Anda di halaman 1dari 11

Manajemen Kesehatan Ternak

Penyakit merupakan salah satu penghambat pertambahan populasi


pada suatu peternakan, terutama penyakit yang sering menyerang pada
sapi perah yang berdampak pada berkurangnya produksi susu. Manajemen
pemberian pakan dan sanitasi yang baik perlu dilakukan agar ternak tidak
terserang penyakit. Manajemen kesehatan yang baik membuat ternak
sehat.
Penyakit pada Ternak Perah
Penyakit bacterial dan viral. Penyakit bacterial disebabkan oleh
bakteri yang menginfeksi ternak. Penyakit viral disebabkan oleh infeksi
virus. Berdasarkan diskusi dengan pegawai BBPTU-HPT Baturraden saat
praktikum penyakit bacterial dan virus antaralain mastitis, brucellosis, diare,
dan foot rot.

 Mastitis. Berdasarkan diskusi penyakit mastitis yang


menyerang ternak di BBPTU-HPT Baturraden disebabkan
oleh infeksi bakteri. Martindah et al. (2009) menyatakan
bahwa mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang
apabila dibiarkan dapat berkembang sehingga ambing
menjadi kecil, kering, dan tidak produktif. Seekor sapi laktasi
yang menderita mastitis di BBPTU-HPT tetap diperah namun
susu yang dihasilkan tidak dikonsumsi. Wulandari (2014),
mengungkapkan bahwa sapi yang telah disuntik antibiotik
diperah terakhir dan susu yang dihasilkan tidak dikonsumsi
selama 7 hari. Pengobatan yang dapat dilakukan dengan
pemberian suntik antibiotik dan penyakit ini dapat dicegah
dengan menjaga sanitasi ternak terutama setelah diperah.
Wulandari (2014), mengungkapkan bahwa pengobatan pada
sapi perah yang menderita mastitis diberi suntik antibiotik
dengan nama obat Kanapen-P. Faktor yang menyebabkan
mastitis adalah kebersihan kandang, kebersihan saat
pemerahan, kebersihan lantai, umur, dan sumber air (Sutarti,
2003). Berdasarkan perbandingan literature penanganan
penyakit mastitis di BBPTU-HPT Baturraden telah sesuai.
 Diare. Berdasarkan hasil diskusi diare adalah penyakit infeksi
saluran pencernaan. Diare merupakan penyakit infeksi
saluran pencernaan yang disebabkan oleh protozoa, virus,
bakteri, jamur, atau pakan (Fikar et al., 2013). Diare sering
menyerang pedet yang berada di BBPTU-HPT Baturraden.
Pencegahan yang dilakukan di BBPTU-HPT Baturraden
adalah sanitasi kandang. Fikar et al., (2013), mengungkapkan
bahwa pencegahan penyakit mastitis dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan kandang, memberikan vitamin A dan D,
serta mengisolasi ternak yang terserang diare. Berdasarkan
perbandingan literature penanganan penyakit diare di
BBPTU-HPT Baturraden telah sesuai.
 Foot rot. Berdasarkan praktikum foot rot merupakan penyakit
radang kuku atau kuku busuk. Penyebab penyakit foot rot
disebabkan oleh mikrobia Fusiformis necrophorus (Astuti,
2009). Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam
kandang yang basah dan kotor. Pencegahan dan
pengobatannya yaitu dengan memotong kuku dan merendam
bagian yang sakit dalam larutan refanol selama 30 menit yang
diulangi seminggu sekali serta menempatkan sapi dalam
kandang yang bersih dan kering. Astuti (2009) menyatakan
bahwa, pencegahan foot rot adalah menjaga kebersihan
kandang, membuang benda-benda yang menimbulkan luka,
dan tidak membiarkan genangan air di kandang serta
memotong kuku. Berdasarkan perbandingan literature
penanganan penyakit foot rot di BBPTU-HPT Baturraden
telah sesuai.
Penyakit Metabolik. Perubahan fisiologi dari bunting, beranak,
laktasi merupakan hal yang sangat berat bagi sapi perah. Banyak
perubahan hormonal yang terjadi berkaitan dengan proses tersebut.
Perubahan tersebut tentu akan mempunyai dampak yang sangat signifikan
manakala kebutuhan metabolismenya tidak tercukupi dengan baik, selain
dampak yang perlu diwaspadai meski secara fisiologi normal. Sebagian
besar kejadian penyakit metabolik ataupun penyakit peripartus lain pada
sapi perah seperti milk fever, ketosis dan retensi plasenta. Berdasarkan
diskusi pada saat praktikum penyakit metabolic yang sering yaitu milk fever.
