PENDAHULUAN
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat
dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara bertahan hidup
denganberkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir
lainnya yang baru dengan cara menyebar atau berpindah. Penyebaran mikroba
patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi
sehat,lebih-lebih bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Orang yang
sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedangsakit serta sedang dalam proses
asuhan keperawatan di rumah sakit akan memperoleh “tambahan beban penderita” dari
penyebaran mikroba patogen ini.
1.3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kelainan apa saja yang dapat ditimbulkan
akibat infeksi bakteri pada jaringan lunak di rongga mulut dan bagaimana gambaran
klinis serta diagnosisnya.
1.4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini :
a. Memberikan informasi mengenai kelainan yang dapat ditimbulkan akibat infeksi
bakteri terhadap jaringan lunak di rongga mulut
b. Memberikan informasi mengenai gambaran klinis dan diagnosisnya.
c. Makalah ini diharapkan juga dapat menjadi pedoman masyarakat khususnya
mahasiswa dalam mengenali kelainan pada rongga mulut khususnya jaringan lunak
akibat infeksi bakteri.
BAB II
PEMBAHASAN
Tonsilitis dan pharyngitis sangat umum dan dapat disebabkan oleh berbagai organisme
berbeda. Penyebab paling umum adalah grup A, Beta -hemolytic streptococci,
adenovirus, enterovirus, influenza, parainfluenza, dan virus Epstein-Barr. Varietas
streptococcus merupakan salah satu infeksi bakteri yang paling umum pada manusia dan
25% dari kasus pharingitis. Penyebarannya sering terjadi dari adanya kontak person-to-
person dengan individu yang memiliki infeksi nasal atau sekresi oral.
Tanda dan gejala tonsillitis dan pharyngitis bervariasi dari ringan sampai berat.
Temuan umum seperti sakit tenggorokan, disfagia, tonsil hiperplasia, kemerahan
pada oropharynx dan tonsil, palatal petechiae, limfadenopati serviks dan eksudat
kekuningan pada tonsil dapat berupa bercak ataupun memanjang. Gejala sistemik,
seperti sakit kepala, malaise, anorexia, nyeri perut. dan muntah biasanya terjadi
pada anak-anak. Rhinitis, laringitis, dan bronchitis biasanya berhubungan dengan
infeksi virus dan biasanya tidak terdapat pada streptococcal pharyngotonsilitis.
2.1.2 Diagnosis
Scarlet fever adalah infeksi sistemik yang diproduksi oleh grup A, Beta hemolitik
streptokokus. Penyakit ini dimulai dengan streptococcal tonsilitis dengan pharyngitis di
mana organisme menguraikan racun erythrogenic yang menyerang pembuluh darah dan
menghasilkan ruam kulit yang khas. Periode inkubasi berkisar dari 1 sampai 7 hari, dan
temuan klinis yang signifikan termasuk demam, enanthem, dan exanthema.
Scarlet fever paling umum terjadi pada anak-anak dari usia 3 hingga 12 tahun.
Enanthem dari mukosa mulut melibatkan tonsil, faring, palatum mole, dan lidah.
Tonsil, palatum mole, dan faring menjadi eritematosa dan edematosa dan tonsillar
crypts dapat diisi dengan eksudat kekuningan.
Selama 2 hari pertama, permukaan dorsal lidah menunjukkan lapisan putih dimana
hanya papilla fungiformis yang dapat terlihat; yang disebut white strawberry
tongue (Gambar 5-4). Pada kasus yang tidak diobati, demam muncul sekitar hari
kedua. Suhu pasien memuncak sekitar 1030 F dan kembali normal dalam 6 hari.
Ruam exanthema akan berkembang dalam 2 hari pertama dan menjadi luas dalam
24 jam. Ruam ini lebih intens di area lipatan kulit.
Gambar 5-4 Scarlet fever. Permukaan dorsal lidah menunjukkan lapisan putih yang bergabung
dengan banyak papilla fungiformis yang membesar dan eritematosa (white strawberry tongue).
Ruam biasanya hilang dalam seminggu, dan kemudian terjadi periode deskuamasi
kulit. Deskuamasi pada wajah menghasilkan serpihan kecil: kulit tubuh menjadi
lebih tebal. Periode dari deskuamasi ini dapat berlangsung dari 3 sampai 8 minggu.
