Bab 13. Prasangka PDF
Bab 13. Prasangka PDF
Stereotype:
Generalisasi mengenai suatu kelompok orang, di mana karakteristik tertentu
diberikan kepada seluruh anggota kelompok tersebut, tanpa mengindahkan
adanya variasi yang ada pada anggota-anggotanya.
Diskriminasi:
Perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu,
semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.
B. PENYEBAB PRASANGKA
In-group Bias
In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang kepada
orang lain yang dianggap bagian dari in-group, serta perasaan negatif dan perlakuan
yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai bagian out-group.
Henri Tajfel (1982), seorang psikolog sosial dari Inggris, menggarisbawahi motif
utama dari in-group bias, yaitu self~esteem: Individu berusaha meningkatkan self~esteem
dengan cara mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Namun, self-
esteem hanya dapat meningkat jika individu tersebut melihat kelompoknya sebagai
kelompok yang lebih superior dari kelompok lain. Sebagai contoh, bagi anggota Ku
Klux Klan, tidak cukup hanya percaya bahwa ras kulit putih harus dipisahkan dari ras
lain, tapi mereka juga harus yakin akan superioritas kelompok mereka agar merasa
nyaman dan positif terhadap diri mereka.
Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Tajfel dkk maupun
peneliti lainnya, dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan
antara in-group dan out-group tertentu, berada dalam in-group membuat individu ingin
'menang' dari out-group, hal ini membuat individu cenderung memperlakukan anggota
out-group dengan tidak adil untuk dapat meningkatkan self-esteem. Ketika in-group
betul-betul 'menang', hal ini memperkuat harga diri dan identifikasi individu terhadap
group tersebut.
Homogenitas Out-group
Penelitian mengenai out-group homogeneity dilakukan pada mahasiswa dua
universitas yang bersaing, yaitu Princeton dan Rutgers. Persaingan kedua universitas
ini berdasarkan pada bidang atletik, akademik, dan kesadaran kelas (Princeton
merupakan universitas swasta, sedangkan Rutgers universitas negeri). Partisipan pria
dari kedua universitas diminta untuk menyaksikan rekaman video mengenai tiga pria
berbeda yang diminta untuk menentukan keputusan. Contohnya, dalam satu video,
eksperimenter menanyakan pada pria dalam video tentang jenis musik yang ingin
didengarkan (musik rock atau klasik) ketika ia berpartisipasi dalam eksperimen
mengenai persepsi auditory. Para partisipan diberitahu bahwa pria dalam video
merupakan mahasiswa Princeton atau Rutgers, maka bagi sebagian partisipan, pria
dalam video adalah anggota in-group dan bagi partisipan lain pria tersebut adalah
Out-Group Homogeneity:
Persepsi bahwa individu-individu dari out-group satu sama lain cenderung
sama (homogeneous) daripada kenyataannya, dan memiliki lebih banyak
kesamaan dibandingkan dengan individu anggota in-group.
Kuatnya Stereotip
Pada dasarnya stereotype merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal
tertentu. Individu dapat menginternalisasi stereotype tersebut dan menggunakannya
sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu tidak percaya pada stereotype
yang ada, ia dengan mudah akan mengakui stereotype tersebut sebagai kepercayaan
yang didukung oleh orang-orang lain.
Ancaman Stereotip
Secara statistik terdapat perbedaan kinerja dalam tes kemampuan akademik
antar berbagai kelompok budaya. Misalnya, di Amerika, orang-orang Amerika-Asia
rata-rata kinerjanya agak lebih baik daripada kelompok Amerika-Anglo, dan kelompok
Amerika-Anglo sedikit lebih baik daripada kelompok Amerika-Afrika. Mengapa hal
ini terjadi? Beberapa hal yang dapat menjadi penjelasan antara lain faktor ekonomi,
budaya, sejarah, politik. Selain itu, terdapat penjelasan lain, yaitu adanya kecemasan
yang dihasilkan oleh stereotip negatif. Dalam serangkaian eksperimen, Claude, Steele,
Joshua Aronson, dkk telah menunjukkan adanya satu faktor situasional yang dominan
(yang menentukan kinerja dalam tes akademik) yang didasari fenemona yang mereka
sebut sebagai ancaman stereotip.
Sebagai contoh, bila orang Amerika-Afrika meraih nilai akademik yang tinggi,
sebagian besar dari mereka mengonfirmasi adanya stereotip budaya yang negatif,
yakni inferioritas intelektual. Akibatnya, mereka mengatakan “Jika nilai saya buruk
dalam tes ini, hal ini akan mencerminkan lemahnya saya dan ras saya”.
Menyalahkan Korban
Sulit bagi orang yang jarang didiskriminasi untuk memahami bagaimana
rasanya menjadi sasaran prasangka. Anggota masyarakat Amerika yang dominan yang
berniat baik akan bersimpati dengan nasib mereka yang minoritas: orang-orang Afrika
Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Yahudi, perempuan, homoseksual, dan
kelompok lain yang menjadi sasaran diskriminasi. Tetapi empati saja sebenarnya tidak
mudah didapatkan bagi mereka yang telah secara rutin dinilai berdasarkan reputasi
mereka, bukan karena ras, etnis, agama, atau kelompok keanggotaan lainnya. Padahal,
ketika tidak ada empati, mudah untuk masuk dalam perangkap ‘menyalahkan korban’
(blaming the victim). Berlangsungnya atribusi seperti ini: “Jika orang-orang Yahudi
telah menjadi korban dalam sejarah mereka, mereka pasti telah melakukan sesuatu
yang memungkinkan terjadinya hal tersebut”.
Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen, dua orang yang bekerja sama
kerasnya dalam melakukan suatu tugas, berdasarkan undian dengan koin, salah
satunya menerimaa imbalan yang besar, dan yang lain tidak menerima apapun.
Observer yang melihat hasil yang berbeda tsb (adanya imbalan atau tidak ada imbalan)
cenderung kembali menilai pekerjaan yang dilakukan kedua orang tersebut, dan
meyakinkan dirinya bahwa orang yang tidak mendapat imbalan kurang bekerja keras
dalam menyelesaikan tugas.
Self-Fulfilling Prophecies
Jika Anda yakin bahwa Si A bodoh dan memperlakukannya sebagai orang
bodoh, meskipun sebenarnya tidak, sangat mungkin ia tidak akan menunjukkan
Self-Fulfilling Prophecies:
Keadaan di mana individu: (1) memiliki ekspektasi tertentu terhadap
seseorang; (2) yang kemudian mempengaruhi perilaku individu terhadap
orang lain tersebut; (3) yang menyebabkan orang lain tersebut berperilaku
sesuai dengan ekspektasi awal individu.
Bagaimana hal ini terjadi? Jika Anda melihat Si A, Anda mungkin tidak akan
mengajukan pertanyaan menarik, dan tidak mendengarkan dengan penuh perhatian
pada saat ia berbicara, bahkan mungkin Anda melihat keluar jendela atau menghindar.
Anda memperlakukan demikian karena harapan yang sederhana: “Mengapa
membuang energi memperhatikan Si A jika dia tidak mungkin mengatakan hal-hal
yang cerdas atau menarik?” Hal ini memiliki dampak penting pada perilaku Si A,
karena jika seseorang yang sedang berbicara tidak mendapat perhatian, tentu saja ia
akan merasa tidak nyaman dan mungkin akan bungkam, tidak menampilkan semua
puisi dan kebijaksanaan dalam dirinya. Keadaan ini berfungsi mengonfirmasi
keyakinan awal yang Anda miliki tentang dia, sehingga terjadilah lingkaran tertutup
self-fulfilling prophecy.
Para peneliti menunjukkan relevansi dari fenomena ini untuk stereotip dan
diskriminasi dalam suatu eksperimen (Word, Zanna, & Cooper, 1974). Mahasiswa
perguruan tinggi kulit putih diminta untuk mewawancarai pelamar pekerjaan;
beberapa pelamar berkulit putih, dan lainnya orang Afrika Amerika. Tanpa disadari,
para mahasiswa menampilkan ketidaknyamanan dan kurangnya minat ketika
mewawancarai pelamar Afrika Amerika. Mereka duduk lebih jauh; cenderung gagap,
dan mengakhiri wawancara jauh lebih cepat dibanding ketika mereka mewawancarai
pelamar kulit putih. Apakah perilaku ini mempengaruhi pelamar Afrika Amerika?
Untuk mengetahuinya, para peneliti melakukan eksperimen lanjutan di mana mereka
mengatur perilaku pewawancara (oleh pembantu eksperimenter) dibuat bervariasi
sesuai dengan cara pewawancara memperlakukan orang kulit putih atau orang Afrika
Amerika pada percobaan pertama, tapi pada eksperimen kedua ini semua yang
diwawancarai adalah kulit putih. Para peneliti merekam prosesnya dan perilaku
pelamar dinilai oleh penilai independen (bukan peneliti). Dalam eksperimen kedua ini
mereka menemukan bahwa para pelamar (semua kulit putih) yang diwawancarai ala
wawancara untuk orang Afrika Amerika, dinilai jauh lebih gugup dan jauh kurang
efektif dibanding dengan mereka yang diwawancarai ala wawancara dengan pelamar
kulit putih pada percobaan pertama. Singkatnya, eksperimen ini menunjukkan dengan
jelas bahwa ketika orang-orang ditempatkan di posisi yang kurang menguntungkan,
maka cenderung merespon dengan kurang baik.
Mengambinghitamkan (Scapegoating):
kecenderungan individu-individu, bila frustrasi atau tidak bahagia,
mengarahkan agresi kepada kelompok yang tidak disukai dan relative lemah.
Prasangka Modern
Zaman berubah, dan norma budaya semakin memberikan toleransi terhadap
out-group. Hal ini membuat banyak orang menjadi lebih berhati-hati terhadap
perilakunya dengan tidak menunjukkan prejudice kepada khayalak luar, namun tetap
berpegang kepada stereotip yang diyakini. Fenomena ini dikenal sebagai modern racism.
Orang menghindar dari cap rasis namun ketika situasi sudah 'aman', prasangka mereka
akan terkuak.
Prasangka Modern:
Berperilaku yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap
mempertahankan sikap berprasangka di dalam diri.
Sebagai contoh: Walaupun hanya ada sedikit orang Amerika yang mengaku bahwa
mereka tidak setuju dengan penggabungan sekolah, ternyata kebanyakan orangtua
berkulit putih tidak setuju untuk membiarkan anak mereka naik bus ke sekolah untuk
mendapatkan keseimbangan rasia! Ketika ditanya, para orangtua ini bersikeras bahwa
keengganan mereka tidak ada hubungannya dengan prejudice; mereka hanya tidak
ingin anak mereka menghabiskan banyak waktu di bus. Tetapi menurut John
McConahay (1981), Kebanyakan orangtua kulit putih tidak banyak banyak protes
ketika anak mereka menaiki bus yang jalurnya hanya melalui sekolah orang kulit putih.
Kondisi ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat
berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya,
maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada intinya,
kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype
negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih
berkuasa dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat tereduksi (berkurang).
Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda dalam satu
ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena masing-masing
individu akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan
memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana
interaksi yang dilakukan lebih bersifat interpersonal. Melalui interaksi bersahabat dan
informal dengan beberapa anggota out-group, individu dapat lebih memahami bahwa
stereotip yang dipercayainya ternyata salah.
Kondisi kelima, melalui persahabatan, interaksi informal dengan berbagai
anggota (multiple members) out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-
nya tentang out-group adalah salah.
Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung
kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang kuat,
dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota kelompok
luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan memperkuat norma
penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas, anggota kelompok akan
mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut.
Sebagai ringkasan dari ilustrasi di atas, kelompok-kelompok yang bermusuhan
akan mengurangi stereotip, prasangka, dan diskriminasi ketika terdapat keenam
kondisi kontak (Aronson & Bridgeman, 1979; Cook, 1984; Riordan, 1978):
1. Rasa saling ketergantungan
2. Suatu tujuan bersama
3. Status seimbang
4. Kontak informal, interpersonal
5. Beberapa kontak
6. Norma sosial dan kesetaraan
--oo0oo--