Anda di halaman 1dari 7

36

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian


Puskesmas Langsa Kota di dirikan pada tahun 2004 diatas areal + 3.798

m2. Daerah tersebut berada dijalan H. Agus salim No. 10 Gampong sungai pauh

kecamatan langsa barat. Wilayah kerja puskesmas ini terdiri dari 13 desa dengan

luas wilayah ± 40,61 km².


Pelayanan kesehatan Puskesmas Langsa Kota mempunyai 19 ruang

rawat jalan, Ruang rawat jalan mempunyai berbagai jenis pelayanan yaitu poli

umum, poli anak, poli jiwa, poli gigi, poli usila, poli imunsasi, KIA, KB, IGD dan

rawat inap, Ruang bersalin, laboratorium, ruang kartu, dan apotik, poli TB Paru

dan kusta, gudang farmasi, gudang barang, ruang kepala puskesmas, ruang

jamkesmas, ruang tata usaha.

5.2. Hasil Penelitian


Hasil penelitian yang dilakukan pada 72 pasien usia 35-45 yahun yang

berkunjung ke Puskesmas Langsa Kota, diperoleh data sebagai berikut :

5.2.1. Kejadian Hipertensi

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Kejadian Hipertensi Pada Usia 35-45 Tahun
di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Kota
Tahun 2017
No Kejadian Hipertensi Frekuensi Persentase
(f) (%)
1 Tidak Hipertensi 42 58,3
37

2 Hipertensi 30 41,7
Jumlah 72 100
Sumber : Data Primer (Diolah Tahun 2017)

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa sebanyak 42 (58,3%)

responden tidak mengalami hipertensi.

5.2.2. Stres
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Stres Pada Usia 35-45 Tahun
di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Kota
Tahun 2017
No Stres Frekuensi Persentase
(f) (%)
1 Ringan 30 41,7
2 Sedang 32 44,4
3 Berat 10 13,9
Jumlah 72 100
Sumber : Data Primer (Diolah Tahun 2017)

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa sebanyak 32 (44,4%)

responden mengalami stres sedang dan sebanyak 10 (13,9%) responden

mengalami stres berat.

5.2.3. Hubungan Stres dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 5.4
Hubungan Stres dengan Kejadian Hipertensi Pada Usia 35-45 Tahun
di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Kota
Tahun 2017
No Stres Kejadian Hipertensi
Tidak Hipertensi Jumlah p-
Hipertensi value
38

F % F % F %
1 Ringan 25 83,3 5 16,7 30 100
2 Sedang 16 50 16 50 32 100 0,000
3 Berat 1 10 9 90 10 100
Jumlah 42 30 72
Sumber : Data Primer (Diolah Tahun 2017)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami stres

ringan yang tidak mengalami hipertensi sebanyak 25 (83,3%) responden,

responden yang mengalami stres sedang yang tidak mengalami hipertensi

sebanyak 16 (50%) responden dan responden yang mengalami stres berat yang

mengalami hipertensi sebanyak 9 (90%) responden. Hasil uji statistik Chi–Square

(Pearson chi-square) pada derajat kepercayaan 95% (α=0,05) diperoleh nilai p-

value = 0,000 (p≤0,05) yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan stres dengan kejadian hipertensi pada usia

35-45 tahun.

5.3. Pembahasan
5.3.1. Kejadian Hipertensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 42 (58,3%) responden

tidak mengalami hipertensi, hal ini menyimpulkan bahwa sebanyak 41,7% pasien

yang berusia 35-45 tahun mengalami hipertensi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Laksono (2014), tentang hubungan antara stress, dengan terjadinya pada penderita

hipertensi di Puskesmas Bendosari Sukaharjo yang menyimpulkan bahwa

sebagian besar responden mengalami hipertensi sebanyak 52,3%.

Hipertensi memiliki berbagai faktor risiko yang memiliki keterkaitan erat

dengan pemicu terjadinya penyakit tersebut. Berbagai faktor risiko yang memiliki
39

keterkaitan erat dengan pemicu terjadinya penyakit tersebut. Berbagai faktor

risiko hipertensi meliputi genetik, ras, usia, jenis kelamin, merokok obesitas serta

stress psikologis dan faktor yang menyebabkan kambuhnya hipertensi antara lain

pola makan, merokok dan stress (Laksono, 2011).

Hipertensi dimaknai sebagai timbulnya gejala meningkatnya tekanan

darah sebesar 140/90 mmHg. Distribusi penelitian menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki kecenderungan kekambuhan hipertensi yang tinggi.