2.2.2 Diagnosis
2.3 Tonsilolitiasis
Tonsillolith. Kumpuluan radiopak (panah) dalam bagian tengah dari ascending ramus
2.3.2 Diagnosis
Diagnosis dugaan yang kuat dapat dibuat melalui kombinasi gambaran klinis dan
radiografi. Diagnosis pasti dapat dikonfirmasikan dengan mendemonstrasikan dan
pengangkatan batu tonsil yang terkena.
2.4 Difteri
Difteri adalah infeksi yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Manusia adalah reservoir tunggal, infeksi didapat melalui kontak dengan orang
yang terinfeksi. Bakteri ini menghasilkan eksotoksin mematikan yang menyebabkan nekrosis
jaringan. Terdapat antitoxin dan imunisasi untuk difteri. Infeksi dapat terjadi pada orang yang
mengalami imunosupresi.
Tanda-tanda dan gejala difteri timbul 1 sampai 5 hari setelah terpapar organisme.
Gejala sistemik awal, yang meliputi demam ringan, sakit kepala, malaise, anoreksia,
sakit tenggorokan, dan muntah, timbul secara bertahap dan mungkin ringan. Infeksi ini
terutama mempengaruhi permukaan mukosa dan dapat menghasilkan eksudat dari
hidung, tonsil, faring, laringotrakeal, konjungtiva, atau daerah genital. Dapat
melibatkan seluruh langit-langit lunak, uvula, laring, atau trakea. Mengakibatkan stridor
dan kesulitan pernapasan. Perforasi palatal jarang dilaporkan.
Pasien dengan lesi yang terisolasi pada rongga mulut, area nekrosis tersebar pada
mukosa bukal, bibir atas dan bawah, langit-langit atau lidah yang keras dan lunak.
Lokalisasi ini jarang terjadi dan membuat diagnosis lebih sulit.
2.4.2 Diagnosis
Walaupun gambaran klinis terlihat sangat khas pada kasus yang parah, konfirmasi
laboratorium harus didapatkan dalam semua kasus. Spesimen untuk kultur harus
diperoleh dari bawah membran difteri, jika mungkin, atau dari permukaan membran.
Bahan kultur juga harus diperoleh dari mukosa hidung.
Pada pasien dengan sifilis, infeksi mengalami evolusi karakteristik yang secara klasik
berlangsung melalui tiga tahap. Seorang pasien sifilis sangat menular hanya selama dua tahap
pertama, tetapi wanita hamil juga dapat menularkan infeksi selama tahap laten. Penularan ibu
selama dua tahap pertama infeksi hampir selalu menghasilkan keguguran, lahir mati dan bayi
dengan cacat bawaan.
Semakin lama ibu mengalami infeksi, semakin sedikit kemungkinan infeksi janin, infeksi
pada janin dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, tetapi kecacatan tidak mulai
berkembang sampai setelah bulan keempat kehamilan. Perubahan klinis sekunder akibat
infeksi janin dikenal sebagai sifilis kongenital. Karena morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan infeksi ini, disarankan agar semua wanita hamil diskrining untuk sifilis di awal masa
kehamilan.
Lesi sifilis oral jarang terjadi tetapi dapat terjadi dalam tahap apa pun. Banyak perubahan
bersifat sekunder dari endarteritis obliteratif, yang terjadi pada area infeksi.
2.5.1 Gambaran Klinis
Sifilis primer. Sifilis primer ditandai oleh chancre (ulser yang tidak sakit) yang
berkembang di lokasi inokulasi, menjadi jelas secara klinis 3 hingga 90 hari setelah
awal paparan. Meskipun beberapa lesi dapat terlihat sesekali, mayoritas chancres
bersifat soliter atau tersendiri. Genitalia eksternal dan anus adalah lokasi yang paling
umum, dan daerah yang terkena dimulai dengan lesi papular, yang berkembang mejadi
central ulceration. Kurang dari 2% chancre terjadi di lokasi lain, tetapi rongga mulut
adalah lokasi ekstragenital yang paling umum. Lesi oral terlihat paling umum di bibir,
sedangkan lokasi lain meliputi lidah, palatum, gingiva, dan tonsil (Gambar 5-6).
Gambar 5-6. Chancre dari sfilis primer. Ulserasi pada permukaan dorsal lidah bagian kiri
Lesi oral lebih tidak sakit, clean-based ulceration atau jarang terlihat sebagai
proliferasi vaskular menyerupai granuloma piogenik. Regional lymphadenopathy,
yang mungkin bilateral terlihat pada sebagian besar pasien. Pada saat ini organisme
menyebar secara sistemik melalui saluran limfatik. Jika tidak diobati, lesi awal sembuh
dalam 3 sampai 8 minggu.