 Milk fever. Berdasarkan diskusi saaat praktikum milk fever
merupakan penyakit metabolisme yang paling banyak
ditemukan pada sapi setelah melahirkan dan terutama
terdapat pada sapi yang berproduksi tinggi. Martindah et al.,
(2009) menyatakan bahwa milk fever secara teknis disebut
sebagai parturienthypocalcemia atau parturientparesis yang
berarti penurunan kadar kalsium darah pada saat melahirkan.
Pengobatan di BBPTU-HPT Baturraden yaitu dengan di beri
kalsium boroglukonat. Santosa et al., (2009) menyatakan
bahwa, kalsium boroglukonat adalah obat standar untuk milk
fever yang diberikan melalui injeksi secara intravenos
sebanyak 25% larutan. Pengobatan milk fever diarahkan
untuk mengembalikan kadar Ca darah pada kondisi normal
tanpa penundaan serta mencegah terjadinya kerusakan otot
dan syaraf akibat hewan berbaring terlalu lama. Pencegahan
penyakit milk fever dilakukan dengan menghindari pemberian
rumput basah selama musim hujan tiga minggu masa
kebuntingan terakhir, memberikan asupan kalsium rendah
selama periode kering kandang, memberikan diet magnesium
dan fosfor yang cukup, memberikan suplemen dengan hay,
straw, atau silase, memberikan derivat vitamin D3 melalui
injeksi, dan menghindari pemberian pakan yang berlebihan
sebelum melahirkan (Santosa et al., 2009). Berdasarkan
perbandingan literature penanganan penyakit milk fever di
BBPTU-HPT Baturraden telah sesuai.
Penyakit reproduksi. Penyakit reproduksi disebabkan oleh infeksi
bakteri dan virus. Penyakit reproduksi antara lain, brucellosis, vibriosis,
abortus, dan leptospirosis. Berdasarkan hasil diskusi saat praktikum
penyakit reproduksi yang sring terjadi di BBPTU-HPT Baturraden yaitu
brucellosis.
 Brucellosis. Berdasarkan hasil diskusi brucellosis adalah
penyakit yang dapat menyebabkan abortus atau keguguran.
Subronto (2003) menyatakan bahwa, brucellosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang
termasuk dalam genus Brucella yaitu Brucellaabortus,
dengan infeksi yang bersifat pada hewan maupun mamalia.
Penularan penyakit ini terjadi melalui lendir pada vulva, urin
sapi, feses, dan air susu (Fikar et al., 2013).
 Upaya menekan jumlah penyebaran penyakit dan patogen,
langkah yang diharapkan agar sesuai dengan praktek
pertanian yang baik (GAP) dengan melakukan pencatatan
terhadap sperma yang diterima sebagai pemastian bahwa
semen tidak terkontaminasi patogen, ternak yang keluar,
kehilangan dan pembuangan. Langkah yang diharapkan agar
tercapainya GAP antara lain mencatat asal usul bibit yang ada
baik lahir maupun dari pembelian, dan mampu melacak asal
usul ternak yang ada. Tindakan pengawasan yang dilakukan
dengan sosialisasi ternak tidak membawa penyakit. Dari
pengamatan yang dilakukan maka disimpulkan bahwa
kegiatan yang dilakukan di BBPTU HPT Baturaden telah baik
dan sesuai praktek GAP.
 Upaya mengontrol pemasukan pathogen dari luar dan
kontaminasi maka praktek GAP yang harus dilakukan adalah
ternak yang berasal dari luar tidak boleh mencemari
lingkungan sekitar. Langkah yang diharapkan antara lain
dengan menyertakan aturan penghilanagn cacing, vaksinasi
ternak,dan karantina ternak disertakan dalam buletin
pemasukan ternak, serta melokalisir kontrol terhadap
penyakit. Sehingga dari langkah yang dilakukan diharapkan
ternak sehat dan produktif. Hasil pengamatan yang dilakukan
maka disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan di BBPTU
HPT Baturaden telah baik dan sesuai praktek GAP.
 Cara mengurangi tingkat stress, penyakit, serta penurunan
kekebalan, maka praktek GAP yang harus dilakukan adalah
dengan meminimalisir luka dan stess saat pengangkutan.
Langkah yang diharapkan agar tercapainya dengan
pemakaian sistem transportasi ternak yang baik. Sehingga
dari langkah yang dilakukan diharapkan ternak sehat dan
produktif. Dari pengamatan yang dilakukan maka disimpulkan
bahwa kegiatan yang dilakukan di BBPTU HPT Baturaden
telah baik dan sesuai praktek GAP.
