Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) masih merupakan masalah kardiovaskular yang utama di
negara industri dan negara berkembang karena menyebabkan angka perawatan dan kematian
yang tinggi. Oleh karena itu, SKA perlu mendapat perhatian dan tindakan segera dan tepat.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, SKA dibagi menjadi: infark miokard dengan elevasi segmen ST
(IMA-EST), infark miokard dengan non elevasi segmen ST (IMA-NEST), dan angina pektoris
tidak stabil (APTS)1.2.3
SKA sering terjadi pada pasien di atas usia 45 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada
pria atau wanita yang usianya lebih muda . Sebagian besar penelitian telah menggunakan batas
4.5.6
usia 40 hingga 45 tahun untuk mendefinisikan pasien "muda" dengan SKA. Berbagai
penelitian pada SKA usia muda biasanya memiliki faktor risiko penyakit jantung koroner
seperti , laki2, merokok dan riwayat keluarga dengan penyakit arteri koroner. 6.7.8
Terapi reperfusi segera pada SKA-IMA-EST, baik dengan Intervensi Koroner Perkutan
(IKP) atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam
12 jam disertai dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block
(LBBB) yang terduga baru. Terapi reperfusi, sebisa mungkin berupa IKP primer diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung. 2.3
Pada laporan kasus kali ini akan disampaikan seorang penderita laki-laki, usia muda,
35 tahun yang mengalami SKA IMA-EST.

LAPORAN KASUS
Seorang pasien Laki-laki berinisial M.H, berusia 35 tahun, datang ke instalasi rawat
darurat dengan keluhan nyeri dada kiri. Nyeri dada dirasakan seperti tertusuk-tusuk di dada kiri
yang pertama kali dirasakan sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit, Durasi nyeri dada
berlangsung lebih dari 20 menit. Nyeri dirasakan saat pasien sedang istirahat di rumah, disertai
dengan keringat dingin, dan menjalar ke rahang bawah dan pundak kiri. Pasien tidak merasakan
sesak nafas dan dapat tidur dengan satu bantal. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi,
kencing manis, riwayat kolestrol di sangkal pasien, ayah pasien terkena serangan jantung dan
meninggal pada usia 45 tahun. Pasien juga perokok berat, 1 hari menghabiskan 2 bungkus
rokok. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis. Tinggi badan 160 cm, berat badan 55 kilogram, dengan indeks
massa tubuh 24,4 kg/m2. Tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi 55 kali per menit,
pernafasan 20 kali per menit, suhu badan 36,2 derajat celcius, dengan saturasi oksigen 99%.
Pada pemeriksaan kepala dan leher, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tinggi
tekanan vena jugular 5+1 cmH20. Pada pemeriksaan thoraks tampak simetris, pergerakan
dinding dada kiri sama dengan kanan. Pada pemeriksaan fisik paru, fremitus kiri sama dengan
kanan, perkusi paru sonor kiri sama dengan kanan. Auskultasi suara pernapasan vesikuler kiri
sama dengan kanan, ronkhi tidak ada, dan wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan fisik jantung,
inspeksi iktus kordis tidak terlihat, pada palpasi iktus kordis teraba di celah interskosta V linea
midklavikularis sinistra, pada perkusi di dapatkan batas jantung kanan linea parasternalis
dekstra interkosta IV dan batas jantung kiri di linea mid klavikularis sinistra interkosta V. Pada
auskultasi didapatkan bunyi jantung pertama dan kedua normal, dengan frekuensi 55 kali per
menit reguler. Tidak ditemukan adanya bunyi jantung tambahan. Pada pemeriksaan abdomen,
inspeksi tampak datar, auskultasi didapatkan bising usus 8 kali per menit, palpasi perabaan
supel dan tidak didapatkan pembesaran hepar maupun lien, perkusi timpani di seluruh
abdomen.
Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan akral hangat, waktu pengisian kapiler kurang
dari 2 detik, serta tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan EKG
didapatkan irama sinus bradikardi, laju detak jantung 52 kali per menit, axis normal,
gelombang P normal, lebar gelombang QRS 0,08 detik dengan progresi gelombang R yang
normal, tidak tampak gelombang Q di sadapan perkordial, segmen ST elevasi pada lead II, III,
aVF dan reciprokal gelombang T inversi dalam di sadapan I sampai AVL, interval QT
terkoreksi 0,426 detik Bazett. Kesimpulan intepretasi ekg : irama sinus Bradikardi 52 x/m
dengan ST Elevasi Inferior.
Pada pemeriksaan roentgen thorax postero-anterior didapatkan jaringan lunak thorax
normal, tulang-tulang intak, sinus costophrenicus bilateral tajam, diafragma normal, posisi
trakea di tengah, corakan lapangan paru normal, aorta tampak normal, besar jantung dengan
rasio kardiothoraks 49%, dengan kesimpulan kesan dalam batas normal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 15.5 g/dL, leukosit 10.300/µL, trombosit
210.000/µL, hematokrit 48.8 %, SGOT 100 U/L, SGPT 16 U/L, ureum 24 mg/dL, kreatinin
1,0 mg/dL, gula darah puasa 97 mg/dL, natrium 140 mEq/L, kalium 4.28 mEq/L, klorida 107.7
mEq/L, CK Total 725 U/L, CKMB 44 U/L, anti HCV kuantitatif non reaktif, HbsAg kuantitatif
non reaktif, dan anti HIV non reaktif, troponin T tidak dapat di periksa karena reagen habis.