Sifilis sekunder. Tahap selanjutnya dikenal sebagai sifilis sekunder (menyebar) dan
ditemukan secara klinis 4 hingga berminggu-minggu setelah infeksi awal. Lesi sifilis
sekunder dapat timbul sebelum lesi primer sembuh sepenuhnya. Selama sifilis
sekunder, gejala sistemik sering muncul. Yang paling umum adalah limfadenopati
tanpa rasa sakit, sakit tenggorokan, malaise, sakit kepala, penurunan berat badan,
demam dan nyeri muskuloskeletal. Tanda yang konsisten berupa difus, tidak sakit,
ruam kulit makulopapular, yang tersebar luas dan bahkan dapat mempengaruhi palmar
dan plantar seperti (Gambar 5-7). Ruam juga dapat melibatkan rongga mulut dan
tampak berwarna merah, area makulopapular. Meskipun ruam kulit dapat
menyebabkan area bekas luka dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, namun dapat
sembuh tanpa jaringan parut pada sebagian besar pasien.
Gambar 5-7. Sfilis Sekunder. Bintik erythematous dari sfilis sekunder mempengaruhi
palmar tangan
Sekitar 30% pada pasien terdapat fokal area eksositosis dan spongiosis dari mukosa
mulut, yang mengarah ke zona mukosa keputihan sensitif yang dikenal sebagai patch
mukosa (Gambar 5-8). Selanjutnya, nekrosis epitel superfisial dapat terjadi, yang
mengarah ke peluruhan dan pemaparan jaringan ikat yang mendasarinya. Hal ini
mungkin muncul pada permukaan mukosa tetapi biasanya ditemukan pada lidah, bibir,
mukosa bukal, dan palatum mulut. Kadang-kadang, lesi papiler yang menyerupai
papilloma virus dapat timbul selama waktu ini dan dikenal sebagai condylomata lata.
Berbeda dengan chancre terisolasi yang ditemukan pada tahap primer, lesi multiple
merupakan hal yang khas pada sifilis sekunder. Resolusi spontan biasanya terjadi
dalam 3 hingga 2 minggu; namun, kekambuhan dapat terjadi selama tahun berikutnya.
Gambar 5-8. Patch mukosa dari sfilis sekunder. Zona keputihan dari exocytosis
intens epitel dan spongiosis dari mukosa labial bawah
Kadang-kadang, terutama dengan adanya sistem kekebalan tubuh yang lemah, sifilis
sekunder dapat menunjukkan bentuk yang eksplosif dan luas yang dikenal sebagai lues
maligna. Bentuk ini memiliki gejala prodromal seperti demam, sakit kepala, dan
myalgia, diikuti oleh pembentukan ulserasi nekrotik, yang umumnya melibatkan wajah
dan kulit kepala. Lesi oral muncul pada lebih dari 30% pasien yang terkena. Malaise,
nyeri, dan arthralgia dapat terlihat sesekali. Beberapa kasus lues maligna telah
dilaporkan pada pasien-pasien dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS),
dan kemungkinan ini harus selalu diingat setiap kali pasien yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) memiliki ulserasi khas kulit atau mukosa mulut.
Sifilis tersier. Setelah tahap kedua, pasien memasuki periode di mana mereka bebas
dari lesi dan gejala, yang dikenal sebagai sifilis laten. Periode latensi ini dapat
berlangsung dari 1 hingga 30 tahun; kemudian (pada sekitar 30% pasien) tahap ketiga,
yang dikenal sebagai sifilis tersier, berkembang. Tahap ketiga sifilis termasuk yang
paling serius dari semua komplikasi. Sistem vaskular dapat dipengaruhi secara
signifikan melalui efek arteritis sebelumnya. Aneurisma aorta asendens, hipertrofi
ventrikel kiri, dan gagal jantung kongestif dapat terjadi. Keterlibatan sistem saraf pusat
dapat menyebabkan tabes dorsalis, psikosis, demensia, paresis, dan kematian. Kurang
signifikan, tetapi lebih khas, tersebar fokus peradangan granulomatosa, yang dapat
mempengaruhi kulit, mukosa, jaringan lunak, tulang, dan organ internal. Tempat aktif
peradangan granulomatosa ini, yang dikenal sebagai guma, muncul sebagai lesi
indurated, nodular, atau ulserasi yang dapat menghasilkan kerusakan jaringan yang
luas. Lesi intraoral biasanya memengaruhi palatum, mulut atau lidah. Ketika palatum
mulut terlibat, ulserasi sering perforasi ke rongga hidung (Gambar 5-9).
