Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325396071

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

Conference Paper · March 2018

CITATION READS

1 327

1 author:

Johannes Adiyanto
Universitas Sriwijaya
16 PUBLICATIONS   11 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Penelitian Kompetitif View project

All content following this page was uploaded by Johannes Adiyanto on 28 May 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Johannes Adiyanto

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara


Johannes Adiyanto(1)
johannesadiyanto@ft.unsri.ac.id

(1)
Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Abstrak

Arsitektur Nusantara dipahami sebagai arsitektur yang berada di antara benua Asia dan Australia serta
diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Rujukan artefak arsitekturalnya pun adalah arsitektur
masa lampau atau sebelum masuknya pengaruh Hindia Belanda. Arsitektur Nusantara, oleh Josef
Prijotomo, ditempatkan sebagai arsitektur liyan yang mempunyai logika berarsitektur yang berbeda
(Prijotomo, 2008). Dasar pemikiran Prijotomo inilah yang menjadi titik awal permasalah makalah, yaitu
mengapa liyan, dan darimana asal masyarakat berpola pikir liyan ini? Tidak banyak yang melakukan
telaah ‘asal muasal’ masyarakat yang berhuni di nusantara. Widodo (2009) melakukan jelajah
diakronik sinkronik yang diawali pada masa 10.000 tahun SM sampai 200 M, atau lebih dikenal dengan
teori out of Taiwan, saat ada migrasi besar-besaran dari China daratan menuju ke Nusantara. Makalah
ini mencoba menarik mundur jauh kebelakang dan meminjam tulisan-tulisan dari pengetahuan
arkeologis kuno, penelitian biologi terutama tentang dna manusia purba, sehingga menjabarkan
pemahaman-pemahaman teori out of sundaland, hingga teori out of africa atau multiregional
hypothesis. Makalah ini bersifat spekulatif eksplorasi dengan mengacu pada pendekatan sinkronik-
diakronik. Jelajah eksploratif membuktikan bahwa arsitektur di nusantara dipengaruhi oleh pola
berhuni dan berarsitektur tempat-tempat lain secara global. Kemampuan adaptif manusia nusantara
karena pengaruh iklim dan kondisi geologis membuat arsitekutrnya ‘berbeda’ dengan yang lain.
Kemampuan adaptif secara sosial budaya juga membuat arsitektur di nusantara hibrid. Perbincangan
arsitektur di Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan unsur lokalitasnya (iklim lokal, kondisi geologis-
geografi) dan unsur eksternal sebagai konsekuensi dari adanya hubungan perdagangan.

Kata-kunci : jurnal, naskah, panduan, penulisan, template

Pendahuluan

Prijotomo menyatakan bahwa arsitektur nusantara dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang
dilandaskaan dan dipangkalkan dari filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur, sehingga bukanlah
arsitektur tradisional yang didasarkan pada ilmu budaya; arsitektur nusantara adalah arsitektur
pernaungan; dan arsitektur nusantara didasarkan pada tradisi tanpatulisan (Prijotomo, Globalisasi dan
Arsitektur Nusantara , 2002). Pangarsa mempertegas lagi bahwa arsitektur nusantara secara
metodologis dan aksiologis bukan pada ranah etno-antro-historis yang sempit, tetapi juga arsitektur
masa kini dengan keluasan sosio-geografis yang melewati batas wilayah politik Indonesia (Pangarsa,
2006, hal. 4).

Dengan dasar dua pendapat tentang pengetahuan arsitektur diatas, jelajah pemikiran makalah ini
dilakukan. Permasalaha makalah di dasarkan pada pemikiran Prijotomo bahwa arsitektur nusantara
adalah arsitektur liyan. Pemikiran liyan ini didasarkan pada konsep arsitekur nusantara adalah
arsitektur perteduhan dan didasarkan pada masyarakat dengan tradisi tanpatulisan (Prijotomo, 2008).
Disinilah muncul masalah yang coba ditelusur lebih lanjut oleh makalah ini, yaitu mengapa liyan?
Darimana asal masyarakat tanpatulisan ini, dan bagaimana pola pikir berhuninya? Jelajah spekulatif
ini mengacu pada pemahaman Mangunwijaya terhadap arsitektur, yaitu pada pemahaman menyeluruh

Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018 | 1


Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

– total architecture - yang terdiri dari pemahaman ‘wastu-widya’ yaitu pemahaman hal-hal teknis
arsitektur – pemahaman guna – tapi juga pemahaman ‘citra’ yang berkaitan dengan mental, kejiwaan,
kebudayaan manusia bila ia ber_arsitektur (Mangunwijaya, 1995, hal. vii-viii). Konsekuensinya
penelusuran tidak hanya pada wujud teknis semata (tampang arsitektural) tapi pada jelajah perjalanan
manusia yang kemudian membentuk huniannya. Pola pikir berhuni menjadi salah satu tolok ukur
penting dalam makalah ini.

Dengan ‘bingkai kerja’ (framework) mengacu pada pemikiran Prijotomo dan Pangarsa, dan subyek
kajian total architecture mengacu pemikiran Mangunwijaya maka perlu dijabarkan ‘obyek kerjanya’.
Obyek kerja disini adalah hunian masa lampau yang berada di wilayah antara Benua Asia dan Benua
Pasifik, dan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kurun waktu yang digunakan adalah kurun
waktu sejak sebelum terbentuknya ‘nusantara’ hingga masa kini. Locus dan time jadi hal penting dalam
makalah yang berperspektif spekulatif dan menggunakan pendekatan kajian kesejarahan (historical
research) dengan memakai metode sinkronik-diakronik. Metode sinkronik-diakronik adalah metode
yang berasal dari ilmu pengetahuan bahasa / linguistic, yang membahas tentang the study of the
history of language (diakronik – dimensi waktu menekankan pada proses dan durasi) dan the study of
the history of language (sinkronik – dimensi ruang menekankan pada struktur dan fungsi)i. Catatan
Pangarsa tentang metode sinkronik-diakronik yang terkadang tidak menjawab pertanyaan komparatif-
historis (Pangarsa, 2006, hal. 4) perlu dicermati dalam menggunakan metode ini. Penggunaan metode
tersebut tidak hanya berhenti pada overlay antara kajian sinkronik-diakronik, tapi dilanjutkan pada
tahapan kajian dengan metode konten analisis yang mencoba mencari jawab atas permasalahan
tradisi berasitektur (pendekatan citra Mangunwijaya) serta penyelesaian ‘teknis’nya (pendekatan guna
Mangunwijaya).

Migrasi Manusia

Dalam penelitian tentang gelombang migrasi


homo sapiens yang terjadi kurang lebih
100.000 tahun yang lalu diduga berasal dari
Africa, yang kemudian dikenal dengan out of
Africa theory (Oppenheimer, 2004). The ago
results showed that both the Aborigines and
Melanesians share the genetic features that
Gambar 1 Peta
narasi penyebaran
have been linked to the exodus of modern
manusia modern
humans from Africa 50,000 years ii. Teori out
of Africa mendapat tentangan dari kelompok yang berpendapat multiregional migration. A greater
focus on epistemology also has made it clear that the original debate over modern human origin was
indeed a debate about the pattern of human evolution. The multiregional model is an intraspecific,
network model... (Thorne & Wolpoff,
Vol 13, Issue 2, 2003). Dari dua
pendekatan tentang proses migrasi Gambar 2 Perbedaan
manusia purba ini dapat dikatakan Multiregional Thesis
bahwa ada ‘pergerakan’ karena dengan Out of Africa
bermacam sebab. Multiregional Theory
thesis/theory bahkan menjabarkan Sumber:
bahwa ada ‘perkawinan’ antara https://www.slideshare
manusia dari Afrika dan ‘penduduk’ .net/williamhogan52/pr
asli. Multiregional evolution traces all ehistory-early-man-pdf
modern populations back to when
humans first left Africa almost two million years ago, through an interconnected web of ancient
2 | Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018
Johannes Adiyanto
lineages in which the genetic contributions to all living peoples varied regionally and temporally
(Thorne & Wolpoff, Vol 13, Issue 2, 2003), dan hal itu masih mempengaruhi keberadaan DNA manusia
bahkan sampai struktur otak sampai sekarang iii. Secara bukti artefak arsitektural bisa dipastikan tidak
akan kita temukan sisa-sisa/jejak dari masa itu, namun setidaknya pola ‘berpindah’ dan ‘saling
berkaitan’ dengan tempat lain sudah terjadi sejak masa itu.

