Anda di halaman 1dari 8

“KAJIAN ISU PSIKOLOGI (INDIVIDUAL)”

PEDOPHILIC DISORDER (1902531041)

JEAN PIAGET

PROGRAM STUDI SARJANA PSIKOLOGI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

0
2019
PELECEHAN SEKSUAL DI SEKOLAH: AKU BUKAN
PELAMPIASAN NAFSU BEJATMU

Pengalaman di sekolah yang kurang menyenangkan dapat menjadi


sumber stres yang signifikan dan mengurangi kualitas hidup bagi peserta didik
(Huebner & McCullough, 2000). Pernyataan ini didukung dengan penelitian
Fatimah (2010), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi stress yang dialami
siswa, maka akan semakin buruk penilaian siswa terhadap sekolahnya. Ketika
siswa mengalami hal tersebut, maka ia akan merasa tidak memiliki hubungan
sosial yang baik di sekolahnya. Pendapat tersebut sesuai dengan penelitian
oleh Torsheim (Fatimah, 2010) yaitu stres yang dialami siswa akan
memberikan dampak yang buruk pada hubunga interpersonal. Salah satu yang
bisa kita lihat, yaitu kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi di sekolah.

Para siswa atau anak yang masih dibawah umur merupakan anggota
masyarakat yang tergolong lemah dari segi fisik maupun pemenuhan hak
mereka. Oleh karena itu, siswa harus dilindungi karena merupakan generasi
penerus dan yang akan mencerdaskan bangsa di masa depan, sesuai dengan
undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang secara
tegas menyatakan bahwa anak adalah generasi penerus bangsa yang harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Namun kenyataannya, masih banyak
siswa atau adik-adik kita yang menjadi korban kekerasan, khususnya
kekerasan seksual.

Maraknya berita kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada sejumlah


siswa di Indonesia cukup membuat masyarakat luas terkejut. Kasus pelecehan
dan kekerasan seksual di negeri kita tercinta ini selalu meningkat tiap
tahunnya. Yang menjadi korban ialah tak lain para siswa, bahkan siswa yang

1
masih dibawah umur. Fenomena kekerasan seksual pada siswa semakin sering
terjadi

bahkan terjadi pula di berbagai belahan dunia. Kasus kekerasan seksual ini
bukan hanya terus meningkat dari segi jumlah kasus, tetapi juga dari segi
kualitasnya. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual di sekolah adalah pegawai
dan guru, dan bahkan kepala sekolah di sekolah tersebut. Mereka yang
harusnya menjadi orang tua kedua, bukannya menjadi seorang penjahat yang
sangat kejam.

Hal tersebut dapat dilihat dari data kekerasan terhadap anak dan
perempuan yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) yaitu pada tahun 2011, telah terjadi 2178 kasus kekerasan pada anak,
tahun 2012 sebanyak 3512 kasus, tahun 2013 ada sebanyak 4311 kasus, dan
pada tahun 2014 meningkat kembali menjadi 5066 kasus. Kekerasan tersebut
terjadi meliputi kekerasan yang secara fisik, psikis, dan seksual (pelecehan
seksual). Berdasarkan catatan Komnas Anak tahun 2013, 44,43% dari kasus
yang terjadi merupakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual (dalam
Harahap, 2014). Sungguh ironis bukan?

Salah satu contoh kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah yaitu
kasus pelecehan seksual pada 15 orang siswa oleh guru honorer di Kecamatan
Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat. Kasus yang menimpa 15 siswa tersebut
dilakukan oleh guru agamanya sendiri. Guru tersebut telah mengajar bertahun-
tahun di SD Inpres Gentungan, Mamuju. Kepala sekolah dasar tersebut
menjelaskan, beliau mengetahui tindakan tersebut setelah menerima laporan
dari salah satu siswa yang menjadi korban, diikuti orang tua lainnya. 15 siswa
tersebut berasal dari kelas 4,5, dan 6. Berdasarkan hasil pemeriksaan polisi,
pelaku mengakui semua perbuatannya. Bahkan, pelecehan tersebut dilakukan
berulang sebanyak 6 kali pada korban yang sama. Bagaimana mungkin
seorang guru dan bahkan guru agama melakukan hal asusila seperti itu?

2
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fuadi (2011), faktor-
faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada subyek penelitiannya yaitu:

1. Faktor kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang


dan pergaulan siswa yang membuat subyek menjadi korban kekerasan
seksual.
2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku tidak dapat bertumbuh
dengan baik, sehingga tidak dapat mengontrol nafsu dan perilakunya.
3. Faktor ekonomi yang akan mempermudah untuk melakukan hal seperti itu
dengan memberikan iming-iming hadiah kepada targetnya.
4. Faktor minimnya pendidikan seks di usia dini yang diberikan orang tua
dirumah atau oleh para guru di sekolah.

Sangat sedih bila mendengar bahwa ada seorang siswa, yang bahkan
masih dibawah umur mengalami pelecehan seksual di sekolahnya. Hal
tersebut akan berdampak negatif pada fisik dan psikisnya. Siswa akan
mengalami trauma yang sangat mendalam dan akan terus teringat hingga ia
sudah dewasa. Namun, kebanyakan pelecehan seksual dirahasiakan oleh siswa
itu sendiri karena anak tersebut mungkin merasa terancam akan mengalami
konsekuensi yang lebih buruk bila melapor. Selain itu, anak tersebut juga akan
merasa malu untuk menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya, dan
akan merusak nama baiknya dan keluarga. Dampak tersebut ditandai dengan
powerlessness, yang dimana korban merasa tersiksa dan lemah tak berdaya
bila mengungkapkan kejadiannya tersebut.

Tindakan pelecehan seksual membawa dampak emosional dan fisik


kepada korbannya. Secara emosional, siswa tersebut bisa mengalami stress,
depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah pada diri sendiri, antisosial
atau takut berhubungan dengan orang lain, takut akan ditertawakan teman-
teman dan tetangga, mimpi buruk yang terus menghantui, insomnia, bayangan
ketika mengalami pelecehan seksual serta hingga kehamilan yang diinginkan.
Secara fisik, siswa yang menjadi korban mengalami penurunan nafsu makan,
sulit tidur, sakit kepala, rasa tidak nyaman di sekitar alat kelamin, beresiko

3
tertular penyakit menular seksual, luka di sekitar tubuh akibat pelecehan dan
kekerasan, dan lain sebagainya.

Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti post-


traumatic stress disorder (PTSD), kecemasan yang tinggi, penyakit jiwa lain
termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa (Levitan et al, 2003;
Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie et al, 2000). Siswa yang
mengalami pelecehan seksual membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun
untuk terbuka pada orang lain.

Trauma akibat kekerasan seksual pada anak akan sulit dihilangkan jika
tidak secepatnya ditangani oleh ahlinya. Anak yang mendapat kekerasan
seksual, dampak jangka pendeknya akan mengalami mimpi-mimpi buruk,
ketakutan yang berlebihan kepada orang lain, dan konsentrasi menurun yang
akan berdampak pada kesehatan dan prestasi di sekolah. Bisa jadi siswa
tersebut juga akan mengalami fobia pada hubungan seksual , dan setelah
dewasa siswa tersebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa
kecilnya.

Dengan demikian, di dalam penanganan kekerasan dan pelecehan


seksual terhadap siswa, perlu adanya kerjasama yang baik antara keluarga,
masyarakat, dan negara. Di dalam penanganannya seharusnya bersifat
terintegrasi, baik dari sisi medis, sisi individu, aspek hukum yang masih
mengandung kelemahan, dan dukungan sosial dan emosional khususnya dari
keluarga siswa tersebut. Selain itu, perlunya pendidikan seks di usia dini yang
diberikan oleh orang tua dan sebagai pembelajaran di sekolah, karena hingga
saat ini para orang tua maupun guru masih menganggap hal tersebut adalah hal
yang tabu dan belum tepat disampaikan kepada siswa. Pentingnya pendidikan
seks di usia dini agar siswa dapat paham bahaya dan dampaknya serta
kenyamanan dan kesejahteraan siswa disekolah untuk menggapai semua
mimpinya.

4
DAFTAR PUSTAKA

Ninawati, M., & Handayani, S. L. (2018). PENGARUH


PENDIDIKAN SEKSUAL DALAM PEMBELAJARAN TERHADAP
PERILAKU KEKERASAN SEKSUAL SISWA KELAS VI. Jurnal Ilmiah
Sekolah Dasar, 2(2), 217-223.

Fauzi’ah, S. (2016). Faktor penyebab pelecehan seksual terhadap


anak. An-Nisa’, IX, 2, 81-101.

Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan


penanganannya. Sosio Informa, 1(1).

Khatimah, H. (2015). Gambaran school well-being pada peserta didik


program kelas akselerasi di SMA Negeri 8 Yogyakarta. Psikopedagogia, 4(1),
20-30.

Aakvaag, H. F., Thoresen, S., Wentzel-Larsen, T., Dyb, G., Røysamb,


E., & Olff, M. (2016). Broken and guilty since it happened: A population study
of trauma-related shame and guilt after violence and sexual abuse. Journal of
affective disorders, 204, 16-23.

5
Lampiran. 1 Artikel Berita

Diduga Lakukan Pelecehan Seksual pada 15 Siswa, Guru


Honorer Ditangkap

Sumber : Kompas.com
Oleh : Kontributor Polewali, Junaedi
Jumat, 22 Februari 2019, 11:44 WIB

MAMUJU TENGAH,KOMPAS.com – Diduga melakukan pelecehan seksual


terhadap 15 orang siswanya, As (31), oknum guru agama di Kecamatan
Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat diberhentikan dari sekolah tempat ia
mengajar.

Kabar pelecehan seksual yang diduga menimpa 15 siswa di Mamuju


oleh guru agamanya sendiri jadi cerita mengejutkan warga Mamuju, Sulawesi
Barat pekan ini. Guru tersebut telah mengajar bertahun-tahun di SD Inpres
Gentungan, Mamuju.

Kepala Sekolah SD Inpres Gentungan Muhamad Takwa saat ditemui di


sekolahnya, Rabu (20/2/2019) menjelaskan, dirinya mengetahui tindakan
asusila salah satu gurunya tersebut setelah ada laporan dari orangtua salah
seorang siswanya yang menjadi korban. “Sekolah baru tahu setelah sejumlah
orangtua siswa melaporkan kasusnya ke polisi,” jelas Takwa.

Seorang siswa kelas enam yang enggan disebutkan namanya juga


mengaku jadi salah satu korban pelecehan seksual oleh oknum guru agama
tersebut. Siswa tersebut mengaku dirinya terpaksa meladeni kemauan oknum
gurunya lantaran dipaksa pelaku.

6
Dia diperlakukan tak senonoh oleh sang guru dengan cara dipegang
kemaluannya saat dipanggil ke dalam ruang kelas. Kepada kepala sekolah,
siswa itu mengaku sakit usai diperlakukan tak senonoh oleh gurunya. Korban
mengaku sempat masuk ke rumah sakit lantaran kesulitan buang air kecil.

Pihak sekolah meminta kepada kepolisian untuk segera mengusut


oknum guru di sekolahnya tersebut, agar tidak memakan korban siswa lainnya.
Ia mengatakan, kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oknum guru
kontrak teresebut telah berlangsung beberapa tahun, semenjak guru tersebut
pertama kali mengajar di sekolah.

Sebanyak 15 orang siswa yang menjadi korban berasal dari kelas


empat, kelas lima, dan kelas enam. Setelah resmi dilaporkan ke polisi, As
ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pencabulan terhadap 15 anak
muridnya.

Kasatreskrim Polres Metro Mamuju AKP Syamsuriansa saat


menggelar conference pers di Polres Mamuju, Kamis (21/2/2019)
menjelaskan, As dijerat pasal 76e juncto pasal 82 ayat (1), (2) dan (4) Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI No 1 tahun 2016 tentang perubahan
kedua atas UU RI No 23 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak.

Menurut Syamsuriansa, hasil pemeriksaan polisi, pelaku mengakui


semua perbuatannya. Bahkan, perbuatan pencabulan dilakukan berulang
sebanyak 6 kali terhadap korban yang sama. Tersangka As telah resmi ditahan
bersama barang bukti. Tersangka terancam hukuman pidana penjara paling
singkat 5 tahun paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

Anda mungkin juga menyukai