2
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, EKG, dan pemeriksaan laboratorium, maka
pasien diberikan diagnosa kerja: SKA-IMA-EST inferior timi 3/14, killip I, onset 7 jam, dd
Prinzmetal Angina. Penanganan awal di instalasi rawat darurat medik, pasien di pasang akses
vena (iv line) dengan cairan NaCl 0.9% 7 tetes per menit, asam asetil salisilat dosis loading
320 mg, clopidogrel dosis loading 600 mg, atorvastatin 40 mg per 24 jam, gliseril trinitrat 2,5
mg per 12 jam. Pasien direncanakan untuk intervensi koroner perkutan primer dan perawatan
lanjut di ruang perawatan intensive cardiovascular care unit (ICCU).
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan angiografi koroner melalui arteri radialis
kanan dengan hasil, arteri cabang utama left main (LM) normal, arteri left anterior descending
(LAD) ditemukan stenosis difuse 40- 50% di segmen proximal hingga ke mid LAD, arteri left
circumflex (LCx) ditemukan stenosis discrete 30-40% di osteal, dan pada arteri koroner kanan
(RCA) ditemukan oklusi total di proksimal segmen dan tidak di dapatkan trombus, dari hasil
angiografi tersebut diputuskan untuk melanjutkan dengan tindakan intervensi koroner
perkutan primer /IKPP di segmen proksimal RCA. Kawat penuntun Rinato® di masukkan ke
RCA dan berhasil menembus oklusi total di proksimal RCA dan selanjutnya ditempatkan di
distal RCA, sebagai persiapan pemasangan stent dilakukan predilatasi lesi menggunakan balon
Ikazuchi 1.20x6 mm di mid RCA, dikembangkan hingga 10 atm kemudian di lakukan
pemasangan stent DES 3.50 x 29 mm. Hasil angiografi RCA paska pemasangan stent
didapatkan aliran TIMI 3, residual stenosis 0 % dan tidak didapatkan diseksi. Setelah selesai
tindakan pasien direncanakan untuk hidrasi pasca tindakan, pemberian terapi tambahan asam
asetil salilisat 80 mg per 24 jam, dan clopidogrel 75 mg per 24 jam.
Pada perawatan pasca intervensi koroner perkutan, pasien dirawat di ICCU selama 24
jam. Selama perawatan di ICCU keadaan pasien stabil, tidak ada keluhan nyeri dada.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap 12 jam paska tindakan, dengan hasil
sebagai berikut: gula darah puasa 97 mg/dL, asam urat 7,0 mg/dL, kolesterol total 207 mg/dL,
HDL 37 mg/dL, LDL 148 mg/dL, trigliserida 110 mg/dL, ureum 24 mg/dL, kreatinin 1.0
mg/dL, natrium 140 mEq/L, kalium 4.28 mEq/L, klorida 107mEq/L.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Hasil ekokardiografi pada
pasien ini adalah dimensi ruang-ruang jantung normal, tidak didapatkan hipertrofi ventrikel
kiri, fungsi sistolik ventrikel kiri global cukup dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 63 % dihitung
secara Biplane menurut Simpson, pada evaluasi segmental terdapat hipokinetik di segmen
basal sampai mid inferior, basal sampai mid Inferoseptal, apikoinferior. Fungsi diastolik
normal, dan katup-katup dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya hipertensi pulmonal.

3
Kontraktilitas ventrikel kanan normal. Lebar diameter vena cava inferior 1,8 cm, dengan
kolapsibilitas > 50% dengan estimasi tekanan atrium kanan 5-10mmHg.
Pada perawatan hari ke-2 pasien dirawat di ruang intermediate, dengan keadaan pasien
stabil. Pada perawatan hari ke-3 pasien ditransfer ke ruang perawatan biasa. Selama perawatan
di ruangan, pasien tidak ada keluhan nyeri dada. Keadaan umum tanda-tanda vital pada saat
hari perawatan terakhir, tekanan darah 110/70 mmHg, laju nadi 62 kali per menit, laju napas
20 kali per menit. Pasien kemudian dipulangkan dan dapat kontrol di poliklinik jantung dewasa
pada keesokan harinya. Pasien diedukasi untuk minum obat teratur, kontrol teratur ke poli
jantung dan berhenti merokok.

DISKUSI
SKA sering terjadi pada pasien di atas usia 45 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada
pria atau wanita yang usianya lebih muda. Sebagian besar penelitian telah menggunakan batas
usia 40 hingga 45 tahun untuk mendefinisikan pasien "muda" dengan SKA. Dari berbagai
penelitian didapatkan bahwa faktor risiko penyakit jantung koroner seperti laki-laki, riwayat
keluarga dengan penyakit arteri koroner prematur dan merokok lebih sering didapatkan pada
pasien muda yang mengalami SKA IMA EST. 6.7.8
Data dari penelitian angiografi yang dilakukan di Pakistan melaporkan tentang
morfologi dan distribusi lesi koroner pada orang muda asia yang mengalami sindrom koroner
akut (SKA), terbanyak didapatkan lesi tunggal di pembuluh koroner, LAD, diikuti RCA, LCX
dan Left main. Letak lesi yang paling sering di mid segmen pada LAD dan LCX dan lesi
tersering proksimal segmen pada RCA, dengan karakteristik stenosis yang berat.9
Pada pasien ini didapatkan faktor resiko berupa perokok berat dan riwayat ayah
meninggal pada usia 45 tahun akibat serangan jantung dan evaluasi angiografi koroner
didapatkan lesi tunggal di proksimal RCA dengan karateristik lesi oklusi total.
Sebagian besar IMA-EST adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuklah trombus. Trombus ini
akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, secara total atau parsial, sehingga akan
tampak perubahan gambaran segmen ST pada gambar EKG.2
SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST (IMA-EST), atau infark miokard akut non-elevasi segmen ST (IMA-

4
NEST). Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
didaerah retrosternal dan menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area inter-skapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara
lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak
napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. 10.11.12
Menurut lokasi anatomis infark miokard, temuan abnormalitas EKG adalah sebagai
berikut. 2.13.14.15
Letak infark / iskemik Kelainan tampak di
Anterior luas I, AVL, V1-V6
Anteroseptal V1-V4
Lateral I, AVL, V5-V6
Inferior II, III, AVF
Lateral atas I, AVL
Posterior V7-V9
Kanan V3R-V6R
Tabel 1 : Lokasi anatomis infark miokard
Sumber Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4 ed. Juzar D, editor. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2018

Kelainan yang dapat tampak pada EKG meliputi elevasi segmen ST dan depresi ST
atau inversi gelombang T, pada sadapan dengan arah berlawanan dari daerah lesi yang disebut
perubahan resiprokal. Perubahan EKG pada dinding jantung berlawanan dengan lokasi infark
75% dijumpai pada infark inferior dan 30% pada infark anterior. Perubahan ini terjadi hanya
sebentar di awal infark dan jika ditemukan merupakan suatu infark akut. Perubahan resiprokal
pada infark inferior paling sering terjadi pada lead I, aVL,V1, V2, V3.14.15
Oklusi bagian proksimal RCA menyebabkan infark miokard inferior, tetapi dapat juga
melibatkan dinding posterior, ventrikel kanan, dan gangguan pada sistem konduksi jantung.
Sehingga sering menimbulkan manifestasi klinis sinus bradikardi. Sinus bradikardi dapat juga
terjadi akibat respons vasovagal terhadap nyeri dada yang berat atau akibat refleks iskemi dari
arteri sinoatrial yang 60% vaskularisasinya dari RCA. Penyebab lain bradikardi pada pasien
SKA disebabkan oleh AV blok karena stimulasi vagal atau iskemi nodus AV. Sinus bradikardi

5
sering tidak perlu pengobatan. Apabila disertai hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi
dengan atropin sulfat.2.12
Pada pasien ini didapatkan keluhan angina pektoris tipikal berupa rasa tertekan atau
berat di daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, disertai keluhan penyerta seperti keringat
dingin, dan pada pemeriksaan EKG pasien ini didapatkan irama sinus bradikardi, 52 kali per
menit, axis normal , gelombang P normal, lebar gelombang QRS 0,08 detik dengan progresi
gelombang R yang normal, tidak tampak gelombang Q, tampak elevasi segmen ST pada Lead
II, III, aVF dan reciprokal gelombang T inversi dalam di sadapan I,aVL, interval QT terkoreksi
0,426. Kesimpulan EKG pasien ini irama sinus bradikardi 52 x/m, dengan ST Elevasi Inferior.
Creatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner /nonkoroner). Troponin I/T
juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak
yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.2 Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T untuk mendiagnosis infark miokard.16.17
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T dapat
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya
diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas,
maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Apabila
pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai
2 hari. 2
Pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien yang kami laporkan, didapatkan CK Total
725 U/L, CKMB 44 U/L, troponin T - ng/L tidak diperiksa karena reagen habis. CKMB pada
pasien belum menunjukan hasil signifikan, hendaknya diulang 6-12 jam kemudian.
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan
indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk
memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari: 2.18

6
Tabel 2 : KILLIP score
Sumber Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4 ed. Juzar D, editor. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2018

Angka rata-rata kematian, IMA ataupun pasien dengan revaskularisasi segera secara
signifikan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah skor risiko TIMI, peningkatan tersebut
mulai dari > 5% pada pasien dengan skor risiko 0-1 sampai dengan > 40% pada skor risiko 6
atau 7. 19.20

Faktor Risiko Klinis Poin


Usia
 75 tahun 3
65 – 74 tahun 2
Riwayat Diabetes, hipertensi, nyeri 1
dada
Pemeriksaan
Tekanan darah sistolik <100mmHg 3
Denyut Nadi >100x per menit 2
Killip kelas II-IV 2
Berat <67 kg 1
Anterior ST elevasi atau gambaran Left 1
bundle branch block
Waktu untuk reperfusi terapi > 4 jam 1
Total poin 14
Tabel 3 : TIMI Skor

7
Sumber Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4 ed. Juzar D, editor. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2018.

Pada pasien yang kami ini didapatkan SKA-IMA-EST Inferior, KILLIP skor I dan
TIMI skor 3/14. Killip skor I karena pasien tidak ada bendungan paru, dan skor TIMI 3
didapatkan 1 poin dari nyeri dada, 1 poin karena berat pasien 55 kg, dan 1 poin karena waktu
reperfusi lebih dari 4 jam. Dalam hal ini TIMI skor menunjukan resiko kematian pasien dengan
persentase 4.4 % dalam waktu 30 hari.
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, terapi awal
yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan, pemeriksaan EKG harus dilakukan dalam waktu kurang dari
10 menit.2
Pasien harus dalam keadaan Tirah baring (Kelas I-C). Pada semua pasien IMA-EST
direkomendasikan untuk mengukur saturasi oksigen perifer. (Kelas I-C), pemberian oksigen
di indikasikan pada pasien dengan hipoksemia (Sa02 < 90 %), oksigen rutin tidak
direkomendasikan pada pasien dengan Sa02 ≥ 90 % (kelas III). Pemberian aspirin 160-320
mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin
(Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (dibawah
lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C). Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate). Dosis
awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90
mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B) atau dosis awal clopidogrel adalah 300 mg / 600 mg bila akan dilakukan
IKPP, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari, pada pasien yang di-rencanakan
untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel (Kelas I-C).
Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang dengan
satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-C).

8
Selama perawatan di instalasi rawat darurat medik, pasien yang kami laporkan
mendapatkan terapi awal meliputi : cairan NaCl 0.9% 7 tetes per menit, asam asetil salisilat
dosis loading 320 mg, clopidogrel dosis loading 600 mg, atorvastatin 40 mg per 24 jam, gliseril
trinitrat 2,5 mg per 12 jam dan pasien direncanakan untuk tindakan intervensi koroner perkutan
primer (IKPP) dan perawatan selanjutnya di ruang perawatan intensif jantung (ICCU).
Pada SKA-IMA-EST Inferior merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh
darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi segera untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, dengan tindakan intervensi koroner
perkutan primer (IKPP).
Terapi reperfusi segera akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien IMA-EST
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Tindakan IKPP
akan efektif pada SKA IMA-EST jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. Tindakan
IKPP lebih efektif bila dibandingkan trombolitik dalam membuka arteri koroner yang teroklusi
dan dikaitkan dengan hasil klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik.20.21.22

RINGKASAN
Telah di laporkan kasus sindrom koroner dengan elevasi segmen ST (SKA IMA-EST)
pada usia muda merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang berpotensi fatal. Diagnosis
harus ditegakkan secara cepat dan tepat untuk mencegah mortalitas dan morbiditas, meliputi
anamnesis nyeri dada tipikal, pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan penanda jantung.
Terapi awal SKA meliputi: suplementasi O2 , aspirin, klopidogrel, nitrat, dan morfin
untuk mengurangi nyeri (jika tidak ada kontraindikasi), dan terapi reperfusi definitif, dengan
tindakan invasif segera berupa intervensi koroner perkutan primer harus segera dilakukan .

V. CONCLUSION
Has been reported acute coronary syndrome (ACS) with ST elevation in young age is
a cardiovascular emergency that is considered fatal. Diagnosis must be established quickly and
precisely to prevent mortality and morbidity, including history of typical chest pain, EKG
examination, and examination of heart markers.
Initial treatment of SKA: O2, aspirin, clopidogrel, nitrate, and morphine supplementation to
reduce pain (if there are no contraindications). Definitive reperfusion therapy, with immediate

9
invasive action in the form of primary percutaneous coronary intervention must be done
immediately.

Daftar Pustaka

1. Gaziano TA. Reducing the growing burden of cardiovascular disease in the developing
world. Health Aff (Millwood) 2007;26:13-24.
2. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4 ed. Juzar D, editor. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2018.

3. 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation of the
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2018 Jan 7;39(2):119-177

4. Junhua Ge, Jian Li, Haichu Yu, Bo Hou Hypertension Is an Independent Predictor of
Multivessel Coronary Artery Disease in Young Adults with Acute Coronary Syndrome.
Int J Hypertens. 2018; 2018: 7623639.
5. Amitesh Aggarwal, Saurabh Srivastava, M Velmurugan. Newer perspectives of
coronary artery disease in young. World J Cardiol 2016 December 26; 8(12): 728-734.
6. Roxanne Pelletier PhD, Karin H. Humphries DSc, Avi Shimony MD, Simon L. Bacon
PhD, Kim L. Lavoie PhD, Doreen Rabi MD MS, Igor Karp MD PhD, Meytal Avgil
Tsadok PhD, Louise Pilote MD PhD; for the GENESISPRAXY Investigators*. Sex-
related differences in access to care among patients with premature acute coronary
syndrome. CMAJ. 2014 Apr 15;186(7): 497–504.
7. Teixeira M, Sá I, Mendes JS, Martins L. Acute coronary syndrome in young adults.
Rev Port Cardiol. 2010 Jun;29(6):947-55.
8. Shukla AN, Jayaram AA, Doshi D, Patel P, Shah K, Shinde A, Ghoniya H, Natarajan
K, Bansal T. The Young Myocardial Infarction Study of
the Western Indians: YOUTH Registry. Glob Heart. 2019 Mar;14(1):27-33
9. Anjum M, Zaman M, Ullah F. AreTheir Young Coronaries Old Enough ? Angio-
graphic Findings In Young Patients With AcuteMyocardial Infarction. J Ayub Med
Coll Abbottabad. 2019 Apr-Jun;31(2):151-155.

10
10. Goldberger AL. Myocardial Ischemia and Infarction, Section II. In: Goldberger AL,
editor. Clinical Echocardiography: a Simplified Approach. 7 ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier;2006.
11. Ramrakha P, Hill J. Oxford handbook of cardiology: coronary artery disease. 1sted.
Oxford: Oxford University Press; 2006.
12. Braunwalds E, Lilly LS. Heart disease-review and assessment. 10th ed. Elsevier: 2016
.p. 1:49
13. Surawicz B, Knilans T. Chou’s Electrocardiography in Clinical Practice. 6 ed. Surawicz
B, Knilans T, editors. Philadelphia: Saunders Elsevier;2008.
14. Dharma, S., Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta : EGC. 2010;19
15. Wagner GS, Macfarlane P, Wellens H, Josephson M, Gorgels A, Mirvis DM, et al.
AHA/ACCF/HRS recommendations for the standardization and interpretation of the
electrocardiogram: part VI: acute ischemia/infarction: a scientific statement from the
American Heart Association Electrocardiography and Arrhythmias Committee,
Council on Clinical Cardiology; the American College of Cardiology Foundation; and
the Heart Rhythm Society. Endorsed by the International Society for Computerized
Electrocardiology. J Am Coll Cardiol.2009;53(11):1003-11.
16. Prasetyo, R., Gambaran Kadar Troponin T dan Creatinin Kinase Myocardial Band pada
Infark Miokard Akut .Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)
17. ESC Guideline for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Europe Heart Journal 2012;33:2569-619.
18. El-Menyar A, Zubaid M, AlMahmeed W, Sulaiman K, Al Suwaidi J.Killip
classification I patients with acute coronary syndrome: insight from a multicenter
registry.Am J Emerg med 2012 Jan;30(1):97-103
19. Soiza RL, Leslie SJ, Williamson P, Wai S, Harrild K, Peden NR, Hargreaves AD. Risk
stratification in acute coronary syndromes--does the TIMI risk score work in unselected
cases? QJM. 2006 Feb;99(2):81-7.
20. Ugalde H, Yubini MC, Rozas S, Sanhueza MI, Jara H. Prediction of hospital mortality
of ST elevation myocardial infarction using TIMI score. Rev Med Chil. 2017
May;145(5):572-578.
21. Petr Widimsky. Primary angioplasty vs. thrombolysis: the end of the controversy?.
European Heart Journal (2010) 31, 634–636
22. Levine et al. 2015 ACC/AHA/SCAI Focused Update on Primary PCI. JACC VOL. 67,
NO. 10, 2016

11
LAMPIRAN

Gambar 2: Gambaran EKG Pasien

Gambar 3: Gambaran Roentgen Thorax

Gambar 4: Hasil angiografi koroner. (atas sebelum pemasangan stent, bawah post stent)

12
Gambar 5: Pohon arterial koroner intervensi koroner perkutan

Gambar 6: Hasil Echocardiography

Gambar 7 : Hasil Lab

13
Gambar8 : EKG post pemasangan stent

14

Anda mungkin juga menyukai