Anda di halaman 1dari 16

PAPER

TEORI KEPERAWATAN FLORENCE NIGHTINGALE

MATA KULIAH: TEORI DAN FALSAFAH

DOSEN PEMBIMBING
Rita Hadi Widyastuti, M.Kep., Sp.Kep.Kom.

KELOMPOK 1:
Zeni Widiastuti 22020119183155
Toni Saputra 22020119183156
Susilo Hartono 22020119183157
Yonatan Randja Madi 22020119183158
Riris Winarni 22020119183160
Lely Sri Hastuti 22020119183161
Desi Wahyuningsih 22020119183162
Victor Erich Bay 22020119183163

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
A. Sejarah Teori Florence Nightingale
Florence Nightingale adalah pendiri keperawatan modern. Pada awalnya Florence
tidak bermaksud untuk menciptakan sebuah model atau teori. Di sela-sela waktu
bekerjanya, dia mengamati hal-hal yang nampaknya sederhana, misalnya apa yang
termasuk keperawatan dan apa yang bukan. Dia melihat bahwa keperawatan
dipengaruhi lingkungan, memenuhi nutrisi pasien dan memelihara energi. Oleh
karena itu teorinya dikenal dengan “Teori Lingkungan”. Teori Lingkungan Florence
Nightingale didefinisikan sebagai tindakan memanfaatkan lingkungan pasien untuk
membantu dalam proses pemulihan. Hal ini melibatkan inisiatif perawat untuk
mengatur lingkungan yang tepat, untuk restorasi bertahap kesehatan pasien, dan
faktor eksternal yang terkait dengan lingkungan pasien mempengaruhi kehidupan
atau biologis, dan proses fisiologisnya, serta perkembangannya.1
Pada tahun 1854 terjadi perang Krimea, Florence menjadi sukarelawan
perang di Turki guna merawat tentara Inggris yang terluka. Kondisi rumah sakit
tersebut saat Florence tiba disana sangat mengerikan, semua ruangan penuh sesak
dengan prajurit yang terluka dan beratus-ratus prajurit bergelimpangan di halaman
tanpa tempat berteduh dan tanpa ada yang merawat. Florence melakukan perubahan-
perubahan penting, diawali dengan perbaikan hygiene dan sanitasi. Ia mengatur
tempat tidur para penderita di ruangan dan di luar ruangan, mengusahakan setidaknya
bernaung di bawah pohon, juga menugaskan mendirikan tenda, memperbaiki sistem
pembuangan limbah dan sirkulasi udara. Perawatan dilakukan dengan cermat.
Berdasarkan pengamatannya di Krimea, Florence Nightingale menulis catatan
tentang hal-hal yang mempengaruhi kesehatan, efisiensi dan administrasi rumah sakit
Inggris.2,3
Menurut Florence, penyakit disebabkan terutama karena lingkungan fisik.
Untuk membantu proses penyembuhan pasien, perawat harus dapat memanipulasi
lingkungan. Perawat harus memberikan lingkungan yang bersih, nyaman, dan aman
tempat pasien dapat memulihkan diri. Florence mengidentifikasi 5 hal untuk
mendapatkan lingkungan yang sehat yaitu: udara segar, air murni, drainase efisien,
kebersihan dan cahaya. Selain memastikan kondisi-kondisi tersebut, perawat juga
harus menjaga agar pasien tetap hangat, mempertahankan atmosfer yang tenang dan
bebas dari kebisingan, serta memberikan diet seimbang dan makanan bergizi.1,4
B. Konsep Teori Lingkungan
Florence Nightingale mendefinisikan keperawatan sebagai tindakan memanfaatkan
lingkungan pasien untuk membantu dalam pemulihan. Ini melibatkan inisiatif
perawat untuk mengkonfigurasi pengaturan lingkungan yang tepat untuk pemulihan
bertahap kesehatan pasien dan bahwa faktor eksternal terkait dengan lingkungan
pasien mempengaruhi kehidupan atau proses biologis, fisiologis, serta
perkembangannya.1 Berikut ini adalah subkonsep dari teori Florence Nightingale:

Kerangka Konseptual Teori Lingkungan Nightingale menjelaskan bahwa


klien, perawat, dan konsep lingkungan merupakan sebuah keseimbangan. Perawat
dapat memanipulasi lingkungan untuk mengkompensasi respons klien terhadap
kondisinya. Tujuan perawat adalah untuk membantu pasien tetap seimbang. Jika
lingkungan klien tidak seimbang, klien mengeluarkan energi yang tidak perlu,
sehingga akan menghambat proses penyembuhannya.5,6
1. Kesehatan Rumah
“Rumah yang dibangun dengan buruk akan mempengaruhi kesehatan, seperti
yang dilakukan beberapa rumah sakit untuk orang sakit. Setelah memastikan
bahwa udaranya stagnan dan penyakit pasti akan muncul.”
Kondisi rumah yang tidak sehat akan berdampak buruk bagi penghuninya dan
beresiko menimbulkan penyakit atau memperburuk kondisi pasien.
2. Ventilasi dan Pemanasan
"Jaga udara yang dia hirup semurni udara eksternal, tanpa membuatnya
kedinginan."
Nightingale percaya bahwa sirkulasi udara yang tidak baik akan berdampak pada
kondisi kesehatan. Pentingnya suhu kamar yang kondusif juga ditekankan oleh
Nightingale. Pasien tidak boleh terlalu hangat atau terlalu dingin. Temperatur
dapat dikontrol dengan keseimbangan yang tepat dan ventilasi dari jendela.
3. Cahaya
Nightingale percaya bahwa setelah udara segar, orang sakit membutuhkan
cahaya. Dia mencatat bahwa sinar matahari langsung adalah yang diinginkan
pasien.
4. Kebisingan
Nightingale menyatakan bahwa pasien tidak boleh terbangun dengan sengaja atau
tidak sengaja selama bagian pertama dari tidur. Dia menegaskan bahwa
percakapan berbisik dan tenang kadang diperlukan. Dia melihat kebisingan yang
tidak perlu, misalnya suara sepatu wanita, sebagian dianggap mengganggu bagi
pasien.
5. Variasi
Dia membahas perlunya perubahan warna dan bentuk, termasuk membawakan
pasien bunga atau tanaman berwarna cerah. Dia juga menganjurkan rotasi 10 atau
12 lukisan dan ukiran setiap hari, minggu, atau bulan untuk memberikan variasi
bagi pasien. Nightingale juga menganjurkan membaca, menjahit, menulis, dan
membersihkan sebagai kegiatan untuk menghilangkan rasa bosan.
6. Tempat tidur
Nightingale mencatat bahwa seorang dewasa dalam kondisi sehat
menghembuskan sekitar tiga liter uap air melalui paru-paru dan kulit (keringat)
dalam 24 jam. Bahan organik ini memasuki lembaran linen dan tempat tidur
pasien. Sehingga perlu dilakukan penggantian linen secara berkala, terlebih bagi
orang sakit.
Nightingale percaya bahwa tempat tidur harus ditempatkan di bagian paling baik
dari ruangan sehingga pasien bisa melihat keluar jendela. Nightingale juga
mengingatkan pengasuh untuk tidak bersandar, duduk, atau tidak perlu
mengguncang tempat tidur pasien.
7. Kebersihan Pribadi
"Seperti halnya perlu untuk memperbaharui udara di sekitar orang yang sakit
secara teratur untuk mengeluarkan polutan yang tidak sehat dari paru-paru dan
kulit, dengan mempertahankan ventilasi bebas, sehingga perlu menjaga pori-pori
kulit bebas dari semua ekskresi yang menghalangi. Setiap perawat harus sering
mencuci tangannya di siang hari."
8. Nutrisi
Nightingale mencatat dalam Teori Lingkungannya bahwa individu menginginkan
makanan yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam sehari dan bahwa porsi
kecil yang sering mungkin lebih bermanfaat bagi pasien daripada sarapan besar
atau makan malam. Sebaiknya semua urusan ditangguhkan saat jam makan,
sehingga pasien tidak merasa terganggu.
9. Mendiskusikan tentang Harapan
Florence Nightingale menulis dalam Teori Lingkungannya bahwa memberikan
harapan untuk tujuan menghibur orang sakit sangat banyak membantu. Dia
mendorong perawat untuk memperhatikan apa yang dikatakan oleh pasien dan
keluarga, percaya bahwa orang yang sakit harus mendengar kabar baik yang akan
membantu mereka menjadi lebih sehat.
10. Pertimbangan Sosial
Nightingale mendukung pentingnya memandang kesehatan individu melalui
lingkungan sosial tempat ia tinggal. Perawat perlu memperhatikan kondisi sosial
pasien agar dapat memberikan asuhan yang optimal.

Dalam Teori Lingkungan Florence Nightingale, ia mengidentifikasi lima (5)


faktor lingkungan: udara segar, air bersih, drainase yang efisien, kebersihan atau
sanitasi, dan sinar matahari langsung atau cahaya.6
a. Udara segar. Menjaga udara yang pasien hirup semurni udara luar tanpa
membuatnya dingin.
b. Air bersih. Air sumur yang tidak higienis (bersih) jika digunakan untuk keperluan
rumah tangga rentan menderita penyakit bagi penggunanya.
c. Drainase yang efektif. Selokan yang tidak bersih merupakan sumber penyakit bagi
lingkungan.
d. Kebersihan. Bagian terbesar dari keperawatan adalah menjaga kebersihan.
e. Cahaya (terutama sinar matahari langsung). Kegunaan cahaya dalam mengobati
penyakit sangat penting.

Faktor-faktor yang memberikan dampak buruk menurut Nightingale ketika


fasilitas kesehatan memiliki sanitasi yang buruk, dan petugas kesehatan memiliki
sedikit pendidikan dan pelatihan dan seringkali tidak kompeten dan tidak dapat
diandalkan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Juga ditekankan dalam teori
lingkungannya adalah penyediaan lingkungan yang tenang atau bebas kebisingan dan
hangat, memperhatikan kebutuhan makanan pasien dengan penilaian, dokumentasi
waktu asupan makanan, dan mengevaluasi efeknya pada pasien. Kekurangan dalam
lima faktor ini akan menghasilkan penyakit atau menurunnya derajat kesehatan,
tetapi dengan lingkungan yang baik, tubuh dapat memperbaiki dirinya sendiri.5,6
C. Aplikasi Teori Florence Nightingale di Penelitian
1. Lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian TB paru7
Dalam pencegahan penyakit TB Paru sangat perlu menjaga lingkungan yang sehat
seperti pengaturan syarat–syarat rumah yang sehat diantaranya luas bangunan
rumah, ventilasi, pencahayaan dengan jumlah anggota keluarga serta kebersihan
lingkungan tempat tinggal. Pencegahan penyakit Tuberkulosis Paru berbasis
lingkungan dapat dilakukan dengan:
a. Satu kamar di huni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar lebih
atau sama dengan 10 m²/orang.
b. Lantai rumah sebaiknya di semen dan memperbaiki ventilasi serta menambah
ventilasi buatan.
c. Selalu membuka pintu atau jendela terutama di pagi hari agar pencahayaan
alami dapat masuk ke dalam rumah.
d. Menutup mulut bila batuk atau bersin bagi penderita maupun bukan penderita
jika saling berdekatan.
e. Tidak meludah di sembarang tempat, upayakan meludah pada tempat yang
terkena sinar matahari atau I tempat khusus seperti tempat sampah.
f. Menjemur tempat tidur bekas penderita secara teratur karena kuman
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari.
g. Menjaga kebersihan diri, baik perorangan maupun keluarga serta menjaga
kesehatan badan agar agar sistem imun senantiasa terjaga dan kuat.
h. Di usahakan tidur terpisah dengan penderita dan menjaga jarak aman ketika
berhadapan dengan penderita TB Paru.
i. Bagi penderita di usahakan istirahat yang cukup dan makan makanan yang
bergizi.
j. Hindari melakukan hal-hal yang dapat melemahkan sistem imunitas, seperti
begadang dan kurang istirahat.
Pencegahan TB berdasarkan pengawasan penderita dan kontak antara lain:7
1. Meningkatkan daya tahan tubuh, terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG.
2. Memberikan penyuluhan tentang penyakit TB Paru yang meliputi gejala, bahaya
dan akibat yang akan ditimbulkan.
3. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus
TBC. Pengobatan di rumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan
sosial, ekonomi dan medis tidak dikehendaki pengobatan jalan.
4. Tuberkulin test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi
positif, apabila cara-cara ini negative, perlu di ulang pemeriksaan tiap bulan
selama 3 bulan.
5. Pengobatan khusus bagi penderita aktif. Obat-obat kombinasi yang telah
ditetapkan oleh dokter diminum secara teratur selama sakit.

Faktor resiko kejadian TB adalah lingkungan fisik, dan diperjelas lagi oleh
Ahmadi (2010) yang menyatakan bahwa rumah tidak sehat merupakan salah satu
reservoir atau tempat yang baik dalam menularkan penyakit tuberkolosis. Dengan
kondisi fisik yang kurang memenuhi syarat, maka rumah bisa menjadi media
penularan penyakit, khususnya TB Paru.8
Berdasarkann teori lingkungan oleh Florence Nightingale, lingkungan yang
berpengaruh terhadap tingginya angka kejadian tuberculosis adalah lingkungan
rumah yang kurang sehat seperti kurangnya ventilasi, pencahayaan yang buruk di
dalam ruangan, kepadatan hunian, dan bahan bangunan di dalam rumah.
1. Ventilasi
Ventilasi berperan sebagai tempat pertukaran aliran udara terus-menerus untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen
seperti tuberculosis. Ventilasi ada 2 yaitu ventilasi alam dan ventilasi buatan.9
a. Ventilasi alam
Upaya yang dapat dilakukan adalah membuka pintu dan jendela di pagi hari
agar terjadi pertukaran udara dan sinar matahari bisa masuk. Membuka
jendela di siang hari bisa mematikan kuman tuberculosis karena kondisi
cuaca di siang hari lebih panas sehingga bisa membunuh kuman
tuberculosis.
b. Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat menggunakan alat elektrik dan mekanis. Ala-alat
tersebut antara lain kipas angin dan AC (air conditioner).
2. Udara
Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur
ruangan sebesar 18⁰–30⁰ C dengan kelembaban udara sebesar 40%-70%.
Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi
syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan kelembaban udara yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 40% atau > 70%.10
Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi
kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteri
Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih
dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu, kelembaban udara
yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen
termasuk bakteri tuberculosis.11
3. Pencahayaan
Memasang genteng plastik agar cahaya bisa masuk ke ruangan sehingga
pencahayaan memadai, tidak gelap, mengurangi kelembaban serta dapat
membunuh kuman dan bibit penyakit. Menurut Winslow dan APHA
pencahayaan yang cukup baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya
buatan (lampu). Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60-120 lux, luas
jendela yang baik minimal 10-20% dari luas lantai. 9
4. Kondisi sanitasi lingkungan
Kondisi lingkungan yang buruk dapat menjadi media penularan penyakit.
Terjadinya penyakit berbasis lingkungan disebabkan karena adanya interaksi
manusia dengan lingkungan. Apabila sanitasi lingkungan tidak diperhatikan,
dapat menimbulkan penyakit. 9
5. Jenis lantai dan jenis dinding
Jenis standar lantai rumah sehat yaitu plesteran, ubin, maupun keramik, tidak
lembab, kedap air, sehingga tidak memungkinkan bakteri berkembang di lantai.
Kontruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan
dari kotoran dan debu.9
6. Bedding
Yaitu dengan membiasakan sering menjemur kasur agar kuman-kuman yang
menempel di kasur khususnya mycobacterium tubberculosa dapat mati ketika
terkena panas matahari.9
7. Kepadatan hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan
hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas
minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan
fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang.
Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.
Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberculosis
sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya.Secara umum penilaian
kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu
kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi
antara luas lantai dengan jumlah penghuni 9 m²/orang dan kepadatan penghuni
tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai
dengan jumlah penghuni -9 m²/orang. 9 Kepadatan penghuni dalam suatu rumah
tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak
sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan
(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit
infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain.11
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan tahun 2000, didapatkan
data bahwa:12
a. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaann tidur dengan balita
mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur
terpisah.
b. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya.
c. Besar resiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih dari
1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang
penderita TB.
8. Nutrisi
Salah satu faktor yang mempengaruhi penyakit tuberculosis adalah status gizi.
Status gizi adalah salah satu factor terpenting dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang buruk maka reaksi kekebalan tubuh
akan melemah sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap
infeksi menjadi menurun. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi
seseorang adalah status sosial ekonomi.13 Pendapatan per kapita pasien
Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan status
gizi pada pasien Tuberkulosis Paru.14 Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Jefille dalam penelitian Sri Endah P tahun 2012 bahwa faktor
yang mempengaruhi status gizi adalah keadaan infeksi, konsumsi makanan,
pengaruh budaya, sosial ekonomi dan produksi pangan. Status gizi merupakan
variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian Tuberkulosis paru,
tentu saja hal ini masih tergantung pada penyebab lain yang lebih utama yaitu
bakteri mycobacterium tuberculosis. Seperti yang diketahui bakteri
mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang suka tidur hingga
bertahun – tahun dan apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan
menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit Tuberkulosis paru.15
D. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tb Paru
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Ngemplak, didapatkan data
bahwa:16
1. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru
Tidak ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi rumah dengan
kejadian TB. Hal ini sesuai dengan penelitian Moha (2012) dan Rosiana (2012)
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB
Paru tetapi bertentangan dengan penelitian Suarni (2009) menyatakan bahwa
kondisi ventilasi yang kurang memiliki risiko penularan 14,182 kali dari ventilasi
yang baik. Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian Suarni yang menyatakan
ada hubungan dapat dilihat dari lokasi penelitian yang dilakukan Suarni berada di
tengah Kota Jakarta sehingga kondisi rumah juga tidak begitu luas seperti
penelitian ini yang dilakukan di daerah desa yang kondisi rumahnya masih luas,
luas rumah juga dapat mempengaruhi seberapa besar luas ventilasi.17,18,19
2. Hubungan pencahayaan dengan kejadian TB Paru
Ada hubungann antara pencahayaan dengan kejadian TB Paru. Pencahayaan
merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian TB Paru baik cahaya
alam (matahari), maupun cahaya buatan (lampu). Pencahayaan yang kurang akan
meningkatkan perkembangan TB Paru, sedangkan pencahayaan yang bagus bisa
mencegah perkembangan kuman. Cahaya matahari mengandung sinar UV yang
dapat membunuh kuman secara langsung.
3. Hubungan kelembaban dengan kejadian TB Paru
Tidak terdapat hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Ngemplak. Tidak adanya hubungan bisa terjadi karena pada saat
penelitan dilaksanakan pada bulan Januari dalam musim penghujan sehingga
kelembaban dalam rumah lebih tinggi daripada musim kemarau.
4. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan
kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Ngemplak. Dari hasil penelitian
kondisi rumah responden baik kasus maupun kontrol cukup luas dengan jumlah
penghuni maksimal 7 orang dan minimal dalam satu rumah dihuni 3 orang
sehingga antara luas rumah dengan jumlah penghuni dalam rumah tidak
menyatakan termasuk padat hunian dengan rata-rata kepadatan hunian 22,6 m2.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Moha (2012), Rosiana (2012) dan
Wulandari (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian TB Paru. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian Batti (2013) yang menyatakan bahwa kepadatan hunian mempunyai
hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru, yang memiliki kepadatan hunian
< 10m² (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru
sebesar 10 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan
huniannnya memenuhi syarat.17,18,20
5. Hubungan jenis lantai dengan kejadian TB Paru
Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Ngemplak tidak didapatkan
hubungan yang siginifikan antara jenis lantai dengan kejadian TB Paru
dikarenakan jenis lantai rumah pada 38 responden baik kasus mauoun control,
100% lantai rumah sudah memenuhi standar rumahh sehat yaitu plesteran ataupun
keramik, tidak lembab, kedap air sehingga tidak memungkinkan bakteri
berkembang di lantai. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Rosiana
(2012) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai dengan
kejadian tuberkulosis paru, dan diperkirakan risiko jenis lantai yang tidak baik
terkena tuberkulosis paru 22,15 kali dibandingkan rumah yang memiliki jenis
lantai yang baik. Untuk perbedaan jenis lantai pada hasil penelitian yang didapat
dengan penelitian Rosiana yaitu masih banyak rumah yang berlantaikan tanah
sedangkan pada penelitian ini minimal rumah responden sudah di plester dan
kondisi daerah didua tempat penelitian ini berbeda.18
6. Hubungan jenis dinding dengan kejadian TB Paru
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis dinding rumah dengan
kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Ngemplak. Dinding rumah yang
kedap air berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan
air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan
(privacy) penghuninya.21 Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999,
dinding rumah harus memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air
dan mudah dibersihkan. Jenis dinding pada rumah akan berpengaruh terhadap
kelembaban dan mata rantai penularan tuberkulosis paru.
7. Hubungan nutrisi
Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1 Kabupaten
Kebumen oleh Kartikasari (2011) didapatkan hasil bahwa dari total 80 responden,
56 orang (70%)nya mempunyai status gizi kurang. Dari 56 responden tersebut, 33
diantaranya adalah penderita TB Paru dan 23 responden kontrol (bukan penderita
Tb Paru). Status gizi yang kurang akan membuat lemahnya daya imun (sistem
kekebalan tubuh) dalam mempertahankan diri dari suatu penyakit. Kondisi
kurangnya status gizi mayoritas responden terutama pada responden kasus
(penderita Tuberkulosis paru) pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor. Dua
factor diantaranya adalah kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan asupan
makanan yang baik dan bergizi dan pendapatan (ekonomi) yang baik untuk
memenuhi kebutuhan makanan bergizi. Jika tingkat pengetahuan gizi seseorang
baik maka diharapkan asupan makanan baik sehingga status gizinya juga menjadi
baik.22
DAFTAR PUSTAKA
1. Ruth F. Craven and Constance J. Hirnle. Nursing Theory and Conceptual Framework,
Fundamentals of Nursing: Human Health and Function. 2003, pp.56
2. Florence Nightingale: Part I. Strachey, Lytton. Eminent Victorians. 1918. From
http://www.bartleby.com/189/201.html
3. Florence Nightingale and Lynn McDonald (Editor). An introduction to Vol 14, Florence
Nightingale: The Crimean War. Wilfrid Laurier University Press. 2010.
ISBN 0889204691
4. Barbara Kozier, Glenora Erb, Audrey Berman, Shirlee Snyder. The Nature of Nursing,
Fundamentals of Nursing: Concepts, Process and Practice, Second Edition. 2004, p.38
5. Nightingale, F. Notes on Nursing: What it is and what it is not. In McEwen, M. and Wills,
E. (Ed.). Theoretical Basis for Nursing. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
1860/1957/1969
6. Nightingale, F. Notes on Nursing: What it is and what it is not. (Original publication
1859). In George, J. (Ed.). Nursing Theories: The Base for Professional Nursing
Practice. Norwalk, Connecticut: Appleton & Lange. 1992
7. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva World
Health Organization.
8. Muaz, F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Basil Tahan
Asam Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. Skripsi
Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh
Jakarta. 2014
9. Suyono. Pokok Bahan Modul Perumahan dan Pemukiman Sehat. Jakarta: Pusdiknaker.
2005
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Kepmenkes RI
No.829/Menkes/SK/VII/1999, Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
11. Notoadmojo, Sukidjo. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
2003
12. Litbang Kesehatan, 2000, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Dinas. P2M.
13. Maksalmina, Z. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kejadian TB (Tuberkulosis) Paru
Pada Laki-Laki di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan.
Jurnal Skripsi. Pekalongan: Stikes Muhammadiyah Pekajangan, Pekalongan. 2013
14. Patiung, F., Wongkar, MCP dan Mandang, V. Hubungan Status Gizi dengan CD4 Pasien
Tuberkulosis Paru. Jurnal e-CliniC, volume 2, nomor 2. 2014
15. Ruswanto, Bambang. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau dari
Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro. 2010
16. Syafri, Kartika Amalia. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali. Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2015
17. Moha, S.R. Pengaruh Kondisi Fisik Rumah Terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis
Paru Di Desa Pinolosian, Wilayah Kerja Puskesmas Pinolosian Kecamatan Pinolosian
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan Tahun 2012. [Tesis Ilmiah]. Gorontalo :
Universitas Gorongtalo. 2012
18. Rosiana, AM. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. 2012
19. Suarni, E. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penderita TB Paru Di
Kecamatan Pancoran Mas Depok 2009. [Skripsi Ilmiah]. Depok: Universitas Indonesia.
2009
20. Wulandari, S. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. 2012
21. Keman, S. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Journal Kesehatan
Lingkungan. Vol. 2, No. 1, Juli 2005.
22. Kartikasari, BW, Mifbakhuddin, Mustika, DN. Hubungan Pendidikan, Paritas dan
Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Ibu Hamil Trisemester III di Puskesmas Bangetayu
Kecamatan Genuk Kota Semarang Tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai