LAPKAS Kaida BAB I-Selesai
LAPKAS Kaida BAB I-Selesai
PENDAHULUAN
1
selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan
fungsinya selama operasi dilakukan.1
Hidrosefalus berasal dari kata hydro yang berarti air dan chepalon
yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan
serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel
otak, dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih
ventrikel atau ruang subarachnoid.3
Insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1:1000. Sedangkan
insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi yang
berbeda. Jika hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh
karena kongenital. Penelitian lain menyebutkan 40 – 50% bayi dengan
perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus. Dalam
suatu penelitian didapatkan 36 dari 49 anak-anak dengan meningitis
Tuberkulosis mengalami hidrosefalus, dengan catatan 8 anak dengan
hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIDROSEFALUS
2.1.1. Definisi
Hidrosefalus adalah pelebaran ventrikel otak disertai peningkatan
tekanan intrakranial. Hidrosefalus berasal dari kata hydro yang berarti air
dan chepalon yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan
cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem
ventrikel otak, dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu
atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Hidrosefalus terjadi karena 3
hal: 4
1. Obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSS) di sistem ventrikel otak.
2. Absorbsi CSS di villi arachnoid yang menurun
3. Produksi CSS di pleksus koroid yang abnormal
3
2.1.3. Anatomi
Struktur anatomi yang berkaitan dengan hidrosefalus, yaitu bagian-
bagian dimana terdapat cairan serebrospinalis. Sistem ventrikel otak dan
kanalis sentralis.5,6
1. Ventrikel lateralis: Ada dua, terletak di dalam hemispheri telencephalon.
Kedua ventrikel lateralis berhubungan dengan ventrikel III (ventrikel
tertius) melalui foramen interventrikularis (Monro).
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius) : Terletak pada diencephalon. Dinding
lateralnya dibentuk oleh thalamus dengan adhesio interthalamica dan
hypothalamus. Recessus opticus dan infundibularis menonjol ke anterior,
dan recessus suprapinealis dan recessus pinealis ke arah kaudal.
Ventrikel III berhubungan dengan ventrikel IV melalui suatu lubang
kecil, yaitu aquaductus Sylvii (aquaductus cerebri).
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus) : Membentuk ruang berbentuk kubah
diatas fossa rhomboidea antara cerebellum dan medulla serta
membentang sepanjang recessus lateralis pada kedua sisi. Masing-masing
recessus berakhir pada foramen Luschka, muara lateral ventrikel IV.
Pada perlekatan vellum medullare anterior terdapat apertura mediana
Magendie.
4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis :Saluran sentral
korda spinalis: saluran kecil yang memanjang sepanjang korda spinalis,
dilapisi sel-sel ependimal. Diatas, melanjut ke dalam medula oblongata,
dimana ia membuka ke dalam ventrikel IV.
2.1.4. Patofisiologi
4
dalam lacuna laterales; dan sebagian lagi pada tempat keluarnya nervi
spinalis, tempat terjadinya peralihan ke dalam plexus venosus yang padat
dan ke dalam selubung-selubung saraf (suatu jalan ke circulus
lymphaticus).5,6
5
2.1.5. Klasifikasi
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem
ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh kongenital. Stenosis
akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis dan
ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal dalam ukuran dan
lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai penyebab hidrosefalus
adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro, malformasi
vaskuler atau tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi meningeal).
Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam sistem ventrikel
(tumor intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior). 3,4
6
- Hidrosefalus tipe komunikans
1. Kongenital
7
1.3 Malformasi Arnold-Chiari
2. Didapat (Acquired)
8
2.2 Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial
2.5 Abses/granuloma
9
(dekat batang otak), dokter dapat memasang shunt untuk
mengalirkan cairan agar bisa diserap. Hal ini akan
menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi batang otak.
10
2.1.6 Gambaran Klinis3,6
- Kepala membesar
- Sutura melebar
Lahir 35 cm
Umur 3 bulan 41 cm
Umur 6 bulan 44 cm
Umur 9 bulan 46 cm
Umur 12 bulan 47 cm
- Nistagmus horizontal
11
Gejala pada anak-anak dan dewasa:
- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Gelisah
- Mual, muntah
- Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
- Gangguan perkembangan fisik dan mental
- Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih
lanjut dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila
N.II.
Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan
sutura sudah menutup, nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan
bioksipital. Aktivitas fisik dan mental secara bertahap akan menurun
dengan gangguan mental yang sering dijumpai seperti : respon terhadap
lingkungan lambat, kurang perhatian tidak mampu merencanakan
aktivitasnya.
1. Gejala klinis
• Tulang tipis
• Disproporsi kraniofasial
• Sutura melebar
12
4. Pemeriksaan CSS. Dengan cara aseptik melalui punksi ventrikel / punksi
fontanela mayor. Menentukan :Tekanan, Jumlah sel meningkat,
menunjukkan adanya keradangan / infeksi, Adanya eritrosit menunjukkan
perdarahan,Bila terdapat infeksi, diperiksa dengan pembiakan kuman dan
kepekaan antibiotik.
5. Ventrikulografi ; yaitu dengan cara memasukkan kontras berupa O2 murni
atau kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanella
anterior langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk
langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang
melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup ontuk
memaukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada karanium bagian
frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit dan mempunyai
resiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT scan,
prosedur ini telah ditinggalkan.
6. CT scan kepala
13
Keuntungan CT scan : Gambaran lebih jelas, Non traumatik , Meramal
prognose, Penyebab hidrosefalus dapat diduga.
7. USG 3,7,8
- Atrofi otak
a. Terapi medikamentosa
14
Cara pemberian dan dosis; Per oral 2-3 x 125 mg/hari, dosis ini dapat
ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari.
- Furosemid
Cara pemberian dan dosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau injeksi
iv 0,6 mg/kgBB/hari.
15
• Dilatasi ventrikel menetap
Internal
16
b. Ventriculoperitoneal Shunt (VP-SHUNT)9,10
1. Deskripsi prosedur:
17
2. Komplikasi Ventriculoperitoneal Shunt9,10
Sejumlah komplikasi dapat terjadi setelah pemasangan
ventriculoperitoneal shunt untuk manajemen hidrosefalus.
Komplikasi ini termasuk infeksi, blok, subdural hematom,
ascites, CSSoma, obstruksi saluran traktus gastrointestinal,
perforasi organ berongga, malfungsi, atau migrasi dari shunt.
Migrasi dapat terjadi pada ventrikel lateralis, mediastinum,
traktus gastrointestinal, dinding abdomen, vagina, dan scrotum.9
Infeksi
Infeksi shunt didefinisikan sebagai isolasi organisme dari
cairan ventrikuler, selang shunt, reservoir dan atau kultur darah
dengan gejala dan tanda klinis menunjukkan adanya infeksi atau
malfungsi shunt, seperti demam, peritonitis, meningitis, tanda-
tanda infeksi di sepanjang jalur selang shunt, atau gejala yang
tidak spesifik seperti nyeri kepala, muntah, perubahan status
mental dan kejang9.
Infeksi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan
pada kelompok usia muda. Sebagian besar infeksi terjadi dalam
6 bulan setelah prosedur dilakukan. Infeksi yang terjadi biasanya
merupakan bakteri staphylococcus dan propionibacterial. Infeksi
dini terjadi lebih sering pada neonatus dan berhubungan dengan
bakteri yang lebih virulen seperti Escherichia coli. Shunt yang
terinfeksi harus dikeluarkan, CSS harus disterilkan, dan
dilakukan pemasangan shunt yang baru. Terapi shunt yang
terinfeksi hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan
karena bakteri dapat di tekan untuk jangka waktu yang lama dan
bakteri kembali saat antibiotik diberhentikan.9
Subdural hematom
Subdural hematom biasanya terjadi pada orang dewasa
dan anak-anak dengan perkembangan kepala yang telah
lengkap. Insiden ini dapat dikurang dengan memperlambat
18
mobilisasi paska operasi. Subdural hematom diterapi dengan
drainase dan mungkin membutuhkan oklusi sementara dari
shunt9,10
3. Terapi Komplikasi
19
Pada anak yang terpasang ventriculoperitoneal shunt, jika
anggota keluarga mencurigai adanya malfungsi dari shunt atau
tidak adanya penyebab lain dari demam, malaise, perubahan
perilaku anak, maka diperlukan evaluasi dan perhatian terhadap
shunt yang terpasang pada anak tersebut9,10
2.2. ANEMIA4
1. Definisi
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah
eritrosit sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Anemia juga didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih
parameter sel darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau
jumlah sel darah merah (hemoglobin <10 g/dl , hematokrit <30 % , dan
eritrosit < 2,8juta/mm3). Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat
kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan
sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia merupakan gejala dan
tanda penyakit tertentu yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi
dengan tepat. Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3
mekanisme independen yaitu berkurangnya produksi sel darah merah,
meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.
Kriteria anemia menurut WHO adalah14 :
a. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
b. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
c. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
d. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
e. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl
20
Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah :
a. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
b. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
c. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
d. Berat : Hb < 6 g/dl
2. Epidemiologi4
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara
merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi
anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini
dengan warna merah tua.
21
3. Manifestasi Klinis4
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apabila
kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan
penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya.
a. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (HB < 7). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b. Gejala khass masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya,
pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan.
22
4. Diagnosis4,14
Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian
manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
- Sediaan Apusan Darah Tepi
Ukuran sel
Anisositosis
Poikilositosis
Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting
apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah
anisositosis menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan
poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka
ragam.
- Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi
anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas
dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan
dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam
sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan
penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah
isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah.
Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan
hematrokit pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila
ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini
disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang
23
sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi.
Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.
- Persediaan dan Penyimpanan Besi
Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100
µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan
TI,BC dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan
persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan
puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh.
Namun, feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan
inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
- Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan
pada sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau
penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu
kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis
sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
- Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit
dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek
sibtesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila
>100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC
dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
5. Tatalaksana4
a. Anemia Defisiensi Besi
24
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi
penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia
defisiensi besi dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral
atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama
efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian parenteral
dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat memakan obat peroral atau
kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada gangguan
pencernaan.
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -
6 mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat
mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar
akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2
– 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi
pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama (murah dan efektif), dosis 3 x 200 mg.
Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping
bhampir sama.
- Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan
berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat
25
(misal preoperasi, hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering
digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric
acid complex.
b. Anemia Penyakit Kronik
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia
penyakit kronik berupa:
- Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
- Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B 12.
- Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
- Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi
pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi
kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10
g/dL.
c. Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 –
10 g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan
eritropoesis internal.
d. Trombosit profilaksis untuk penderita dengan trombosit <
10.000–20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau
demam, maka diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang
lebih tinggi.
26
2.4 ANESTESI UMUM
2.3.1 Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi
umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya
rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan
senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi
umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap)
yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran,
dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu
tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra
anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan
operasi.1
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien
batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehiduannya.
ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan
27
perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau
III E.1
Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai
dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:1
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin
(misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin)
untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum
pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan.
2.3.2.Tahap-tahap Anestesi 1,2
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium
induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi
sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi
urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan
tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan
takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya
anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih
ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea
terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot
28
perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata
kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium III dibagi dalam 4
plana:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil
miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga
dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot
interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya
hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
29
penciuman dan rasa nyeri
hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin terjadi.
Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau Terjadi kehilangan kesadaran
delirium akibat penekananan korteks
serebri. Kekacauan mental,
eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan
biasanya dilakukan pada
tahap ini
4 Paralisis Tahap toksik dari anestesi.
medular Pernapasan hilang dan terjadi
kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi
30
2.3.4 Obat-obat Anestesi Umum1,2
Tahapan Tindakan Anestesi Umum7
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
a) Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus misalnya
alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas
pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya
dengan baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
dapat menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan
digunakan ulang misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan
apnea berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah
relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium
31
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan,
dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya
pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang adalah yang berasal dari The American
Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini
bukan alat perkiraan risiko anestesi karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat
tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya
dicantumkan huruf E.
32
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam
jalan napas merupakan risiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5
jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis
sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum
induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
a. Kunjungan pre-anestesi.
b. Pengertian masalah yang dihadapi.
c. Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
33
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara
intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi jika diberikan secara
intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin
dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
34
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB
a. Induksi anestesi1,2,7
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
35
Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:
a. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena :
Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan
dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1
ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan
dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiophental akan menyebabkan pasien berada
dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi
napas. Tiophental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi
otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-
analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang
lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi
mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.
Propofol (diprivan, recofol)
36
Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan derivat
fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena.
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang
diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di
reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”. Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg).
37
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi,
tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan
analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
38
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah
dan selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi
39
dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan
memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit
di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur
berdekatan, terutama arteri dan saraf. Beberapa obat yang
mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan
tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin
menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.2
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat
intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman.
40
Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai
kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika
dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat
menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–
kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa
hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha. Kerusakan
pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya
sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang
kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf,
seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae,
yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang
mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris
sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus
radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang
menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak
dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi
atau rotasi eksternal terlalu jauh.2
2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk
hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis,
bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal
hipostatik, plurisi, dan superinfeksi. 2
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah
obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah
induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat
sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap
anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang
41
mencakup sekresi dan kandungan asam lambung. Intubasi yang
gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi
lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak
dipersiapkan.2
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca
bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot
setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi
sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan
ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka
bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif
dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika
PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.2
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain
hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung.
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang
dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan
oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan
reaksi transfusi.2
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh
analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah
hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit,
dan pengaruh beberapa obat tertentu.2
42
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh
halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum
mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan sekitar 100–400
per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat anestesi
mengurangi kemanjuran susunan kekebalan dan membuat
pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis
virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. 2
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan
anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama
pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera,
bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi
perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika
kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama
masa pasca bedah.2
2.3.6. Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab.
Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya
tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan
baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan,
nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang
mungkin dapat terjadi antara lain:2
a. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh
hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus
kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak
dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia
respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi
43
setelah henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat
mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat
yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.2
b. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat c.
Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari
sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan
atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler,
dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel.
Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang
berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi
kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen,
demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung).2
.
2.4 ANESTESI PADA PEDIATRIK11
Anestesia pada bayi dan anak berbeda dengan anestesia pada
orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini1.
Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa, anestesia anak dan bayi
khususnya harus diketahui betul sebelum melakukan anestesia karena alas
an itu anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis
anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman.11
44
2.4.1. Fisiologi pada Neonatus 11,12
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim
sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat
besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa
ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem.12
Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan
pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari
kehidupan didalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi
kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang
paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir
meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah
sistem pernapasan sirkulasi, ginjal dan hepar. Maka dari itu sangatlah
diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan
suatu tindakan anestesi terhadap neonatus.11
45
Gambar 4. Anatomi jalan napas pada pediatrik
Sumber: pediatric anesthesia (2002)
Pernapasan :
Pada neonatus rongga dada lemah dan ukurannya kecil dengan
iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar.
Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negatif
intratorakal dan volume paru rendah, sehingga memudahkan
terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernapas
secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negatif dapat timbul
dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas
anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat
kesulitan bernapas dan perutnya kembung dipertimbangkan
pemasangan pipa lambung.12
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung
mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan
pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan
menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume
tidalnya relatif tetap. Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai
dengan cara menaikkan frekuensi napas, karena itu neonatus mudah
sekali gagal napas.
Peningkatan frekuensi napas juga dapat akibat dari tingkat
metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan
oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan
ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua
kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa
46
desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada
neonatus prematur, karena adanya stress dingin maupun sumbatan
jalan napas.
Tabel 2. Perbedaan fisiologi pernapasan pada anak dan dewasa12
47
dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian
volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap
terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg.
Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah
sekitar 80/60 mmHg.11
Tabel 3. Variasi Laju Nadi dan Tekanan Darah pada Pasien Anak11
48
dibandingkan dengan HbA, hal ini diatasi dengan kadar Hb bayi yang
lebih tinggi yaitu sekitar 18-20 g/dL dengan hematocrit 0.6 . Seiring
waktu akan terdapat penurunan kadar Hb yang tajam dan akan
ditemukan anemia fisiologis pada usia 3 bulan, hal tersebut menandakan
transisi produksi hemoglobin Fetal menjadi menjadi hemoglobin Adult,
setelah fase ini maka hemoglobin akan meningkat secara perlahan13
Volume darah pada bayi lebih tinggi daripada orang dewasa, hal
tersebut akan mempengaruhi jumlah cairan atau darah yang harus
ditransfusikan bila terjadi hypovolemia. Rumus ABL (Allowable Blood
Loss) digunakan untuk mencari jumlah cairan yang dibutuhkan dan
dihitung dengan rumus: ( ABL:EBV X Ht1Ht−1Ht2 ).
49
EBV : Estimated Blood Volume, HT1 : Hematocrit (atau bisa
hemoglobin) awal (normal pria: 42-52%, wanita : 37-47%), HT2 :
Hematocrit (atau bisa hemoglobin) akhir.14
Tabel 5. Kadar Volume darah pada Anak dan Dewasa14
50
Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada
setiap pemberian cairan.14
Anak kecil memiliki kadar air dalam tubuh yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dewasa , dengan kadar TBW (Total Body
Water) pada bayi prematur 90% berat badan, bayi aterm 80% dan bayi
berusia 6-12 bulan 60%3 . Hal tersebut memiliki 2 dampak, dampak
pertama adalah peningkatan volume distribusi obat sehingga
penggunaan beberapa obat anestesi seperti thiopental pada anak-anak
harus dengan dosis 20-30% lebih besar dibandingkan dengan dewasa.14
d. Fungsi Hepar
Pada Anak-anak maturitas fungsional hati belum sepenuhnya
terbentuk, sebagian besar enzim untuk metabolisme obat sudah
diproduksi namun belum terstimulasi oleh obat tersebut. Seiring
pertumbuhan anak-anak kemampuan untuk metabolisme obat akan
meningkat secara drastis dan menjadi siap dalam usia beberapa bulan,
hal tersebut disebabkan 2 hal, pertama adalah peningkatan aliran darah
51
ke hati sehingga lebih banyak obat masuk ke dalam hati, dan sistem
enzim yang diproduksi sudah dapat distimulasi oleh obat tersebut9,10.
Kadar albumin dan beberapa protein yang dibutuhkan untuk berikatan
dengan obat pada plasma lebih rendah di anak-anak dibandingkan
dewasa, kondisi tersebut akan mengakibatkan lebih banyak obat bebas
beredar di sirkulasi karena tidak berikatan dengan albumin, selain itu
hyperbilirubinemia dapat terjadi karena perpindahan bilirubin dari
albumin yang disebabkan oleh obat sehingga pasien menjadi ikterus13,14
e. Sistem Saraf
Waktu perkembangan sistem saraf, sambungan saraf, struktur
otak dan myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi
pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4
tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2
tahun. Waktu-waktu ini otak sangat sensitive terhadap keadaankeadaan
hipoksia.14
52
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonatus
belum dapat melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah
besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih
rendah disbanding orang dewasa. Perkembangan yang belum sempurna
pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas
dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.14
Saraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan
terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110
kali/menit) terutama pada saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila
ada stimulasi daerah nasofaring. Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah
berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan
permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasi obat-
obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang
lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat
relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat
menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan, depresi pernapasan dan
apnoe pada periode pasca anestesi.14
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan
hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen
tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.13
f. Pengaturan Temperatur
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang,
walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal,
mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan
berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable
terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat
terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Produksi
panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang
dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula,
axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi
panas dari lemak coklat.13
53
Hipotermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas,
selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan
keringat (misal: atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa
disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh
terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi darah dingin, irigasi oleh
cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan pusat
regulasi suhu) maupun obat vasodilator.13
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus
adalah 270C. Paparan dibawah suhu ini akan mengandung resiko
diantaranya: cadangan energi protein akan berkurang, adanya
pengeluaran katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan
tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh lagi dapat menyebabkan
lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolik.
Untuk mencegah hipotermia bisa ditempuh dengan : memantau suhu
tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut
hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu
pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang
digunakan yang hangat.13
g. Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang
diberikan pada neonatus berbeda dibandingkan dengan dewasa karena
pada neonatus :14
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan
ekstravaskuler berbedadengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses
biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak,
jantung, liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi sistem
pernapasan: ventilasi alveolar tinggi, Minute volume, FRC
rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas
54
akan meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan
mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih
peka terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme
kompensasi yang belum sempurna dan depresi miokard hebat.
Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate
agaknya sangat toksisk pada neonatus disbanding dewasa. Hal ini
mungkin karena obat-obat tersebut sangat mudah menembus
sawar darah otak, kemampuan metabolisme masih rendah atau
kepekaan pusat napas sangat tinggi. Sebaliknya neonatus
tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin. Bayi umumnya
membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi
disbanding dewasa karena ruang extraselulernya relatif lebih
besar. Respon terhadap pelumpuh otot non depolarisasi cukup
bervariasi.13,14
55
Tabel 6. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien preoperatif3
Keadaan umum
Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu
Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
Adanya gigi yang lepas atau goyang
Sistem respirasi
Sistem Kardiovaskuler
Sistem Neurologi
Pemeriksaan Laboratorium11
56
Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran
gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan.
Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik
dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik.
Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia.
Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan berilah air
gula 2 jam sebelum anestesi.13,14
Infus
Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa,
mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat
perdarahan, dll. Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10%
dalam cairan elektrolit.14
Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami
dehidrasi akibat puasa lama atau sulit minum, kehilangan cairan lewat
gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau
sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh
lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat mudah terjadi karena luas
permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler
relative lebih besar serta fungsi ginjal belum matang.14
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam
waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin
57
(>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010), ataupun dengan
pemasangan CVP (Central Venous Pressure).11
b. Persiapan Anestesi
Scope : Laringoskop apakah lampunya cukup terang atau tidak,
serta Stethoscope.
Tubes : ETT dipersiapkan dengan ukuran sesuai dan satu
ukuran dibawah dan diatasnya. Airway : alat untuk menahan
lidah agar tidak jatuh yakni pipa orofaringeal Guedel atau pipa
nasofaringeal.
Tapes : Plester untuk fiksasi ETT
Introducer : kawat untuk dimasukan ke dalam ETT
Connector : penghubung antara ETT dengan sirkuit napas
Suction : mesin pengisap untk membersihkan jalan napas.
Peralatan Elektronik : Lampu ruangan
Mesin anestesia
Mesin penghangat tempat tidur
Infusion pump
Syringe pump
Defibrilator
58
Laryngoskop 00 0 1,5 1,5 2
Masker
Ukuran 00 0 1 1 2
Masker
LMA - 1 1,5 1,5 2,5
ETT : Endo Tracheal Tube, BB: Berat Badan, LMA; Laryngeal Mask Air way
c. Premedikasi
Tujuan pemberian premedikasi pada pasien anak sama dengan
orang dewasa yakni untuk menurangi ansietas pasien, mengurangi
rasa nyeri yang dialami, menurunkan dosis obat untuk induksi, serta
mengurangi sekresi jalan napas, namun pemberian pre-medikasi pada
anak dapat memfasilitasi perpisahan dengan orang tuaa dan
memudahkan proses intubasi bila dibutuhkan3. Beberapa obat pre-
medikasi yang paling sering diberikan adalah midazolam dan
ketamine7. Pemberian obat sedasi harus diberikan hati-hati bila pasien
memiliki gangguan saluran napas dan pemberian harus dihindari bila
pasien memiliki gangguan neurologis atau peningkatan tekanan
intrakranial serta bila ada resiko besar terjadinya aspirasi atau
regurgitasi di lambung11,14
59
4. Keadaan-keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada
usaha perlawanan dari ataupun sikap tidak kooperatif, atau
menangis dari sang anak.
5. Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi.
Remaja sering merasa ketakutan akan kehilangan penampilan
tubuhnya, kematian.
1. Hipertropi Adenoid
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar
untuk mengalami obstruksi jalan napas dari tingkat sedang sampai
parah. Komplikasi yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang
memiliki hipertropi tonsil.
2. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome
hipomandibularisme relative, obstruksi jalan napas merupakan
komplikasi potensial pada pasien-pasien ini.
60
kelompok anak-anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan
sewaktu diberikan sedasi, bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.
4. Distrofi muscular.
Pasien pada kelompok ini , bila mereka menggunakan kursi roda,
dokter harus lebih berhati-hati , terutama terhadap efek depresi
respiratorik.
61
Obat-obat premedikasi
Tabel 9. Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan
efeknya5
Nama Obat Agen Cara Dosis Onset Efek
Pemberian ( menit)
Benzodiazepi Midazolam Oral 0,3- 15-30 Depresi
n Diazepam Nasal 0,7mg/kgBB 5-10 system
0,1- pernapasan,
0,2mg/kgBB eksitasi
postoperative
eksitasi
Dissosiatif Ketamin Oral 3-8 mg/kgBB 10-15 Eksitasi
IM 2-5 mg/kgBB 2-5 Meningkatkan
TD, tekanan
intra cranial
meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0, 2 15-30 Depresi
Meperidin IM mg/kgBB 15-30 system
Fentanil oral 0,5-1 5-15 pernapasan
mg/kgBB Depresi
10-15 system
µg/kgBB pernapasan
62
Depresi sitem
pernapasan
Barbiturat Pentobarbital Oral 3 mg/kgBB 60 Eksitasi
Tiopental Rectal 30 mg/kgBB 5-10 postoperative
yang
memanjang
Depresi
system
pernapasan,
Eksitasi
postoperative
yang
memanjang
Antikolinergik Atropin Oral 20 µg/kgBB 15-30 Flushing
Scopolamin IM 20 µg/kgBB 5-15 Mulut kering
IV 10- 30 Rasa gembira
IM 20 µg/kgBB 15-30 halusinasi
20 µg/kgBB
H2 Antagonis Cimetidine Oral 7 ,5mg/kgBB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60
Keterangan : IM : Intra Muscular
IV : Intra Vena
63
2. Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama
dengan obat oral cair meperidine, diazepam dan atropine. Namun
efek samping yang tak dapat diramalkan berupa depresi pernafsan,
pruritus dan mual muntah merupakan kerugian sehingga tidak
diterima secara universal.
3. Ketamin
Bentuk oral merupakan alternative yang popular. Gutstein dan
koleganya membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6 mg/kgBB
dari ketamin oral. Ketamin tidak berefek terhadap depresi
pernapasan, dan takikardi. Ketamin juga dapat diberikan bersamaan
dengan permen pada dosis 5-6mg/kgbb tanpa hambatan.
4. Barbiturat
Telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat
premedikasi. Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi yang
lama. Pentobarbital 3mg/kgBB sampai 30mg/kgBB memiliki onset
satu jam dan durasi samapai 6 jam. .Kerugiannya adalah efek sedasi
yang panjang dan tidak cocok untuk pembedahan yang singkat atau
emergensi yang memerlukan persiapan yang cepat.
d. Masa Anestesi1,12
1) Induksi
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan tersebut meliputi:
64
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang
membantu. Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang
sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau
seintravena.7,8 Induksi inhalasi.Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit
dicari venanya atau pada yang takut disuntik.
Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan
tiopenton (pentotal) 2~4 mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak.
Induksi dapat juga dengan ketamin (ketalar) 1-2mg/kg.LV. Kadang-
kadang ketalar diberikan secara intra muskular.11
65
efektif tetapi kurang kuat dan harus menggunakan kadar yang lebih
tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih sering dipakai dibeberapa
tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak
disediakan.11
2) Intubasi
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-
tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada
neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya
menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar
dengan lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan
napas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi perlu pembantu guna
memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar
(awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan
akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi
premature.
Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan
dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
ataupun tanpa pelumpuh otot. Pelumpuh otot yang digunakan adalah
suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.11,14
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic,
tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran
diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. idealnya
menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi
masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25
cmH2O masih sedikit bocor. Sesuai anatomi jalan napas pasien anak,
pada intubasi disarankan menggunakan blade lurus, namun blade
bengkok dapat digunakan bila pasien memiliki berat 6-10 kg.
Penggunaan ETT lebih disarankan jenis tanpa cuff pada pasien
berusia dibawah 8 tahun, serta usahakan terdapat sedikit bocoran
pada ETT. Ukuran ETT pada anak-anak dapat menggunakan rumus
Modified Cole formula dan Khine Formula: [(Usia/4) + (4, bila tanpa
cuff jadinya ditambah 3)]. Kedalaman ETT dapat diperkirakan
66
dengan menggunakan rumus : [(Usia/2) + (12) bila pada anak berusia
>2 tahun, bila usia anak <2 menggunakan rumus: (Ukuran ETT X
3)16. Kedalaman ETT dapat diperhitungkan dengan rumus namun
tetap harus disesuaikan secara klinis dengan mendengarkan suara
napas kedua paru pasien. Penggunaan LMA disesuaikan dengan berat
badan pasien.11,14
67
e. Tahap Intra Bedah Pemeliharaan anestesia :
1) Pemantauan :
1. Pernapasan
- Stetoskop prekordial
- Pada napas spontan, gerak dinding dada, dan bag reservoir
- Warna ekstremitas
2) Sirkulasi
- Stetoskop perikordial
- Perabaan nadi
- EKG dan CVP
3) Suhu
- Rektal
4) Perdarahan
- isi dalam botol suction
- Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah
- Periksa Hb dan Ht secara serial
5) Air Kemih 11,14
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan
napas kendali. Penggunaan sungkup muka dengan napas spontan
pada bayi hanya untuk tindakan ringan yang tidak lama.
Gas anestetika yang umum digunakan adalah N20
dicampur dengan 02 perbandingan (0-65%) dan (35-100%).
Walapun N20 mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat
anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan
halotan, enfluran atau isofluran.
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau
pacta berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per
dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif,
karena itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit demi
sedikit.
68
2) Kebutuhan cairan perioperatif
Pemberian cairan pada anak harus sangat hati-hati karena
sempitnya toleransi kesalahan. Untuk pemberian yang tepat dapat
digunakan infus pump atau mikrodrip buret. Obat dimasukkan melalui
jalur yang paling dekat ke vena anak untuk mengurangi masuknya
cairan yang tidak diperlukan. Kelebihan cairan dapat dilihat dari
adanya vena yang membesar, kulit berwarna merah, tekanan darah
meningkat, penurunan kadar natrium plasma dan menghilangnya
lipatan kulit pada kelopak mats atas. Pemberian cairan pada anak
anak dapat meliputi cairan pemeliharaan, mengganti defisit,
mengganti cairan yang hilang.12
Kebutuhan cairan pemeliharaan
Kebutuhan cairan pemeliharaan pada anak dapat
diformulasikan dengan rumus 4:2:1 yaitu :10 kg pertama: 4
ml/kg/jam, 10-20kg berikutnya : 2ml/kg/jam, seterusnya: I
ml/kg/jam. Pemilihan jenis cairan masih kontroversial. Cairan
seperti D51/2 NS dengan 20 mEq/L potasium klorida memberikan
dekstrosa dan elektrolit yang cukup. Pada neonatus, dapat
diberikan D51/4NS karena masih terbatasnya kemampuan ginjal
dalam menghadapi kelebihan natrium.11
Defisit
Di samping cairan pemeliharaan , defisit cairan yang ada
misalnya karena puasa harus diganti. Pengganti defisit ini
diberikan 50 % pada jam pertama, 25% pada jam kedua dan 25%
sisanya pada jam ketiga. Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia
dihindari cairan yang banyak mengandung dekstrose. Defisit
cairan preoperasi biasanya diganti dengan cairan seimbang seperti
ringer laktat atau ½ NS. Dibanding dengan ringer laktat, cairan
garam fisiologis lebih sering mengakibatkan asidosis
hiperkloremik.11
69
Cairan Pengganti
Penggantian cairan dapat dibedakan menjadi mengganti
darah yang hilang dan mengganti cairan di rongga ketiga.11
1. Mengganti darah
Jumlah darah pada neonatus prematur 100mi/kg
neonatus full term 8590 ml/kg dan bayi 80 mg/kg, ini lebih
tinggi dibanding pada orang dewasa yaitu 65-75 mg/kg.
Hematokrit bayi baru lahir 55 % yang akan menurun menjadi
30 % pada umur 3 bulan dan kemudian naik lagi menjadi 35%.
pada umur 6 bulan. Hemoglobin juga mengalami perubahan
pada periode ini yaitu HbF (Afinitas terhadap oksigen tinggi,
PaO2 rendah, sulit melepas 02 ke jaringan) yang pada saat lahir
mencapai 75% menjadi 100% HbA (Afinitas terhadap oksigen
rendah, Pa02 tinggi, mudah melepas 02 ke jaringan) pada umur
6 bulan.11
Darah yang hilang dapat diganti dengan cairan kristaloid
dengan perbandingan 3:1, atau larutan koloid dengan
perbandingan 1:1 sampai mencapai hematokrit yang
diperbolehkan. Di bawah batas toleransi hematokrit darah yang
hilang harus diganti dengan darah. Batas hematokrit ini pada
neonatus prematur dan sakit kira kira 40 - 50 %, pada anak
yang lebih besar 20- 26%.11
Karena volume intra vaskuler yang kecil anak anak
mudah terjadi gangguan elektrolit (hiperglikemia, hiperkalemia,
dan hipokalsemia) pada tranfusi darah yang cepat. Thrombosit
dan FFP (Fresh Frozen Plasma) 1015ml/kg dapat diberikan
pada kehilangan darah yang mencapai 12 kali volume darah.
Satu unit thrombosit per l0 kg BB dapat meningkatkan jumlah
thrombosit 50,000 µL. Dosis pediatrik untuk kriopresipitat
adalah 1 U/10 kg BB.10
70
2. Cairan di rongga ketiga
Kehilangan seperti ini tidak dapat diukur tapi dapat
diperkirakan dengan melihat luasnya prosedur pembedahan,
seperti misalnya 0-2 ml/kg/jam untuk pembedahan yang relatif
atraumatik (mis.koreksi strabismus) dan sampai 6-10ml/kg/jam
untuk prosedur yang traumatik (mis.abses abdominal).
Kehilangan ini biasanya diganti dengan cairan ringer laktat11,10
71
Laryngospasme
Laryngospasme adalah kontraksi otot otot laring yang kuat
dan terjadi secara tidak sadar karena stimulasi nervus laringeal
superior. Dapat dihindari dengan ekstubasi saat pasien sudah benar
benar sadar atau saat keadaan anestesi masih dalam. Ekstubasi
diantara kedua keadaan ekstrim ini berbahaya. ISPA juga
meningkatkan kejadian larigospasme saat bangun dari anestesi.11
Bila terjadi laringospasme diatasi dengan memberi
ventilasi tekanan positif dengan halus, lidokain intravena 0,5-
1mg/kg, paralisis dengan suksinilkolin 0,5-1 mg/kg atau
rokuronium 0,4 mg/kg dan ventilasi dikontrol. Bila terpaksa dapat
diberikan suksinilkolin intra muskular. Laringospasme dapat
terjadi segera post operasi tetapi dapat juga terjadi di ruang pulih
sadar karena tersedak sekret pharing, oleh karena itu sebaiknya
pasien diposisikan miring sehingga sekret yang ada bisa dengan
mudah keluar. Pada saat pasien bangun sebaiknya orangtua sudah
ada di samping pasien.12
72
kamar bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan
pengawasan sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke
ruangan biasa dihitung dulu. skomya menurut Lockhart (Skor
Aldrete).11
Tabel 11. Skor Aldrete
perlu dibantu
Warna 2
merah muda 1
pucat 0
sianosis
Tekana Darah 2
berubah sekitar 20% 1
berubah 20-30% 0
bereaksi 0
tak bereaksi
Catatan : Dianggap sudah pulih dari anestesi dan dapat pindah ke ruang
pemulihan ke ruang perawatan apabila skor >8.
73
2.3 ANESTESI PADA HDROSEFALUS
Manajemen Perioperatif Anestesi
Pertimbangan Preoperatif
74
secara lebih lanjut dapat menyebabkan kenaikan TIK. Dianjurkan untuk
mencegah hipoventilasi yang menyebabkan kenaikan kadar PaCO2 dan TIK.2
Pertimbangan Intraoperatif
75
Gambar 4. Alur Diagram Rapid Sequence Intubation pada Pasien
dengan Kenaikan TIK.
(Dikutip dari: Filho EM, de Carvalho WB, Cavalheiro)
76
Posisi
Gambar 7. Bayi dalam Posisi Supine. Perhatikan bahwa kepala bayi ada pada posisi
lebih tinggi dari keseluruhan badannya.Hal ini menyebabkan lebih tinggi
kemungkinan terjadinya emboli udara vena.
(Dikutip dari: Soriano SG, Eldrege EA, Rockoff MA.)7
Induksi dan Monitoring Anestesi
77
Induksi anestesi dipandu oleh kondisi medis penderitadan fisiologi
normal sesuai usia penderita.2 Biasanya, anak kecil dengan kenaikan
TIK akut dan tidak mempunyai jalur intravena akan diberikan induksi
inhalasi melalui facemask. Semua obat anestesi volatil menyebabkan
peningkatan aliran darah otak. Obat induksi intravena memberikan
efek yang berbeda.2
Volatil ↑ ↓ ↑
Propofol ↓ ↓ ↓
Tiopental ↓ ↓ ↓
Ketamin ↑ ↑ ↑
Nitrat oksida ↑ ↑ ↑
Keterangan ADO = aliran darah otak
78
Rumatan Anestesi
Manajemen Cairan
79
hiperosmolar (308 mOsm) dan diperkirakan mampu mengurangi
edema otak. Hiperglikemia dikaitkan dengan memburuknya cedera
otak setelah iskemia, karenanya pemberian dekstrosa tidak digunakan
secara rutin.
Pertimbangan Postoperatif
80
BAB III
LAPORAN KASUS
81
Riwayat Penyakit Kardiovaskular : Disangkal
Riwayat Penyakit Pernapasan : Disangkal
Riwayat Operasi Sebelumnya : Disangkal
Riwayat Anestesi : Disangkal
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti
pasien
- Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
- Riwayat Asma : Disangkal
- Riwayat Jantung : Disangkal
- Riwyata Hipertensi : Disangkal
3.2.6 Riwayat Alergi
- Riwayat Alergi Makanan : Disangkal
- Riwayat Alergi Minuman : Disangkal
- Riwayat Alergi Obat : Disangkal
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda Vital
Nadi : 102x/menit
Respirasi : 31x/menit
Suhu badan : 36.70C
82
Kepala:
Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Macrocephal,
Mata : Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
lingkar
Refleks cahaya (+/+)
kepala:76 cm
83
(-)
Inspeksi : Tampak cembung, jejas (-)
Perkusi : Tymphani.
84
PT 12,2 10.2-12.1 detik
(Hematologi Rutin)
85
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan
Rujukan
(Kimia Darah)
PS. ASA : PS ASA III (pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas).
86
3.7 Persiapan Anestesi
Airway:
87
Batas kiri : ICS V 2 cm ke
medial linea
midclavicularis
sinistra
Batas kanan : ICS V linea
parasternalis dextra
Bunyi jantung I-II, regular,
Auskultasi :
murmur(-), gallop (-)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 =
15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan
(-),
B3 : Kesadaran :
Nyeri kepala (-), pandangan kabur
(-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
88
3.8 Laporan Durante Operasi
a) Laporan Anestesi
Premedikasi
Preoksigenasi ±5menit
Intubasi: dengan ETT no.4,0,
Teknik Anestesi :
cuff (+)
Induksi
Medikasi
Control Pernapasan
Pernafasan :
Posisi : Supine
Infus : D5 ½ NS
89
Sedacum
Premedikasi :
Fentanyl 15mg
- Dexamethasone 2mg
Medikasi Durante Operasi : - Ceftriaxone 500mg
- Antrain 250mg
CRT<3”
Tanda-tanda vital pada akhir
: Nadi: 132x/m
pembedahan
RR: 31x/m
160
140
120
100
80
Nadi
60
40
20
0
11
11.05
11.15
11.25
11.35
11.45 (Waktu)
Diagram 1. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi Durante Operasi.
90
3.9 Terapi Cairan
11 jam x 45 cc = 495 cc
Input:
Durante Kebutuhan cairan per jam:
Operasi D5 ½ NS:
45 cc/jam 100cc
Kebutuhan cairan durante operasi selama Output:
45menit
IWL: 660 cc
45
= 60 x 45= 33,75 / 45 menit
Perdarahan: ±
Replacement 20 cc
Estimated Blood Volume (EBV):
DC Urine = -
60xkgBb
= 60x15: 900cc
91
Operasi :
Input: Pre Operasi D5 ½ NS: 50 cc) + Durante Operasi (D5 ½ NS 100 cc)
Output: Pre Operasi + Durante Operasi + (Perdarahan 50 cc )
= 150 cc – 50cc
= + 100 cc
100x15= 1500
O :
O2 nasal 2 lpm
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,
IVFD D5 ½ NS / 12 jam
Kesadaran: Compos Mentis.
92
JVP (-)
Inj.Phenytoin 2x 75mg
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus
cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler Paracetamol3x200mg pulv (p.o)
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-
B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time <
2 detik, Nadi 130x/m,
kuat angkat, regular.
BJ: I-II murni regular,
murmur (-), galop (-).
B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.
A : Hidrocephalus
93
3.11 Follow Up Post Operatif
B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi
124x/m, kuat
angkat, regular. BJ:
I-II murni regular,
murmur (-), galop (-
).
94
pingsan (-), riwayat
kejang (-).
B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
datar ,nyeri tekan (-
), timpani, BU (+)
normal
A : Hidrocephalus
O :
O2 nasal 2 lpm
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,
IVFD D5 ½ NS / 12 jam
Kesadaran: Compos Mentis.
95
B2 : Perfusi: hangat, kering,
merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi
124x/m, kuat angkat,
regular. BJ: I-II murni
regular, murmur (-),
galop (-).
B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna kuning
jernih.
A : Hidrocephalus
Hari/Tanggal : Sabtu, 05
Mei 2018
S : Batuk (-), sesak (-), Kejang (-), Planning
rewel (-)
O2 nasal 2 lpm
O :
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang, IVFD D5 ½ NS / 12 jam
Kesadaran: Compos Mentis.
Inj. Ceftriaxone 2x150mg
Kepala : Makrosefal, lingkar kepala
72cm, konjungtiva anemis --, sklera Inj. Ranitidin 2x 25mg(iv)
ikterik -/-
Paracetamol3x200mg pulv (p.o)
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan
JVP (-) Nebu combivent per 8 jam
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus
cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-
Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+),
supel, nyeri tekan -/-
B1 : Bebas, gerak leher
96
bebas, simetris +/+,
suara napas
vesikuler, ronkhi +/-
, wheezing -/-, RR:
27x/m.
B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi
124x/m, kuat
angkat, regular. BJ:
I-II murni regular,
murmur (-), galop (-
).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ
3 mm,riwaya
pingsan (-), riwayat
kejang (-).
B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
datar ,nyeri tekan (-
), timpani, BU (+)
normal
B6 : Fraktur (-), edema (-
), motorik aktif
A : Hidrocephalus
97
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan Paracetamol3x200mg pulv
JVP (-)
(p.o)
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus
cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler Nebu combivent per 8 jam
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-
Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+),
supel, nyeri tekan -/-
B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi
124x/m, kuat
angkat, regular. BJ:
I-II murni regular,
murmur (-), galop (-
).
B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
datar ,nyeri tekan (-
), timpani, BU (+)
normal
A : Hidrocephalus
98
BAB IV
PEMBAHASAN
99
Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA III
organik, fisiologik, psikiatrik, Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA III
biokimia. karena pasien merupakan bayi perempuan
Kelas II : Pasien usia 8 bulan (pediatrik) dengan penyakit
dengan penyakit sistemik ringan Hidrocephalus.
atau sedang. Hidrosefalus adalah suatu kelainan dimana
Kelas III : Pasien terjadi pelebaran ventrikel otak disertai
dengan penyakit sistemik berat, peningkatan tekanan intrakrania yang dapat
sehingga aktivitas rutin terbatas. mengakibatkan kejang seperti yang dialami
Kelas IV : Pasien pasien, sehingga mengakibatkan kelainan
dengan penyakit sitemik berat, sistemik berat.
tidak dapat melakukan aktivitas Selain itu, pada pediatrik memiliki
rutin dan penyakitnya kemampuan aktivitas yang terbatas, otot
merupakan ancaman leher bayi masih sangat lunak, leher lebih
kehidupannya setiap saat. pendek, sulit menyangga atau memposisikan
Kelas V : Pasien kepala, dengan tulang occipital yang
sekarat yang diperkirakan dengan menonjol.
atau tanpa pembedahan hidupnya Pada neonatus rongga dada lemah dan
tidak akan lebih dari 24 jam. ukurannya kecil dengan iga horizontal.
Diafragma terdorong keatas oleh isi perut
yang besar. Dengan demikian kemampuan
dalam memelihara tekanan negatif
intratorakal dan volume paru rendah,
sehingga memudahkan terjadinya kolaps
alveolus serta menyebabkan neonatus
bernapas secara diafragmatis. Kadang-
kadang tekanan negatif dapat timbul dalam
lambung pada waktu proses inspirasi,
sehingga udara atau gas anestesi mudah
terhirup ke dalam lambung.
Hasil : Sudah tepat
100
4.2 Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa General Anestesi?
Teori Kasus
101
4.2 Penentuan Obat Anestesi
Pada kasus ini dilakukan pembedahan pada bayi perempuan By.S.E 8
bulan dengan Hidrocephalus, dilakukan tindakan VP shunt dengan general
anestesi. General anastesi yang dipilih yakni anestesi inhalasi menggunakan
Sevofluran. Sevofluran merupakan halogenasi eter yang memiliki kelebihan
dibanding obat inhalasi lainnya, sedangkan dibandingkan dengan halotan
yang 20% dimetabolisme dihepar, sehingga penggunaan halotan
dikontraindikasikan pada penderita dengan gangguan hepar seperti pada
kasus ini.
SEvoflurant memiliki efek meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner
Pada kasus diatas menggunakan teknik general anastesi maka
dilakukan premedikasi, pasien dipemberikan obat – obatan pendahulu dalam
rangka pelaksanaan anastesia, pemberian dilakukan dikamar operasi berupa,
menggunakan midazolam 5 mg, petidin 10 mg, dan fentanyl dihydrogenum
citrate 15 mcg. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
pemberian midazolam untuk meredakan kecemasan, sedangkan pemberian
petidin dan fentanyl untuk meredakan rasa sakit. Pemberian premedikasi
(pemberian obat sebelum induksi anestesi) selama 1-2 jam dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu
diantaranya meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan.
Midazolam (sedacum) merupakan golongan benzodiazepin memiliki
efek yang berguna untuk premedikasi meredakan ansietas, sedasi dan
amnesia. Amnesia yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang
102
dialami pasien akibat suatu tindakan karena obat ini bekerja pada sistem
limbik dan menimbulkan amnesia antero grad. Dengan reseptor spesifik
GABAA akan meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi dengan reseptor
GABA. Ikatan ini akan membuka kanal Cl¯ yang menyebabkan
meningkatnya konduksi ion Cl¯ sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada
membran sel pasca sinap dan saraf pasca sinap menjadi resisten untuk
dirangsang. Pada pasien ini diberikan midazolam 5 mg secara intravena, hal
ini dikarenakan pada pemberian intramuskular dapat menimbulkan rasa nyeri
pada daerah suntikan. Dosis midazolam 1-2,5 mg IV, (mula kerja 30-60
detik, dengan efek puncak 2-3 menit, lama kerja 15-80 menit).
Selain itu pada kasus ini, pasien diberikan petidin dan fentanyl yang
merupakan analgesik opioid. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa indikasi pemberian petidin dan fentanyl yaitu untuk analgesia
perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan
kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardia. Dosis yang besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Sebagai analgetik, obat ini bekerja
pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis. Dosis petidin
intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Dosis fentanil 1-2mcg/ kg BB
103
Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin
merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan
reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun
sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu
antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam
mencegah maupun mengatasi mual dan muntah. anestesi umum denngan
inhalasi dan intravena. Pada pasien ini juga diberikan asam traneksamat 1000
mg, pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam ε-aminokaproik, atau
asam traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperative
sehingga pada kasus ini diberikan asam traneksamat agar dapat mencegah
kehilangan banyak darah saat intraoperatif.
104
4.1 Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama
perioperatif
Problem
Actual Potensial Antisipasi
List
Airway bebas, Mallampati Aspirasi oleh sekresi O2 nasal atau
score: II ; gigi tanggal (-) saliva, masker sesuai
Breathing: thorax simetris, ikut ‘jatuhnya’pangkal saturasi O2, chin
gerak napas, RR:27x/m, lidah. lift, suction bila
B1
palpasi: Vocal Fremitus D=S, perlu
perkusi: sonor, suara napas
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
Perfusi: hangat, kering, merah. Hipovolemik, Resusitasi
Capilary Refill Time < 2 detik, Overload, cairan,
B2 BJ: I-II regular, murmur (-) Bradikardia, monitoring vital
gallop (-) Nadi : 131 x/m sign
105
4.4 Terapi cairan Peri-operasi
Pre-operative
Cairan yang di butuhkan Aktual
PRE OPERASI
Puasa selama 10 jam
1. Maintenance
Kebutuhan cairan per 24 jam
100cc/kgBB untuk 10kg pertama
50cc/kgBB untuk 10-20kg kedua
20cc/kgBB untuk sisa kilogram
100cc x 15= 1500cc
50cc x 15=750cc
Total: 2250cc/24jam
2. Replacement
a. Resusitasi perdarahan : -
b. Kebutuhan cairan untuk pengganti 10 jam
puasa
106
sekitar 45/60 menit x 50cc= 37,5 cc
Estimate Blood Volume (EBV) :
60 cc/KgBB x 15kg = 900 cc
Estimate Blood Loss (EBL):
10% x 900 cc = 90
20% x 900 = 180
30%x900= 270
Total perdarahan selama operasi ± 50 cc atau
perdarahan kurang dari 10 %, maka
kebutuhan replacement pengganti perdarahan
selama operasi diatasi dengan pemberian
cairan kristaloid sebanyak 2 – 4 kali EBL 10
% (90 ml) yaitu berkisar 180-360 ml.
POST OPERASI Input :
1. Maintenance : D5 ½ NS: 500 cc/24 jam
Kebutuhan cairan per jam 4cc x kgBB
+ 2ccxkgBB
4 cc x 10 kg = 40 cc/ jam
2 cc x 5kg = 10 cc/ jam
jadi, total = 50cc/ jam.
Kebutuhan elektrolit :
Kebutuhan natrium berkisar 2 – 4
mEq/kgBB
2 mEq x 15 kg = 30 mEq
4 mEq x 15 kg = 60 mEq
Jadi total kebutuhan natrium post operasi
sebanyak 30 - 60 mEq.
Kebutuhan kalium berkisar 1 – 3
mEq/kgBB
1 mEq x 15 kg = 15 mEq
3 mEq x 15 kg = 45 mEq
Jadi total kebutuhan kalium post operasi
107
sebanyak 15 - 45 mEq.
Kebutuhan Energi pada anak uia 0-1 tahun :
Kebutuhan kalori perhari berkisar
110-120 Kcal/kg/hari
110 kcalx15kg=1650kkal
120 kcalx15kg=1800kkal
Jadi kebutuhan kalori perharinya berkisar
1650 – 1800 Kcal/hari.
Replacement :
Kebutuhan cairan untuk pengganti 10
jam puasa
37.5 cc x 10 jam = 375 cc
jadi, total =375 cc
108
baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh
kuman gram-negatif, gram-positif.
Untuk membantu mengurangi nyeri pada pasien ini, diberikan
injeksi ketorolac (ketorolac tromethamine). Ketorolac adalah obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID). Ketorolac selain digunakan sebagai anti
inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai
pengganti morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang. Efeknya
menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim
siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese
prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. Selain itu, pasien juga
diberikan obat injeksi Ranitidin dan ondancetron. Mekanisme kerja
ranitidine adalah menghambat reseptor histamine 2 secara selektiv dan
reversible sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung.
Ondancetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif
dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.
109
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan hernia inguinalis lateralis bilateral reponible.
Klasifikasi status anestesi digolongkan dalam PS ASA III.
Pasien akhirnya menjalani operasi VP shunt dan dipilih anestesi bGeneral
anestesi Inhalasi dengan menggunakan Sevoflurance + O2 dengan dosis 20
mg.
Efek samping anestesi cairan kristaloid secara cepat setelah penyuntikan
blok spinal.
1.2 Saran
Pada pasien ediatri yang akan melakukan operasi sebaiknya informed
consent harus selalu dilakukan dokter di setiap langkah pemeriksaan dan
tindakan. Harus disampaikan terlebih dahulu semua informasi yang dapat
dipahami oleh pasien dan keluarga, termasuk menyampaikan kondisi
terburuk yang mungkin terjadi, seperti prognosis penyakit, kondisi
penyembuhan pascapembedahan atau rencana home care bila pasien
memasuki kondisi terminal.
110
DAFTAR PUSTAKA
111