Beberapa faktor yang turut mempengaruhi kekambuhan hipertensi antara lain

riwayat penyakit dan perilaku hidup sehat pasien hipertensi. Hal tersebut

sebagaimana dikemukakan oleh Marlina dalam Muslihin (2014), yaitu

kekambuhan penyakit hipertensi atau peningkatan darah kembali disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu tidak kontrol secara teratur, tidak menjalankan pola hidup

sehat, seperti diet yang tepat, olah raga, berhenti merokok, mengurangi alkohol

atau kafein, serta mengurangi stress.

Menurut asumsi peneliti peningkatan tekanan darah pada penderita

hipertensi cenderung tinggi, hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya aktivitas

fisik, ketidakpatuhan terhadap diet serta tingkat stress yang tinggi dan tidak dapat

mengontrol emosi sehingga menyebabkan tingginya peningkatan tekanan darah

yang mengharuskan penderita hipertensi kembali menjalankan pengobatan ke

puskesmas hal ini dapat meningkatkan risiko serangan stroke sehingga penderita

hipertensi sebaiknya mengotrol peningkatan tenakan darah dengan cara mengatur

pola makan, menghindari rokok dan stress serta melakukan aktivitas fisik.

5.3.2. Hubungan Stres dengan Kejadian Hipertensi


40

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami stres

ringan yang tidak mengalami hipertensi sebanyak 25 (83,3%) responden,

responden yang mengalami stres sedang yang tidak mengalami hipertensi

sebanyak 16 (50%) responden dan responden yang mengalami stres berat yang

mengalami hipertensi sebanyak 9 (90%) responden. Hasil uji statistik Chi–Square

(Pearson chi-square) pada derajat kepercayaan 95% (α=0,05) diperoleh nilai p-

value = 0,000 (p≤0,05) yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan stres dengan kejadian hipertensi pada usia

35-45 tahun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan laksono

(2014), tentang hubungan antara stress dengan terjadinya kekambuhan pada

penderita hipertensi di Puskesmas Bendosari Sukaharjo yang menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan antara stress dengan terjadinya hipertensi.


Menurut Sutaryo (2011), stress mempengaruhi kekambuhan hipertensi

diduga melalui aktivitas saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah

secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan

darah menjadi tetap tinggi. Hipertensi akan muncul pada orang yang sering stres

dan mengalami ketegangan pikiran yang berlarut-larut.


Stres itu sendiri menurut Kaplan (2012), adalah suatu keadaan atau

respon tubuh terhadap setiap tekanan dan tuntutan yang di hasilkan oleh

perubahan dalam lingkungan, baik dari kondisi menyenangkan maupun tidak

menyenangkan. Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda terhadap stress

yang di alami, sehingga gejalagejalanya juga berbeda-beda seperti yang di

ungkapkan oleh Munajat (2012) yaitu gejala fisik, mencakup nafas cepat, bibir

kering, tangan lembab, merasa gerah dan panas, otot-otot tegang, diare atau
41

sembelit, mudah lelah, sakit kepala, dan gelisah dan gejala perilaku, antara lain

adalah bingung, cemas, jengkel, kehilangan semangat, kesulitan dalam

berkonsentrasi, kesulitan membuat keputusan, dan hilangnya kreatifitas.


Stres timbul pada pasien hipertensi merupakan hal yang wajar. Hal

tersebut disebabkan adanya perubahan yang mendadak pada aktivitas yang

biasanya pasien lakukan, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan keadaan

penyakit. Adanya pengobatan dan perubahan perilaku baik secara fisik maupun

emosional menjadi stressor bagi pasien hipertensi.


Peneliti berasumsi bahwa tingkat stress pada penderita hipertensi di

Puskesmas Langsa Kota mayoritas mengalami stress sedang hal ini yang

merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan darah pada penderita

hipertensi, hal ini sesuai dengan pendapat Hadjam (2011) yang mengatakan

bahwa pasien yang mengalami penyakit kronis memperlihatkan adanya stres dan

depresi yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa diri

gagal, tidak puas dalam hidup, merasa lebih buruk dibandingkan dengan orang

lain, penilaian rendah terhadap tubuhnya, dan merasa tidak berdaya. Tingkat stres

berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Stres merupakan suatu tekanan yang

dialami individu dalam usaha mencapai target standar pemenuhan kebutuhan

hidup manusia. Apabila standar pemenuhan kebutuhan hidup seorang individu

terlalu tinggi, kemungkinan tekanan (stres) yang dialaminya akan semakin tinggi,

demikian pula sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Syaifuddin dalam Khasanah

(2013), mekanisme stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang

mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan retensi air dan

garam dalam tubuh. Pada saat stres, sekresi katekolamin semakin meningkat
42

sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga semakin

meningkat. Peningkatan sekresi hormon tersebut berdampak pada peningkatan

tekanan darah.

Anda mungkin juga menyukai