Lidah mungkin tampak difus dengan adanya gummata dan tampak besar, berlobus,
dan berbentuk tidak teratur. Pola berlobulasi ini disebut interstitial glossitis dan
dianggap sebagai hasil kontraktur otot-otot lingual setelah penyembuhan gumma.
Atrofi difus dan hilangnya papila lidah dorsal menghasilkan kondisi yang disebut
luetic glossitis (Gambar 5-10). Dahulu, bentuk glositis atrofi ini dianggap sebagai hal
bersifat prekanker, tetapi beberapa publikasi terbaru membantah konsep ini.
Gambar 5-10. Atropik glossitis pada sfilis tersier. Permukaan dorsal lidah
menunjukkan kehilangan papila filiformis dan area atrofi epitel dan
hyperkeratosis
2.5.2 Diagnosis
Diagnosis sifilis paling baik ditegakkan dengan pemeriksaan dark-field smear dari
eksudat lesi aktif yang menunjukkan organisme berbentuk spiral. Hasil positif palsu
dimungkinkan terjadi dalam rongga mulut karena adanya organisme oral yang secara
morfologis serupa, seperti T. microdentium, T. macrodentium. dan T. mucosum.
Adanya organisme pada apusan atau bahan biopsi harus dikonfirmasikan melalui
penggunaan antibodi imunofluoresen spesifik atau tes serologis.
Terdapat beberapa tes skrining serologis nonspesifik dan tidak sangat sensitif untuk
sifilis. Ini termasuk The Venereal Disease Research Laboratory (VORL) dan Rapid
Plasma Reagin (RPR). Setelah 3 minggu pertama infeksi, tes skrining sangat positif
selama dua tahap pertama. Setelah perkembangan latensi, kepositifan umumnya
berkurang seiring waktu.
2.6 Gonorrhea
Gonorrhea adalah suatu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria
gonorthoeae, merupakan infeksi bakteri yang paling sering terjadi di Amerika Serikat.
Penyakit ini bersifat epidemik, terutama pada daerah perkotaan, dan sebanyak jutaan orang
terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa kelompok orang yang beresiko terinfeksi penyakit ini
diantaranya adalah populasi dengan tingkat sosial-ekonomik dan edukasi yang rendah,
pengguna obat suntikan,prostitusi, pria homoseksual, dan anggota militer.
2.6.1 Gambaran Klinis
Infeksi ini menyebar melalui kontak seksual, dan lesi sering terlihat pada area genital.
Infeksi indirect jarang terjadi karena organisme sensitif terhadap daerah kering dan
tidak dapat berpenetrasi ke lapisan epitel squamous yang utuh. Periode inkubasi
biasanya terjadi 2 sampai 5 hari. Daerah yang terinfeksi menunjukan adanya purulent
discharge, namun hampir 10% laki-laki dan diatas 50% wanita yang berkontak dengan
gonorrhea biasanya asimptomatik.
Lesi dermatologis berupa adanya papul dan pustule yang sering menggambarkan
adanya komponen hemoragik dan secara primer terdapat pada ekstremitas. Perubahan
yang kurang umum terjadi saat septicemia gonococcal sekunder diantaranya adalah
demam, endocarditis, pericarditis, meningitis, dan lesi mukosa oral pada daerah soft
palate dan oropharynx, yang mirip dengan ulserasi aphthous.
Daerah paling sering untuk keterlibatan oral adalah area pharyngeal sepanjang tonsil
dan uvula. Sakit tenggorokan ringan sampai sedang sering disertai oleh diffuse
oropharyngeal erythema. Keterlibatan tonsil secara khas menunjukkan edema dan
erythema, sering dengan punctate pustul kecil yang menyebar. Jarang terlihat lesi di
bagian anterior dari oral cavity dengan area dari infeksi menunjukkan erythematous,
pustular, erosif atau ulserasi. Limfadenopati submandibular atau servical mungkin saja
tampak.
2.6.2 Diagnosis
Untuk menkonfirmasi diagnosis, pewarnaan gram dari material purulent bisa digunakan
untuk menunjukan diplococcus gram negatif dalam neutrofil. Konfirmasi diagnosis
dibuat berdasarkan kultur dan test sugar fermentation atau dengan positif fluorescent
antibody test.
2.7 Tuberculosis
TBC adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Di
seluruh dunia, lebih dari 1 miliar orang terinfeksi, dengan 8 juta kasus baru dan 3 juta
kematian per tahun. Di Amerika Serikat, penyakit ini telah diturunkan sejak tahun 1800-an,
terutama sejak diperkenalkannya antimikroba yang efektif pada tahun 1940-an.
Manifestasi oral tuberculosis jarang ditemukan dan tampak sebagai lesi yang berspektrum
luas, biasanya bersifat sekunder terhadap infeksi paru. Lesi oral biasanya disertai oleh
limfadenopati regional.
2.7.1 Gambaran Klinis
Daerah ekstrapulmoner yang paling umum di kepala dan leher adalah kelenjar getah
bening serviks diikuti oleh laring dan telinga tengah. Bagian yang jarang terinfeksi
diantaranya rongga hidung, nasofaring, rongga mulut, kelenjar parotis, kerongkongan,
dan tulang belakang.
Lesi oral tuberkulosis jarang terjadi, dengan sebagian besar kasus muncul sebagai ulkus
kronis tanpa rasa sakit. Presentasi yang kurang sering termasuk daerah nodular,
granular, atau (jarang) di daerah leukoplakia yang tegas. Sebagian besar lesi merupakan
infeksi sekunder dari lesi paru awal. Tidak jelas apakah ini berkembang dari
penyebaran hematogen atau dari paparan dahak yang terinfeksi. Prevalensi lesi oral
yang terbukti secara klinis yang dilaporkan bervariasi dari 0,5% hingga 1,5%. Namun,
suatu studi otopsi mengungkapkan prevalensi hampir 20% ketika lidah orang-orang
yang terinfeksi diperiksa secara mikroskopis. Penemuan TB paru sebagai hasil dari
penyelidikan lesi oral memang terjadi, tetapi tidak biasa. TBC oral primer tanpa
melibatkan paru sangat jarang terjadi.
Saat ini, TBC oral primer biasanya melibatkan gingiva, lipatan mukosa, dan area
peradangan yang berdekatan dengan gigi atau di lokasi ekstraksi. Lesi oral sekunder
sebagian besar ada pada lidah, langit-langit, dan bibir (Gambar 5-15 dan 5-16). Lesi
oral primer biasanya dikaitkan dengan pembesaran regional kelenjar getah bening.
Osteomielitis Tuberkulosis sering ditemukan di rahang dan muncul sebagai area yang
tidak jelas atau radiolusen.
2.7.2 Diagnosis
Sekitar 2 hingga 4 minggu setelah paparan awal, reaksi hipersensitivitas yang dimediasi
sel untuk mengembangkan antigen tuberkular. Reaksi ini adalah dasar untuk tes kulit
tuberkulin (Manto ux atau PPD). Tes kulit tuberkulin positif menunjukkan paparan
pada organisme dan tidak membedakan infeksi dari penyakit aktif. Tes kulit TBC
negatif tidak mengesampingkan sepenuhnya kemungkinan TBC. Reaksi negatif palsu
telah didokumentasikan pada pasien yang lanjut usia dan pasien dengan sistem imun
lemah dan ketika antigen ditempatkan secara intradermal. Kesalahan angka negatif
mungkin setinggi 66% pada pasien dengan AIDS. Diagnosis penyakit aktif harus
dikonfirmasi oleh node mikobakteri khusus dan biakan yang terinfeksi pada dahak atau
jaringan. Bahkan jika terdeteksi dengan node khusus, identifikasi organisme melalui
kultur adalah yang tepat. Di masa depan, reaksi berantai polimerase (PCR) untuk
mengidentifikasi DNA M. tuberculosis dapat mempercepat diagnosis tanpa harus
menunggu hasil kultur.
2.8 Leprosy (Hansen’s Disease)
Kusta (Leprosy) adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Organisme ini memiliki tingkat patogen yang rendah dan paparannya jarang
menyebabkan penyakit klinis. Organisme ini memerlukan temperature tubuh yang dingin
untuk bertahan hidup. Meskipun penjalaran penyakit tidak diketahui, tingginya jumlah
organisme yang ada dalam sekresi hidung menunjukkan bahwa infeksi menjalar dari mukosa
hidung atau orofaring. Meskipun manusia dianggap sebagai inang utama, hewan lain seperti
monyet diperkirakan menjadi reservoir infeksi tambahan. Kusta tuberkuloid pertama kali
muncul pada pasien dengan reaksi kekebalan yang tinggi. Biasanya organisme tidak
ditemukan dalam biopsi kulit, dan penyakit ini biasanya terlokalisasi. Bentuk kedua adalah
kusta lepromatosa, terlihat pada pasien yang respon imunnya rendah.
