Anda di halaman 1dari 111

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan. Anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan
ilmu kedokteran. Secara harfiah anestesi berarti ketiadaan rasa atau sensasi
nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya
rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang
berkaitan dengan pembedahan. Anestesi menggambarkan keadaan tidak sadar
yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan.1
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa”
dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.1,2
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi
umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap
semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa
kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan
spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat
diberikan secara inhalasi dan secara. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan
batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.2
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh
otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas,

1
selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan
fungsinya selama operasi dilakukan.1
Hidrosefalus berasal dari kata hydro yang berarti air dan chepalon
yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan
serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel
otak, dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih
ventrikel atau ruang subarachnoid.3
Insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1:1000. Sedangkan
insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi yang
berbeda. Jika hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh
karena kongenital. Penelitian lain menyebutkan 40 – 50% bayi dengan
perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus. Dalam
suatu penelitian didapatkan 36 dari 49 anak-anak dengan meningitis
Tuberkulosis mengalami hidrosefalus, dengan catatan 8 anak dengan
hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIDROSEFALUS
2.1.1. Definisi
Hidrosefalus adalah pelebaran ventrikel otak disertai peningkatan
tekanan intrakranial. Hidrosefalus berasal dari kata hydro yang berarti air
dan chepalon yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan
cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem
ventrikel otak, dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu
atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Hidrosefalus terjadi karena 3
hal: 4
1. Obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSS) di sistem ventrikel otak.
2. Absorbsi CSS di villi arachnoid yang menurun
3. Produksi CSS di pleksus koroid yang abnormal

2.1.2. Angka Kejadian


Insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1:1000.
Sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap
populasi yang berbeda. Jika hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan
biasanya bukan oleh karena kongenital. Penelitian lain menyebutkan 40
– 50% bayi dengan perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4
mengalami hidrosefalus. Dalam suatu penelitian didapatkan 36 dari 49
anak-anak dengan meningitis Tuberkulosis mengalami hidrosefalus,
dengan catatan 8 anak dengan hidrosefalus obstruktif dan 26 anak
dengan hidrosefalus komunikans.3,4

3
2.1.3. Anatomi
Struktur anatomi yang berkaitan dengan hidrosefalus, yaitu bagian-
bagian dimana terdapat cairan serebrospinalis. Sistem ventrikel otak dan
kanalis sentralis.5,6
1. Ventrikel lateralis: Ada dua, terletak di dalam hemispheri telencephalon.
Kedua ventrikel lateralis berhubungan dengan ventrikel III (ventrikel
tertius) melalui foramen interventrikularis (Monro).
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius) : Terletak pada diencephalon. Dinding
lateralnya dibentuk oleh thalamus dengan adhesio interthalamica dan
hypothalamus. Recessus opticus dan infundibularis menonjol ke anterior,
dan recessus suprapinealis dan recessus pinealis ke arah kaudal.
Ventrikel III berhubungan dengan ventrikel IV melalui suatu lubang
kecil, yaitu aquaductus Sylvii (aquaductus cerebri).
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus) : Membentuk ruang berbentuk kubah
diatas fossa rhomboidea antara cerebellum dan medulla serta
membentang sepanjang recessus lateralis pada kedua sisi. Masing-masing
recessus berakhir pada foramen Luschka, muara lateral ventrikel IV.
Pada perlekatan vellum medullare anterior terdapat apertura mediana
Magendie.
4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis :Saluran sentral
korda spinalis: saluran kecil yang memanjang sepanjang korda spinalis,
dilapisi sel-sel ependimal. Diatas, melanjut ke dalam medula oblongata,
dimana ia membuka ke dalam ventrikel IV.

2.1.4. Patofisiologi

CSS dihasilkan oleh plexus choroideus dan mengalir dari


ventrikel lateral ke dalam ventrikel III, dan dari sini melalui aquaductus
masuk ke ventrikel IV. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor
serebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari
ventrikel IV. Pengaliran CSS ke dalam sirkulasi vena sebagian terjadi
melalui villi arachnoidea, yang menonjol ke dalam sinus venosus atau ke

4
dalam lacuna laterales; dan sebagian lagi pada tempat keluarnya nervi
spinalis, tempat terjadinya peralihan ke dalam plexus venosus yang padat
dan ke dalam selubung-selubung saraf (suatu jalan ke circulus
lymphaticus).5,6

Kecepatan pembentukan CSS 0,3-0,4 cc/menit atau antara 0,2-


0,5% volume total per menit dan ada yang menyebut antara 14-38
cc/jam. Sekresi total CSS dalam 24 jam adalah sekitar 500-600cc,
sedangkan jumlah total CSS adalah 150 cc, berarti dalam 1 hari terjadi
pertukaran atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4-5 kali/hari. Pada
neonatus jumlah total CSS berkisar 20-50 cc dan akan meningkat sesuai
usia sampai mencapai 150 cc pada orang dewasa.3,5

Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan


antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang
berlebihan terjadi di atas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma
subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang
berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai
hidrosefalus internal. Selain itu beberapa lesi intrakranial menyebabkan
peninggian tekanan intra kranial, namun tidak sampai menyebabkan
hidrosefalus. Peninggian volume CSS tidak ekivalen dengan
hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral. Hidrosefalus sebagai
kesatuan klinik dibedakan oleh tiga faktor: a).Peninggian tekanan
intraventrikuler, b).Penambahan volume CSS, c). Dilatasi rongga CSS.3

Hidrosefalus timbul akibat terjadi ketidak seimbangan antara


produksi dengan absorpsi dan gangguan sirkulasi CSS. Selain akibat
gangguan pada produksi, absorpsi, dan sirkulasi, hidrosefalus juga dapat
timbul akibat : Disgenesis serebri dan atrofi serebri.3.4

5
2.1.5. Klasifikasi

Gambar 1. Pelebaran ventrikel pada hidrosefalus


Sumber:http//www.gambaran hydrosefalusppdf.com
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain :

1. Berdasarkan Anatomi / tempat obstruksi CSS


- Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans

Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem
ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh kongenital. Stenosis
akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis dan
ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal dalam ukuran dan
lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai penyebab hidrosefalus
adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro, malformasi
vaskuler atau tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi meningeal).
Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam sistem ventrikel
(tumor intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior). 3,4

6
- Hidrosefalus tipe komunikans

Jarang ditemukan. Terjadi karena proses produksi CSS berlebihan atau


gangguan penyerapan (Gangguan di luar sistem ventrikel).3,4

 Perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan


lalu menimbulkan blokade villi arachnoid.
 Radang meningeal
 Kongenital :
- Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan
- Gangguan pembentukan villi arachnoid
- Papilloma plexus choroideus
2. Berdasarkan Etiologinya 3
A. Tipe obstruksi

1. Kongenital

1.1 Stenosis akuaduktus serebri

Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh


infeksi atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis
kongenital sejati adalah sangat jarang ( akibat infeksi
Toxoplasma/T.gondii, Rubella/German measles, X-linked
hidrosefalus).

1.2 Sindrom Dandy-Walker 3,6

Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan


hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini
berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasia vermis
serebelum. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh
hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga subarachnoid
yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil pada saat lahir,
namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam 3 bulan pertama.
Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan anomali
lainnya seperti agenesis korpus kalosum, labiopalatoskhisis,
anomali okuler, anomali jantung, dan sebagainya.

7
1.3 Malformasi Arnold-Chiari

Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu


batang otak dan cerebelum mengalami perpanjangan dari
ukuran normal dan menonjol keluar menuju canalis spinalis

1.4 Aneurisma vena Galeni

Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi


secara normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusia
beberapa bulan. Hal ini terjadi karena vena Galen mengalir di
atas akuaduktus Sylvii, menggembung dan membentuk
kantong aneurisma seringkali menyebabkan hidrosefalus.
Hidrancephaly : Suatu kondisi dimana hemisfer otak tidak ada
dan diganti dengan kantong CSS. 3,6

2. Didapat (Acquired)

2.1 Stenosis akuaduktus serebri.

Stenosis (setelah infeksi atau perdarahan). Infeksi oleh bakteri


meningitis, menyebabkan radang pada selaput (meningen) di
sekitar otak dan spinal cord. Hidrosefalus berkembang ketika
jaringan parut dari infeksi meningen menghambat aliran CSS
dalam ruang subarachnoid, yang melalui akuaduktus pada
sistem ventrikel atau mempengaruhi penyerapan CSS dalam
villi arachnoid. Jika saat itu tidak mendapat pengobatan,
bakteri meningitis dapat menyebabkan kematian dalam
beberapa hari. 3,6

Tanda-tanda dan gejala meningitis meliputi demam, sakit


kepala, panas tinggi, kehilangan nafsu makan, kaku kuduk.
Pada kasus yang ekstrim, gejala meningitis ditunjukkan dengan
muntah dan kejang. Dapat diobati dengan antibiotik dosis
tinggi. 3,6

8
2.2 Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial

2.3 Hematoma intraventrikuler

Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel,


mengakibatkan darah mengalir dalam jaringan otak sekitar dan
mengakibatkan perubahan neurologis. Kemungkinan
hidrosefalus berkembang sisebabkan oleh penyumbatan atau
penurunan kemampuan otak untuk menyerap CSS.3

2.4 Tumor (ventrikel, regio vinialis, fosa posterior) Sebagian besar


tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia 5-10 tahun. 70%
tumor ini terjadi dibagian belakang otak yang disebut fosa
posterior. Jenis lain dari tumor otakyang dapat menyebabkan
hidrosefalus adalah tumor intraventrikuler dan kasus yang
sering terjadi adalah tumor plexus choroideus (termasuk
papiloma dan carsinoma). Tumor yang berada di bagian
belakang otak sebagian besar akan menyumbat aliran CSS yang
keluar dari ventrikel IV. Pada banyak kasus, cara terbaik untuk
mengobati hidrosefalus yang berhubungan dengan tumor
adalah menghilangkan tumor penyebab sumbatan.

2.5 Abses/granuloma

2.6 Kista arakhnoid3,6

Kista adalah kantung lunak atau lubang tertutup yang berisi


cairan. Jika terdapat kista arachnoid maka kantung berisi CSS
dan dilapisi dengan jaringan pada membran arachnoid. Kista
biasanya ditemukan pada anak-anak dan berada pada ventrikel
otak atau pada ruang subarachnoid. Kista subarachnoid dapat
menyebabkan hidrosefalus non komunikans dengan cara
menyumbat aliran CSS dalam ventrikel khususnya ventrikel
III. Berdasarkan lokasi kista, dokter bedah saraf dapat
menghilangkan dinding kista dan mengeringkan cairan kista.
Jika kista terdapat pada tempat yang tidak dapat dioperasi

9
(dekat batang otak), dokter dapat memasang shunt untuk
mengalirkan cairan agar bisa diserap. Hal ini akan
menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi batang otak.

3. Berdasarkan Usia, Hidrosefalus dibagi menjadi:

- Hidrosefalus tipe kongenital / infantil ( bayi )

- Hidrosefalus tipe juvenile / adult ( anak-anak / dewasa )

Selain pembagian berdasarkan anatomi, etiologi, dan usia, terdapat


juga jenis . Hidrosefalus Tekanan Normal ; sesuai konvensi, sindroma
hidrosefalik termasuk tanda dan gejala peninggian TIK, seperti kepala
yang besar dengan penonjolan fontanel. Akhir-akhir ini, dilaporkan
temuan klinis hidrosefalus yang tidak bersamaan dengan peninggian TIK.3

Seseorang bisa didiagnosa mengalami hidrosefalus tekanan normal


jika ventrikel otaknya mengalami pembesaran, tetapi hanya sedikit atau
tidak ada peningkatan tekanan dalam ventrikel. Biasanya dialami oleh
pasien usia lanjut, dan sebagian besar disebabkan aliran CSS yang
terganggu dan compliance otak yang tidak normal. Pada dewasa dapat
timbul “hidrosefalus tekanan normal” akibat dari : a).Perdarahan
subarachnoid, b).meningitis, c).trauma kepala, dan d).Idiopathik. Dengan
trias gejala:

1. Gangguan mental (dementia),


2. Gangguan koordinasi (ataksia),
3. Gangguan kencing (inkontinentia urin)

10
2.1.6 Gambaran Klinis3,6

Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang


disusul oleh gangguan neurologik akibat tekanan likuor yang meningkat
yang menyebabkan hipotrofi otak. Hidrosefalus pada bayi (sutura masih
terbuka pada umur kurang dari 1 tahun) didapatkan gambaran:

- Kepala membesar

- Sutura melebar

Lahir 35 cm

Umur 3 bulan 41 cm

Umur 6 bulan 44 cm

Umur 9 bulan 46 cm

Umur 12 bulan 47 cm

Umur 18 bulan 48,5 cm

- Fontanella kepala prominen

- Mata kearah bawah (sunset phenomena)

- Nistagmus horizontal

- Perkusi kepala : “cracked pot sign” atau seperti semangka masak.


Ukuran rata-rata lingkar kepala

11
Gejala pada anak-anak dan dewasa:

- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Gelisah
- Mual, muntah
- Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
- Gangguan perkembangan fisik dan mental
- Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih
lanjut dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila
N.II.
Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan
sutura sudah menutup, nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan
bioksipital. Aktivitas fisik dan mental secara bertahap akan menurun
dengan gangguan mental yang sering dijumpai seperti : respon terhadap
lingkungan lambat, kurang perhatian tidak mampu merencanakan
aktivitasnya.

2.1.7 Pemeriksaan dan Diagnosis3,7

1. Gejala klinis

2. X ray Foto kepala, didapatkan

• Tulang tipis

• Disproporsi kraniofasial

• Sutura melebar

Dengan prosedur ini dapat diketahui :

a. Hidrosefalus tipe kongenital/infantil

b. Hidrosefalus tipe juvenile/adult : oleh karena sutura telah menutup


maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran
kenaikan tekanan intrakranial.
3. Transiluminasi; penyebaran cahaya diluar sumber sinar lebih dari batas,
frontal 2,5 cm, oksipital 1 cm

12
4. Pemeriksaan CSS. Dengan cara aseptik melalui punksi ventrikel / punksi
fontanela mayor. Menentukan :Tekanan, Jumlah sel meningkat,
menunjukkan adanya keradangan / infeksi, Adanya eritrosit menunjukkan
perdarahan,Bila terdapat infeksi, diperiksa dengan pembiakan kuman dan
kepekaan antibiotik.
5. Ventrikulografi ; yaitu dengan cara memasukkan kontras berupa O2 murni
atau kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanella
anterior langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk
langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang
melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup ontuk
memaukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada karanium bagian
frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit dan mempunyai
resiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT scan,
prosedur ini telah ditinggalkan.
6. CT scan kepala

Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya


pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.

Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukkan


dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di
proksimal dari daerah sumbatan.

13
Keuntungan CT scan : Gambaran lebih jelas, Non traumatik , Meramal
prognose, Penyebab hidrosefalus dapat diduga.

7. USG 3,7,8

Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan


USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel yang melebar.
Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus
ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem
ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan
anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT
scan.

2.1.8. Diagnosis Banding3

1. Higroma subdural; penimbunan cairan dalam ruang subdural akibat


pencairan hematom subdural
2. Hematom subdural; penimbunan darah di dalam rongga subdural
3. Emfiema subdural; adanya udara atau gas dalam jaringan subdural.
4. Hidranensefali; sama sekali atau hampir tidak memiliki hemisfer serebri,
ruang yang normalnya di isi hemisfer dipenuhi CSS
5. Tumor otak

6. Kepala besar Megaloensefali: jaringan otak bertambah, Makrosefali


gangguan tulang.
2.1.9. Komplikasi hidrosefalus:3

- Atrofi otak

- Herniasi otak yang dapat berakibat kematian.


2.1.10 Terapi3,7

a. Terapi medikamentosa

Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya


mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya
meningkatkan resorpsinya. Obat yang sering digunakan adalah:
- Asetasolamid

14
Cara pemberian dan dosis; Per oral 2-3 x 125 mg/hari, dosis ini dapat
ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari.

- Furosemid

Cara pemberian dan dosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau injeksi
iv 0,6 mg/kgBB/hari.

b. Terapi non medikamentosa

- Lumbal pungsi berulang (serial lumbar puncture): Mekanisme


pungsi lumbal berulang dalam hal menghentikan progresivitas
hidrosefalus belum diketahui secara pasti. Pada pungsi lumbal
berulang akan terjadi penurunan tekanan CSS secara intermiten
yang memungkinkan absorpsi CSS oleh vili arakhnoidalis akan
lebih mudah.

- Indikasi : umumnya dikerjakan pada hidrosefalus komunikan


terutama pada hidrosefalus yang terjadi setelah perdarahan
subarakhnoid, periventrikular-intraventrikular dan meningitis
TBC. Diindikasikan juga pada hidrosefalus komunikan dimana
shunt tidak bisa dikerjakan atau kemungkinan akan terjadi
herniasi (impending herniation). Cara:

a. LP dikerjakan dengan memakai jarum ukuran 22, pada interspace


L2-3 atau L3-4 dan CSS dibiarkan mengalir di bawah pengaruh
gaya gravitasi.
b. LP dihentikan jika aliran CSS terhenti. Tetapi ada juga yang
memakai cara setiap LP CSS dikeluarkan 3-5 ml.
c. Mula-mula LP dilakukan setiap hari, jika CSS yang keluar kurang
dari 5 ml, LP diperjarang (2-3 hari).
d. Dilakukan evaluasi dengan pemeriksaan CT scan kepala setiap
minggu.
e. LP dihentikan jika ukuran ventrikel menetap pada pemeriksaan
CT scan 3 minggu berturut-turut.
f. Tindakan ini dianggap gagal jika :

15
• Dilatasi ventrikel menetap

• Cortical mantel makin tipis

• Pada lokasi lumbal punksi terjadi sikatriks

• Dilatasi ventrikel yang progresif

Komplikasi : herniasi transtentorial atau tonsiler, infeksi,


hipoproteinemia dan gangguan elektrolit.

2.1.11 Terapi Operasi3,8

Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada


penderita gawat yang menunggu operasi biasanya diberikan : Mannitol
per infus 0,5-2 g/kgBB/hari yang diberikan dalam jangka waktu 10-30
menit.

1. “Third Ventrikulostomi”/Ventrikel III

Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma


optikum, dengan bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang
sehingga CSS dari ventrikel III dapat mengalir keluar.

2. Operasi pintas/”Shunting” Ada 2 macam :


 Eksternal :CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat
hanya sementara. Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang
untuk terapi hidrosefalus tekanan normal.

 Internal

a. CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.


Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor-
Kjeldsen):
Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.
Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus
Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum

16
b. Ventriculoperitoneal Shunt (VP-SHUNT)9,10

Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan


yang dilakukan untuk membebaskan tekanan intrakranial yang
diakibatkan oleh terlalu banyaknya cairan serbrospinal
(hidrosefalus). Cairan dialirkan dari ventrikel di otak menuju
rongga peritoneum2,8.

1. Deskripsi prosedur:

 Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi


dengan anastesi umum selama sekitar 90 menit.
 Rambut dibelakang telinga anak dicukur, lalu dibuat insisi
tapal kuda di belakan telinga dan insisi kecil lainnya di dinding
abdomen.
 Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu selang kateter
dimasukkan ke dalam ventrikel otak.
 Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di
belakang telinga, menuju ke rongga peritoneum.
 Sebuah katup diletakkan dibawah kulit di belakang telinga
yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat tekanan
intrakranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui
katup menuju rongga peritoneum.

Gambar 2. Pemasangan ventrivuloperitoneal


Sumber: indian journal of vo shunt-microbiology

17
2. Komplikasi Ventriculoperitoneal Shunt9,10
Sejumlah komplikasi dapat terjadi setelah pemasangan
ventriculoperitoneal shunt untuk manajemen hidrosefalus.
Komplikasi ini termasuk infeksi, blok, subdural hematom,
ascites, CSSoma, obstruksi saluran traktus gastrointestinal,
perforasi organ berongga, malfungsi, atau migrasi dari shunt.
Migrasi dapat terjadi pada ventrikel lateralis, mediastinum,
traktus gastrointestinal, dinding abdomen, vagina, dan scrotum.9
Infeksi
Infeksi shunt didefinisikan sebagai isolasi organisme dari
cairan ventrikuler, selang shunt, reservoir dan atau kultur darah
dengan gejala dan tanda klinis menunjukkan adanya infeksi atau
malfungsi shunt, seperti demam, peritonitis, meningitis, tanda-
tanda infeksi di sepanjang jalur selang shunt, atau gejala yang
tidak spesifik seperti nyeri kepala, muntah, perubahan status
mental dan kejang9.
Infeksi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan
pada kelompok usia muda. Sebagian besar infeksi terjadi dalam
6 bulan setelah prosedur dilakukan. Infeksi yang terjadi biasanya
merupakan bakteri staphylococcus dan propionibacterial. Infeksi
dini terjadi lebih sering pada neonatus dan berhubungan dengan
bakteri yang lebih virulen seperti Escherichia coli. Shunt yang
terinfeksi harus dikeluarkan, CSS harus disterilkan, dan
dilakukan pemasangan shunt yang baru. Terapi shunt yang
terinfeksi hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan
karena bakteri dapat di tekan untuk jangka waktu yang lama dan
bakteri kembali saat antibiotik diberhentikan.9

Subdural hematom
Subdural hematom biasanya terjadi pada orang dewasa
dan anak-anak dengan perkembangan kepala yang telah
lengkap. Insiden ini dapat dikurang dengan memperlambat

18
mobilisasi paska operasi. Subdural hematom diterapi dengan
drainase dan mungkin membutuhkan oklusi sementara dari
shunt9,10
3. Terapi Komplikasi

 Antibiotik sesual hasil kultur


 External Ventricular Drainage
 Mengangkat shunt

Gambar 3. Terapi komplikasi pemasangan VP-shunt


Sumber: indian journal of vo shunt-microbiology

Terapi pada infeksi shunt hanya dengan antibiotik tidak


direkomendasikan karena meskipun bakteri dapat ditekan untuk
jangka waktu tertentu, namun bakteri akan kembali berkembang
setelah pemberian antibiotik dihentikan. Pada pasien ini dilakukan
eksternisasi selang VP shunt yang berada di distal, selanjutnya
dilakukan pemasangan ekstraventricular drainage, serta pemberian
antibiotik sesuai hasil tes sensitivitas bakteri. Hal ini dilakukan agar
tetap terjadi drainage dari cairan serebrospinal yang belebihan agar
tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial9,10

19
Pada anak yang terpasang ventriculoperitoneal shunt, jika
anggota keluarga mencurigai adanya malfungsi dari shunt atau
tidak adanya penyebab lain dari demam, malaise, perubahan
perilaku anak, maka diperlukan evaluasi dan perhatian terhadap
shunt yang terpasang pada anak tersebut9,10

2.2. ANEMIA4
1. Definisi
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah
eritrosit sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Anemia juga didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih
parameter sel darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau
jumlah sel darah merah (hemoglobin <10 g/dl , hematokrit <30 % , dan
eritrosit < 2,8juta/mm3). Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat
kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan
sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia merupakan gejala dan
tanda penyakit tertentu yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi
dengan tepat. Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3
mekanisme independen yaitu berkurangnya produksi sel darah merah,
meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.
Kriteria anemia menurut WHO adalah14 :
a. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
b. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
c. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
d. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
e. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl

20
Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah :
a. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
b. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
c. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
d. Berat : Hb < 6 g/dl

2. Epidemiologi4
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara
merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi
anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini
dengan warna merah tua.

Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi


tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil
(41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di Indonesia, sekitar
44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0
g/dl, sehingga Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi
anemia.

21
3. Manifestasi Klinis4
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apabila
kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan
penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya.
a. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (HB < 7). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b. Gejala khass masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya,
pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan.

22
4. Diagnosis4,14
Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian
manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
- Sediaan Apusan Darah Tepi
 Ukuran sel
 Anisositosis
 Poikilositosis
 Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting
apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah
anisositosis menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan
poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka
ragam.
- Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi
anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas
dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan
dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam
sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan
penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah
isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah.
Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan
hematrokit pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila
ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini
disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang

23
sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi.
Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.
- Persediaan dan Penyimpanan Besi
 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
 Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100
µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan
TI,BC dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan
persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan
puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh.
Namun, feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan
inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
- Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan
pada sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau
penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu
kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis
sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
- Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit
dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek
sibtesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila
>100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC
dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
5. Tatalaksana4
a. Anemia Defisiensi Besi

24
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi
penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia
defisiensi besi dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral
atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama
efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian parenteral
dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat memakan obat peroral atau
kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada gangguan
pencernaan.
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -
6 mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat
mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar
akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2
– 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi
pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama (murah dan efektif), dosis 3 x 200 mg.
Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping
bhampir sama.
- Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan
berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat

25
(misal preoperasi, hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering
digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric
acid complex.
b. Anemia Penyakit Kronik
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia
penyakit kronik berupa:
- Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
- Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B 12.
- Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
- Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi
pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi
kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10
g/dL.
c. Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 –
10 g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan
eritropoesis internal.
d. Trombosit  profilaksis untuk penderita dengan trombosit <
10.000–20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau
demam, maka diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang
lebih tinggi.

26
2.4 ANESTESI UMUM

2.3.1 Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi
umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya
rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan
senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi
umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap)
yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran,
dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu
tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra
anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan
operasi.1
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien
batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehiduannya.
ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan

27
perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau
III E.1
Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai
dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:1
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin
(misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin)
untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum
pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan.
2.3.2.Tahap-tahap Anestesi 1,2
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium
induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi
sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi
urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan
tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan
takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya
anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih
ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea
terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot

28
perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata
kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium III dibagi dalam 4
plana:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil
miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga
dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot
interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya
hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).

Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau


overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil
dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena
terhentinya sekresi lakrima
Tabel 3. Tahap Anestesi
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan
sadar dan diakhiri dengan
hilangnya kesadaran. Sulit
untuk bicara; indra

29
penciuman dan rasa nyeri
hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin terjadi.
Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau Terjadi kehilangan kesadaran
delirium akibat penekananan korteks
serebri. Kekacauan mental,
eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan
biasanya dilakukan pada
tahap ini
4 Paralisis Tahap toksik dari anestesi.
medular Pernapasan hilang dan terjadi
kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi

2.3.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal 1,2


Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat,
induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam,
(3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang
dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang
tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP
(obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar
dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.1

30
2.3.4 Obat-obat Anestesi Umum1,2
Tahapan Tindakan Anestesi Umum7
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
a) Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus misalnya
alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas
pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya
dengan baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
dapat menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan
digunakan ulang misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan
apnea berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah
relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium

31
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan,
dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya
pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang adalah yang berasal dari The American
Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini
bukan alat perkiraan risiko anestesi karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas.
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat
tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam.
 Pada bedah cito atau emergency biasanya
dicantumkan huruf E.

32
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam
jalan napas merupakan risiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5
jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis
sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum
induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
a. Kunjungan pre-anestesi.
b. Pengertian masalah yang dihadapi.
c. Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.

33
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara
intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi jika diberikan secara
intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin
dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB

34
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB

a. Induksi anestesi1,2,7
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

35
Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:
a. Induksi intravena
 Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
 Obat-obat induksi intravena :
 Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan
dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1
ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan
dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiophental akan menyebabkan pasien berada
dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi
napas. Tiophental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi
otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-
analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang
lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi
mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.
 Propofol (diprivan, recofol)

36
Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan derivat
fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena.
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang
diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di
reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
 Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”. Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg).

 Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)


Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk induksi

37
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
 N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi,
tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan
analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
 Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

38
 Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan.
 Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
 Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
 Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah
dan selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi

39
dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

2.3.5. Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi2


Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat
dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien.
Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau
kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga
walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Secara
umum komplikasi anestesi yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi
antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.2

a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan
memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit
di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur
berdekatan, terutama arteri dan saraf. Beberapa obat yang
mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan
tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin
menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.2
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat
intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman.

40
Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai
kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika
dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat
menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–
kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa
hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha. Kerusakan
pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya
sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang
kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf,
seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae,
yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang
mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris
sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus
radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang
menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak
dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi
atau rotasi eksternal terlalu jauh.2

2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk
hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis,
bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal
hipostatik, plurisi, dan superinfeksi. 2
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah
obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah
induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat
sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap
anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang

41
mencakup sekresi dan kandungan asam lambung. Intubasi yang
gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi
lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak
dipersiapkan.2
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca
bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot
setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi
sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan
ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka
bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif
dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika
PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.2

3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain
hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung.
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang
dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan
oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan
reaksi transfusi.2
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh
analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah
hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit,
dan pengaruh beberapa obat tertentu.2

42
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh
halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum
mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan sekitar 100–400
per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat anestesi
mengurangi kemanjuran susunan kekebalan dan membuat
pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis
virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. 2
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan
anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama
pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera,
bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi
perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika
kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama
masa pasca bedah.2
2.3.6. Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab.
Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya
tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan
baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan,
nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang
mungkin dapat terjadi antara lain:2
a. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh
hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus
kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak
dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia
respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi

43
setelah henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat
mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat
yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.2
b. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat c.
Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari
sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan
atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler,
dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel.
Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang
berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi
kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen,
demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung).2
.
2.4 ANESTESI PADA PEDIATRIK11
Anestesia pada bayi dan anak berbeda dengan anestesia pada
orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini1.
Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa, anestesia anak dan bayi
khususnya harus diketahui betul sebelum melakukan anestesia karena alas
an itu anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis
anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman.11

Tabel 4. Pembagian pediatri berdasarkan perkembangan biologis:11

1. Neonatus Usia dibawah


28 hari
2. Bayi ( infant) Usia 1 bulan -
1 tahun
3. Anak ( child) Usia 1 tahun -
12 tahun

44
2.4.1. Fisiologi pada Neonatus 11,12
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim
sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat
besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa
ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem.12
Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan
pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari
kehidupan didalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi
kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang
paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir
meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah
sistem pernapasan sirkulasi, ginjal dan hepar. Maka dari itu sangatlah
diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan
suatu tindakan anestesi terhadap neonatus.11

a. Sistem Pernapasan Jalan Napas


Otot leher bayi masih sangat lunak, leher lebih pendek, sulit
menyangga atau memposisikan kepala, dengan tulang occipital yang
menonjol. Lidah neonatus relative besar, epiglottis berbentuk “U”
dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut sekitar 450, relatif
lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada
palatum molle sehingga cenderung bernapas melalui hidung. Akibat
perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi kadangkala
diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi. Sementara
lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relatif sempit, sehingga
dapat meningkatkan resistensi jalan napas, mudah sekali tersumbat
oleh adanya sekret atau edema. Trakea neonatus yang pendek,
berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit adalah pada
bagian cricoid.12

45
Gambar 4. Anatomi jalan napas pada pediatrik
Sumber: pediatric anesthesia (2002)

Pernapasan :
Pada neonatus rongga dada lemah dan ukurannya kecil dengan
iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar.
Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negatif
intratorakal dan volume paru rendah, sehingga memudahkan
terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernapas
secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negatif dapat timbul
dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas
anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat
kesulitan bernapas dan perutnya kembung dipertimbangkan
pemasangan pipa lambung.12
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung
mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan
pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan
menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume
tidalnya relatif tetap. Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai
dengan cara menaikkan frekuensi napas, karena itu neonatus mudah
sekali gagal napas.
Peningkatan frekuensi napas juga dapat akibat dari tingkat
metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan
oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan
ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua
kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa

46
desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada
neonatus prematur, karena adanya stress dingin maupun sumbatan
jalan napas.
Tabel 2. Perbedaan fisiologi pernapasan pada anak dan dewasa12

Variable Anak-anak Dewasa


Frekuensi pernapasan 30-50 12-16
Tidal Volume ml/kg 6-8 7
Dead space ml/kg 2-2.5 2.2
Alveolar ventiltion 100-150 60
FRC 27-30 30
Konsumsi Oxygen 6-8 3

b. Sistem Sirkulasi Dan Hematologi


Aliran darah fetal bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan
pembuluh paru yang besar (lebih tinggi dibanding tahanan vaskuler
sistemik =SVR) hanya 10% dari keluaran ventrikel kanan yang sampai
paru, sedang sisanya (90%) terjadi shunting kanan ke kiri melalui ductus
arteriosus Bottali.12
Pada waktu bayi lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara
mendadak (saat umbilical cord dipotong/dijepit), tekanan atrium kanan
menjadi rendah, tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) naik dan pada
saat yang sama paru mengembang, tahanan vaskuler paru menyebabkan
penutupan foramen ovale (menutup setelah beberapa minggu), aliran
darah di ductus arteriosus Bottali berbalik dari kiri ke kanan. Kejadian
ini disebut sirkulasi transisi. Penutupan ductus arteriosus secara
fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan kontraksi
otot polos pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia 2-
3 minggu.12
Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang,
sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume
juga sangat kurang ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus
dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan sistolik
merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan

47
dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian
volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap
terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg.
Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah
sekitar 80/60 mmHg.11

Ventrikel kiri pada anak-anak lebih nonkomplians dan serat-serat


kontraktil yang sedikit, namun kebutuhan metabolisme anak-anak tetap
lebih tinggi dari orang dewasa sehingga cardiac output juga harus tinggi
(anak-anak : 200 ml/kg/min , dewasa : 70 ml/kg/min), Cardiac output
ditentukan dari kadar volume kuncup dan detak jantung, karena
kontraktilitas ventrikel kiri yang rendah pada anak-anak maka
kompensasi dicapai melalui peningkatan detak jantung. Karena detak
jantung yang tinggi pada anak-anak maka pada saat induksi anestesi
dapat terjadi ventrikuler ekstra systole yaitu sebuah arritmia jantung
yang dapat diatasi dengan memperdalam anestesi. Di sisi lain anak-anak
rentan terhadap peningkatan tonus parasimpatis dan dapat dicetuskan
oleh hypoxia ataupun stimulus menyakitkan seperti pemasangan
laryngoskopi ataupun intubasi, hal tersebut dapat menurunkan cardiac
output secara dramatis, hal ini dapat diatasi dengan pemberian atropine,
sedangkan bradycardia yang dicetus oleh hypoxia dapat diatasi dengan
pemberian oksigen dan ventilasi yang baik11,12

Tabel 3. Variasi Laju Nadi dan Tekanan Darah pada Pasien Anak11

Usia Laju Nadi Tekanan Systolik Tekanan Diastolik


Preterm (1000g) 130-150 45 25
Newborn 110-150 60-75 27
6 bulan 80-150 95 45
2 tahun 85-125 95 50
4 tahun 75-115 98 57
8 tahun 60-110 112 60

Neonatus memiliki kadar HbF 70-90% dimana HbF memiliki


efek protektif terhadap anemia sel sabit, selain itu HbF memiliki afinitas
yang tinggi sehingga mudah mengikat oksigen namun karena kadar 2,3
DPG rendah maka pelepasan oksigen ke jaringan lebih sulit

48
dibandingkan dengan HbA, hal ini diatasi dengan kadar Hb bayi yang
lebih tinggi yaitu sekitar 18-20 g/dL dengan hematocrit 0.6 . Seiring
waktu akan terdapat penurunan kadar Hb yang tajam dan akan
ditemukan anemia fisiologis pada usia 3 bulan, hal tersebut menandakan
transisi produksi hemoglobin Fetal menjadi menjadi hemoglobin Adult,
setelah fase ini maka hemoglobin akan meningkat secara perlahan13

Gambar 5. Proses Transisi HbF menjadi HbA pada Anak14

Tabel 4. Kadar Hb pada Anak14

Usia Kadar Hb (g/dL)


1- 7 hari 16-20
1 – 4 minggu 11-16
2 – 3 bulan 10-12
3bulan-1thn 10-12
tahun
5 tahun 11-13

Volume darah pada bayi lebih tinggi daripada orang dewasa, hal
tersebut akan mempengaruhi jumlah cairan atau darah yang harus
ditransfusikan bila terjadi hypovolemia. Rumus ABL (Allowable Blood
Loss) digunakan untuk mencari jumlah cairan yang dibutuhkan dan
dihitung dengan rumus: ( ABL:EBV X Ht1Ht−1Ht2 ).

49
EBV : Estimated Blood Volume, HT1 : Hematocrit (atau bisa
hemoglobin) awal (normal pria: 42-52%, wanita : 37-47%), HT2 :
Hematocrit (atau bisa hemoglobin) akhir.14
Tabel 5. Kadar Volume darah pada Anak dan Dewasa14

Sebelum Operasi disarankan dibuat perhitungan estimasi


kehilangan darah pada saat intraop sebelum dilakukan operasi, dan bila
mungkin dapat diberikan terapi preoperatif seperti supplemen besi. Bila
pasien dengan anemia kronis tidak dapat menerima transfusi darah
karena alasan tertentu atau memiliki penyakit ginjal dapat dibantu
dengan pemberian EPO (Erythropoietin)..13,14

c. Sistem Ekskresi Dan Elektrolit14


Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus
hanya sekitar 30% dibanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum
matang, resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amino
dan bikarbonat juga rendah. Bayi baru lahir sukar memekatkan air
kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang dewasa.
Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap
sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap setelah 2
tahun.1,2

Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi


obat-obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan
ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan
abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh
pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama
hiponatremi. Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat
dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa.

50
Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada
setiap pemberian cairan.14

Anak kecil memiliki kadar air dalam tubuh yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dewasa , dengan kadar TBW (Total Body
Water) pada bayi prematur 90% berat badan, bayi aterm 80% dan bayi
berusia 6-12 bulan 60%3 . Hal tersebut memiliki 2 dampak, dampak
pertama adalah peningkatan volume distribusi obat sehingga
penggunaan beberapa obat anestesi seperti thiopental pada anak-anak
harus dengan dosis 20-30% lebih besar dibandingkan dengan dewasa.14

Dampak kedua adalah semakin banyak TBW maka akan semakin


rentan terhadap terjadinya dehidrasi, anakanak membutuhkan kadar
TBW yang lebih banyak karena kadar metabolisme tubuh yang tinggi
serta kemampuan laju filtrasi glomerulus(GFR) yang lebih rendah
sehingga pengeluaran urin lebih banyak dari dewasa, waktu paruh obat
yang dimetabolisme di ginjal akan meningkat serta toleransi yang
rendah terhadap pemberian air dan garam (GFR saat lahir : 40 ml/min ,
usia 1 tahun : 100 ml/min, Dewasa : 130 ml/min)13,14

Tabel 6. Kebutuhan Cairan Dasar13,14

d. Fungsi Hepar
Pada Anak-anak maturitas fungsional hati belum sepenuhnya
terbentuk, sebagian besar enzim untuk metabolisme obat sudah
diproduksi namun belum terstimulasi oleh obat tersebut. Seiring
pertumbuhan anak-anak kemampuan untuk metabolisme obat akan
meningkat secara drastis dan menjadi siap dalam usia beberapa bulan,
hal tersebut disebabkan 2 hal, pertama adalah peningkatan aliran darah

51
ke hati sehingga lebih banyak obat masuk ke dalam hati, dan sistem
enzim yang diproduksi sudah dapat distimulasi oleh obat tersebut9,10.
Kadar albumin dan beberapa protein yang dibutuhkan untuk berikatan
dengan obat pada plasma lebih rendah di anak-anak dibandingkan
dewasa, kondisi tersebut akan mengakibatkan lebih banyak obat bebas
beredar di sirkulasi karena tidak berikatan dengan albumin, selain itu
hyperbilirubinemia dapat terjadi karena perpindahan bilirubin dari
albumin yang disebabkan oleh obat sehingga pasien menjadi ikterus13,14

Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme


karbohidrat yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya
hipoglikemia dan asidosis metabolik. Hipotermia dapat pula
14
menyebabkan hipoglikemia.

Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada


bayi baru lahir adalah 50-60%. Neonatus rentan terhadap terjadinya
hypoglikemia, faktor resiko lain adalah bayi dari ibu yang menderita
diabetes, prematur, stress perinatal dan sepsis. Untuk mengatasi hal
tersebut maka bayi dengan faktor resiko dapat diberi dextrose
515mg/kg/menit.

Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui


tandatanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi
kejang. Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan
rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara
rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg
intra muscular. Hati-hati penggunaan opiat dan barbiturat, karena kedua
obat tersebut dioksidasi dalam hati.14

e. Sistem Saraf
Waktu perkembangan sistem saraf, sambungan saraf, struktur
otak dan myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi
pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4
tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2
tahun. Waktu-waktu ini otak sangat sensitive terhadap keadaankeadaan
hipoksia.14

52
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonatus
belum dapat melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah
besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih
rendah disbanding orang dewasa. Perkembangan yang belum sempurna
pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas
dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.14
Saraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan
terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110
kali/menit) terutama pada saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila
ada stimulasi daerah nasofaring. Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah
berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan
permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasi obat-
obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang
lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat
relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat
menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan, depresi pernapasan dan
apnoe pada periode pasca anestesi.14
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan
hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen
tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.13
f. Pengaturan Temperatur
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang,
walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal,
mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan
berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable
terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat
terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Produksi
panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang
dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula,
axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi
panas dari lemak coklat.13

53
Hipotermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas,
selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan
keringat (misal: atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa
disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh
terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi darah dingin, irigasi oleh
cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan pusat
regulasi suhu) maupun obat vasodilator.13
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus
adalah 270C. Paparan dibawah suhu ini akan mengandung resiko
diantaranya: cadangan energi protein akan berkurang, adanya
pengeluaran katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan
tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh lagi dapat menyebabkan
lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolik.
Untuk mencegah hipotermia bisa ditempuh dengan : memantau suhu
tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut
hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu
pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang
digunakan yang hangat.13
g. Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang
diberikan pada neonatus berbeda dibandingkan dengan dewasa karena
pada neonatus :14
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan
ekstravaskuler berbedadengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses
biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak,
jantung, liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi sistem
pernapasan: ventilasi alveolar tinggi, Minute volume, FRC
rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas

54
akan meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan
mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih
peka terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme
kompensasi yang belum sempurna dan depresi miokard hebat.
Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate
agaknya sangat toksisk pada neonatus disbanding dewasa. Hal ini
mungkin karena obat-obat tersebut sangat mudah menembus
sawar darah otak, kemampuan metabolisme masih rendah atau
kepekaan pusat napas sangat tinggi. Sebaliknya neonatus
tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin. Bayi umumnya
membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi
disbanding dewasa karena ruang extraselulernya relatif lebih
besar. Respon terhadap pelumpuh otot non depolarisasi cukup
bervariasi.13,14

2.4.2 Persiapan Anestesi pada Pediatrik11,13


a. Evaluasi Preoperatif
Sebelum melakukan persiapan anestesi pediatrik, lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Tabel 5. Pertanyaan yang diberikan pada saat anamnesis preoperatif3
1) Usia Gestasi dan Berat Lahir
2) Masalah selama kehamilan dan persalinan serta skor APGAR
3) Riwayat Penyakit Sekarang
4) Riwayat Penyakit Dahulu
5) Kelainan kongenital atau metabolik
6) Riwayat pembedahan
7) Riwayat kesulitan anestesi pada keluarga dan pasien
8) Riwayat Allergi
9) Batuk , Episode Asma, ISPA yang sedang dialami
10) Waktu terakhir makan dan minum.

55
Tabel 6. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien preoperatif3

Keadaan umum
Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu
Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
Adanya gigi yang lepas atau goyang
Sistem respirasi
Sistem Kardiovaskuler
Sistem Neurologi

 Pemeriksaan Laboratorium11

Beberapa pemeriksaan penunjang disarankan bagi beberapa


pasien anak dengan kondisi khusus. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan
apabila diperkirakan akan ada banyak pendarahan pada saat operasi,
bayi prematur, penyakit sistemik dan penyakit jantung kongenital.
Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan bila terdapat penyakit
ginjal ataupun metabolik lainnya dan pada kondisi dehidrasi.
Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila terdapat penyakit paru-paru,
skoliosis ataupun penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang lainnya
dapat dilakukan sesuai penyakit pasien yang ditemukan14

Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi,


elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau
mendekati normal. Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan
kasus gawat darurat. Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan
PVR (Pulmonary Vascular Resistance) berpengaruh pada status
asam-basanya.14
Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat
mungkin menggunakan incubator yang telah dihangatkan. Sebelum
bayi masuk kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC
misalnya.14

56
Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran
gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan.
Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik
dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik.

Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia.
Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan berilah air
gula 2 jam sebelum anestesi.13,14

Tabel 7. Puasa Preoperatif pada pasien anak7

Usia Air bening ASI Susu Formula Makanan


Padat
Neonatus – 6 2 jam 4 jam 4 jam -
bulan
6 – 36 bulan 2 jam 4 jam 6 jam 6 jam
>36 bulan 2 jam - 6 jam 8 jam

Infus
Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa,
mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat
perdarahan, dll. Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10%
dalam cairan elektrolit.14
Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami
dehidrasi akibat puasa lama atau sulit minum, kehilangan cairan lewat
gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau
sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh
lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat mudah terjadi karena luas
permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler
relative lebih besar serta fungsi ginjal belum matang.14
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam
waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin

57
(>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010), ataupun dengan
pemasangan CVP (Central Venous Pressure).11

b. Persiapan Anestesi
 Scope : Laringoskop apakah lampunya cukup terang atau tidak,
serta Stethoscope.
 Tubes : ETT dipersiapkan dengan ukuran sesuai dan satu
ukuran dibawah dan diatasnya. Airway : alat untuk menahan
lidah agar tidak jatuh yakni pipa orofaringeal Guedel atau pipa
nasofaringeal.
 Tapes : Plester untuk fiksasi ETT
 Introducer : kawat untuk dimasukan ke dalam ETT
 Connector : penghubung antara ETT dengan sirkuit napas
 Suction : mesin pengisap untk membersihkan jalan napas.
Peralatan Elektronik : Lampu ruangan
 Mesin anestesia
 Mesin penghangat tempat tidur
 Infusion pump
 Syringe pump
 Defibrilator

Sumber Gas : O2,N2O , Halothane, Isoflurane dan gas sejenis serta


dipantau dengan penggunaan flowmeter Ukuran peralatan yang dipergunakan
harus sesuai. Tabel di bawah ini memperlihatkan ukuran peralatan jalan napas
untuk pasien anak anak.

Tabel 8. Peralatan jalan napas untuk pasien pediatri.

Prematur Naonatus Bayi Prasekolah Anak


kecil
Umur 0-1 bl 0-1 bl 1-12 1-3 th 3-8 th
bl
BB (kg) 0.5-3 3-5 4-10 8-16 14-30
ETT 2,5-3 3-3,5 3,5-4 3,5-4 4,5-
(mmID) 5,5
Dalam ET 6-9 9-10 10- 12-14 14-16
12
Isap lendir 6 6 8 8 10
(F)

58
Laryngoskop 00 0 1,5 1,5 2
Masker
Ukuran 00 0 1 1 2
Masker
LMA - 1 1,5 1,5 2,5
ETT : Endo Tracheal Tube, BB: Berat Badan, LMA; Laryngeal Mask Air way

c. Premedikasi
Tujuan pemberian premedikasi pada pasien anak sama dengan
orang dewasa yakni untuk menurangi ansietas pasien, mengurangi
rasa nyeri yang dialami, menurunkan dosis obat untuk induksi, serta
mengurangi sekresi jalan napas, namun pemberian pre-medikasi pada
anak dapat memfasilitasi perpisahan dengan orang tuaa dan
memudahkan proses intubasi bila dibutuhkan3. Beberapa obat pre-
medikasi yang paling sering diberikan adalah midazolam dan
ketamine7. Pemberian obat sedasi harus diberikan hati-hati bila pasien
memiliki gangguan saluran napas dan pemberian harus dihindari bila
pasien memiliki gangguan neurologis atau peningkatan tekanan
intrakranial serta bila ada resiko besar terjadinya aspirasi atau
regurgitasi di lambung11,14

Pasien anak-anak yang memerlukan premedikasi dan sedasi


untuk membuat mereka menjadi kooperatif, adalah yang termasuk di
bawah ini:

1. Anak-anak yang memiliki riwayat operasi sebelumnya


sehingga menjadi terlalu takut akan ketidaknyamanan akan
perawatan di rumah sakit dan operasi berikutnya.
2. Anak-anak di bawah usia sekolah yang tidak dapat dipisahkan
dari orang tuanya secara mudah, dimana ahli anestesi merasa
kehadiran orang tuanya pada saat induksi tidak akan
menguntungkan.
3. Anak-anak yang terbatas komunikasinya yang disebabkan
karena keterbelakangan mental (misalnya autisme), dan orang
tua berperan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan
sang anak saat induksi

59
4. Keadaan-keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada
usaha perlawanan dari ataupun sikap tidak kooperatif, atau
menangis dari sang anak.
5. Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi.
Remaja sering merasa ketakutan akan kehilangan penampilan
tubuhnya, kematian.

Anak-anak Yang Cenderung Mengalami Komplikasi :


Ada beberapa kelompok anak-anak yang memiliki
kecenderungan lebih untuk mengalami komplikasi, dan perhatian
lebih tentu harus diberikan sebelum premedikasi dilakukan.

Riwayat spesifik seperti obstruksi saluran pernapasan atas,


aspirasi, control refleks yang buruk, batuk dan muntah yang tak
terkoordinasi, harus diperhatikan sebelum pemberian premedikasi.
Riwayat apnoe, obstruksi, merupakan kontraindikasi yang absolute.
Anak-anak yang memiliki kelainan seperti di bawah ini harus
diperlakukan secara berhati-hati dalam pemberian premedikasi:

1. Hipertropi Adenoid
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar
untuk mengalami obstruksi jalan napas dari tingkat sedang sampai
parah. Komplikasi yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang
memiliki hipertropi tonsil.

2. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome
hipomandibularisme relative, obstruksi jalan napas merupakan
komplikasi potensial pada pasien-pasien ini.

3. Pasien dengan Kelainan Neurologi


Respon dari anak yang mengalami kelainan neurology berbeda-beda.
Dapat terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat

60
kelompok anak-anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan
sewaktu diberikan sedasi, bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.

4. Distrofi muscular.
Pasien pada kelompok ini , bila mereka menggunakan kursi roda,
dokter harus lebih berhati-hati , terutama terhadap efek depresi
respiratorik.

5. Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg


Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg tidak memerlukan sedasi
pre operasi, karena mereka dapat dipisahkan dengan mudah dari
orang tuanya dengan tingkat kecemasan yang rendah,. Onset , durasi,
efek samping obat-obatan terhadap anakanak ini tak dapat
diramalkan.

61
Obat-obat premedikasi
Tabel 9. Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan
efeknya5
Nama Obat Agen Cara Dosis Onset Efek
Pemberian ( menit)
Benzodiazepi Midazolam Oral 0,3- 15-30 Depresi
n Diazepam Nasal 0,7mg/kgBB 5-10 system
0,1- pernapasan,
0,2mg/kgBB eksitasi
postoperative
eksitasi
Dissosiatif Ketamin Oral 3-8 mg/kgBB 10-15 Eksitasi
IM 2-5 mg/kgBB 2-5 Meningkatkan
TD, tekanan
intra cranial
meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0, 2 15-30 Depresi
Meperidin IM mg/kgBB 15-30 system
Fentanil oral 0,5-1 5-15 pernapasan
mg/kgBB Depresi
10-15 system
µg/kgBB pernapasan

62
Depresi sitem
pernapasan
Barbiturat Pentobarbital Oral 3 mg/kgBB 60 Eksitasi
Tiopental Rectal 30 mg/kgBB 5-10 postoperative
yang
memanjang
Depresi
system
pernapasan,
Eksitasi
postoperative
yang
memanjang
Antikolinergik Atropin Oral 20 µg/kgBB 15-30 Flushing
Scopolamin IM 20 µg/kgBB 5-15 Mulut kering
IV 10- 30 Rasa gembira
IM 20 µg/kgBB 15-30 halusinasi
20 µg/kgBB
H2 Antagonis Cimetidine Oral 7 ,5mg/kgBB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60
Keterangan : IM : Intra Muscular
IV : Intra Vena

Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan efeknya11:


1. Midazolam
Obat makan yang sering digunakan. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,5mg/kgBB sampai 20mg/kgBB. Dosis ini hamper selalu
efektif dan mempunyai batas aman yang luas. Efek sedasi dan
hilangnya cemas dapat timbul 10 menit setelah pemberian. Patel dan
5
Meakin telah membandingkan midazolam oral dan
diazepamdroperidol sampai trimeprazine, dan mendapatkan hasil
yang lebih baik pada preoperatif dan post-operatif pada midazolam
dalam menghilangkan kecemasan dan menimbulkan efek sedasi.

63
2. Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama
dengan obat oral cair meperidine, diazepam dan atropine. Namun
efek samping yang tak dapat diramalkan berupa depresi pernafsan,
pruritus dan mual muntah merupakan kerugian sehingga tidak
diterima secara universal.

3. Ketamin
Bentuk oral merupakan alternative yang popular. Gutstein dan
koleganya membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6 mg/kgBB
dari ketamin oral. Ketamin tidak berefek terhadap depresi
pernapasan, dan takikardi. Ketamin juga dapat diberikan bersamaan
dengan permen pada dosis 5-6mg/kgbb tanpa hambatan.

4. Barbiturat
Telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat
premedikasi. Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi yang
lama. Pentobarbital 3mg/kgBB sampai 30mg/kgBB memiliki onset
satu jam dan durasi samapai 6 jam. .Kerugiannya adalah efek sedasi
yang panjang dan tidak cocok untuk pembedahan yang singkat atau
emergensi yang memerlukan persiapan yang cepat.

d. Masa Anestesi1,12
1) Induksi
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan tersebut meliputi:

• Persiapan kamar operasi


• Rencana untuk mendapatkan sikap kooperatif dari pasien
• Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
• Obat adjuvant untuk induksi anestesi
• Monitoring pasien
• Rencana-rencana tambahan dalam menghadapi berbagai macam
situasi klinik yang tak terduga.

64
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang
membantu. Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang
sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau
seintravena.7,8 Induksi inhalasi.Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit
dicari venanya atau pada yang takut disuntik.

Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N20 dalam oksigen


50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol% kemudian dinaikkan
setiap beberapa kali bernapas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka mula-
mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur
barn dirapatkan ke muka penderita. Pada waktu induksi sebaiknya ada yang
membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil mungkin.
Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.11,14

Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan
tiopenton (pentotal) 2~4 mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak.
Induksi dapat juga dengan ketamin (ketalar) 1-2mg/kg.LV. Kadang-
kadang ketalar diberikan secara intra muskular.11

Banyak ahli anestesi pediatrik, yang terampil dalam menangani


vena yang kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg).
Yang lain lebih suka menggunakan induksi inhalasi disertai dengan
campuran kaya oksigen disertai atau tanpa nitrogen oksida. Entluran
efektiftetapi kurang kuat dan harus menggunakan kadar yang lebih
tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih sering dipakai dibeberapa
tempat, tctapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak
disediakan.11,14

Banyak ahli anestesi pediatrik, yang terampil dalam menangani


vena yang kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg).
Yang lain lebih suka menggunakan induksi inhalasi disertai dengan
campuran kaya oksigen disertai atau tanpa nitrogen oksida. Entluran

65
efektif tetapi kurang kuat dan harus menggunakan kadar yang lebih
tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih sering dipakai dibeberapa
tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak
disediakan.11
2) Intubasi
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-
tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada
neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya
menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar
dengan lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan
napas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi perlu pembantu guna
memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar
(awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan
akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi
premature.
Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan
dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
ataupun tanpa pelumpuh otot. Pelumpuh otot yang digunakan adalah
suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.11,14
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic,
tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran
diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. idealnya
menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi
masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25
cmH2O masih sedikit bocor. Sesuai anatomi jalan napas pasien anak,
pada intubasi disarankan menggunakan blade lurus, namun blade
bengkok dapat digunakan bila pasien memiliki berat 6-10 kg.
Penggunaan ETT lebih disarankan jenis tanpa cuff pada pasien
berusia dibawah 8 tahun, serta usahakan terdapat sedikit bocoran
pada ETT. Ukuran ETT pada anak-anak dapat menggunakan rumus
Modified Cole formula dan Khine Formula: [(Usia/4) + (4, bila tanpa
cuff jadinya ditambah 3)]. Kedalaman ETT dapat diperkirakan

66
dengan menggunakan rumus : [(Usia/2) + (12) bila pada anak berusia
>2 tahun, bila usia anak <2 menggunakan rumus: (Ukuran ETT X
3)16. Kedalaman ETT dapat diperhitungkan dengan rumus namun
tetap harus disesuaikan secara klinis dengan mendengarkan suara
napas kedua paru pasien. Penggunaan LMA disesuaikan dengan berat
badan pasien.11,14

Tabel 10. Panduan Penggunaan LMA untuk pasien anak

Ukuran LMA Berat Badan


1 <5 kg
1.5 5-10 kg
2 10-20 kg
2.5 20-30 kg
3 >30 kg

Tatalaksana Jalan Napas Pediatrik

Pada saat induksi pasien sebaiknya ditempatkan dalam posisi


bernapas yang pasien paling nyaman, namun pada saat sudah dipasang
intubasi sebaiknya pasien ditempatkan dalam posisi sniffing untuk
membuka jalan udara. Selain itu pasien diberikan ganjalan agar dapat
membuka LA (Laryngeal Angle), OA (Oral Angle), dan PA
(Pharyngeal Angle) agar memudahkan proses ventilasi. Pasien juga
dilakukan jaw thrust agar mandibula dapat terangkat dan membuka
glotis sehingga mulut laring dan faring akan lebih besar dan lebih
mempermudah proses ventilasi.11

Gambar 5. Penggunaan Ganjalan untuk membuka jalan napas11

67
e. Tahap Intra Bedah Pemeliharaan anestesia :
1) Pemantauan :
1. Pernapasan
- Stetoskop prekordial
- Pada napas spontan, gerak dinding dada, dan bag reservoir
- Warna ekstremitas
2) Sirkulasi
- Stetoskop perikordial
- Perabaan nadi
- EKG dan CVP
3) Suhu
- Rektal
4) Perdarahan
- isi dalam botol suction
- Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah
- Periksa Hb dan Ht secara serial
5) Air Kemih 11,14
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan
napas kendali. Penggunaan sungkup muka dengan napas spontan
pada bayi hanya untuk tindakan ringan yang tidak lama.
Gas anestetika yang umum digunakan adalah N20
dicampur dengan 02 perbandingan (0-65%) dan (35-100%).
Walapun N20 mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat
anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan
halotan, enfluran atau isofluran.
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau
pacta berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per
dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif,
karena itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit demi
sedikit.

68
2) Kebutuhan cairan perioperatif
Pemberian cairan pada anak harus sangat hati-hati karena
sempitnya toleransi kesalahan. Untuk pemberian yang tepat dapat
digunakan infus pump atau mikrodrip buret. Obat dimasukkan melalui
jalur yang paling dekat ke vena anak untuk mengurangi masuknya
cairan yang tidak diperlukan. Kelebihan cairan dapat dilihat dari
adanya vena yang membesar, kulit berwarna merah, tekanan darah
meningkat, penurunan kadar natrium plasma dan menghilangnya
lipatan kulit pada kelopak mats atas. Pemberian cairan pada anak
anak dapat meliputi cairan pemeliharaan, mengganti defisit,
mengganti cairan yang hilang.12
 Kebutuhan cairan pemeliharaan
Kebutuhan cairan pemeliharaan pada anak dapat
diformulasikan dengan rumus 4:2:1 yaitu :10 kg pertama: 4
ml/kg/jam, 10-20kg berikutnya : 2ml/kg/jam, seterusnya: I
ml/kg/jam. Pemilihan jenis cairan masih kontroversial. Cairan
seperti D51/2 NS dengan 20 mEq/L potasium klorida memberikan
dekstrosa dan elektrolit yang cukup. Pada neonatus, dapat
diberikan D51/4NS karena masih terbatasnya kemampuan ginjal
dalam menghadapi kelebihan natrium.11
 Defisit
Di samping cairan pemeliharaan , defisit cairan yang ada
misalnya karena puasa harus diganti. Pengganti defisit ini
diberikan 50 % pada jam pertama, 25% pada jam kedua dan 25%
sisanya pada jam ketiga. Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia
dihindari cairan yang banyak mengandung dekstrose. Defisit
cairan preoperasi biasanya diganti dengan cairan seimbang seperti
ringer laktat atau ½ NS. Dibanding dengan ringer laktat, cairan
garam fisiologis lebih sering mengakibatkan asidosis
hiperkloremik.11

69
Cairan Pengganti
Penggantian cairan dapat dibedakan menjadi mengganti
darah yang hilang dan mengganti cairan di rongga ketiga.11

1. Mengganti darah
Jumlah darah pada neonatus prematur 100mi/kg
neonatus full term 8590 ml/kg dan bayi 80 mg/kg, ini lebih
tinggi dibanding pada orang dewasa yaitu 65-75 mg/kg.
Hematokrit bayi baru lahir 55 % yang akan menurun menjadi
30 % pada umur 3 bulan dan kemudian naik lagi menjadi 35%.
pada umur 6 bulan. Hemoglobin juga mengalami perubahan
pada periode ini yaitu HbF (Afinitas terhadap oksigen tinggi,
PaO2 rendah, sulit melepas 02 ke jaringan) yang pada saat lahir
mencapai 75% menjadi 100% HbA (Afinitas terhadap oksigen
rendah, Pa02 tinggi, mudah melepas 02 ke jaringan) pada umur
6 bulan.11
Darah yang hilang dapat diganti dengan cairan kristaloid
dengan perbandingan 3:1, atau larutan koloid dengan
perbandingan 1:1 sampai mencapai hematokrit yang
diperbolehkan. Di bawah batas toleransi hematokrit darah yang
hilang harus diganti dengan darah. Batas hematokrit ini pada
neonatus prematur dan sakit kira kira 40 - 50 %, pada anak
yang lebih besar 20- 26%.11
Karena volume intra vaskuler yang kecil anak anak
mudah terjadi gangguan elektrolit (hiperglikemia, hiperkalemia,
dan hipokalsemia) pada tranfusi darah yang cepat. Thrombosit
dan FFP (Fresh Frozen Plasma) 1015ml/kg dapat diberikan
pada kehilangan darah yang mencapai 12 kali volume darah.
Satu unit thrombosit per l0 kg BB dapat meningkatkan jumlah
thrombosit 50,000 µL. Dosis pediatrik untuk kriopresipitat
adalah 1 U/10 kg BB.10

70
2. Cairan di rongga ketiga
Kehilangan seperti ini tidak dapat diukur tapi dapat
diperkirakan dengan melihat luasnya prosedur pembedahan,
seperti misalnya 0-2 ml/kg/jam untuk pembedahan yang relatif
atraumatik (mis.koreksi strabismus) dan sampai 6-10ml/kg/jam
untuk prosedur yang traumatik (mis.abses abdominal).
Kehilangan ini biasanya diganti dengan cairan ringer laktat11,10

f. Tahap Pasca Bedah


1) Pengakhiran anestesia.
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan
pemberiannya. Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihkan rongga
hidung dan mulut dari lendir kalau perlu.10
Kalau menggunakan pelumpuh otot, netralkan dengan prostigmin
(0,04 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi napas oleh narkotika-
analgetika netralkan dengan naloksin 0,2-0,4mg secara titrasi.10
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar,
anggota badan. bergerak-gerak, mata terbuka, napas spontan adekuat.
Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-
batuk, spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan
anestesia dalam digemari karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau
napas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan
tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi.11,12

2) Perawatan di Ruang Pulih


 Bangun dari anestesi dan pulih sadar
Hal hal yang perlu diperhatikan saat bangun dari anestesi
adalah laringospasme post intubasi croup dan pengelolaan nyeri
post operatif. Pediatrik mudah mengalami laringospasme dan post
intubasi croup. Seperti pada orang dewasa nyeri post opertif pada
anak anak juga hams dikelola dengan baik.11

71
Laryngospasme
Laryngospasme adalah kontraksi otot otot laring yang kuat
dan terjadi secara tidak sadar karena stimulasi nervus laringeal
superior. Dapat dihindari dengan ekstubasi saat pasien sudah benar
benar sadar atau saat keadaan anestesi masih dalam. Ekstubasi
diantara kedua keadaan ekstrim ini berbahaya. ISPA juga
meningkatkan kejadian larigospasme saat bangun dari anestesi.11
Bila terjadi laringospasme diatasi dengan memberi
ventilasi tekanan positif dengan halus, lidokain intravena 0,5-
1mg/kg, paralisis dengan suksinilkolin 0,5-1 mg/kg atau
rokuronium 0,4 mg/kg dan ventilasi dikontrol. Bila terpaksa dapat
diberikan suksinilkolin intra muskular. Laringospasme dapat
terjadi segera post operasi tetapi dapat juga terjadi di ruang pulih
sadar karena tersedak sekret pharing, oleh karena itu sebaiknya
pasien diposisikan miring sehingga sekret yang ada bisa dengan
mudah keluar. Pada saat pasien bangun sebaiknya orangtua sudah
ada di samping pasien.12

Croup post intubasi 11


Croup terjadi karena edema glotis atau trakhea. Edema
paling sering terjadi pada cincin krikoid karena bagian ini paling
sempit. Kejadian croup lebih sedikit bila dipakai pipa endotrakhea
yang tidak ber cuff dan memungkinkan sedikit kebocoran pada 10-
25 cmH2O. Stridor ini sering berkaitan dengan umur 1-4 tahun,
usaha intubasi yang berulang, pipa endotrakhea yang besar,
pembedahan yang lama, prosedur di kepala dan leher, dan gerak
pipa yang berlebihan (batuk gerak kepala).
Dapat dicegah dengan pemberian deksametason 0,25-0,5
mg/kg,IV. Pemberian inhalasi nebulizer epinefrin 0,25-0,5 ml
larutan 2,25% dalam 2,5 ml NS merupakam terapi yang efektif.
Komplikasi ini dapat terjadi mulai 3 jam post operasi.
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik,
penderita dipindahkan ke ruang pulih. Disini diawasi seperti di

72
kamar bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan
pengawasan sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke
ruangan biasa dihitung dulu. skomya menurut Lockhart (Skor
Aldrete).11
Tabel 11. Skor Aldrete

perlu dibantu
Warna 2
merah muda 1

pucat 0

sianosis
Tekana Darah 2
berubah sekitar 20% 1

berubah 20-30% 0

berubah lebih dari 30%


Kesadaran 2
benar-benar sadar 1

bereaksi 0

tak bereaksi

Catatan : Dianggap sudah pulih dari anestesi dan dapat pindah ke ruang
pemulihan ke ruang perawatan apabila skor >8.

3) Penatalaksanaan nyeri post operasi


Analgesia post operasi pada anak anak dapat dipakai blok saraf
atau Patient control analgesia (PCA). Opioid yang sering digunakan
adalah fentanil 1-2 gg/kg dan meperidin 0,5mg/kg. Ketorolak
0.75mg/kg dapat mengurangi dosis opioid. Juga dapat digunakan
asetaminofen rektal 40mg/kg.11

73
2.3 ANESTESI PADA HDROSEFALUS
Manajemen Perioperatif Anestesi

Setiap tindakan anestesi pada anak merupakan suatu tantangan bagi


ahli anestesi. Penting untuk diingat bahwa anak-anak bersifat unik dari segi
patofisiologi dan psikologi. Sehingga pilihan teknik anestesi dan obat yang
sesuai akan mempengaruhi secara positif keluaran pascabedah,
meminimalkan resiko komplikasi neurologis dan sekuel.6

Pertimbangan Preoperatif

Manajemen perioperatif anestesi tergantung pada penyebab yang


mendasari terjadinya hidrosefalus, yang dikaitkan dengan anomali kongenital
dan efeknya terhadap neurofisiologi anak, juga bila ada gejala dan tanda
kenaikan TIK. Harus dipastikan apakah hidrosefalus bersifat akut atau
kronis.1 Pada pemasangan pintasan ventrikuloperitoneal atau revisinya, perlu
dievaluasi baik tidaknya fungsi pintasan yang sudah terpasang, ada tidaknya
penyakit penyerta lain, obat-obatan yang diminum, status volume
intravaskular, riwayat anestesi dan pemeriksaan fisik. Penilaian klinis untuk
mencari bukti adanya peningkatan TIK biasanya tidak cukup dan monitoring
invasif TIK biasanya tidak diperlukan.2 Hidrosefalus dan disfungsi pintasan
ventrikuloperitoneal memungkinkan untuk dilakukan evaluasi neurologis
preoperatif dan radiologis yang menyeluruh, tapi terkadang penderita datang
dengan peningkatan TIK yang memerlukan pembedahan darurat.2

Pemeriksaan laboratorium tergantung proses patologi yang mendasari


pada bayi dan anak, setidaknya memerlukan pemeriksaan kadar hemoglobin.2
Elektrolit serum harus diperiksa jika diduga ada gangguan homeostasis
natrium akibat perubahan hormon, muntah dan berkurangnya volume
intravascular.2 Penderita yang sedang dalam pengobatan antikonvulsan
kadang-kadang mempunyai perubahan kadar metabolisme obat, hal ini
menjadi penting bila ada perubahan dosis obat terbaru dan jika kejang
memburuk.2 Analisa gas darah preoperatif diindikasikan pada penderita
dengan gangguan kesadaran dan yang disertai gangguan paru.2 Sedasi
preoperatif akan mengurangi kecemasan, meskipun dengan sendirinya hal ini

74
secara lebih lanjut dapat menyebabkan kenaikan TIK. Dianjurkan untuk
mencegah hipoventilasi yang menyebabkan kenaikan kadar PaCO2 dan TIK.2

Jika sudah terpasang jalur intravena, midazolam dapat disuntikkan


secara perlahan untuk menimbulkan efek sedasi. Midazolam dapat diberikan
secara oral dan tidak menyebabkan depresi napas pada dosis lebih dari
0,7mg/kg sampai maksimum 20mg.2,7 Ketamin, yang meningkatkan airan
darah otak dan laju metabolisme oksigen otak, akan meningkatkan TIK dan
menurunkan ambang batas kejang, sehingga pada umumnya pemakaiannya
dihindari.2 Anak-anak dengan gambaran peningkatan TIK yang akut biasanya
mengalami penurunan kesadaran dan tidak memerlukan sedasi.2

Pertimbangan Intraoperatif

1. Manajemen jalan napas

Perbedaan perkembangan krikotiroid dan percabangan trakea


memberikan pengaruh yang bermakna untuk manajemen jalan napas pada
pasien anak. Laring pada bayi berbentuk funnel shaped, dengan bagian
tersempit setinggi krikoid, dimana ini merupakan bagian jalan napas bayi
yang paling kecil. Hal ini membuat bayi memiliki resiko untuk mengalami
obstruksi subglotik sekunder akibat edema mukosa karena penggunaan
intubasi endotrakeal yang lama dengan pipa endotrakeal yang ukurannya pas
di trakea.7 Jalan napas harus diamankan dengan pipa endotrakeal dengan
ukuran yang tepat dan dilakukan pernafasan terkontrol. Intubasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pelumpuh otot atau anestetik lokal
(lignokain 1%) secara topikal pada laring.2

75
Gambar 4. Alur Diagram Rapid Sequence Intubation pada Pasien
dengan Kenaikan TIK.
(Dikutip dari: Filho EM, de Carvalho WB, Cavalheiro)

76
Posisi

Untuk prosedur bedah ventrikuloperioneal shunt biasanya digunakan


posisi supine. Kepala di miringkan ke kontralateral sisi insersi shunt. Karena
trakea relatif lebih pendek, fleksi leher dapat menyebabkan migrasi pipa
endotrakeal ke dalam cabang bronkus utama atau obstruksi vena jugularis
yang mengganggu drainase vena dan meningkatkan volume serta tekanan
intrakranial. Perhatian ekstra untuk mengamankan pipa endotrakeal harus
dilakukan pada posisi ini. Ahli anestesi harus melakukan auskultasi pada
kedua lapangan paru untuk memastikan pipa endotrakeal tidak mengalami
migrasi.2,7,9 Umumnya diberikan ganjal berupa kain yang digulung yang
diletakkan di bawah bahu agar membuat garis lurus dari telinga/ leher ke
abdomen pada saat pembuatan terowongan (tunneling) pemasangan shunt.2
Mata harus diproteksi dari kekeringan dan cedera.

Gambar 7. Bayi dalam Posisi Supine. Perhatikan bahwa kepala bayi ada pada posisi
lebih tinggi dari keseluruhan badannya.Hal ini menyebabkan lebih tinggi
kemungkinan terjadinya emboli udara vena.
(Dikutip dari: Soriano SG, Eldrege EA, Rockoff MA.)7
Induksi dan Monitoring Anestesi

Standar monitoring, EKG, pulse oksimetri, tekanan darah, CO2, FiO2


dan suhu, kecuali bila ada penyakit penyerta atau komorbid, diperlukan alat
monitoring tambahan.

77
Induksi anestesi dipandu oleh kondisi medis penderitadan fisiologi
normal sesuai usia penderita.2 Biasanya, anak kecil dengan kenaikan
TIK akut dan tidak mempunyai jalur intravena akan diberikan induksi
inhalasi melalui facemask. Semua obat anestesi volatil menyebabkan
peningkatan aliran darah otak. Obat induksi intravena memberikan
efek yang berbeda.2

Anestesi umum dapat dilakukan dengan sevofluran N2O, dan


oksigen. Pelumpuh otot non depolarisasi seperti pancuronium dapat
digunakan untuk fasilitasi intubasi endotrakea. Ventilasi harus dikontrol
secepatnya untuk membuat hiperventilasi ringan dan menurunkan kadar
PaCO2 untuk menghilangkan kenaikan aliran arah otak akibat
anestetika volatil.2,7 Terjadinya laringospasme dan bronkospasme pada
saat intubasi dapat menyebabkan naiknya PaCO2 sehingga terjadi
kenaikan aliran darah otak dan TIK. Sebagai alternatif, jika sudah ada
jalur intravena terpasang, induksi dapat dilanjutkan dengan agen
induksi seperti pentotal (5‒8 mg/kg) atau proprofol (3‒5mg/kg) yang
berefek menurunkan TIK. Induksi secara cepat (rapid sequence
induction) atau modifikasinya dengan menggunakan pentotal atau
propofol yang diikuti dengan pemberian pelumpuh otot kerja cepat
seperti suksinilkolin atau rokuronium diindikasikan untuk penderita
dengan resiko tinggi terjadinya aspirasi.2,7,8

Tabel 12. Efek Anestetika pada Metabolisme Otak

Agen ADO CMRO2 TIK

Volatil ↑ ↓ ↑
Propofol ↓ ↓ ↓
Tiopental ↓ ↓ ↓
Ketamin ↑ ↑ ↑
Nitrat oksida ↑ ↑ ↑
Keterangan ADO = aliran darah otak

78
Rumatan Anestesi

Umumnya, rumatan anestesi dilakukan dengan teknik balans


antara opiat, anestestika volatil dan pelumpuh otot. Telah diketahui
bahwa seluruh anestetika volatil dapat menyebabkan vasodilatasi otak
dan peningkatan TIK. Isofluran dan sevofluran tampaknya memberikan
efek minimal pada aliran darah otak dan reaktifitas pembuluh darah
otak terhadap CO2 pada konsentrasi 0,5‒1,5 MAC. Infus opiat kerja
singkat seperti fentanyl, alfentanil, sufentanil atau remifentanil dapat
memberikan analgesi intraoperatif yang adekuat yang dapat diprediksi
dan pulih sadar yang cepat, sehingga memungkinkan dilakukan
penilaian neurologis pascabedah.2

Kontrol suhu merupakan suatu pertimbangan penting pada


manajemen penderita anak yang menjalani prosedur bedah saraf.
Hipotermia ringan sampai sedang bersifat neuroproteksi dan mungkin
bernilai terapeutik bila ada iskemia atau hipoksia. Pada infant, turunnya
suhu tubuh dapat memberikan beberapa kejadian yang tidak diinginkan.
Bayi prematur dan matur yang mengalami hipotermia secara nyata
mengalami kenaikan konsumsi oksigen. Pada infant, hipotermia dapat
menyebabkan turunnya metabolisme obat, meningkatnya produksi
laktat dan asidosis metabolik, vasokonstriksi perifer dan pergeseran
kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri. Komplikasi lain dari
hipotermia meliputi bangun dari pembiusan atau pulih sadar yang lama,
koagulopati, imunodefisiensi dan gangguan metabolisme serum
glukosa. Hipotermia berat dapat menyebabkan aritmia jantung.2

Manajemen Cairan

Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mempertahankan


perfusi otak, yang biasanya diterjemahkan dengan rumatan volume
darah yang isovolemik, isoosmolar, dan isoonkotik. Normal saline
(NaCl 0,9%) merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk penderita dengan gangguan saraf. NaCl 0,9% sedikit

79
hiperosmolar (308 mOsm) dan diperkirakan mampu mengurangi
edema otak. Hiperglikemia dikaitkan dengan memburuknya cedera
otak setelah iskemia, karenanya pemberian dekstrosa tidak digunakan
secara rutin.

Bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi mengalami


hipoglikemia. Pengukuran gula darah harus dilakukan pada kelompok
ini pada prosedur pembedahan yang lama dan dekstrosa diberikan bila
ada indikasi. Pada penderita dengan hipertensi intrakranial, dapat
diberikan obat untuk menurunkan TIK. Furosemid, sering digunakan
untuk menimbulkan diuresis dan mengurangi produksi cairan
serebrospinalis. Terapi hiperosmolar dengan manitol atau salin
hipertonik (3%) sering digunakan. Obat-obat ini diberikan setelah
berdiskusi dengan ahli bedah.2 Terapi darah dan komponen darah
diberikan dengan patokan jumlah kehilangan darah, kadar hematokrit
awal dan hasil faal koagulasi darah.2

Pertimbangan Postoperatif

Diakhir pembedahan, dapat diberikan antagonis neostigmin (50mcg/kg)


dikombinasikan dengan antikolinergik (misal atropin 25mcg/ kg). Sebagian
besar penderita dapat diekstubasi secara sadar, menghindari hiperkarbia,
dengan teknik yang meminimalkan risiko aspirasi (lateral atau duduk).
Analgesia dapat dicapai dengan kombinasi parasetamol dan obat NSAID jika
tidak menjadi kontraindikasi disertai tambahan opiat oral untuk breakthrough
pain.10 Pada kasus pemasangan VP-shunt yang rutin tanpa adanya komorbid
yang menyertai, penderita biasanya langsung dikembalikan ke ruangan. Pada
bayi yang lahir prematur dengan risiko apnea pascabedah dilakukan
monitoring selama sedikitnya 12 jam sampai penderita bebas periode apnea
selama 12 jam pascabedah.10,13

80
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : By. S.E
TTL/Umur : 05-08-2017 / 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Mappi/Komplex RSUD Jayapura
Tanggal Pemeriksaan : 24 April 2018
Ruangan Rawat Inap : Ruang Bedah Wanita
Tanggal Operasi : 02 Mei 2018
3.2. Anamnesa
3.2.1. Keluhan Utama: Kepala semakin membesar sejak usia 2 hari
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Mappi dengan diagnosis
Hydrocephalus. Awalnya, Pasien dibawa orang tuanya ke RS karea
ukuran kepala pasien bertambah besar sejak usia 2 hari setelah lahir.
Saat tiba di IGD, pasien mengalami kejang 1x, kurang lebih selama 2
menit. Keluhan demam (+), Batuk (+), Pilek (-), muntah (-). Keluarga
mengaku pasien sering mengalami kejang saat badan panas, riwayat
pingsan saat kejang (+) 1x. Makan/Minumbaik. BAK/BAB lancar.

3.2.3 Riwayat Kelahiran


Pasien lahir spontan, di kampong Mappi dan ditolong oleh keluarga
ibu pasien yang bukan bidan/tenaga medis.
Berat badan saat lahir tidak diketahui. Pasien merupakan anak ke 6
dari 6 bersaudara.
3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Kejang : Ada
 Riwayat Penyakit Malaria : Disangakal
 Riwayat Hipertensi : Disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal

81
 Riwayat Penyakit Kardiovaskular : Disangkal
 Riwayat Penyakit Pernapasan : Disangkal
 Riwayat Operasi Sebelumnya : Disangkal
 Riwayat Anestesi : Disangkal
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti
pasien
- Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
- Riwayat Asma : Disangkal
- Riwayat Jantung : Disangkal
- Riwyata Hipertensi : Disangkal
3.2.6 Riwayat Alergi
- Riwayat Alergi Makanan : Disangkal
- Riwayat Alergi Minuman : Disangkal
- Riwayat Alergi Obat : Disangkal
3.3 Pemeriksaan Fisik

 Status Generalis
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
 Tanda-tanda Vital
Nadi : 102x/menit
Respirasi : 31x/menit
Suhu badan : 36.70C

82
Kepala:
Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Macrocephal,
Mata : Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
lingkar
Refleks cahaya (+/+)
kepala:76 cm

Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).


Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Mulut : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Paru
Gerak dinding dada simetris, retraksi dinding
Inspeksi :
dada (-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor (+/+)
Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
Auskultasi :
suara wheezing (+/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Thoraks :

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra


Pinggang : ICS III linea parasternals sinistra
Perkusi : Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-), gallop

83
(-)
Inspeksi : Tampak cembung, jejas (-)

Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), nyeri


Palpasi : tekan hipokondrium kanan (-), hepar dan lien
Abdomen : tidak teraba membesar.

Perkusi : Tymphani.

Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit.

Genitalia : Dalam batas normal

Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time


Ekstremitas : < 3”, Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior
et inferior: 5

3.4 Pemeriksaan Penunjang

I. Pemeriksaan Laboratorium (26 April 2018)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan


Rujukan
(Hematologi Rutin)

HGB (Hemoglobin) 10,6 10,5-13,0 g/dL

RBC (Eritrosit) 5,65 3,7-4,3 10^6/mm

HCT (Hematokrit) 34,5 33-38 %

PLT (Trombosit) 471 140-400 10^3/mm3

WBC (Leukosit) 45.99 9000-12.000 10^3/mm3

84
PT 12,2 10.2-12.1 detik

APTT 25.5 24.8-34.4 detik

Pemeriksaan Laboratorium (30 April 2018)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

(Hematologi Rutin)

HGB (Hemoglobin) 10,1 10,5-13,0 g/dL

RBC (Eritrosit) 5,65 3,7-4,3 10^6/mm

HCT (Hematokrit) 32,4 33-38 %

PLT (Trombosit) 409 140-400 10^3/mm3

WBC (Leukosit) 24,28 9000-12.000 10^3/mm3

PT 12,2 10.2-12.1 detik

APTT 25.5 24.8-34.4 detik

85
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan
Rujukan
(Kimia Darah)

Glukosa Darah 123 < = 140 mg/dL


Sewaktu

BUN 3,7 mg/dl 7.0 – 18 mg/d

Kreatinin mg/dl < = 0.95 mg/dL

Albumin g/dl 3.5 – 5.2 g/dL

Natrium Darah 138,80 135 – 148 mEq/L


mEq/dl

Kalium Darah 4,21 3.5 – 5.3 mEq/L


mEq/dl

Calsium Ion 1,28 1,15 – 1,35 mEq/L


mEq/dl

3.5 Konsultasi Terkait


Konsultasi Bagian Anak
 Toleransi Operasi
Konsultasi Bagian Anestesi
30 April 2018, advice:
 Inform consent
 SIO
 Puasa 8 jam pre operasi
 Pasang IVFD D5 ½ NS per 8jam
3.6 Penentuan PS ASA / Status Anestesi

PS. ASA : PS ASA III (pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas).

86
3.7 Persiapan Anestesi

Hari/Tanggal : Rabu, 02 Mei 2018


Persiapan
: Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: 11 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB : 15kgKg / 64 Cm
TTV di Ruang Nadi: 127x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh;
:
Operasi respirasi: 20x / menit; suhu badan:36,8 oC
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra
Bedah : Hydrocephalus

Airway:

Jalan napas bebas, terpasang O2


Look :
nasal 2-3 lpm, Mallampati Score: 1
Terasa hembusan nafas pasien di
Feel :
pipi pemeriksa.
Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
B1 : Breathing:
Gerak dinding dada simetris,
Inspeksi : retraksi sela iga (-), frekuensi
napas: 20 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Suara nafas vesikuler (+/+), suara
Auskultasi
: rhonki (-/-),
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna:
merah muda, Capillary Refill
Perfusi : Time< 2”
Nadi: 127x/m, reguler, kuat angkat,
terisi penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
B2 :
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Batas atas : ICS II linea
parasternalis sinistra
Perkusi :
Pinggang : ICS III linea
parasternalis sinistra

87
Batas kiri : ICS V 2 cm ke
medial linea
midclavicularis
sinistra
Batas kanan : ICS V linea
parasternalis dextra
Bunyi jantung I-II, regular,
Auskultasi :
murmur(-), gallop (-)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 =
15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan
(-),
B3 : Kesadaran :
Nyeri kepala (-), pandangan kabur
(-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)

Tidak terpasang kateter, produksi urin (+) , warna


B4 :
kuning.

Inspeksi : Tampak Cembung


Supel (+), nyeri tekan epigastrium
(-), nyeri tekan hipokondrium
Palpasi :
B5 : kanan (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar.
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary
B6 : Refill Time< 2”, Edema tidak ada, kekuatan otot di
ekstremitas superior et inferior: 5

88
3.8 Laporan Durante Operasi

a) Laporan Anestesi

Ahli Anestesiologi : dr. D. W, Sp.An. KIC

Ahli Bedah : dr. T.N, Sp.BS

Jenis Pembedahan : VP SHUNT

Lama Operasi : 11.00-11.45 WIT

Jenis Anestesi : General Anestesi

Anestesi dengan : Sevoflurance + O2

 Premedikasi
 Preoksigenasi ±5menit
 Intubasi: dengan ETT no.4,0,
Teknik Anestesi :
cuff (+)
 Induksi
 Medikasi

Control Pernapasan
Pernafasan :

Posisi : Supine

Infus : D5 ½ NS

Penyulit Pembedahan : (-)

Obat yang digunakan

89
Sedacum
Premedikasi :
Fentanyl 15mg

Induksi dan Maintenance : Tramus 8mg

- Dexamethasone 2mg
Medikasi Durante Operasi : - Ceftriaxone 500mg
- Antrain 250mg

Perfusi: dingin, kering, merah

CRT<3”
Tanda-tanda vital pada akhir
: Nadi: 132x/m
pembedahan
RR: 31x/m

SpO2 : 99% dengan kanul O2 2 lpm

b) Observasi Durante Op:

160

140

120

100

80
Nadi
60

40

20

0
11
11.05
11.15
11.25
11.35
11.45 (Waktu)
Diagram 1. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi Durante Operasi.

90
3.9 Terapi Cairan

Cairan yang Dibutuhkan Aktual

Pre Operasi BB:  Input:

 Kebutuhan cairan harian: D5 ½ NS: 50


cc
4cc / KgBB /Jam (untuk 10kg pertama)
 Output:
1cc/kgBB/jam (untuk 5kg sisa berat badan) IWL:
8cc/kgBB
= 4 cc x 10Kg = 40cc / jam /hari
=
1 cc x 5 Kg = 5 cc / jam 8x15/hari
120/hari
Dalam 24jam: 45ccx24= 1080cc/hari
 Urin:-
 Kebutuhan cairan per jam
 45 cc/ jam.

 Kebutuhan cairan untuk pengganti
puasa 11 jam:

11 jam x 45 cc = 495 cc

 Input:
Durante  Kebutuhan cairan per jam:
Operasi D5 ½ NS:
45 cc/jam 100cc
 Kebutuhan cairan durante operasi selama  Output:
45menit
IWL: 660 cc
45
= 60 x 45= 33,75 / 45 menit
Perdarahan: ±
 Replacement 20 cc
Estimated Blood Volume (EBV):
DC Urine = -
60xkgBb
= 60x15: 900cc

Estimated Blood Loss (EBL):

Volume perdarahan : EBV x 100%

 Total Kebutuhan Cairan Durante

91
Operasi :

Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante


Operasi:

 Input: Pre Operasi D5 ½ NS: 50 cc) + Durante Operasi (D5 ½ NS 100 cc)
 Output: Pre Operasi + Durante Operasi + (Perdarahan 50 cc )

= 150 cc – 50cc

= + 100 cc

Post Operasi Kebutuhan cairan harian :

100 cc/kgBB pada 10kg pertama

50 cc/kgBB pada kilogram berikutnya

100x15= 1500

50x15=750, jadi total kenutuhan cairan 2250cc/24


jam

3.10 Instruksi Post Operatif


IVFD D5 ½ NS/ 12 jam
Inj. Ranitidin 2x25 mg (iv)
Inj. Antrain 3x500mg (iv)

Hari/Tanggal : Selasa, 01 Mei 2018

S : Batuk (+), sesak (-), Kejang (-) Planning

O :
 O2 nasal 2 lpm
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,
 IVFD D5 ½ NS / 12 jam
Kesadaran: Compos Mentis.

Kepala : Makrosefal, lingkar kepala 72cm,  Inj. Ceftriaxone 2x150mg


konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
 Inj. Ranitidin 2x 25mg(iv)
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan

92
JVP (-)
 Inj.Phenytoin 2x 75mg
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus
cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler  Paracetamol3x200mg pulv (p.o)
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-

Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+),  Nebu combivent per 8 jam


supel, nyeri tekan -/-
 Stesolid supp 10mg bila kejang
B1 : Bebas, gerak leher
bebas, simetris +/+,
suara napas vesikuler,
ronkhi +/-, wheezing -
/-, RR: 28x/m.

B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time <
2 detik, Nadi 130x/m,
kuat angkat, regular.
BJ: I-II murni regular,
murmur (-), galop (-).

B3 : pupil bulat isokor, Ɵ


3 mm,riwaya
pingsan (-), riwayat
kejang (-).

B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.

B5 : Abdomen supel, datar


,nyeri tekan (-),
timpani, BU (+)
normal

B6 : Fraktur (-), edema (-),


motorik aktif

A : Hidrocephalus

93
3.11 Follow Up Post Operatif

Hari/Tanggal : Kamis, 03 Mei 2018

S : Batuk (-), sesak (-), Kejang (-), Planning


rewel (-)
 O2 nasal 2 lpm
O :

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,  IVFD D5 ½ NS / 12 jam

Kesadaran: Compos Mentis.


 Inj. Ceftriaxone 2x150mg
Kepala : Makrosefal, lingkar kepala
72cm, konjungtiva anemis --, sklera  Inj. Ranitidin 2x 25mg(iv)
ikterik -/-
 Paracetamol3x200mg pulv
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan
JVP (-) (p.o)

Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus


 Nebu combivent per 8 jam
cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-

Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+),
supel, nyeri tekan -/-

B1 : Bebas, gerak leher


bebas, simetris +/+,
suara napas
vesikuler, ronkhi +/-
, wheezing -/-, RR:
27x/m.

B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi
124x/m, kuat
angkat, regular. BJ:
I-II murni regular,
murmur (-), galop (-
).

B3 : pupil bulat isokor, Ɵ


3 mm,riwaya

94
pingsan (-), riwayat
kejang (-).

B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.

B5 : Abdomen supel,
datar ,nyeri tekan (-
), timpani, BU (+)
normal

B6 : Fraktur (-), edema (-


), motorik aktif

A : Hidrocephalus

Hari/Tanggal : Jum’at, 04 Mei 2018

S : Batuk (-), sesak (-), Kejang (-), rewel (-) Planning

O :
 O2 nasal 2 lpm
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,
 IVFD D5 ½ NS / 12 jam
Kesadaran: Compos Mentis.

Kepala : Makrosefal, lingkar kepala 72cm,  Inj. Ceftriaxone 2x150mg


konjungtiva anemis --, sklera ikterik -/-
 Inj. Ranitidin 2x 25mg(iv)
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan JVP
(-)
 Paracetamol3x200mg pulv
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus cordis (p.o)
tak Nampak, SN bronkovesikuler +/+, Rhonki
+/-, Wheezing -/-
 Nebu combivent per 8 jam
Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+), supel,
nyeri tekan -/- 

B1 : Bebas, gerak leher


bebas, simetris +/+,
suara napas vesikuler,
ronkhi +/-, wheezing -/-,
RR: 27x/m.

95
B2 : Perfusi: hangat, kering,
merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi
124x/m, kuat angkat,
regular. BJ: I-II murni
regular, murmur (-),
galop (-).

B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3


mm,riwaya pingsan (-
), riwayat kejang (-).

B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna kuning
jernih.

B5 : Abdomen supel, datar


,nyeri tekan (-), timpani,
BU (+) normal

B6 : Fraktur (-), edema (-),


motorik aktif

A : Hidrocephalus

Hari/Tanggal : Sabtu, 05
Mei 2018
S : Batuk (-), sesak (-), Kejang (-), Planning
rewel (-)
 O2 nasal 2 lpm
O :
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,  IVFD D5 ½ NS / 12 jam
Kesadaran: Compos Mentis.
 Inj. Ceftriaxone 2x150mg
Kepala : Makrosefal, lingkar kepala
72cm, konjungtiva anemis --, sklera  Inj. Ranitidin 2x 25mg(iv)
ikterik -/-
 Paracetamol3x200mg pulv (p.o)
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan
JVP (-)  Nebu combivent per 8 jam
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus

cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-
Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+),
supel, nyeri tekan -/-
B1 : Bebas, gerak leher

96
bebas, simetris +/+,
suara napas
vesikuler, ronkhi +/-
, wheezing -/-, RR:
27x/m.
B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi
124x/m, kuat
angkat, regular. BJ:
I-II murni regular,
murmur (-), galop (-
).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ
3 mm,riwaya
pingsan (-), riwayat
kejang (-).
B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
datar ,nyeri tekan (-
), timpani, BU (+)
normal
B6 : Fraktur (-), edema (-
), motorik aktif
A : Hidrocephalus

Hari/Tanggal :Minggu, 6 Mei 2018

S : Batuk (-), sesak (-), Kejang (-), Planning


rewel (-)
 O2 nasal 2 lpm
O :

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang,  IVFD D5 ½ NS / 12 jam

Kesadaran: Compos Mentis.


 Inj. Ceftriaxone 2x150mg
Kepala : Makrosefal, lingkar kepala
72cm, konjungtiva anemis -/-, sklera  Inj. Ranitidin 2x 25mg(iv)
ikterik -/-

97
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan  Paracetamol3x200mg pulv
JVP (-)
(p.o)
Thorax: simetris, ikut gerak napas, ictus
cordis tak Nampak, SN bronkovesikuler  Nebu combivent per 8 jam
+/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-

Abdomen: cembung, jejas (-), BU (+),
supel, nyeri tekan -/-

B1 : Bebas, gerak leher


bebas, simetris +/+,
suara napas
vesikuler, ronkhi +/-
, wheezing -/-, RR:
27x/m.

B2 : Perfusi: hangat,
kering, merah.
Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi
124x/m, kuat
angkat, regular. BJ:
I-II murni regular,
murmur (-), galop (-
).

B3 : pupil bulat isokor, Ɵ


3 mm,riwaya
pingsan (-), riwayat
kejang (-).

B4 : DC (-), produksi
urin (+), warna
kuning jernih.

B5 : Abdomen supel,
datar ,nyeri tekan (-
), timpani, BU (+)
normal

B6 : Fraktur (-), edema (-


), motorik aktif

A : Hidrocephalus

98
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang bayi perempuan berusia 8 bulan, dobawa oleh orangtuanya


berobat ke RSUD Jayapura pada tanggal 24 april 2018 datang dengan keluhan
utama kepala semakin membesar sejak usia 2 hari setelah lahir. Pasien merupaka
rujukan dari RSUD Mappi, Merauke dengan diagnosis Hidrocephalus. Saat tiba di
RSU Dok II Jayapura, paasien sempat mengalami kejang sebanyak dua kali.
Durasi kejang ± 1-2menit. Menurut ayahnya, apsien memang pernah mengalami
kejang saaat dirumah yakni pada saat demam. Riwayat kelahiran: bayi lahir
spontan dengan bantuan keluarga (bukan bidan / tenaga medis. Berat badan saat
lahir tidak diketahui. Riwayat penyakit dahulu seperti asma, alergi obat, DM,
hipertensi, penyakit jantung dan malaria disangkal. Riwayat penyakit turunan
pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan hipertensi juga disangkal.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil
pengukuran lingkar kepala 72cm, perfusi akral hangat kering merah, Nadi 119x/
menit, Respirasi 25x/ menit, Suhu Badan 36,7 º C, dan pemeriksaan fisik lainnya
dalam batas normal. Hasil laboratorium didapatkan HB 10,2 g/dl.
Leukosit:24.280, trombosit409.
Dari kasus tersebut dengan diagnosis Hidrocephalus pada bayi usia 8
bulan yang akan dilakukan tindakan/pembuatan VP Shunt, maka penulis akan
membahas beberapa hal sebagai berikut:

4.1 Penetapan PS ASA

Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik


yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan
tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi
pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal
tersebut.

99
Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA III
organik, fisiologik, psikiatrik, Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA III
biokimia. karena pasien merupakan bayi perempuan
Kelas II : Pasien usia 8 bulan (pediatrik) dengan penyakit
dengan penyakit sistemik ringan Hidrocephalus.
atau sedang. Hidrosefalus adalah suatu kelainan dimana
Kelas III : Pasien terjadi pelebaran ventrikel otak disertai
dengan penyakit sistemik berat, peningkatan tekanan intrakrania yang dapat
sehingga aktivitas rutin terbatas. mengakibatkan kejang seperti yang dialami
Kelas IV : Pasien pasien, sehingga mengakibatkan kelainan
dengan penyakit sitemik berat, sistemik berat.
tidak dapat melakukan aktivitas Selain itu, pada pediatrik memiliki
rutin dan penyakitnya kemampuan aktivitas yang terbatas, otot
merupakan ancaman leher bayi masih sangat lunak, leher lebih
kehidupannya setiap saat. pendek, sulit menyangga atau memposisikan
Kelas V : Pasien kepala, dengan tulang occipital yang
sekarat yang diperkirakan dengan menonjol.
atau tanpa pembedahan hidupnya Pada neonatus rongga dada lemah dan
tidak akan lebih dari 24 jam. ukurannya kecil dengan iga horizontal.
Diafragma terdorong keatas oleh isi perut
yang besar. Dengan demikian kemampuan
dalam memelihara tekanan negatif
intratorakal dan volume paru rendah,
sehingga memudahkan terjadinya kolaps
alveolus serta menyebabkan neonatus
bernapas secara diafragmatis. Kadang-
kadang tekanan negatif dapat timbul dalam
lambung pada waktu proses inspirasi,
sehingga udara atau gas anestesi mudah
terhirup ke dalam lambung.
Hasil : Sudah tepat

100
4.2 Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa General Anestesi?

Teori Kasus

Penatalaksanaan anestesi pada Pada kasus ini teknik anestesi yang


kasus ini, dapat dikerjakan dengan dipakai general anestesi inhalasi karena
general anestesi (anestesi umum). pada kasus bedah cranium yang
Anestesi umum dipilih pada membutuhkan waktu lama dan efek
pasien ini mengingat beberapa anastesia pada daerah yang bisa
alasan, yaitu sulit dilakukan pada dijangkau dengan pemberian anestesi
saat pasien sadar karena general / umum. Jika yang dipilih adalah
menimbulkan ketidaknyamanan anestesi regional atau local, maka tidak
dan kecemasan pada pasien, pada sesuai dengan area yang akan dilakukan
anestesi umum juga pasien tidak pembedahan.
sadar sehingga mencegah ansietas
selama prosedur medis
berlangsung, efek amnesia
meniadakan memori buruk pasien
yang didapat dari ansietas dan
berbagai kejadian intraoperative
yang mungkin memberikan
trauma psikologis, serta
memungkinkan dilakukannya
prosedur yang memakan waktu
lama.

Hasil : Sudah tepat

101
4.2 Penentuan Obat Anestesi
Pada kasus ini dilakukan pembedahan pada bayi perempuan By.S.E 8
bulan dengan Hidrocephalus, dilakukan tindakan VP shunt dengan general
anestesi. General anastesi yang dipilih yakni anestesi inhalasi menggunakan
Sevofluran. Sevofluran merupakan halogenasi eter yang memiliki kelebihan
dibanding obat inhalasi lainnya, sedangkan dibandingkan dengan halotan
yang 20% dimetabolisme dihepar, sehingga penggunaan halotan
dikontraindikasikan pada penderita dengan gangguan hepar seperti pada
kasus ini.
SEvoflurant memiliki efek meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner
Pada kasus diatas menggunakan teknik general anastesi maka
dilakukan premedikasi, pasien dipemberikan obat – obatan pendahulu dalam
rangka pelaksanaan anastesia, pemberian dilakukan dikamar operasi berupa,
menggunakan midazolam 5 mg, petidin 10 mg, dan fentanyl dihydrogenum
citrate 15 mcg. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
pemberian midazolam untuk meredakan kecemasan, sedangkan pemberian
petidin dan fentanyl untuk meredakan rasa sakit. Pemberian premedikasi
(pemberian obat sebelum induksi anestesi) selama 1-2 jam dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu
diantaranya meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan.
Midazolam (sedacum) merupakan golongan benzodiazepin memiliki
efek yang berguna untuk premedikasi meredakan ansietas, sedasi dan
amnesia. Amnesia yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang

102
dialami pasien akibat suatu tindakan karena obat ini bekerja pada sistem
limbik dan menimbulkan amnesia antero grad. Dengan reseptor spesifik
GABAA akan meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi dengan reseptor
GABA. Ikatan ini akan membuka kanal Cl¯ yang menyebabkan
meningkatnya konduksi ion Cl¯ sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada
membran sel pasca sinap dan saraf pasca sinap menjadi resisten untuk
dirangsang. Pada pasien ini diberikan midazolam 5 mg secara intravena, hal
ini dikarenakan pada pemberian intramuskular dapat menimbulkan rasa nyeri
pada daerah suntikan. Dosis midazolam 1-2,5 mg IV, (mula kerja 30-60
detik, dengan efek puncak 2-3 menit, lama kerja 15-80 menit).

Selain itu pada kasus ini, pasien diberikan petidin dan fentanyl yang
merupakan analgesik opioid. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa indikasi pemberian petidin dan fentanyl yaitu untuk analgesia
perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan
kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardia. Dosis yang besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Sebagai analgetik, obat ini bekerja
pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis. Dosis petidin
intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Dosis fentanil 1-2mcg/ kg BB

Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus


(Atrakurium) 6 mg (dosis anak: 0,3-0,4 mg/kgBB. Atrakurium merupakan
pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi asetil-
kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal
atrakurium 0,5-0,6 mg/kg, sedangkan dosis rumatan 0,1 mg/kg. Umumnya,
usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot. Atracurium
menjadi pilihan untuk usia lanjut karena atracurium bergantung pada
sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, tidak terjadi perubahan
klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur
eliminasi alternatif.

103
Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin
merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan
reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun
sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu
antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam
mencegah maupun mengatasi mual dan muntah. anestesi umum denngan
inhalasi dan intravena. Pada pasien ini juga diberikan asam traneksamat 1000
mg, pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam ε-aminokaproik, atau
asam traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperative
sehingga pada kasus ini diberikan asam traneksamat agar dapat mencegah
kehilangan banyak darah saat intraoperatif.

Deksamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas


imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone
bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang.
Aktivitas anti-inflamasi deksamethasone dengan jalan mengurangi inflamasi
dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi,
dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan
respon imun.

104
4.1 Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama
perioperatif

Problem
Actual Potensial Antisipasi
List
Airway bebas, Mallampati Aspirasi oleh sekresi O2 nasal atau
score: II ; gigi tanggal (-) saliva, masker sesuai
Breathing: thorax simetris, ikut ‘jatuhnya’pangkal saturasi O2, chin
gerak napas, RR:27x/m, lidah. lift, suction bila
B1
palpasi: Vocal Fremitus D=S, perlu
perkusi: sonor, suara napas
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
Perfusi: hangat, kering, merah. Hipovolemik, Resusitasi
Capilary Refill Time < 2 detik, Overload, cairan,
B2 BJ: I-II regular, murmur (-) Bradikardia, monitoring vital
gallop (-) Nadi : 131 x/m sign

Kesadaran Compos Mentis, Penurunan kesadaran, Observasi


GCS: (E4V5M6), riwayat kejang peningkatan TIK kesadaran,
B3
(+), riwayat pingsan (-) akibat obat anestesi tanda-tanda
TTIK
Tidak Terpasang DC, produksi Retensi urin Rehidrasi,
B4 urin (+), warna kuning tua Monitoring
produksi urin
Simetris, Datar, BU 2x/15 Risiko refluks Pemberian
Detik, regio epigastrium, gastroesofageal saat Ranitidin dan
B5 hypocondriach dextra sinistra; operasi. Ondansentron
ALT; 134,8 U/L; AST: 164,4
U/L; GDS : 142 mg/dl
Akral hangat (+), edema (-), Posisikan pasien
B6
fraktur (-), deformitas (-) dengan tepat

105
4.4 Terapi cairan Peri-operasi

Pasien bayi perempuan usia 8 bulan dengan BB 15kg

Pre-operative
Cairan yang di butuhkan Aktual

PRE OPERASI
Puasa selama 10 jam
1. Maintenance
Kebutuhan cairan per 24 jam
100cc/kgBB untuk 10kg pertama
50cc/kgBB untuk 10-20kg kedua
20cc/kgBB untuk sisa kilogram
 100cc x 15= 1500cc
50cc x 15=750cc
Total: 2250cc/24jam
2. Replacement
a. Resusitasi perdarahan : -
b. Kebutuhan cairan untuk pengganti 10 jam
puasa

Jadi, dapat diberikan D5 ½ NS : 1500-2000 cc


dalam 24jam
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama 45 menit: Input:
1. Maintenance : D5 ½ NS 50 cc
 Kebutuhan cairan per jam 4cc x kgBB D5 ½ NS100 cc
+ 2ccxkgBB
4 cc x 10 kg = 40 cc/ jam Total : 150 cc.
2 cc x 5kg = 10 cc/ jam
jadi, total = 50cc/ jam. Output:
2. Replacement : →Urine : -
 Kebutuhan replacement cairan operasi.
Operasi kecil : 4 - 6 ml x BB Perdarahan:
Operasi sedang : 6 - 8 ml x BB → Kasa terpakai : 20 x 10 =
Operasi besar : 8 - 10 ml x BB 200 cc
Operasi sedang, maka 6 x 50 = 300 cc hingga → Total : 400 cc
8 x 70 = 560 cc. Durasi operasi 45 menit,
maka kebutuhan cairan replacement operasi

106
sekitar 45/60 menit x 50cc= 37,5 cc
 Estimate Blood Volume (EBV) :
60 cc/KgBB x 15kg = 900 cc
 Estimate Blood Loss (EBL):
10% x 900 cc = 90
20% x 900 = 180
30%x900= 270
Total perdarahan selama operasi ± 50 cc atau
perdarahan kurang dari 10 %, maka
kebutuhan replacement pengganti perdarahan
selama operasi diatasi dengan pemberian
cairan kristaloid sebanyak 2 – 4 kali EBL 10
% (90 ml) yaitu berkisar 180-360 ml.
POST OPERASI Input :
1. Maintenance : D5 ½ NS: 500 cc/24 jam
 Kebutuhan cairan per jam 4cc x kgBB
+ 2ccxkgBB
4 cc x 10 kg = 40 cc/ jam
2 cc x 5kg = 10 cc/ jam
jadi, total = 50cc/ jam.
Kebutuhan elektrolit :
 Kebutuhan natrium berkisar 2 – 4
mEq/kgBB
2 mEq x 15 kg = 30 mEq
4 mEq x 15 kg = 60 mEq
Jadi total kebutuhan natrium post operasi
sebanyak 30 - 60 mEq.
 Kebutuhan kalium berkisar 1 – 3
mEq/kgBB
1 mEq x 15 kg = 15 mEq
3 mEq x 15 kg = 45 mEq
Jadi total kebutuhan kalium post operasi

107
sebanyak 15 - 45 mEq.
Kebutuhan Energi pada anak uia 0-1 tahun :
Kebutuhan kalori perhari berkisar
110-120 Kcal/kg/hari
110 kcalx15kg=1650kkal
120 kcalx15kg=1800kkal
Jadi kebutuhan kalori perharinya berkisar
1650 – 1800 Kcal/hari.

Replacement :
 Kebutuhan cairan untuk pengganti 10
jam puasa
37.5 cc x 10 jam = 375 cc
jadi, total =375 cc

Setelah operasi, pasien di observasi di ruang pemulihan dan


dipindahkan ke ruang perawatan Bedah wanita. Aktualnya pasien sudah
diperbolehkan makan sedikit-sedikit 6 jam post operasi, sehingga
kebutuhan cairan dan kalori dapat terpenuhi bukan hanya dari cairan
infuse tetapi juga melalui konsumsi per oral, sehingga selain kalori,
kebutuhan elektrolit juga dapat terpenuhi. Selain itu, untuk mengatasi
peningkatannya infeksi maka diberi terapi antibiotik ceftriaxone dengan
dosis 1x 150gr. Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas
semisintetik yang diberikan secara IV atau IM.
Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara tunggal
infus intravena 30-50 mg/kgBB per hari pada anak. Ceftriaxone juga
serupa dengan seftizoksim dan sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang
sangat panjang sehingga diberikan sekali / dua kali sehari. Efek bakterisida
ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding kuman.
Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase,

108
baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh
kuman gram-negatif, gram-positif.
Untuk membantu mengurangi nyeri pada pasien ini, diberikan
injeksi ketorolac (ketorolac tromethamine). Ketorolac adalah obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID). Ketorolac selain digunakan sebagai anti
inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai
pengganti morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang. Efeknya
menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim
siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese
prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. Selain itu, pasien juga
diberikan obat injeksi Ranitidin dan ondancetron. Mekanisme kerja
ranitidine adalah menghambat reseptor histamine 2 secara selektiv dan
reversible sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung.
Ondancetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif
dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.

109
BAB V
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan hernia inguinalis lateralis bilateral reponible.
Klasifikasi status anestesi digolongkan dalam PS ASA III.
 Pasien akhirnya menjalani operasi VP shunt dan dipilih anestesi bGeneral
anestesi Inhalasi dengan menggunakan Sevoflurance + O2 dengan dosis 20
mg.
 Efek samping anestesi cairan kristaloid secara cepat setelah penyuntikan
blok spinal.

1.2 Saran
Pada pasien ediatri yang akan melakukan operasi sebaiknya informed
consent harus selalu dilakukan dokter di setiap langkah pemeriksaan dan
tindakan. Harus disampaikan terlebih dahulu semua informasi yang dapat
dipahami oleh pasien dan keluarga, termasuk menyampaikan kondisi
terburuk yang mungkin terjadi, seperti prognosis penyakit, kondisi
penyembuhan pascapembedahan atau rencana home care bila pasien
memasuki kondisi terminal.

110
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, A. Said dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Soenarto, Ratna F. dan Susilo Chandra. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.
FKUI/RSCM : Jakarta.
3. Tinjauan Pustaka Hidrosefalus. Sri M, Sunaka N, Kari K. Seksi Bedah Saraf
Lab/SMF Bedah FK UNUD RSU Sanglah, Denpasar-Bali. Dexa Media No.1,
Vol.19, Januari-Maret 2006 (hal 40-48)
4. Nielsen, Nadine & Breedt. 2015. Hydrocephalus. Medical Care of the
Pediatric Neurosurgery Patient Journal. Berlin.
5. Omar F dan Moffat D. 2004. At Glance Anatomi. Erlangga. Jakarta. Indonesia
6. De Jong. 2014. . Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. EGC, Jakarta 2014.
7. Stoelting RK. Inhaled anesthetics. In: Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice. 3rd ed. Philadelphia: JB Lippincott Company; 1999, 3572
8. Dr. Syaiful Saanin. lmu Bedah Saraf Neurosurgeon, Ka.SMF Bedah Saraf
9. Thomas Jeferson University. Ventriculoperitoneal Shunt. Thomas Jeferson
University Hospital. 2004.
10. Sarguna, P., Lakshmi, V. Ventriculoperitoneal Shunt Infections. Indian Jurnal
Of Medical Microbiology, Vol. 24, No. 1, p 52-54, 2006.
11. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta. 1989: 115-122.

12. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa : Oswari J. Editor: Wulandari


WD. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994 : 134-141.

13. Bissonette B, Dalens BJ. Pediatric Anesthesia: Principles And Practice.


McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York.2002 : 405-413,
483-503Rupp K, Holzki J,Fischer T, Keller C. Pediatric Anesthesia . 1st
Edition. Drager 1999 : Germany
14. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media Aesculapius.
Jakarta. Indonesia

111

Anda mungkin juga menyukai