Pada selanjutnya migrasi terjadi pada masa the last glacial maximum, saat cuaca menjadi sangat
dingin dan muka air laut surut dengan dramatis. Pada masa inilah kemudian dengan sundaland, yaitu
tergabungnya Pulau Kalimantan,
Jawa, Bali dengan benua Asia.
Dengan terjadinya ‘daratan’ ini
memungkinkan terjadinya
migrasi dari benua Asia daratan
Gambar 3 Sundaland pada
menuju beberapa tempat di
masa The Last Glacial
Maximum Jawa, Kalimantan. Tidak hanya
Sumber (Bird, Taylor, & itu, seperti yang terjadi pada
Hunt, 2005) saat ini, sepanjang Pulau
Sumatera hingga Pulau Jawa
hingga Pulau Bali pada dataran tingginya terkoneksi oleh pegunungan berapi (Bird, Taylor, & Hunt,
2005). Dengan demikian selain manusia saat itu mereka bermigrasi memanfaatkan ‘laut’ yang surut,
harus beradaptasi dengan cuaca dingin, dan juga beradaptasi dengan lingkungan dengan kondisi
gunung api, yang punya potensi gempa dan meletus. Hall menyatakan bahwa Sundaland adalah
sebuah wilayah yang spesial karena bukan lempeng bumi yang rigid, tapi justru lemah (Hall, 2012).

Setelah es mencair,terjadi lagi gelombang migrasi, yang kemudian dikenal dengan teori out of
sundaland. Beberape penelitian menyatakan adanya kaitan kepulauan di nusantara dengan beberapa
tempat di asia dan pasifik (Tumonggor, et al., 2013 (58); Palmer, 2007 (19)). Pada masa inilah
kemudian dikenal migrasi melalui air dengan menggunakan perahu. Ada proses adaptasi dengan
adanya air.

Migrasi berikutnya adalah yang kemudian dikenal dengan out of taiwan. Adanya migrasi ini dibuktikan
dengan penelusuran linguistic dan bukti-bukti arkeologi (Ko, et al., Marc 2014). Hal yang menarik dari
teori migrasi out of taiwan adalah adanya budaya bercocok tanam / agriculture lifestyle, yang memang
sudah umum dilakukan oleh para penduduk China daratan (Bellwood, 1984). Dengan datangnya
masyarakat migrasi dari Taiwan, ada pertemuan budaya, yaitu budaya air dengan budaya darat
(bercocok tanam) di wilayah Nusantara.

Arsitektur dan Migrasi Manusia

Telaah migrasi diatas, memang tidak langsung berkaitan dengan arsitektur. Apalagi artefak
arsitekturalnya juga sulit ditemukan. Namun ada dua penelitian panjang oleh sejarahwan arsitektur
yang mencoba melakukan penelusuran terhadap tradisi berhuni dalam masyarakat kuno yaitu Mark
Jarzombek dan Paul Oliver. Jarzombek mencoba menelusuri primitive architecture, dan tidak mau
terjebak dengan pemahaman arsitektur vernacular (Jarzombek, 2013, hal. ix). Sedikit berbeda dengan
Jarzombek, Oliver justru mengacu pada pemahaman vernacular sebagai sebuah sistem
‘berhuni/dwelling’ (Oliver, 2003, hal. 14). Dengan pemahaman ini Oliver menyusun alur bukunya
melalui evolusi berhuni yaitu dari hunian kaum nomaden / shelter of nomads, lalu saat kaum nomad
‘menentap’ / settling down, dan tahap selanjutnya, yang oleh Oliver diberi judul true type, yang
menjabarkan bahwa manusia kemudian membentuk huniannya berdasarkan kebutuhan dasar mereka
dengan bentuk-bentuk dasar/ primary forms yaitu hemisphere, cone, silinder,dan tabung. Lalu mulai
diberi nama bagian-bagian dari huniannya, dan untuk membentuk bagian-bagian itu munculnya

Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018 | 3


Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

ketrampilan-ketrampilan membentuk bagian-bagian hunian tersebut, yang membawa konsekuensi


munculah peralatan-peralatan khusus (Oliver, 2003, hal. 66-83). Evolusi ini kemudian berlanjut dengan
proses adaptasi terhadap iklim, lalu memahami hubungan ruang, kaitannya dengan kosmologi, proses
berhias dan membentuk kota. Oliver melakukan kajian dengan tidak memperhatikan locus, tapi
memahaminya sebagai sebuah proses evolusi berhuni. Jarzombek kemudian mengisi ‘lubang’ dari
Oliver dengan melakukan kajian dari tiap-tiap titik di dunia ini dan memahami proses berarsitekturnya.
Untuk wilayah nusantara, Jarzombek memberi catatan khusus yang mengacu pada proses migrasi out
of taiwan. Jarzombek pada bagian ini menjabarkan adanya perpaduan budaya yaitu budaya ‘air’ dan
budaya ‘bercocok tanam’ dengan munculnya nasi yang berasal dari India sepanjang Sungai Gangga
(Jarzombek, 2013, hal. 521).
Ada penghormatan khusus
dalam bentuk ‘bangunan
Gambar 4 pergerakan manusia ke penyimpanan beras’ yaitu
Pasifik selatan dan Kepulauan lumbung dari Jepang,
Indonesia Kalimantan (suku dayak),
Sumber (Jarzombek, 2013, hal. Sumatera (suku batak, dan
516) nias); Filipina (provinsi Ifugao)
hingga kepulauan pasifik
( pulau Nan Madol) (Jarzombek, 2013, hal. 518 - 547).

Arsitektur Di Nusantara Pasca Migrasi

Setelah gelombang migrasi tersebut jabaran yang komprehensif menjelajah perkembangan arsitektur
di Nusantara adalah tulisan Widodo. Jelajah Widodo didasarkan pada pemahaman modern yang
dimaknai sebagai sebuah proses alih-alih produk, yang menunjukkan pada munculnya produk baru
yang bukan tradisi lama, yang didapatkan melalui enelmuan, penciptaan dan transformasi yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan terkini (Widodo, Arsitektur Indonesia Modern:
Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi dan Hibridisasi, 2009, hal. 17). Widodo mengambil kurun waktu
dari masa proto-historis, yaitu masa perdagangan dengan India dan China, dengan bukti adanya
pembagian strata sosial di pelabuhan-pelabuhan perdagangan serta penggunaan tulisan berbahasa
Sankerta dengan huruf Pallawa hingga munculnya kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara
Jawa dan pantai timur Sumatera dan penggunaan mata uang China sebagai alat tukar utama (masa
klasik akhir, antara tahun 1300 – 1500). Kemudian dilanjutkan dengan penjabaran tentang proto
modern (tahun 1500 – 1600) dengan bukti perancangan Masjid Agung Demak yang adaptif terhadap
nilai-nilai kosmologi Hindu, dan nilai-nilai Islami. Lalu masukknya Bangsa Eropa (tahun 1600 – 1800)
dalam rangka perdagangan rempah. Awalnya bangsa Eropa ‘memindahkan’ arsitektur Eropa untuk
huniannya ke Nusantara, namun kemudian mereka beradaptasi dengan kondisi iklim tropis dengan
temperatur tinggi, kelembapan tinggi, curah hujan tinggi dan terpaan sinar matahari sepanjang tahun,
sehingga muncullah arsitektur Indis, sebagai proses adaptasi iklim dari arsitektur eropa. Ternyata
adaptasi tidak hanya berlangsung di ranah arsitektur saja, sehingga Indis tidak hanya berlaku pada
tataran teknis arsitektural tapi juga merambah sampai pada kehidupan sosial budaya, yang kemudian
disebut dengan budaya Indis yaitu perkawinan antara budaya eropa dan budaya lokal. Sehingga bukan
lagi adaptif tapi hibridisasi iv budaya. Widodo menutup kajiannya dengan menyatakan bahwa
modernisasi adalah sebuah proses sosial budaya yang terus menerus dalam bentuk : transplantasi,
adaptasi, akomodasi, asimilasi, hibridisasi dan materialisasi (Widodo, Arsitektur Indonesia Modern:
Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi dan Hibridisasi, 2009, hal. 24). Proses tersebut berlangsung
sampai sekarang.

4 | Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018


Johannes Adiyanto
Diskusi

Jelajah panjang diatas memang tidak seperti kajian arsitektural yang menyuguhkan banyak gambar
arsitektur. Namun kajian diatas menunjukkan bahwa manusia di nusantara tidak berdiri sendiri tapi
saling kait mengkait secara global. Dari masa purba pun, wilayah di nusantara (saat ini) adalah tempat
pertemuan antar manusia (jika beranggapan bahwa homo sapiens adalah cikal bakal manusia modern
saat ini). Kemampuan berhuni manusia purba merupakan ‘gen’ yang diturunkan hingga masa kini.
Pencaharian lokasi yang tidak jauh dari air (terutama sungai) merupakan insting dasar manusia dalam
mencari huniannya, terutama di wilayah nusantara ini. Temuan di Gua harimau di Desa Padang Bindu,
Sumatra Selatan v; temuan lukisan dalam gua di Kalimantan Timur di tepi Sungai Marang (Chazine,
2005), sebagai salah satu buktinya.

Manusia purba juga tidak hanya ‘puas’ pada suatu tempat/lokasi. Out of Africa dan out of Sundaland
membuktikan proses adaptasi dengan ‘berpindah’,baik melalui darat maupun ‘air’. Dengan dua
pendekatan teori tersebut permasalahan kesamaan bentuk antara arsitektur di Kanak dengan dengan
Wae Rebo mungkin akan terjawab.

Gambar 5 Arsitektur Waerebo di Flores, Indonesia (kiri,


sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpkt/wp-content/uploads/sites/6/2015/09/Upacara-
Adat-Penti-Wae-Rebo.pdf.);
Arsitektur Kanak di Kaledonia Baru (tengah, sumber:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Kanak_house.jpg);
Arsitektur Gamo Gofa Omo, Ethiopia, (kanan, sumber :
http://www.gettyimages.com/detail/photo/dorze-tribe-elephant-type-home-in-village-high-res-stock-
photography/173987323

Lalu bagaimana pemahaman arsitektur ‘liyan’ nya? Dengan penjelajahan yang panjang dari Oliver dan
Jarzombek membuktikan bahwa adanya proses evolusi. Oliver menyatakan bahwa ada proses berhuni,
Jarzombek lebih mendetail pada masing-masing tempat hunian itu berada. Ada proses adaptasi, ada
proses transformasi baik bentuk maupun pikiran. Proses adaptasi terhadap iklim. Untuk wilayah
nusantara terhadap iklim tropis lembab. Manusia masa lampau telah menunjukkan bahwa penggunaan
atap yang panjang, tekradang bagian ‘badan’ bangunan tidak terlihat, adalah cara beradaptasi dengan
iklim tropis lembab, disamping ventilasi silang. Dengan dasar pemahaman inilah Prijtomo menyatakan
bahwa arsitektur nusantara adalah arsitektur pernaungan bukan arsitektur perlindungan (Prijotomo,
2008). Hal itu yang kemudian ditiru oleh arsitektur indis, dengan tritisan lebar dan adanya teras baik
depan maupun belakang. Silaban dengan tegas menyatakan bahwa bukan bentuknya tapi pada
adaptasi iklim tropis yang perlu diperhatikan dalam arsitektur di nusantara ini. (Silaban, 1983). Apakah
hanya adaptasi iklim? Jelajah diatas juga menunjukkan bahwa wilayah nusantara adalah wilayah yang
mempunyai pegunungan berapi, yang saat ini berjumlah 130 gunung berapi, dan juga berada di antara
2 lempeng duniavi. Konsekuensinya adaptasi juga dilakukan terhadap faktor gempa. Domenig yang
melakukan kajian arah orientasi material kayu pada beberapa rumah vernakular di Indonesia

Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018 | 5


Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

menyatakan bahwa ada pertimbangan struktural pada arah orientasi penggunaan kayu pada rumah-
rumah vernakular tersebut, yang kemudian dikaitkan dengan gagasan keagamaan (Domenig, Vol 164,
No. 4 (2008)). Hal ini menunjukkan bahwa ada aturan-aturan yang terkait dengan adaptasi struktural
pada masyarakat-masyarakat tradisional, namun mereka menyampaikannya dengan cara ‘spiritual’.
Ini yang kemudian menjadi perhatian Prijotomo dalam disertasinya, ada pengetahuan yang
disampaikan secara ‘lisan’/ tanpatulisan, yang merupakan pengetahuan arsitektural (Prijotomo, 2006).
Kapan spiritualitas tumbuh pada masyarkat Nusantara? Dan apa kaitannya dengan arsitektur (di)
nusantara? Ini yang menarik dibahas. Dari awalnya masyarakat yang berdatangan ke nusantara adalah
masyarakat yang mencari ‘tempat’ hunian. Perspekfit memahami alam dan lingkungan berperan disini.
Pada tahapan berikutnya, mereka datang melalui air/laut. Untuk memahami air/laut mereka harus
membaca alam. Koneksi dengan alam sangatlah dekat, kita bisa melihat jejaknya pada suku-suku yang
‘air’ seperti suku Badjo yang amat cerdik/cerdas melihat arus laut dan membaca tanda-tanda langit
yang amat penting bagi kehidupannya mencari ikan. Setelah itu pendatang yang dari air/laut itu
mendarat dan berevolusi menjadi petani. Inilah yang kemudian mengenal mitos yang oleh van Puersen
(Peursen, 1985) sebagai tahap awal sebuah perkembangan kebudayaan, yang kemudian dilanjutkan
dengan tahap ontologis dan tahap fungsional. Apakah pemahaman arsitektur (di) nusantara juga
mengikuti tahapan seperti tahapan dari Van Puersen? Perlu sebuah kajian tersendiri. Namun perlu
dicatat adalah kajian arsitektur nusantara tidak membahas kajian budaya, sehingga sebagai contoh
kasus: pemasangan sesaji dan bendera di puncak kuda-kuda saat proses membangun adalah sebuah
usaha teknis untuk menguji kemampuan dan kekokohan kuda-kuda (kajian arsitektural) bukan sebagai
persembahan kepada leluhur (kajian spiritualitas kebudayaan). Ritus-ritus spiritual dalam berarsitektur
dibaca secara ‘teknis’ arsitektural. Disini juga letak ‘liyan’-nya. Memilah antara kajian budaya dan kajian
arsitektural dengan kasus arsitektural (di) nusantara bukanlah perkara yang mudah, keterjebakan ke
kajian budaya dan bahkan spritualitas sering terjadi karena di nusantara itu adalah satu kesatuan
(hibrid). Inilah yang disampaikan oleh Johannes Widodo. Widodo di beberapa tulisannya
menyampaikan hal itu, terutama dengan kasus kaitan antara hunian pendatang China dan Arab,
terutama di kota-kota pelabuhan besar, seperti Palembang dan Malaka. (Widodo, 2009). Sehingga
secara kompleks hunian hingga ke bangunan hibriditas kemampuan arsitektural terjadi di beberapa
tempat di nusantara, terutama di daerah pesisir.

Kesimpulan

Arsitektur nusantara adalah arsitektur ‘liyan’, karena arsitektur nusantara merupakan arsitektur adaptif
terhadap iklim tropis lembab dan tanggap terhadap gempa, serta menerima ‘budaya’ luar dan
mentransformasikannya sesuai dengan keadaan lingkungan sekitarnya (hibrid).

Arsitektur di nusantara merupakan arsitektur pendatang yang dipengaruhi dan mempengaruhi


arsitektur lainnya dari Afrika hingga Pasifik, baik melalui daratan maupun melalui air. Arsitektur di
nusantara punya budaya panjang dari budaya darat hingga budaya air. Namun huniannya tidak berada
jauh dari air. Kesamaan arsitektural dibeberapa tempat karena ‘jejak’ gelombang migrasi manusia
lampau. Kebedaan arsitektural karena adanya proses adaptasi dan transformasi karena pengaruh
lingkungan dan keadaan lokal.

Jadi arsitektur (di) nusantara adalah arsitektur yang global, punya nilai-nilai universal dan pada saat
bersamaan juga arsitektur sangat lokal, yang hanya berlaku pada tempat itu sendiri.

6 | Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018


Johannes Adiyanto
Daftar Pustaka

Bellwood, P. (1984). A Hypothesis for Austronesian origins. Asian Perspectives 26 (1), 107 - 117.
Bird, M. I., Taylor, D., & Hunt, C. (2005). Palaeoenvironments of insular Southeast Asia during the
Last Glacial Period: a savanna corridor in Sundaland? Quaternary Science Reviews, 2228-
2242.
Chazine, J.-M. (2005). Rock Art, Burials, and Habitations : caves in East Kalimantan . Asian Perspective
44 (1), 219 - 230.
Domenig, G. (Vol 164, No. 4 (2008)). Timber Orientation in The Traditional Architecture of Indonesia .
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 450 - 474.
Hall, R. (2012). Sundaland and Wallacea: geology, plate tectonics and paleogeography. In D. (. Gower,
Biotic Evolution and Environmental Change in Southeast Asia (pp. 37-78). New York:
Cambridge University Press.
Jarzombek, M. (2013). Architecture of First Societies: a global perspective. New Jersey: John Wiley &
Sons.
Ko, A. M.-S., Chen, C.-Y., Fu, Q., Delfin, F., Li, M., Chiu, H.-L., . . . Ko, Y.-C. (Marc 2014). Early
Austronesians: Into and Out Of Taiwan. The American Journal of Human Genetics 94, 426 -
436.
Mangunwijaya, Y. (1995). Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi
Filsafatnya beserta contoh-contoh praktis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Oliver, P. (2003). Dwelling . New York: Phaidon Press.
Oppenheim, S. (2012). Review : Out-of-Africa, the peopling of continents and islands: tracing
uniparental gene trees across the map. Philosophical Transactions B, 770–784.
Oppenheimer, S. (2004). OUt of Eden: The Peopling of The World . London : Constable & Robinson
Ltd.
Palmer, E. (2007 (19)). Out of Sunda? Provenance of the Jomon Japanese. Japan Review, 47-75.
Pangarsa, G. W. (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset.
Peursen, V. (1985). Strategi Kebudayaan . Kanisius: Yogyakarta .
Prijotomo, J. (2002). Globalisasi dan Arsitektur Nusantara . Seminar Nasional 'Kematian Arsitektur
Tradisional' . Yogyakarta: Himpunan Mahasiswa Arsitektur Univ. Atma Jaya Yogyakarta.
Prijotomo, J. (2006). (Re)-Konstruksi Arsitektur Jawa : Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan.
Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika .
Prijotomo, J. (2008). Arsitektur Nusantara: Arsitektur Perteduhan dan Arsitektur Liyan, Pembacaan
Arsitektural atas Arsitektur Masyarakat Tanpatulisan . Surabaya : unpublished, Naskah Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teori dan Metode Perancangan, Institut
Teknologi Sepuluh November .
Silaban, F. (1983). Idealisme Arsitektur dan Kenyataan Di Indonesia . In E. Budihardjo, Menuju
Arsitektur Indonesia (pp. 75-88). Bandung : Penerbit Alumni .
Thorne, A. G., & Wolpoff, M. (Vol 13, Issue 2, 2003). The Multiregional Evolution of Humans. Scientific
American, Special Edition, New Look at Human Evolution , 46-53.
Tumonggor, M. K., Karafet, T. M., Brian Hallmark, J. S., Sudoyo, H., Hammer, M. F., & Cox, M. P.
(2013 (58)). The Indonesian Archipelago: an acient genetic highway linking Asia and the
Pasific. Journal of Human Genetics , 165 - 173.
Widodo, J. (2009). Arsitektur Indonesia Modern: Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi dan Hibridisasi.
In P. J. Nas, Masa Lalu dalam Masa Kini (pp. 17-24). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama .
Widodo, J. (2009). Morphogenesis and Layering of Southeast Asian Coastal Cities: Re-
conceptualization of urban and environmental. The International Conference “Asian

Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018 | 7


Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

Environments Shaping the World: Conceptions of Nature and Environmental Practices”,.


Singapore: Asia Research Institute.

i Sumber : "DIACHRONIC AND SYNCHRONIC." Concise Oxford Companion to the English


Language.Retrieved November 20, 2017 from
Encyclopedia.com: http://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-
and-maps/diachronic-and-synchronic
dan http://kecantikanalamoment.blogspot.co.id/2016/05/perbedaan-konsep-berpikir-sinkronis-
dan.html
ii University Of Cambridge. (2007, May 10). New Research Confirms 'Out Of Africa' Theory Of Human
Evolution. ScienceDaily. Retrieved November 26, 2017 from
www.sciencedaily.com/releases/2007/05/070509161829.htm
iii Finally, we might simply wish to reflect on the fact that physical evolution does not start from scratch,
but simply adapts what already exists. As such, the brain structure of all descendent species still, in
part, resides within the workings of our own brain. This simple fact may go along way to explain
why some of our most primitive characteristics still persist to this day. (sumber
http://www.mysearch.org.uk/website1/html/91.Scope.html )
iv Hybrid : a person whose background is a blend of two diverse cultures or traditions
(sumber : https://www.merriam-webster.com/dictionary/hybrid)
v http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/06/gua-harimau-rumah-peradaban-lampau-di-selatan-
sumatera
vi https://naningisme.wordpress.com/2014/02/15/indonesia-the-hottest-spots-of-the-ring-of-fire/

8 | Prosiding Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai