Anda di halaman 1dari 12

1 Desember 2016 / 22.

47

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh


Bismillah
Hari ini seharusnya aku merilis buku yang sejak dua
hari lalu kugembor-gemborkan. Mohon maaf, “Nak” aku tunda
kemunculannya. Ambisiku untuk segera merilisnya ternyata tak
diridhoi Allah dengan realita yang ada. Aku jadi terburu-buru
menulis, tak menikmati prosesnya dan isinya entah berjuntrung
kemana. Belum lagi proses edit dan tata letak yang jika
kuburu-buru hanya akan menghasilkan hasil yang
kemrungsung. Lebih-lebih lagi, dua hari terakhir ini, aku cukup
kelelahan mengurusi kedua anakku yang kuajak cerita di dalam
bukuku itu. Bahkan, beberapa jam sebelum aku mulai menulis
tulisan ini, badanku nggreges alias meriang. Aku mensinyalir
karena aku lelah/cuaca sedang tak enak/aku setres karena tak
berhasil merilis Nak hari ini. Entahlah.
Kali ini aku mau menulis sebuah tulisan yang cukup
panjang dan cukup campur aduk. Tulisanku ini kuusahakan
selesai dalam sekali tulis, tanpa diedit. Aku mulai ya, bismillah.
Kemarin siang, kurir JNE mengantarkan pesananku.
Sebuah buku berjudul “Kembali ke Titik Nol” karangan Mas
Saptuari (@saptuari). Malam ini, aku selesai membacanya.
Aku langsung tergugah untuk menyalakan laptop dan menulis,
seketika bab terakhir buku itu selesai kubaca. Kalau kamu mau
bersabar membaca tulisanku ini, mungkin kamu dapat memetik
beberapa buah hikmah. Moga Manfangat.
*
Dul, anak pertamaku, berusia 7 bulan lebih ketika aku
dan istriku mengetahui kami akan punya anak lagi. Perasaanya
berbeda dari yang kehamilan pertama. Waktu tau istriku hamil
Dul, aku sangat bahagia. Waktu tau istriku hamil yang kedua,
aku senang tapi bingung yang mendominasi perasaan.
Aku bertanya, “Ya Allah, maksud njenengan ini apa?
Aku ini seorang Bapak satu anak dan satu istri yang belum bisa
menafkahi keluarganya sendiri. Kenapa kau justru
menambahkan beban dalam kehidupanku?”, kurang lebih
seperti itu tanyaku yang sekaligus keluhan juga.
Orang-orang bilang namanya “kesundulan” jika punya
anak yang tak disengaja. Aku sampai sekarang masih tidak
suka istilah itu. Tapi nyatanya memang kami “kesundulan” sih.
Allah punya skenario berbeda untuk kami. Padahal
sebenarnya istriku sudah mau pasang KB, tapi yang terjadi
sudah kadung isi.
Ketika kukabarkan kehamilan istriku kepada orang-
orang, justru hampir semua memberi selamat. Semua ikut
berbahagia. “Malah enak, repotnya barengan” -> banyak yang
bilang seperti ini. “Banyak anak, banyak rejeki” -> ini juga
sering terucap dari para pemberi selamat.
Tapi aku masih saja tak bisa menerima takdir itu.
Waktu itu, aku sudah punya rencana segera kerja semaksimal
mungkin agar segera bisa menafkahi keluargaku dengan layak.
Eh, malah ada beban tambahan lagi datang, begitu batinku.
Seiring berjalannya bulan demi bulan kehamilan, aku
tersadar bahwa aku telah buta mata dan hati. Uang dan uang
terus menggelayuti pikiranku selama itu. Yang membuatku
merasa berat untuk mendapat titipan yang kedua ini ternyata
adalah kesempitan mataku memandang rejeki dari Allah.
Entah ini benar atau hanya pembenaranku, aku
tersadarkan bahwa anak adalah salah satu bentuk rejeki yang
Allah berikan pada hambaNya. Aku malu ketika belum bisa
menafkahi anak dan istri, malah ditambah satu anak lagi. Aku
tak punya uang sehingga masih harus disubsidi. Hatiku jadi
buta sampai-sampai aku bersedih disaat semua orang turut
berbahagia.
Pada akhirnya, anakku lahir juga. Becik namanya.
Kalau suatu hari kamu bisa membaca tulisan ini, Cik, maafkan
Ayah ya, Nduk. Kini Ayah tau rejeki bentuknya tak selalu
materi/uang. Kamu salah satu rejekiku di dunia ini. Ayah yakin,
Allah sedang menunda rejeki Ayah yang bentuknya
uang/materi/kecukupan dan memberikan rejeki dalam bentuk
lainnya berupa bayi lucu yang sekarang sedang tidur di sebelah
Ayah. Cupmuah :*
*
Tasku pernah hilang di Rest Area Tol Cikampek. Tasku
ada di dalam mobil, waktu aku dan saudara-saudaraku sedang
makan. Kronologis pencuriannya tak terlalu penting, yang
lebih penting bagaimana tasku bisa kembali lagi di pelukanku.
Tas itu hilang sebenarnya tak masalah. Yang jadi
masalah, ada dompet dan identitas macam KTP, SIM, dll di
dalamnya. Aku tak lapor ke polisi waktu itu, aku ikhlaskan
saja. Terlebih, semua kartu-kartu itu bisa diurus lagi walau
pasti akan merepotkan. Kami sampai di Jakarta pukul 17.00.
Menjelang maghrib, hapeku yang sedang dicas
menunjukkan ada puluhan kali missed call dari nomer yang tak
dikenal. Aku telpon balik saja. Suara diujung telepon sana
bilang dia menemukan tasku. Aku disuruh kerumahnya.
Setelah diberi alamatnya, aku berangkat kesana. Ke Bekasi
lagi. Jauh. Di jalan, aku mempertanyakan telepon tadi.
Pertanyaan terbesarku, dari mana dia tau nomer hapeku?
Seingatku tak ada dokumen yang mencantumkan nomer
hapeku di tas itu. Pikiranku tak karuan, campur aduk senang
dan curiga.
Sampailah kami disana. Di sebuah kampung yang
jalannya cuma cukup untuk satu mobil. Tas dan dompetku ada
disana utuh, cuma uang 600ribu di dalam dompet yang raib.
Aku tak percaya tas yang sudah kuikhlaskan itu bisa ada di
tanganku lagi.
Tas itu ditemukan hampir tenggelam di sungai oleh
seorang petani. Petani itu lagi tiduran ketika tasku dilempar
oleh seseorang dari jalan tol yang berada di atas kepalanya. Ia
buka tasku dan menemukan identitasku. Lalu dia kebingungan
bagaimana cara mengontakku.
Ponakannya yang masih SMK baru pulang. Dia melihat
ada kotak hitam di dalam tasku. Kotak hitam itu harddisk
eksternalku, aku lupa kalau aku membawanya. Karena sempat
basah kuyup, dia ragu harddisk itu masih bisa dipakai. Ia jemur
dan ia coba colokkan ke laptopnya.
Yang ia temukan cuma film dan musik, katanya. Ia
hampir putus asa. Di akhir pencariannya, ia menemukan file
poster Les-Lesan Gitar Om Jon. Poster yang dibikinkan istriku
waktu dulu aku promosi ngelesin gitar. Disana ada nomer
hapeku. Dikontaknyalah aku.
Sampai sekarang aku masih takjub dengan kejadian itu.
Tasku yang sudah kuikhlaskan hilang, kembali lagi ke pelukan.
Harddisk yang sudah basah dan sulit diharapkan, nyatanya jadi
titik terang. Pelajarannya, semua hal dan benda di dunia ini
cuma titipan Allah. Kita harus ikhlas, untuk memiliki dan
untuk tidak memiliki lagi. Kalau memang masih hak kita maka
yang hilangpun akan kembali. Sumpah, waktu itu aku sudah
ikhaskan tas itu. Tak ingin lagi ku mencarinya. Cuma ingin
segera pulang ke Jogja dan mengurus KTP, SIM, dll. Tapi Allah
punya skenario lain untukku.
Kisah ini juga terjadi pada handphoneku, pada suatu
waktu. Hilang selama 5 hari. Aku coba ikhlas tak berusaha
mencarinya. Tapi pada hari kelima hilangnya, istriku cerita. Ia
menggunakan nomer hapeku sebagai contact person urusan
kampusnya. Jadilah kita mencarinya. Di semua sudut rumah
tak ada. Di dalam mobil tak ada. Ketika aku bilang “Aku dah
ikhlas, kok” sambil membuka pintu mobil belakang,
handphone itu ada tepat di depan mataku. Tau dimana selama
lima hari ini? Di atap mobilku.
*
Lulus UN SMA, aku maunya cuma masuk Fakultas
Kedokeran UGM. Waktu jamanku, ada dua tes masuk UGM
yaitu UM UGM dan SNMPTN. UM UGM kuikuti dengan
hanya memilih satu jurusan: Kedokteran.
Hasilnya sudah bisa ditebak hehe, tak diterima.
Mungkin karena kau lebih rajin pingpong daripada masuk kelas
waktu itu. Tapi tak apa, aku yakin aku bisa masuk kedokteran
lewat jalur tes SNMPTN. Aku berniat belajar dengan sungguh-
sungguh untuk SNMPTN. Tapi faktanya, pingpongan memang
lebih asik daripada masuk kelas hehe. Aku rajin sekolah tapi
tidak rajin masuk kelas.
Antara pengumuman UM UGM dan tes SNMPTN
memakan waktu beberapa bulan. Aku pun cari cadangan.
Realitis, siapa tau tak keterima di UGM. Aku coba daftar
Institus Seni Indonesia jurusan musik lewat jalur
PMDK/Rapor. Alhamdulillah lolos. Aku jadi cukup tenang
karena sudah punya tempat untuk kuliah jika aku tak keterima
di UGM.
Jadwal pendaftaran SNMPTN pun tiba. Aku segera
membayar biaya tes supaya dapat username dan password
untuk login di web SNMPTN. Karena aku anak IPA, maka aku
daftarnya tes untuk IPA.
Sampai rumah, aku laporan sama pemberi dana (orang
tuaku) kalau aku sudah bayar tes. Mengetahui aku daftar tes
yang IPA, Bapakku serta merta menyuruhku daftar lagi yang
IPC saja (Ilmu Pengetahuan Campuran, jadi bisa milih jurusan
IPA dan IPS tapi konsekuensinya tesnya juga IPA dan IPS).
Lho, tapi kan aku anak IPA? Kata Bapak, siapa tau nyantol
yang di IPS.
Siapa yang tahu ternyata kejadian beneran. Aku masuk
jurusan manajemen UGM. Jurusan yang tak pernah
kubayangkan. Aku memang sempat pinjam buku IPS sama
Widyo, temanku yang memang IPS. Tapi dari setumpuk buku,
cuma kubaca satu-dua buku dan itu pun cuma sekilas satu-dua
bab saja. Sisanya adalah ikhtiar membundari semua jawaban
dengan pelan-pelan. Aku mengisi jurusan yang diinginkan
dengan urutan Kedokteran, Manajemen, dan Teknik
Pengolahan Hasil Pangan.
Cerita lainnya, dulu aku pernah ikut tes AFS, pertukaran
pelajar itu lho. Setelah menyisihkan ratusan atau ribuan orang,
aku gagal di tes terakhir yang diselenggarakan di Jakarta. Aku
gajadi ditukar dengan pelajar manapun di dunia ini.
Nah, pada satu tes sebelum terpilih sebagai yang
berangkat ke Jakarta untuk tes terakhir, aku merasa tak pantas
lolos. Pasalnya, ada satu tugas membaut prakarya secara
berkelompok. Dari awal aku sudah bilang sama kelompokku
kalau aku tak mahir bikin prakarya. Daripada jelek jadinya, aku
minta ijin untuk diam saja. Aku benar-benar diam saja. Bahkan
sampai ditanyai tim penilainya, “Kamu kok diem aja?
Temennya ga dibantuin?”. Aku jawab saja sejujurnya seperti
alasanku yang sudah kukemukakan tadi.
Ketika pengumuman keluar, sama seperti waktu
SNMPTN, aku kira tidak bakal lolos. Melihat usahaku yang tak
seberapa dan terkesan sakpenakku dewe, seenakku sendiri. Eh,
ternyata aku lolos untuk ke Jakarta.
Nah, ini lho yang menurutku skenario dari Allah. Atau
bisa disebut rejeki juga dari Allah. Jika bukan untuk kita, kita
tak bisa memaksanya. Tapi juga sebaliknya, kalau memang
untuk kita, benar-benar kita tak bisa menolaknya.
*
Menikah muda tak pernah terpikirkan sebelumnya di
kepalaku. Namun ketika Bapakku bertanya, “Anaknya Bapak
sapa yang mau nikah?” dan kakakku satu-satunya menjawab
tidak, aku merasa harus ada yang menjawab “Iya”.
Keadaannya, aku punya pacar, aku takut mendekati zina, tapi
aku belum mapan.
“Mapanmu emang e kapan? Nikah sing penting mau
menafkahi. Bukan mapan”, kata Bapak
Setelah serangkaian diskusi dengan Bapak dan mohon
petunjuk Allah, jadi juga akhirnya aku nikah pada 7 September
2013, tepat saat usiaku 21 tahun. Alhamdulillah di usiaku yang
ke 23, sudah dititipkan dua anak yang .... masya Allah.
Allah Maha Baik. Sampai kini, aku belum punya
pekerjaan dan pemasukan tetap. Sehari-hari aku masih berkutat
membantu istri mengurusi anak. Alhamdulillah, orang tau dan
mertua memberi subsidinya. Alhamdulillah, Allah
mencukupkan rejeki orang tua dan mertuaku.
Melalui tulisan ini aku cuma ingin bercerita. Bahwa tak
mudah menjadi diriku. Yang lebih suka berpikir, membuat
tulisan dan membuat lagu, dibanding melamar pekerjaan atau
berdagang barang produksi orang. Bagi orang yang kenal aku,
mungkin tau betapa bedanya pikiran-pikiranku. Yang masih
idealis walau sudah punya istri dan dua anak yang menanti tuk
dinafkahi.
Aku takut ada pertentangan, antara inginku dan harapan
kedua orang tua. Aku tak ingin kaya. Aku ingin cukup saja.
Sehingga tak berfoya-foya. Tak berhutang untuk kelihatan
gaya. Sehingga sampai waktu ku ditanyaiNya, tak terlalu susah
pertanggungjawabannya.
Aku mengusahakan diriku menjadi manfaat. Manfaat
bagi orang lain termasuk keluargaku sendiri. Aku masih
meraba-raba bentuk kebermanfaatanku, Sementara ini ku
menulis untuk mencapai itu.
Ya Allah, aku pesrahkan hidupku padaMu. Aku mau
bilang, aku bukan pemalas. Aku mohon petunjukMu. Aku
mohon diberi kecukupan dunia dan akhirat. Aku mohonkan
istri dan anak-anakku tak menjadikan mobil, rumah besar,
jalan-jalan keluar negeri, dan hal-hal yang mereka tak mampu
beli dijadikan kebutuhan mereka. Jadikanlah kami orang yang
sederhana. Jadikalah kami orang yang sepasrah-pasrahNya.
Aku mohon sederhanakanlah pikiranku, jika memang itu lebih
baik untukku.

#SoriCurhatMogaManfangat
*
Aku masih ingat betul, tiap pagi selalu ada satu guru
berjaga di tangga. Bukan menjaga murid-muridnya supaya tak
jatuh, melainkan memastikan muridnya naik dengan kaki
kanan dan turun dengan kaki kiri. Itulah SD Muhammadiyah
Sapen, dulu, entah sekarang aku tak pernah datang. Semoga
semakin baik mendidik dan bisa memisahkan bisnis dan
pendidikan.
*
Pikiran mempengaruhi badan. Tampaknya sedikit
banyak itu terjadi padaku.
Pinggangku kumat-kumatan. Kadang sehat, kadang
kesakitan. Rasa sakitnya sulit kubikin deskripsinya. Pokoknya
kalau sedang kumat, kaki terasa lemas. Rasanya malas jalani
hari.
Pijat, dibanyak tukang pijat sudah kujabani. Akupuntur
& akupresur sudah juga kucoba. Bekam juga sudah. Sampai-
sampai, MRI pun sudah kujabani. Kata Dokter spesialis syaraf,
aku tidak sakit, begitu tafsirannya setelah lihat hasil scan MRI.
Rasa sakit ini memang pergi dan datang sesuka hati.
Jika angkat beban agak berat, misalnya Dul, kumatnya datang
lagi. Kalau duduk, aku tak betahan, bisa sampai tertidur cuma
gara-gara duduk. Semakin sakit, semakin kepikiran. Kata
istriku sih kemungkinan besar psikosomatis, pikiranku yang
mengarahkan rasa sakit itu untuk terjadi.
Kalau tak ada sakit, tak ada sembuh kan?
Kalau tak ada ujian, tak ada jawabannya kan?
Terimakasih Allah atas ujian ini
*
Aku pernah berangkat Jumatan bersama seorang supir
yang kebetulan bertanya padaku “Masjidnya dimana, Mas?”.
Aku ajak bareng saja pak supir itu. Di perjalanan itu,
teleponnya berdering. Katanya, bosnya sudah selesai
urusannya. Dia disuruh segera kembali karena bosnya mau
pulang. Padahal kami baru mau sampai masjid dan Jumatan
baru mau dimulai. Dia pun geleng-geleng kepala. “Masa' saya
disuruh jumatannya nanti saja”, katanya.
Ngga semua orang paham Islam. Bahkan gasemua
muslim pun paham Islam. Kalau ada yang ga paham,
dipahamkan. Jangan dikafirkan, dipukuli, dikebiri. Kita punya
sabar sebagai senjata kita, jangan lupa.
Damai ja ya :)
*
Aku besar di lingkungan Muhammadiyah, walau bukan
yang Muhammadiyah banget. Di dunia perkuliahan aku mulai
tau teman-temanku yang NU. Setelah menikah, aku kenal
salafi.
Salafi bagai menamparku keras. Ternyata Islam yang
selama ini kujalani tak sepenuhnya benar. Aku jadi seneng
banget nonton Yufid TV, muslim.or.id, rumaysho.com, dsb.
Jenggotku mulai panjang, musik kutinggalkan, celana
kucingrangkan, shaf kurapatkan, masjid kurutinkan, pengajian
kujadwalkan, duniawi sebisa mungkin kutinggalkan.
Hati tenang. Rasanya tak pernah kutemukan ketenangan
seperti itu. Sampai aku ikut pengajian mengenai Syiah disuatu
Subuh di Masjid Jogokaryan. Hari itu sekitar seminggu setelah
kejadian penyerangan atas nama Syiah di Masjidnya Arifin
Ilham.
Sebelum aku ikut pengajian itu, bahkan, Quraish Shihab
ku anggap menyimpang karena membela Syiah. Syiah itu
salah. Tapi setelah pulang dari pengajian itu, pikiranku
menyala-nyala. (Tolong jangan dulu bilang ini gangguan
syetan, plis).
Aku mulai mencoba menempatkan diriku jadi orang
yang bukan salafi lagi. Pasalnya, sejak aku kecil sampai
menikah, isu Sunni-Syiah benar-benar tak pernah ku tahu. Aku
tahunya kalau Islam itu ya Islam terlepas dengan organisasi
yang diikuti.
Semakin hari, semakin mundur aku dari kajian-kajian
salafi. Aku kini main musik lagi, hampir sama seperti dulu lagi.
Dulu yang mana?
Tapi, gara-gara buku Mas Saptuari yang diawal kusebut
tadi, aku jadi bernostalgia. Buku itu utamanya membahas
tentang riba. Beberapa artikel dan tautan yang ada di dalamnya
berasal dari kajian Salafi (ini setauku lho).
Pada akhirnya, semua corak Islam memberi warna. Dan
aku ogah merasa diriku paling benar sendiri. Ini bukan berarti
aku mendiskreditkan Salafi atau Islam yang manapun. Semua
muaranya hanya ketidakmampuanku untuk menjadi mirip plek
seperti Nabi Muhammad. Meskipun di dalam hatiku yang
terdalam aku masih menginginkan hal itu.
*
Sumpah, aku sudah sangat ngantuk. Pukul 01.23
sekarang. Sekian ya. Maaf karena panjang. Maaf kalau banyak
salah. Alhamdulillah kalau manfangat. Kita donga-dinunga ya,
saling mendoakan. Tulisan ini benar-benar tidak ku sunting.
Saran penyuntingan sangat kuharapkan.
Oya, Mas Saptuari, terimakasih atas tulisan-tulisannya.
Membuatku juga termotivasi menulis malam ini.
Maaf dan terimakasih ya Allah.

Sekian,
Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Anda mungkin juga menyukai