Menajemen Ternak Sakit
Berdasarkan hasil diskusi saat praktikum, jika terdapat ternak sakit
hal pertama yang dilakukan adalah ternak diisolasi atau dikarantina, agar
tidak terjadi penularan terhadap ternak lain. Ternak yang telah dikarantina
di perbaiki pakannya dan diobati. Jika ternak tidak sembuh, ternak di culling.
Santosa et al., (2009) menyatakan bahwa, jika disuatu peternakan terdapat
ternak sakit, ternak tersebut harus dikarantina terlebih dahulu dan kemudian
di obati. Berdasarkan perbandingan dengan literature manajemen ternak
sakit di BBPTU HPT Baturaden telah sesuai dengan literature.
Kinerja Produksi Ternak
Kinerja produksi ternak merupakan hasil yang di dapat dari ternak
yang dapat dimanfaatkan. Produksi ternak perah antaralain, susu sebagai
produk utama, bibit ternak dan daging. Berdasarkan diskusi saat praktikum,
BBPTU HPT Baturaden produk utama yaitu bibit ternak perah.
Pemerahan. Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, diperoleh
data bahwa sistem pemerahan yang dilakukan di BBPTU-HPT Baturraden
menggunakan sistem pemerahan mesin, portable mechine dan milking
parlour. Sistem pemerahan yang menggunakan mesin ditujukan pada sapi
kandang tambat, sedangkan pada milking parlour ini ditujukan pada sapi
yang bunting. Hal ini dikarenakan agar sapi yang bunting tidak
mengeluarkan energi yang lebih sehingga dimaksimalkan untuk produksi
susu. Sebelum dilakukan pemerahan, ternak sapi harus dibersihkan dahulu
putingnya dan disiram dengan air.Setelah itu dikeringkan dengan tisu
kemudian puting diberi vaselin dan dipijat-pijat agar merangsang hormon
oksitosin untuk memproduksi susu dan mesin pemerahan dipasang pada
setiap puting.
Menurut Budi (2006) menyatakan bahwa sistem pemerahan ada 2
macam yaitu machine milking yang dibagi menjadi 3 yaitu Sistem Bucket,
Sistem pipa, Sistem Milking parlour Pemerahan berlangsung di ruang
khusus yang disiapkan untuk pemerahan. Susu hasil pemerahan langsung
ditampung ditangki pendingin (cooling unit) sesudah melalui tabung
pengukur produksi yang terdapat pada setiap mesin. Sistem ember (Bucket
system) salah satu pernerahan memakai mesin sebagai pengganti tangan
yang dapat dipindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain mesin. Setelah
susu hasil perahan setiap ekor sapi ditakar terlebih dahulu kemudian
dituang di tangki pendingin. Pemerahan menggunakan tangan dilakukan
secara cepat. Berdasarkan hasil praktikum maka menunjukkan sistem
pemerahan di BBPTU-HPT Baturraden sudah sesuai dengan litaratur. Hal
ini ditunjukkan dengan menggunaan sistem pemerahan mesin agar lebih
efisien produksi susunya.
Produksi susu. Berdasarkan hasil praktikum maka produksi susu
yang dihasil pada pagi hari 7 liter dan sore hari 5 liter dengan rata-rata
produksi susu perhari 17 liter, produksi susu perhari ini tergolong tinggi
untuk sapi FH didaerah tropis. Produksi susu selama 1 masa laktasi
mencapai 5185 liter. Sapi FH mempunyai masa laktasi panjang dan
produksi susu yang tinggi dengan puncak produksi susu dan persistensi
produksi susu yang baik. Sapi dengan persistensi laktasi yang tinggi akan
lebih panjang masa produksinya. Atabany et al., (2011) menyatakan bahwa,
rataan masa laktasi sapi perah di BBPTU adalah 315 ± 61 hari, rataan
produksi susu SD 305 hari tertinggi terjadi pada sapi laktasi ke 2,
sedangkan produksi susu SD 305 hari terendah terjadi pada sapi laktasi ke
3. Hal ini karena pada laktasi kedua merupakan kondisi tubuh terbaik,
sedangkan sapi pada laktasi ketiga kondisi tubuhnya sudah menurun,
akibat pertumbuhan yang tidak baik pada masa sebelum laktasi. Faktor
yang mempengaruhi produksi susu pada masa laktasi diantaranya faktor
genetik yang menentukan jumlah produksi serta komposisi susu setiap
masa laktasi. Makanan, ternak yang diberi pakan yang tidak mencukupi
akan membatasi sekresi air susu, hal ini dikarenakan kebutuhan untuk
pokok hidup akan dicukupi dengan mengorbankan zat makanan yang
diperlukan dalam laktasa. Terakhir manajemen yang meliputi rangsangan
pemerahan, lama kering kandang, pencegahan terhadap penyakit,
frekuensi pemerahan.
Kualitas susu. Berdasarkan hasil praktikum uji kualitas susu yang
dilakukan diBaturaden ada 3 macam pengujian diantarannya uji resazurin,
uji alkohol dan uji kandungan komposisi susu yang terdiri dari kadar lemak
protein dan bahan kering tanpa lemak.
Uji Resazurin. Berdasarkan hasil praktikum uji kualitas susu dengan
resazurin dilakukan hanya 1 minggu sekali, ini hanya digunakan untuk
mengetahui adanya bakteri pada susu. .Prinsip kerja dari uji ini adalah
adanya warna kebiruan (angka kuman tinggi dan dengan menggunakan
warna pink). Hasil dari uji rezazurin tampak adanya warna biru pada susu
yang menunjukkan angka kuman yang sedikit pada susu sedangkan pada
sampel susu yang berwarna merah jambu mengindikasikan angka kuman
yang tinggi.
Uji alkohol. Berdasarkan hasi praktikum maka uji kualitas susu pada
praktikum BBPTU Sapi Perah Baturraden dilakukan pada susu yang telah
disimpan selama 7 hari dan susu dengan penyimpanan pada cooling unit
yang baik. Hasil yang didapat yaitu susu yang yang di simpan dalam cooling
unit yang baik tidak menggumpal saat diuji alkohol, namun pada susu yang
telah disimpan selama 7 hari pada susu tersebut terdapat gumpalan akibat
rusaknya ikatan peptide pada protein yang berarti susu tersebut telah
mengalami kerusakan dan tidak layak untuk dikonsumsi kembali.Prinsip
dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu
tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir
protein terutama kasein kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol
yang memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi Bila terjadi
butir-butir pada air susu maka dinyatakan positif. Air susu yang positif
disebabkan karena Air susu pH nya mulai asam atau telah asam tandanya
ternak terjangkit penyakit mastitis. widodo (2003), menyatakan bahwa, susu
yang masih segar jika diuji alkohol akan menunjukkan negatif, susu yang
mengalami penggumpalan berarti susu tersebut kandungan kolostrumnya
sudah rusak dan susu yang berasal dari ambing yang abnormal sperti
terkena mastitis akan menunjukkan hasil yang positif jika di ujia alkohol.
Uji kandungan komposisi Berdasarkan hasil praktikum uji kualitas
susu di BBPTU-HTP komponen yang di uji didalam susu diantaranya
laktosa, lemak serta bahan kering tanpa lemak. Kadar lemak minimum
3,0%, kadar bahan kering tanpa lemak minimum 9,38%, kadar protein
minimum 9,47%, uji alkohol 70%. Menurut Willyan (2013), Pada uji laktosa
yang derajat asamnya tidak melebihi maupun dibawah standar (4,5sampai
7,0°SH) menunjukkan kualitas susu baik. Hasil ini menunjukkan bahwa
susu sapi kemasan yang disimpan tanpa menggunakan lemari pendingin
memenuhi persyaratan. Hal yang menyebabkan susu masih dalam
keadaan baik dipengaruhi oleh kemasan susu yang masih dalam keadaan
utuh, sehingga tidak terjadi proses penguraian laktosa menjadi asam laktat
oleh hasil fermentasi bakteri dan tidak terjadi peningkatkan derajat
keasaman susu.
Kinerja Reproduksi Ternak
Kinerja reproduksi mengacu pada kemampuan sapi untuk
memproduksi anak sapi dengan interval yang teratur. Sebagian besar sapi
memiliki kemampuan genetik untuk menghasilkan susu untuk sekitar
sepuluh bulan setelah melahirkan anak sapi. Setelah sepuluh bulan, sapi
biasanya hanya memproduksi sejumlah kecil susu dan akhirnya mengering
(berhenti menghasilkan susu).

Data reproduksi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan


didapatkan data antaralain, umur pertama estrus 15 bulan, umur
dikawinkan 15 bulan, S/C 1,7, jarak beranak 12 bulan, PPM 85 hari, PPE
21 hari, Days open 85 hari, lama bunting 9 bulan 5 hari, lama kering 2
bulan, umur sapih 4,5 bulan, dan berat lahir 38 sampai 40 kg. Maylinda et
al., (2014) menyatakan bahwa umur sekitar 15 bulan adalah umur pertama
estrus sapi dara. Umur terbaik pada saat melahirkan anak pertama kali
adalah 24 sampai 27 bulan. Lama bunting sapi sekitar 275 hari sampai 287
hari (Sutarto et al., 2006). Hasil praktikum mengenai umur pertama estrus
dan lama bunting sesuai dengan literatur.
Days open sapi perah di BBPTU-HPT adalah 85 hari. Menurut
Fanani et al, (2013), days open sapi perah sekitar 12,36 ± 1,22 bulan. Days
open adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah
beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang
berurutan (Fanani et al., 2013). Days open merupakan salah satu penilaian
terhadap baik buruknya kinerja reproduksi. Days open di peternakan
BBPTU-HPT berbeda dengan pendapat (Fanani et al, 2013). Semakin lama
post partum estrus dan post partum mating maka jarak beranak akan
semakin lama, serta semakin tinggi nilai S/C maka jarak beranak semakin
lama pula.
Fanani et al. (2013), mengungkapkan bahwa S/C untuk sapi perah
sebesar 2,75 kali. Nilai S/C menunjukkan tingkat kesuburan dari hewan
betina. Semakin rendah nilai tersebut maka semakin tinggi kesuburan dari
sapi-sapi betina yang di IB dan sebaliknya, semakin tinggi nilai S/C maka
semakin rendah tingkat kesuburan sapi betina dalam kelompok tersebut
(Fanani et al., 2013). Berdasarkan literatur, tingkat kesuburan sapi perah
yang berada di BBPTU-HPT sangat tinggi.
Post partum mating (PPM) adalah jangka waktu yang menunjukkan
perkawinan atau inseminasi buatan pertama kali setelah induk melahirkan
(Fanani et al., 2013). Kawin pertama setelah melahirkan atau disebut post
partum mating pada sapi perah yaitu 60 hari sampai 80 hari setelah beranak
karena diperlukan waktu minimal 50 hari sampai 60 hari untuk mencapai
involusi uteri yang sempurna pada sapi (Fanani et al., 2013). Berdasarkan
literatur maka PPM sapi perah yang berada di BBPTU-HPT berbeda.
Sistem perkawinan. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh sistem
perkawinan dilakukan di BBPTU-HPT dengan cara IB (inseminasi buatan).
Djarijah (1996), menyatakan bahwa metode perkawinan dapat dilakukan
dengan IB atau alami. Perkawinan secara inseminasi buatan (IB) dilakukan
dengan memasukkan semen sapi jantan ke dalam saluran reproduksi sapi
betina dengan alat insemination gun (Djarijah, 1996). Perkawinan alami
merupakan perkawinan dengan cara mempertemukan pejantan dan induk
secara langsung (BPTP, 2013).
Inseminasi buatan (IB) berasal dari amerika. Sistem perkawinan
yang diterapkan di BBPTU-HPT Baturraden yaitu dengan inseminasi
buatan (IB), semen untuk IB berasal dari Amerika. Kriteria semen yang baik
menurut BBPTU-HPT Baturraden yaitu produksi lebih dari 6000, gerakan
straw progresif, tingkat hidup layak atau tidak. Teknik kawin suntik IB yaitu
dengan semen beku (frozen semen) dan semen cair (chilled semen)
(Susilawati et al., 2010). Semen beku (frozen semen) dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas ternak sapi melalui penggunaan pejantan pilihan dan
menghindari penularan penyakit atau kawin sedarah (inbreeding). Teknik
IB dengan semen cair (chilled semen) proses pembuatannya mudah
dengan bahan pengencer yang murah, motilitas dan sperma hidup lebih
tinggi serta dapat disimpan dalam kulkas atau cooler dengan suhu 5°C
selama 7 hari sampai 10 hari. Perkawinan menggunakan IB, seekor
pejantan pada satu kali ejakulasi dapat digunakan untuk sekitar 200 ekor
betina (Baliarti et al., 2013). Kriteria semen yang baik adalah morfologi
sperma baik, dapat digunakan sebagai semen beku karena nilai
motilitasnya diatas 60% (Surastina, 2012).
Standarisasi perkawinan. Perkawinan dapat dilakukan dengan
cara IB dan Kawin alami. IB (inseminasi buatan) harus dilakukan oleh
tenaga ahli, tidak boleh sembarang orang. Perkawinan secara alami dapat
dilakukan dengan mencampurkan sapi perah betina dengan jantan di
kandang umbaran, sehingga dapat terjadi kawin alami.

Anda mungkin juga menyukai