (ketetapan)
Sunnah taqririyah adalah ketetapan Nabi Muhammad ketika
melihat suatu perbuatan atau mendengar suatu ucapan, lalu Nabi
Muhammad membenarkannya. Contohnya perbuatan yang dilakukan
para sahabat ketika bertayamum, karena tidak menemukan air untuk
mengerjakan sholat. Penetapan pengakuan nabi terhadap masalah-
masalah tersebut berarti menunjukkan atas keabsahannya.

Sunnah juga merupakan sumber pokok (asal) dalam istinbath hukum


yang berdiri sendiri. Ada beberapa asalan yang kuat yang mendukung
pemakaian sunnah sebagai hujjah, yang dapat diringkas sebagai
berikut :

a. Adanya nash-nash Al-Qur’an yang memerintahkan agar patuh


kepada nabi. Firman Allah Swt :
ۚ َ‫ّٰللا‬
‫ع ه‬ َ َ ‫س ْو َل فَقَ ْد ا‬
َ ‫طا‬ َّ ‫َم ْن يُّطِ ِع‬
ُ ‫الر‬
“barangsiapa yang mentaati rosul itu, sesungguhnya ia
telah mentaati allah.(QS. An-Nisa : 80)

b. Sunnah Nabi Muhammad SAW pada dasarnya adalah


penyampaian risalah tuhan. Dan Allah telah menugaskan kepada
Nabi agar menyampaikan risalah itu kepada umatnya. Allah Swt
Berfirman :

ۗ ٗ‫س ْو ُل بَل ِْغ َم ۤا ا ُ ْن ِز َل اِلَيْكَ مِ ْن َّربِكَ ۗ َوا ِْن لَّ ْم ت َ ْفعَ ْل فَ َما بَلَّ ْغتَ ِرسٰ لَـت َه‬ َّ ‫يٰۤ ـاَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬

9
“hai rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-
Nya. (QS.Al-Maidah :67)

c. Nash-nash Al-Qur’an yang ada menerangkan bahwa nabi


berbicara atas nama allah. Seperti Firman Allah Swt :

‫س ُه ْم َو َما يَض ُُّر ْونَكَ ِم ْن‬َ ُ‫ُضلُّ ْونَ ا َّ َِۤل ا َ ْنف‬


ِ ‫ُّضلُّ ْوكَ ۗ َو َما ي‬ ِ ‫طا ٓ ِئفَةٌ ِم ْن ُه ْم ا َ ْن ي‬
َّ ‫ت‬
ْ ‫ّٰللاِ َعلَيْكَ َو َرحْ َمتُهٗ لَ َه َّم‬
‫ض ُل ه‬ ْ َ‫َولَ ْو ََل ف‬
‫ّٰللاِ َعلَيْكَ َع ِظ ْي ًما‬‫ض ُل ه‬ ْ َ‫ب َوا ْل ِح ْك َمةَ َو َعلَّ َمكَ َما لَ ْم ت َ ُك ْن تَ ْعلَ ُم ۗ َو َكانَ ف‬ َ ‫ّٰللاُ َعلَيْكَ ْال ِك ٰت‬
‫ش ْيءٍ ۗ َوا َ ْنزَ َل ه‬ َ

“sekiranya bukan karena karunia allah dan rahmat-Nya


kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud
untuk menyesatkanmu melainkan dirinya sendiri, dan mereka
tidak memberi madlarat sedikitpun kepadamu. Dan juga karena
allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan
adalah karunia allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisa :113)

d. Ayat-ayat Al-Qur’an dengan jelas menerangkan kewajiban iman


kepada rasul. Dalam hal ini, allah merangkaikan iman kepada
rasul bersama dengan iman kepada-Nya. Firman allah swt. :

َ‫اّٰللِ َو َكلِمٰ ت ِٖه َواتَّبِعُ ْوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت َ ْهتَد ُْون‬ ِ ‫فَ ٰامِ نُ ْوا بِ ه‬
ْ ‫اّٰلل َو َرسُ ْو ِل ِه النَّبِي ِ ْاْلُ ِمي ِ الَّ ِذ‬
‫ي يُؤْ مِ نُ بِ ه‬
“maka berimanlah kamu kepada allah dan rasul-Nya, nabi
yang ummi yang beriman kepada allah dan kepada kalimat-
kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia, supaya kamu
mendapat petunjuk.”(QS. Al-A’raf :158)

Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa ke-hujjah-an sunnah


ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an. Ia berasal dari Al-Qur’an dan Nabi
hanyalah penyambug lidah dan penjelas hukum-hukum yang terkandung
didalamnya, serta pelengkap terhadap syari’at Allah.

C. Ijma’

10
Ijma’ adalah salah atu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadist).
Ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadist, yang
dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Ditinjau dari segi etimologi kata ijma’ merupakan kata benda


verbal yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Ia juga bisa
berarti kesepakatan bulat (konsensus).

1. Dasar kehujjahan ijma’ dan kedudukannya sebagai sumber hukum


Ijma' sebagai dasar hukum walaupun terjadi perbedaan, namun
mayoritas ulama' telah sepakat sebagai sumber hukum Islam yang ke
tiga setelah Al-Qur'an dan AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma'
maka hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh diingkari.
2. Macam dan Tingkatan Ijma’
a. Ijma' Sharih
(Sharih dari segi bahasa artinya jelas) yaitu Ijma' yang
memaparkan pendapat banyak Ulama' secara jelas dan terbuka,
baik dengan ucapan maupun perbuatan. Pada saat semua Ulama'
memaparkan pendapatnya, ternyata mereka menghasilkan
pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. ljma' jenis ini
kita akui sangat langka karena sangat sulit dicapai darim
sekian banyak Ulama' memberikan sebuah paparan yang
sama.
Oleh karena itu, sebagian Ulama' berpendapat bahwa
Ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat
ketika jumlah mujtahid masih sedikit dan tempat mereka
berdekatan. Ijma' Sharih ini menempati peringkat Ijma' tertinggi.
Hukum yang ditetapkannya bersifat qat'i, sehingga umat wajib
mengikutinya.
Maka seluruh Ulama' sepakat dan menerima untuk
menjadikan ijma Sharih ini sebagai dalil yang sah dan kuat
dalam penetapan hukum syari'at Islam.

11
b. Ijma' Sukuti
(Sukuti dari segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian
mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan
jelas mengenai suatu hukum suatu peristiwa melalui
perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak
memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak.
Ijma’ sukuti ini bersifat dzan dan tidak mengikat. Oleh seabab
itu, tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan
pendapat yang berbeda setelah Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam
Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa ijma' sukuti ini
tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambali berpendapat lain
yaitu menjadikannya sebagai dasar hukum. Mereka yang
menerima ijma' sukuti sebagai hujah sebab menurut kedua
Imam tersebut, diamnya mujtahid sebagai tanda setuju.

D. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukum.
1. Rukun Qiyas
Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nashnya karena ‘illat serupa’, maka rukun qiyas ada
empat macam, yaitu:
a. Al-Ashl (‫)اَلصل‬
Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan
tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum. Kedua
pengertian tersebut saling melengkapi.

12
b. Al-Far’ (‫)الفرع‬
Sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Atau peristiwa,
perbuatan, tindakan uang tidak ada hukumnya atau belum jelas
hukumnya baik di dalam a-qur’an maupun as-sunnah. Suatu
peristiwa dapat disebut far’ apabila adanya kemudian, ada
kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya.
c. Al-Hukm (‫)الحكم‬
Hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum
dari asal ke far’ (cabang).
d. Al-‘Illat (‫)االعلة‬
Alasan serupa antara asal dan far’ (cabang). Atau suatu sifat
yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini pula yang harus
ada pada far’. Contoh firman allah yaitu haramnya meminum
khamr adalah ahal karena ada nash yang menyatakan itu. Maka
jauhilah karena sifatnya yang memabukkan. Perasan anggur
adalah far’ yang tidak disebutkan hukumnya tetapi sifatnya saja
yaitu memabukkan. Karena sifatnya sma maka rasa anggur dan
semua makanan yang memabukkan hukumnya disamakan
dengan khamr yaitu haram.
2. Kehujjahan Qiyas

Sebagian Ulama' Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah


satu sumber hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas sebagai
sumber hukum atau disebut (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai
dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an
terdapat banyak ayat yang menyuruh manusia menggunakan akalnya
semaksimal mungkin. Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur'an yang
mendorong manusia menggunakan akalnya. Contoh Firman Allah Swt.
:

13
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al- Hasyr : 2)

3. Macam-Macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan
tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah
yang ada pada asal dan furu', adapun tingkatan tersebut pada
umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas Aula
yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum cabang memiliki nilai yang lebih utama dari pada hukum
yang ada pada al-ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua
dengan mengatakan "ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang
semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan
firman Allah :

“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya


perkataan “ah”.(QS. Al-isra’ : 23)

Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet" dan


sebagainya hukumnya Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah" saja
dilarang, apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan
dibanding berkata "ah".
b. Qiyas Musawi
yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada cabang
nilainya sama. Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim
berdasarkan firman Allah :

14
“sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secra zali,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan merka akan
masuk akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (QS. An-nisa’ :
10)

Dari ayat di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk


kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen
yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti
memakan harta anak yatim tersebut.

c. Qiyas Adna
yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum cabang nilainya lebih lemah dari pada hukum ashal.
Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal
riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-
menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam
kasus ini, `illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum
merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan ditukar. Namun ada
segi yang lain dari 'illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu
? apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, 'illah yang ada pada
apel lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada
gandum yang menjadi makanan pokok.

4. Sebab-Sebab Dilakukannya Qiyas

Diantara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah :

a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya,


sementara di dalam nash Al-Qur’an dan As-Hadits tidak ditemukan
hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits telah berakhir dan
tidak turun lagi
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya
dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

15
E. Istihsan
Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti menganggap baik.
Menurut imam asy-syarkhasy dalam kitabnya “al-mabsuth” istihsan adalah
menghindarkan kesulitan demi kemudahan. Sedang menurut imam abu
al-hasan al-karkhi istihsan adalah penetapan hukum dari sesorang
mujtahid terhadapan suatu masalah yang menyimpang dari ketapan
hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena
ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpangan itu. Imam hanafi membagi istihsan menjadi dua macam
yaitu :
1. Istihsan Qiyas
Adalah apabila di dalam suatu masalah terdapat dua sifat yang
menuntut diterapkan dua qiyas yang saling bertentangan / menghilangkan
kesulitan.
Contoh istihsan qiyas yaitu. Seluruh tubuh wanita adalah aurat, dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Akan tetapi kemudian diperbolehkan melihat
sebagian anggota badan tertentu karena ada hajat, seperti karena untuk
kepentingan pemeriksaan oleh seorang dokter kepada pasiennya.
2. Istihsan yang disebabkan oleh adanya kontadiksi antara qiyas dan dalil-
dalil syar’i yang lain
Dilihat dari segi mu’aridhnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan
ini terbagi menjadi tiga macam :
a. Istihsan Sunnah
Istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang
mengharuskan meninggalkan dalil qiyas pada kasus yang
bersangkutan.
b. Istihsan Ijma’
Istihsan yang menghilangkan kesulitan dalam konteks tradisi
c. Istihsan Dlarurat
Istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan darurat atau
terpaksa dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid
untuk meninggalkan dalil qiyas.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai mukjizat melalui perantara malaikat Jibril. Sedangkan
Sunnah adalah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Ijma’ merupakan dalil pertama setelah al-qur’an dan
hadist, yang dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Kemudian Istihsan adalah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.
Dengan adanya sumber-sumber ajaran islam tersebut maka munculah
pemikiran atau pendapat manusia dengan pahamnya sendiri-sendiri. Maka
timbulah beberapa golongan tetapi tetap menggunakan satu sumber.

17
DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu. 2017. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus
https://www.academia.edu/9397526/Studi_Hukum_Islam_Fiqih_Dan_Hukum_Islam
http://inspiring.id/sumber-ajaran-islam/

18

Anda mungkin juga menyukai