2.8.1 Gambaran Klinis
Kusta multibasiler mengikuti pola kusta lepromatosa, mirip seperti bentuk makula atau
papula pada kulit (Gambar 5-22). Daerah wajah yang terkena sering disebut leonine
facies. Rambut, alis mata dan bulu mata menjadi rontok (Gambar 5-23). Keterlibatan
saraf menyebabkan berkurangnya keringat, penurunan sensasi, rasa sakit, dan suhu.
Penurunan sensorik ini dimulai pada ekstremitas dan menyebar ke bagian tubuh yang
lain. Pada area nasal terjadi mimisan sampe penurunan fungsi dari indra penciuman.
Gambar 5-22. Multibasiler (lepromatous) kusta. Sejumlah penebalan nodul
fasial.
Lesi oral sering terjadi pada kusta multibasiler dan laporan tentang prevalensi penyakit
bervariasi dari 19% hingga 60%. Lesi ini paling sering mengenai saluran nafas.
Lokasi penyebarannya adalah palatum durum, palatum mole, gingiva maksila dan
mandibula, lidah, bibir, dan mukosa bukal. Jaringan lunak yang terkena awalnya
tampak kekuningan menjadi merah, berbatas tegas, memperbesar seperti papula yang
berkembang menjadi ulserasi dan nekrosis, lalu terjadi penyembuhan dengan alamiah.
Infeksi berkelanjutan pada suatu daerah dapat menyebabkan jaringan parut dan
hilangnya jaringan yang signifikan.
2.8.2 Diagnosis
Diagnosis definitif didasarkan pada kondisi klinis dan hasil histopatologi berupa
apusan jaringan. Organisme tidak dapat diteliti dalam media buatan, tetapi M.feprae
dapat diidentifikasi dengan teknik biologis molekuler. Seseorang tidak bisa dikatakan
terkena bakteri M.leprae tanpa memeperhatikan kelainannya.
Penyebab yang paling penting dari mikroorganisme yang terlibat yaitu spesies Treponema,
Pravotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, Peptostreptococcus micros, Porphyromonas
Gingivalis, spesies Selenomonas dan Campylobacter. Pada pasien HIV, candida dan virus
herpes juga menjadi penyebab NUG.
2.9.1 Gambaran Klinis
Pasien NUG biasanya mengalami beberapa gejala, yaitu demam dan malaise, gingival
sangat sensitif terhadap makanan panas dan sulit mengunyah, halitosis, kehilangan
nafsu makan, saliva yang berlebihan, rasa nyeri (gejala ini selalu ada pada kasus akut
walaupun derajat nekrosisnya belum ekstensif), lymphadenopathy submandibular, dan
sakit tenggorokan
Manifestasi oral yang sering ditemukan pada kasus NUG antara lain, adanya ulcer,
gingivitis, dan adanya nekrosis jaringan yang umumnya terjadi pada papil.
2.9.2 Diagnosis
Diagnosis ditentukan secara klinis dengan melihat adanya lesi ulcerative pada
mukosa mulut. Pada pemeriksaan tonsil, nodus limpe sedikit membesar, biasanya
ditemukan limfadenopati yang mencolok pada anak-anak.
2.10 Noma ( Cancrum Oris; Gangrenous Stomatitis; Necrotizing Stomatitis)
Noma merupakan infeksi oportunistik yang disebabkan oleh komponen dari flora oral
normal yang menjadi patogen selama periode status kekebalan tubuh terganggu, dan
sifatnya adalah progresif cepat. Fusobacterium necrophorumor, F. nucleatum dan
Prevotella intermedia dianggap sebagai kunci dalam proses ini dimana bakteri tersebut
berinteraksi dengan satu atau lebih organisme bakteri lain, dimana yang paling umum
terlibat adalah Borrelia vincenttt, S. aureus, dan spesies Streptococcus nonhemolitik.
Faktor-faktor predisposisi meliputi :
• Kemiskinan
• Malnutrisi atau Dehidrasi
• Kebersihan mulut yang buruk
• Sanitasi yang buruk
• Penyakit
• Keganasan
• Gangguan imunodefisiensi, termasuk AIDS.
Penyakit yang paling sering mendahului perkembangan noma ialah campak, sedangkan
beberapa penyakit umum lain tetapi jarang terjadi meliputi herpes simplex, varicella,
demam scarlet, malaria, tuberkulosis, gastroenteritis, dan bronkopneumonia. Dalam banyak
kasus, infeksi dimulai dengan munculnya Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG), dan
beberapa peneliti percaya bahwa noma hanyalah perpanjangan dari proses yang sama.
Karena penyakit ini biasanya berkembang dengan baik pada saat presentasi awal. Di negara
maju, noma secara virtual menghilang kecuali untuk kasus yang kadang-kadang terkait
dengan kondisi tidak menentu seperti infeksi HIV, sindrom kombinasi imunodefisiensi
berat, atau terapi imunosupresif yang intens.
2.10.1 Gambaran Klinis
Noma biasanya muncul pada anak-anak berusia 1 sampai 10 tahun dan sering
dimulai pada gingiva sebagai NUG, yang dapat meluas baik secara fasia maupun
lingual melibatkan jaringan lunak yang berdekatan dan membentuk daerah yang
disebut Necrotizing Ulcerative Mucositis. Zona nekrosis juga bisa berkembang di
jarngan lunak non-continuous dengan gingiva, terutama pada area trauma (Gambar
5-27). Nekrosis dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam beberapa hari ke depan,
zona berwarna kebiru-biruan pada permukaan kulit di atasnya dapat berkembang
(Gambar 5-28). Zona yang berubah warna ini memecah menjadi area nekrosis
kekuningan yang juga sering menyebar ke tulang yang berdekatan, dengan area
osteomielitis yang luas yang mungkin terjadi. Nyeri yang signifikan, demam,
malaise, dan limfadenopati regional merupakan hal tipikal. Lesi tambahan juga dapat
terjadi di tempat yang jauh, seperti kulit kepala, leher, telinga, bahu, dada, perineum,
dan vulva.
Gambar 5-27. Necrotizing ulcerative mucosistis. A, Area luas dari nekrosis jaringan lunak
dari posterior palatum mole. B, Sisi penyembuhan dari necrotizing mucosistis 6 hari
setelah inisiasi dengan therapi tetracyclin.
Gambar 5-28. Noma. Necrosis orofacial kehitaman luas
pada pipi kanan pada pasien immunocompromised.
Gangguan terkait, noma neonatorum biasanya muncul pada bulan pertama bayi baru
lahir dengan berat badan yang rendah, dan juga kekurangan gizi. Pasien-pasien ini
hampir selalu memiliki infeksi Pseudomonas aeruginosa, sering dikombinasikan
dengan Escherichia coli, spesies Klebsiella, atau spesies Staphylococcus. Bayi yang
terkena sering memiliki lesi pada bibir, hidung, mulut, dan daerah anus dan lebih
jarang pada skrotum dan kelopak mata.
2.11. Actinomycosis
Meskipun istilah dari actinomycosis tampaknya menggambarkan infeksi dari jamur, namun
actinomycosis adalah infeksi dari bakteri anaerob gram positif. Actinomycosis merupakan
komponen saprofit dari flora normal rongga mulut. Area kolonisasi yang terdapat pada
pasien sehat termasuk area tonsillar crypts, plak rongga mulut, kalkulus, karies gigi, sulkus
gingiva dan poket periodontal. Koloni dalam tonsillar crypts mungkin dapat membentuk
konkresi dan menjadi cukup luas sampai pasien dapat merasakan rasa “keras” pada crypts.
Pada beberapa suvey yang mengdokumentasikan actinomyces, actinomyces israeli
merupakan organisme penyebab utama dan actinomyces viscosus berada pada urutan
kedua. Penyebab infeksi yang lebih jarang adalah A. Nesiundii, A. Odontolyticus, A. Meyert
dan A. Bovis bersama dengan arachnia propionica dan bifidobacterium dentium. Pada
kebanyakan kasus, organisme primer dikombinasikan secara sinergis dengan streptococci
dan staphylococci.
2.11.1 Gambaran Klinis
Actinomyces bisa berupa akut, dimana infeksi menyebar secara cepat atau dalam
bentuk kronis, dimana penyebaran lesi secara perlahan dan berhubungan dengan
fibrosis. Sekitar 55% dari kasus actinomyces didiagnosa pada regio cervicofacial
dengan 25% diantaranya terjadi pada regio abdonimal dan pelvic dan 15% nya
terjadi di sistem paru- paru. 5% menunjukkan berbagai macam pola seperti infeksi
kulit superfisial, atau pada regio genitourinary. Reaksi supuratif dari infeksi dapat
mengeluarkan flek yang luas dan berwarna kekuningan yang menggambarkan
koloni dari bakteri yang dinamakan sulfur granula. Meskipun merupakan bentuk
umum, namun sulfur granula tidaklah selalu ada. Infeksi lain yang dapat
memproduksi sulfur granula dan mirip dengan ciri – ciri dari actinomyces adalah
botryomycosis. Pada regio cervicofacial, organisme biasanya memasuki jaringan
melalui area trauma yang utama, seperti luka pada jaringan lunak, poket
periodontal, gigi non vital, ekstraksi soket atau tonsil yang terinfeksi. Infeksi tidak
menyebar disepanjang bidang facial dan biasanya tidak melibatkan aliran lymphatic
dan vaskular. Penyebaran secara langsung melalui jaringan lunak dapat terlihat dan
keterlibatan lymph nodes terjadi hanya jika adanya infeksi pada area tersebut.
Deskripsi klasik nya “wooden” indurated area dari fibrosis yang bisa membentuk
abses sentral dan lebih lembut. Infeksi mugnkin dapat berlanjut hingga ke
permukaan, membentuk sebuah jalur sinus ( Gambar 5-29).
Gambar 5-29. Actinomycosis.
GambDraining fistula pada
area submandibular kanan.
Nyeri biasanya terasa sedikit. Area yang paling sering terlibat antara lain jaringan
lunak pada submandibular, submental, dan pipi. Dan area yang berada di angle
mandibula paling sering terkena infeksi. Abses terlokalisasi tanpa adanya hubungan
dengan reaksi fibrasing kronik dilaporkan terjadi pada kasus di jaringan lunak yang
mengalami trauma minor. Area lidah paling sering terjadi infeksi, namun lokasi di
oral mucosal lainnya juga mungkin bisa terjadi infeksi. Keterlibatan dari tonsil
dapat menunjukan gejala infeksi; pada kebanyakan kasus, perubahan utama yang
signifikan adalah hyperplasia. Investigator menyarankan uji coba antibiotik secara
langsung untuk menangani pasien actinomicosis yang memiliki symptoms
obstruktif dan berhubungan dengan tonsillar hyperplasia. Keterlibatan dari kelenjar
ludah juga merupakan hal yang biasa terjadi. Kolonisasi dari organisasi mungkin
dapat mengarahkan ke infeksi baik pada kelenjar submandibular maupun parotis,
dan menghasilkan abses pada rongga submandibula dan masseter. Telah dilaporkan
adanya Actinomycotic osteomyelitis dari mandibula dan maksila. Adanya trauma,
infeksi periodontal dan gigi nonvital serta ekstraksi poket juga dapat mengakibatkan
hal tersebut. Area radiolusen yang berbatas radiopak mungkin dapat terlihat dengan
atau tanpa keterlibatan dari jaringan lunak diatasnya. Kolonisasi intrabony dari kista
dentigerous tanpa gejala klinis yang signifikan dan penyebaran dalam gambaran
radiografik telah dilaporkan. Lesi inflamasi periapikal yang diakibatkan oleh bakteri
dapat menghasilkan lesi yang susah untuk disembuhkan dengan perawatan
endodontik standar. Gigi maksila anterior diikuti dengan gigi molar 1 mandibula
merupakan area yang paling sering terlibat. Drainase sinus, nyeri dan
pembengkakan juga sering dilaporkan terjadi.
2.11.2 Diagnosis
Diagnosis dari actinomycosis dilakukan dengan melakukan kultur. Tetapi kurang
dari 50% kasus positif dikarenakan adanya pertumbuhan berlebih dari bakteri
terkait, terapi antibiotik sebelumnya, atau kondisi media anaerob yang tidak baik,
dan kurangnya hasil kultur yang positif menghasilkan diagnosis yang kuat dan
dapat diperoleh melalui demonstrasi dari koloni sejenis pada lesi hasil biopsi.
Material yang digunakan untuk kultur dan pemeriksaan histopatologi biasanya
diperoleh selama operasi dengan menggunakan teknik fine-needle aspiration. Sulfur
granula pada infeksi selain actinomycosis sangat langka, maka dari itu adanya
sulfur granula dapat membantu untuk mendiagnosis penyakit ini. Anti serum
fluorescein yang terkonjugasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara
spesifik spesies dari actinomyces.
DAFTAR PUSTAKA
Neville, Brad W dan Douglas D. Damm. Oral & Maxillofacial Pathology. 2002.
USA: Saunders Company.
http://eprints.undip.ac.id/44863/3/Prianka_Bayu_Putra_22010110130167_Bab2KTI
.pdf
http://eprints.ums.ac.id/24249/2/BAB_1.pdf