Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah di Indonesia

Agama merupakan suatu visi tentang sesuatu yang ada di atas, di balik, dan di dalam hal-
hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara; sesuatu yang nyata, tetapi tetap
menunggu untuk dinyatakan; sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi
sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini; … sesuatu yang
merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang
mengatasi segala dambaan…
Suatu agama merupakan agama yang kuat bila dalam ritual dan cara berpikirnya memberikan
suatu visi yang menggerakkan hati… Kematian suatu agama datang bersamaan dengan
terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan…” - Alfred North
Whitehead, 1967

Pendahuluan

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut
entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free
Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan
dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan
istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”.

Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang


Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya
untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan
usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan
dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai
lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam
bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil
bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan
keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil
(loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga
(interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional
adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-
finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah
yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang
dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah
(sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.

Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan
Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis,
kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam
bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa
pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam
secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.

Perkembangan Perbankan Islam

Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank
Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan
bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga
timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai
operasinya.

Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan
mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan
pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan
Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai
perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta
Muhammad Hamidullah (1944-1962) .

Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di
Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan
binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil
memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan
menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang
sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada
tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil
didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat
sosial daripada komersil.

Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975
oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank
Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula
pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada
Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi
Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank
Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade
and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) .
Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan
bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan
maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional
dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan
khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and
Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus
yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif
masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan
sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang
mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan
pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan
OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank
(IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .

Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan,
negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar
lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua
jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic
Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for
Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and
Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti
Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment
Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank
(Manama) dan Islamic Investment House (Amman).

Perbankan Islam di Indonesia

Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat
dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A
Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba,
gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung
(Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M
Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam
sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab
tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat.
Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga
modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990.
Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan
lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut
kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25
Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas
untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1
Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai
bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.

Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain
sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili
Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan
realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri,
yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan
pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.

Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum
yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri
beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999,
Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan
Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang
sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank
Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.

Hukum Perbankan Islam

Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an
dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya
baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian.
Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya
tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana
dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan:

“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan
frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut
“Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992
tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut
“Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.

Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam
atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa
yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam
melakukan kegiatan usaha bank.

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,


keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-
luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya
diberikan dalam hal :

1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip
bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan
atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan
prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil
konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi
peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum
mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat
dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan
dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana
berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat
terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang
diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank.
Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat
ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”,
yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan
pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat
dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di
Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang
perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak
untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan
transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui
Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember
2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan
Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan
syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus
Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam
kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam
makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau
mengatakan sebagai berikut :

“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah
perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem
bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun
1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-
usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum
keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi
(bisnis).”

Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-
undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13
Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara
tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada
tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai
pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang
No. 10 Tahun 1998, yakni :

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum,
khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang
Syariah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank
Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga
Peraturan Bank Indonesia, yakni :
1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah
Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum
bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana
atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan
pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek
perbankan konvensional.

Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal
ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan
pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada
Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan
memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-
undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat
bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan
kewenangannya.

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa
keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-
jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud
oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan
sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan
non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad
lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:

No. NOMOR FATWA TENTANG


1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro
2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan
3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito
4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah
5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam
6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna
7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah
9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah
10 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah
11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah
12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah
13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah
14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah
17 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
18 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
19 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh
20 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
22 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Paralel
23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
24 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box
25 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn
26 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas
27 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik
28 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
29 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
30 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah
31 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Utang
32 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah
33 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah Mudharabah
34 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syari’ah
35 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syari’ah
36 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
37 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
38 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
39 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di
40 40/DSN-MUI/X/2003
bidang Pasar Modal
41 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah
42 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card
43/DSN-
43 Ganti Rugi (Ta’widh)
MUI/VIII/2004

Penutup

Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank
Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan
transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank
Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

End Note

*) Peri Umar Farouk, sedang menyelesaikan S2 Magister Hukum di Fak. Hukum UGM. Bekerja
sebagai konsultan acess to justice di sebuah lembaga internasional. Pernah bekerja sebagai
internal corporate lawyer di WIKA & BNI (ahli hukum di tim pembentukan cabang-cabang
syariah pertama dan trainer bidang hukum ekonomi bisnis). Dosen Hukum Perbankan Syariah &
Takaful di UMY. Sedang mengembangkan inlawnesia.net -perhimpunan pembelajar hukum
Indonesia, bergerak di bidang riset, training, organizing & publishing.
Contact: www.inlawnesia.net | email: puf@inlawnesia.net

1. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4.
2. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel
dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126.
3. Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997, hal. 196.
4. Ibid., hal. 5.
5. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan,
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58.
6. Ibid., hal. 58 – 59.
7. Ibid., hal. 59.
8. Ibid., hal. 64 – 65.
9. M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 614.
10. Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI,
Jakarta, 1995, hal. 60.
11. Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan
Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI,
Jakarta, 1994, hal. 68 – 69.
12. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
13. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
14. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum
Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
15. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai