Anda di halaman 1dari 6

“ESAI ILMIAH POPULER”

JANGAN REMEHKAN KESEHATAN MENTAL: PERAN


MAHASISWA KEDOKTERAN BERDASARKAN
MENTAL HEALTH GAP ACTION PROGRAMME OLEH
WHO

PEDOPHILIC DISORDER (1902531041)


IRRITABLE BOWEL SYNDROME
34

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
1

JANGAN REMEHKAN KESEHATAN MENTAL: PERAN


MAHASISWA KEDOKTERAN BERDASARKAN
MENTAL HEALTH GAP ACTION PROGRAMME OLEH
WHO

Kesehatan mental sangatlah penting bagi kesehatan. Ini tercermin oleh


definisi kesehatan dalam Konstitusi WHO sebagai keadaan lengkap kesejahteraan
fisik, mental, dan sosial dan bukan hanya ketidakhadiran penyakit atau kelemahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir bahwasannya
kesehatan mental secara inheren memengaruhi kesehatan fisik dan kesehatan fisik
memengaruhi kesehatan mental. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan untuk mencapai
kondisi kesehatan yang kompleks. Kesehatan mental sangatlah penting untuk
kesejahteraan pribadi, hubungan dalam keluarga, dan kontribusi untuk masyarakat
luas serta kesuksesan di masa depan. Namun, yang paling sering mendapat perhatian
di seluruh dunia mengenai kesehatan mental yakni gangguan mental umum yang
meliputi depresi dan gangguan kecemasan. Seharusnya masalah ini ditangani dengan
serius oleh pemerintah. Apalagi, banyak masyarakat di berbagai negara yang
mengalami kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan resiko untuk mengembangkan
gangguan mental ini dan menghambat akses untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Gangguan mental umum merujuk pada dua kategori diagnosis utama, yaitu
gangguan depresi dan gangguan kecemasan. Gangguan ini sudah sering kita dengar
dan lazim dalam populasi masyarakat, oleh sebab itu mereka dianggap ‘umum’.
Gangguan tersebut berdampak pada suasana hati atau perasaan orang lain yang
terkena dampaknya, gejala gangguan ini berkisar dalam hal tingkat keparahannya dan
durasinya. Gangguan ini adalah kondisi kesehatan yang dapat didiagnosis. Berbeda
dari perasaan sedih, marah, stress, takut dan yang lainnya bahwa siapapun dapat
mengalami hal tersebut dalam hidup mereka.

Gangguan depresi atau depressive disorders merupakan satu masa


terganggunya fungsi manusia ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat atau
2

kesenangan, perasaan bersalah, merasa bahwa harga diri rendah, gangguan tidur atau
nafsu makan, kelelahan, rasa putus asa hingga bunuh diri. Depresi dapat berlangsung
lama atau berulang, sehingga mengganggu kemampuan seseorang untuk bekerja dan
sekolah atau mengatasinya setiap hari.

Secara global, total jumlah populasi manusia yang mengalami depresi


menurut data WHO yakni sekitar 300 juta orang atau 4,4% pada tahun 2015. Depresi
lebih sering terjadi pada perempuan (5,1%) dibandingkan laki-laki (3,6%). Hampir
semua yang mengalami depresi tersebut juga mengalami gangguan kecemasan.
Depresi diperingkat oleh WHO sebagai kontributor utama kematian yang disebabkan
oleh bunuh diri, yang jumlahnya mendekati 800.000 per tahun. Jumlah orang dengan
gangguan mental ini secara global terus meningkat dari tahun ke tahun, khususnya di
negara yang berpenghasilan rendah. Tingkat persentase di berbagai wilayah negara
bervariasi berdasarkan WHO Region, yakni dari yang paling rendah yaitu Wilayah
Afrika sekitar 29,19 juta jiwa (9%), Wilayah Eropa sekitar 40,27 juta jiwa (12%),
Wilayah Amerika sekitar 48,16 juta jiwa (15%), disusul oleh Mediterania Timur
sekitar 52,98 juta jiwa, Pasifik Barat sekitar 66,21 juta jiwa (21%), dan yang tertinggi
berada di Wilayah Pasifik Barat sekitar 85,67 juta jiwa (27%) Tingkat persentasi
berdasarkan usia juga bervariasi, yakni memuncak pada usia dewasa atau tua (diatas
7,5% diantara wanita yang berusia 55-74 tahun, dan diatas 5,5% diantara laki-laki).
Depresi juga terjadi pada anak-anak dan remaja dibawah usia 15 tahun, namun
jumlahnya lebih rendah dari usia dewasa. Total jumlah orang yang hidup dengan
depresi di dunia adalah 322 juta. Hampir setengah dari jumlah tersebut tinggal di
Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

WHO Global Health Estimates menyediakan sebuah penilaian yang


komprehensif mengenai kematian di seluruh dunia. Pada 2015, diperkirakan sejumlah
788.000 orang meninggal karena bunuh diri, dan menyumbang hampir 1,5% dari
semua kematian di seluruh dunia. Tingkat bunuh diri bervariasi menurut WHO
Region dan menurut jenis kelamin, mulai dari dibawah 5 per 100.000 penduduk di
kalangan perempuan berpenghasilan rendah dan menengah di negara-negara
3

Mediterania Timur dan Amerika, hingga 20 atau lebih diantara pria di negara-negara
berpenghasilan tinggi dan rendah di Afrika, Eropa, dan Asia Tenggara. 78% dari
bunuh diri global terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menangah pada
tahun 2015. Di Indonesia, WHO melaporkan angka bunuh diri karena depresi di
negara kita mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Angka bunuh diri di Indonesia
tergolong tinggi dan sebanding dengan Jepang, yaitu menempati urutan ke-9 dari
peringkat di seluruh dunia. Angka bunuh diri di Indonesia diperkirakan setiap tahun
mencapai 50 ribu orang dari total 220 juta total penduduk Indonesia. Bunuh diri juga
menjadi penyebab utama tingginya tingkat kematian di usia lanjut.

Oleh sebab itu, perlu perhatian dan penanganan yang lebih serius mengenai
depresi ini. Banyak orang yang masih menganggap remeh masalah kesehatan mental
seseorang. Selain itu, masyarakat yang masih tabu dalam hal ini juga sering berkata
yang seharusnya tidak pantas dikatakan, malah hanya membuat penderita gangguan
depresi ini semakin terpuruk. Mungkin karena kesadaran masyarakat yang terbilang
kurang mengenai pentingnya kesehatan mental dan hanya mementingkan kesehatan
fisik saja sehingga terjadilah stigma masyarakat yang salah. Sehingga, adapun
Rencana Aksi Kesehatan Mental WHO 2013-2020, yang disetujui oleh Majelis
Kesehatan Dunia pada 2013, mengakui peran penting kesehatan mental dalam
mencapai kesehatan bagi semua orang. Rencana tersebut meliputi kepemimpinan dan
tata kelola yang lebih efektif untuk kesehatan mental, penyediaan layanan kesehatan
mental dan sosial yang komprehensif, terintegrasi dalam pengaturan berbasis
masyarakat, implementasi strategi untuk promosi dan pencegahan dan memperkuat
system informas, bukti, dan penelitian.

Adapun Mental Health Gap Action Programme yang dimiliki WHO yang
diluncurkan pada 2008, yang menggunakan panduan teknis, alat, dan paket pelatihan
berbasis bukti untuk memperluas layanan di negara-negara, terutama di rangkaian
miskin sumber daya. Ini berfokus pada kondisi yang sedang diprioritaskan,
mengarahkan pengembangan kapasitas ke penyedia layanan kesehatan non-spesialis
4

dalam pendekatan terpadu yang mempromosikan kesehatan mental di semua tingkat


perawatan.

Berdasarkan program yang telah diluncurkan oleh WHO, sebagai mahasiswa


kedokteran harus mampu menjadi sumber daya yang berkualitas dalam membantu
dan berkontribusi dalam pencegahan dan pengobatan gangguan mental di masyarakat.
Mahasiswa kedokteran juga harus mampu memberikan pelayanan yang baik dan
profesional, harus mampu memberi pengertian dan kesadaran kepada masyarakat
mengenai pentingnya kesehatan mental bagi manusia. Kesehatan mental tak kalah
penting dengan kesehatan fisik. Dibutuhkan lebih banyak upaya dalam
mempromosikan atau sosialisasi mengenai psikoedukasi ke sekolah-sekolah atau desa
terpencil. Masyarakat membutuhkan tenaga kesehatan yang mumpuni dalam
membantu dalam pencegahan penyakit khususnya gangguan mental. Dikarenakan,
gangguan mental masih dianggap remeh oleh sebagian masyarakat. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dalam mewujudkan masyarakat dalam hidup yang sehat secara
fisik dan mental. Masalah kesehatan mental bukan hanya milik psikolog saja, tetapi
juga para dokter, perawat dan tenaga medis lainnya.
5

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Mental Health Action Plan 2013-2020. 2013.


[online] Available at:
https://www.who.int/mental_health/publications/action_plan/en/ [Accessed 16
Aug. 2019].
2. World Health Organization. Mental Disorders. 2018. [online] Available at:

https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders
[Accessed 16 Aug. 2019].

3. World Health Organization. mhGAP. 2018. [online] Available at:


https://www.who.int/mental_health/mhgap/en/ [Accessed 17 Aug. 2019]

4. Santoso, Meilanny B, Dessy H, Chenia I. Bunuh Diri dan Depresi Dalam


Perspektif Pekerjaan Sosial. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat 4.3 (2018): 390-398.

5. Haryanto, Haryanto, Hartati D, Siti N. Sistem Deteksi Gangguan Depresi


Pada Anak-Anak dan Remaja. Jurnal Ilmiah Teknik Industri 14.2 (2016): 142-
152.

Anda mungkin juga menyukai