A. Pendahuluan
sebagai negara yang boleh disebut sebagai negara modern. Konstitusinya yang dikenal dengan
Piagam Madinah (Al-Shahifah Al-Madinah) dipandang oleh Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid)
mirip dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur suatu masyarakat majemuk.
Kemudian, tidak lebih dari 200 tahun bangsa Arab telah menjadi satu-satunya super power di
dunia saat itu, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Hingga abad 18, karya-karya kaum Muslim zaman Abbasiah dipelajari dan
dijadikan referensi di berbagai perguruan tinggi Eropa. Oleh karena itu, para sejarawan dan
ahli-ahli dalam berbagai disiplin ilmu, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari luar Islam,
terus-menerus mempelajari sejarah hidup Rasulullah saw. Mereka yakin, di dalam dakwah
Rasulullah saw., terdapat kunci-kunci sukses yang dapat diteladani dan direaktualisasikan di
zaman modern. Dengan semangat seperti itulah tulisan ini disajikan.
B. Perjuangan Rasulullah
Seperti diketahui, sejarah perjuangan Rasulullah saw., dibagi menjadi dua periode: Periode
Mekah dan Periode Madinah. Masing-masing periode memunyai karakteristiknya sendiri-
sendiri. Namun, kedua-duanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Periode Mekah diawali
dari diangkatnya Muhammad saw., sebagai Rasul dalam usia 40 tahun. Mekah adalah kota
yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (alaihimas salam) dengan mendirikan
sebuah bangunan sederhana yang kemudian dikenal dengan Baitullah (Kabah) yang menjadi
tempat beliau dan para pengikutnya menyembah Allah SWT. Sejak itu, dari waktu ke waktu
orang berdatangan ke Mekah dan sebagian menetap di situ sehingga Mekah menjadi sebuah
kota penting, baik sebagai pusat ziarah umat beragama maupun sebagai kota perdagangan
transit.
Akan tetapi, menjelang diutusnya Muhammad saw., Mekah justru telah berubah menjadi pusat
berbagai kerusakan. Agama Nabi Ibrahim yang menyembah Allah Yang Esa sudah lama
ditinggalkan dan diganti dengan agama yang menyembah berhala. Masyarakatnya menjadi
penjudi-penjudi dan pemabuk. Yang kuat menindas yang lemah dan kaum wanita dihinakan.
Kabilah-kabilahnya begitu mudah berperang satu sama lain hanya karena alasan yang sangat
remeh walaupun masih ada sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Akibatnya, Mekah menjadi
kota yang terpuruk dalam gelimang dekadensi dan Jazirah Arab sama sekali tidak menarik
Lalu, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw., sehingga hanya dalam waktu singkat dapat
mengubah masyarakat jahiliah yang dekaden itu menjadi masyarakat yang maju?
Ada tahap-tahap yang jelas yang dilakukan Rasulullah saw., dalam berdakwah dan merubah
masyarakatnya. Pertama-tama, beliau melakukan perombakan konsep-konsep dan keyakinan-
keyakinan yang dianut masyakat jahiliah dengan konsep-konsep yang diberikan oleh Al Quran.
Penyembahan berhala segera beliau ganti dengan penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa.
Kezaliman yang tidak mengenal tanggung jawab karena dilandasi oleh keyakinan akan
tiadanya kehidupan lain sesudah kematian, beliau ubah dengan keyakinan tentang hari akhirat,
hisab, surga, dan neraka. Menindas kaum miskin dan anak yatim beliau basmi dengan
kecintaan dan pembelaan terhadap kaum lemah. Beliau junjung tinggi martabat dan persamaan
manusia, sambil menyadarkan akan asal-usul mereka dari sesuatu yang hina. Oleh karena itu,
manusia tidak patut berlaku zalim kepada sesama dan bersikap sombong di hadapan Tuhan
Yang Mahakuasa. Singkat kata, beliau membasmi akar-akar kejahiliahan, lalu menggantinya
dengan akidah tauhid dan akhlak terpuji. Beliau cerabut kebobrokan yang bersumber pada
kezaliman, lalu beliau tanamkan keyakinan dan moral yang bersumberkan Al Quran. Oleh
karena itu, hampir seluruh ayat-ayat Al Quran yang diturunkan pada periode Mekah (sekira
80% dari keseluruhan ayat-ayat Al Quran) berisi akidah, akhlak (ajaran moral), dan nilai-nilai
kemanusiaan universal.
Mengikis keyakinan dan tradisi jahiliah yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat
Arab pra-Islam, bukanlah merupakan pekerjaan ringan dan tanpa risiko. Waktu 13 tahun yang
dilalui Rasulullah dalam periode Mekah, menunjukkan betapa sulitnya mengubah keyakinan
dan tradisi mereka dan tantangan yang beliau hadapi benar-benar luar biasa beratnya. Beliau
dicaci dan dihina, dituduh sebagai tukang sihir dan orang gila, dilempari batu dan kotoran
binatang, diboikot dan diancam bunuh. Namun, semuanya itu beliau hadapi dengan kesabaran
dan ketabahan yang luar biasa sebab menanamkan kebenaran memang tidak bisa dilakukan
dengan kekerasaan, tetapi harus dengan lemah-lembut dan santun.
Di antara prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan (ishlah) ialah
memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat;
atau memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah
apabila kita mempergunakan istilah yang dipakai oleh Al Qur'an yang berkaitan dengan
perbaikan diri ini; yaitu:
"...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keaduan yang ada pada diri mereka sendiri..."
Inilah sebenarnya yang menjadi dasar bagi setiap usaha perbaikan, perubahan, dan
pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari individu, yang menjadi fondasi bangunan
secara menyeluruh. Karena kita tidak bisa berharap untuk mendirikan sebuah bangunan
yang selamat dan kokoh kalau batu-batu fondasinya keropos dan rusak. Individu manusia
merupakan batu pertama dalam bangunan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang
diupayakan untuk membentuk manusia Muslim yang benar dan mendidiknya dengan
pendidikan Islam yang sempurna harus diberi prioritas atas usaha-usaha yang lain. Karena
sesungguhnya usaha pembentukan manusia Muslim yang sejati sangat diperlukan bagi segala
macam pembinaan dan perbaikan. Itulah pembinaan yang berkaitan dengan diri manusia.
Krisis multi dimensi tidak segera lepas seperti negara lain yang mengalami nasib sama, sebab
utamanya adalah karena mengingkari aspek spiritualitas dan religiusitas sebagai ciri dan
kekayaan bangsa kita yang konon pluralis dalam agama dan kepercayaan yang adalah sumber
dan asal-usul dari spiritualitas. Spritualitas dan religiusitas merupakan buah-buah atau rohnya
umat beriman, dan jika tidak demikian niscaya umat beragama akan kehilangan jati diri
keberimanannya, yang akhirnya akan jatuh pada aspek lahiriah yang berbaju formalitas,
hirarkis, ritualis dan apologetis. Semua ini tentu saja jauh dari apa yang disebut agama sebagai
pemberi inspirasi dan transubstansi yang kontekstual.
Lembaga pendidikan di segala tingkat sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas SDM yang
mengajarkan pendidikan keagamaan, selama ini belum mampu menjadi oase spritualitas
karena metode pendidikan keberagamaan disampaikan seperti bidang studi lain, yang
menekankan pengajaran dan transfer iptek dengan segala sistem dogmatika kurikulumnya.
Sehingga aspek spritualitas nyaris belum tersentuh. Akibatnya peserta didik kurang respek
terhadap hal-hal yang bernuansa keberagamaan, dan lambat-laun bangsa ini akan mengalami
fase pemiskinan pengalaman beragama dalam entitasnya dengan kebersamaan. Dan jika tidak
segera tersolusi, maka di kemudian hari akan keropos, serta eksesnya akan menjadi bangsa
dengan citra temperamental dan emosional. Dalam skala besar dapat menjadi ancaman bagi
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Namun jika tertangani sejak dini maka akan
dapat menjadi jaminan kokohnya keutuhan bersama sebagai anak bangsa. Semakin dini peserta
didik harus dicerahkan untuk melihat dan mengalami bahwa hidup bersama dibangun
berdasarkan pada kenyataan terutama dari aspek spritualitas. Berdasarkan itulah kebenaran,
kejujuran, dan kedamaian tumbuh dan berkembang subur.
Tokoh spritual biasanya justru lahir ketika zaman dalam kondisi chaos atau krisis seperti yang
kita alami. Kelahirannya lebih dapat membawa harapan solusi dari pada tokoh elit dan tokoh
birokratik. Paradigma tokoh spiritual ialah pribadi beriman yang konsekwen, sistematis
merefleksikan panggilan keimanan dimana doa, dan kedisiplinan menjadi nafas hidupnya.
Sehingga memurnikan motivasi paritipasinya bergulat dalam ziarah hidup bersama. Atau
dengan kata lain pribadi yang menjalankan prinsi-prinsip kenabian dalam situasi dan kondisi
kekinian, berani bersaksi dan bertindak atas nama kebenaran sekaligus menjadi mediator
vertikal dengan Sang Pencipta maupun horisontal dngan sesama.
Kemerdekaan menjadi kepribadiannya sekalipun tidak bisa tidak harus berdiri pada basis latar
belakang kontekstualnya. Ia hadir sebagai agen perubahan mental dan sosial untuk
memecahkan persoalan pada jamannya dan tidak pernah mengorbankan martabat manusia
apapun alasannya. Tetapi kita masih harus bersabar dalam doa, karena sekalipun kondisi krisis
sudah kronis belum ada tokoh spiritual yang terpanggil dan berani tampil dipentas publik.
Malahan yang hadir tokoh politik, birokrat, pengusaha dan tokoh LSM yang selalu ironis dan
tidak pernah bisa duduk bersama guna menyelesaikan masalah, tetapi malah saling
berlawanan dan tuding-tudingan mencari pembenaran masing-masing.
Realitas tersebut membenarkan asumsi bahwa religiusitas dan spiritualitas kita belum sampai
pada tahap internalisasi tetapi baru formalisasi. Indikasi langsung maupun tidak langsung
yang terjadi adalah prestasi kebangsaaan kita terus berada pada titik nadir. Kecuali itu
paradigma hidup berbangsa menjadi bias karena tidak mempunyai model spiritualitas yang
legitim bagi semua anak bangsa. Sebaliknya budaya KKN tumbuh subur, pelayanan dari
negara tidak berjalan sebagaimana seharusnya, hati nurani tumpul nyaris tidak ada lagi
semangat pengorbanan. Lalu narkoba, maksiat, judi, kriminalitas takhayul dan gejala destruktif
lainnya dengan modus-operandi macam sindikat menjadi pemandangan sehari-hari. Sedang
gejala krisis spiritualitas intern dalam keberagamaan di era globalisasi sekarang ini ialah umat
beragama enggan, tabu dan tidak lagi mempercayai “mukjizat” sebagai kekayaan iman, tetapi
malah vulgar meyakini hal-hal yang akrobatik dan spektakuler yang mudarat.
Sebagai orang beriman dan berdasarkan situasi kronis yang kita alami sebagai bangsa, nihil
dapat mengentas persoalan, apalagi hanya mengandalkan rasio dan akal budi kecuali terjadi
“mukjizat”. Oleh karena itu perlu adanya pemandangan baru tentang mukjizat dari para
beriman secara wajar dan proporsional tidak ditabukan tetapi diberdayakan, bukan bagian
sejarah masa lalu tetapi untuk sepanjang masa. Sejarah Nabi memang sudah ditutup atau
Setiap agama dan kepercayaan sesuai dengan visi dan misinya mempunyai latarbelakang
pengalaman akan Sang Pencipta yang empunya mukjizat tinggi bagaimana para beriman
memberdayakannya. Pertobatan dapat menjadi awal terjadinya mukjizat didukung sikap dan
perilaku tidak dikotomis, artinya orang harus taat pada kebenaran dan menolak tegas segala
bentuk kejahatan bukan dengan perkataan tetapi dengan konsekuensi. Apabila perilaku seperti
itu yang terjadi terutama bagi para elit berarti “mukjizat” mulai terjadi. Kontribusi
keberagamaan terealisir, spiritualitas meresapi selurruh pribadi, religiusitas tumbuh subur
Indonesia baru yang dicita-citakan niscaya menjadi kenyataan
Kita masih berada pada posisi sulit dihadapkan dengan aneka masalah kebangsaan.
Menginventarisasi masalah tentu mudah, namun meracik formula solusi yang tepat, apalagi
mengimplementasikannya tidaklah gampang karena ruwetnya persoalan serba dimensi itu.
Namun, tidak berarti bangsa ini pasrah saja karena selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah
dengan kata kunci serius, kerja keras, padu, mendahulukan kepentingan bangsa, dan rela
berkorban. Karenanya, perlu upaya menembus kebuntuan masalah, baik dengan terobosan
jangka pendek maupun langkah strategis jangka panjang. Dalam beberapa segi pemerintah
telah melakukan hal itu, namun masalah utama yang tampak benderang adalah masih jauhnya
bangsa ini dari kata kunci di atas.
Tatanan sosial masyarakat di atas setidaknya dapat kita terjemahkan sebagai masyarakat
madani. Sebuah tata masyarakat yang diyakini sebagai "anak kandung" dari peradaban Islam.
Mengingat, karakteristik akhlak dan budi pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan ajaran
agama terlihat begitu kentara di dalamnya. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep
yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa
hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan
motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Al Quran.
Meski Al Quran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang
terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat
yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
D. Potret historis
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta
para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah
refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-
cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Melalui Piagam Madinah tersebut, tampak Rasulullah hendak menegakkan sebuah konstitusi
yang mampu dijadikan pijakan dasar bersama dalam konteks hidup bermasyarakat. Titik balik
peradaban yang dilakukan Nabi Muhammad Saw pada gilirannya mengantarkan masyarakat
Yatsrib menjadi masyarakat yang madaniyyah. Sebuah masyarakat yang erat kaitannya dengan
nilai-nilai atau karakter yang adil, egaliter, partisipatif, humanis, toleran, dan demokratis.
Masyarakat tersebut juga patuh dan tunduk kepada kepatuhan (din) dan dinyatakan dalam
supremasi hukum dan peraturan. Atau dalam pandangan senada, Robert N. Bellah
berpendapat bahwa masyarakat Madinah saat itu sarat dengan nilai, moral, maju, beradab, dan
sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani.
Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan
yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah
yang abadi dalam pandangan Al Quran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan
Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam
ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui
perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator
terwujudnya kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak
terdapat.
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit
akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan
(ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati
atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai
sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal
itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata
mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi
agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati
satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan
musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja,
tidak lebih. Mengingat di dalam Al Quran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-
Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya
sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut
menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.