Anda di halaman 1dari 14

 Beranda

 DAFTAR ISI BLOG INI


 PPG PAI 2019
 FACEBOOK
 TWITTER
 INSTAGRAM
 VIDEOS
 PASCA UIN MALANG
Monday, May 14, 2018
MAKALAH SUMBER DAN DASAR PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan harus mempunyai dasar sebagai
tempat berpijak yang baik dan kuat. Begitu juga dengan pendidikan Islam sebagai usaha untuk membentuk
manusia yang berkepribadian utama harus mempunyai dasar yang baik. Dalam aktivitas pendidikan baik dalam
penyusunan konsep teoritis maupun dalam pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar kokoh. Hal ini
dimaksudkan agar yang terlingkupi dalam pendidikan mempunyai keteguhan dan keyakinan yang tegas
sehingga praktek pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah di samping oleh pengaruh dari luar pendidikan.
Karena agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai
aspek kehidupan,dengan sumbernya yaitu AlQuran,hadits,dan ijtihad.Sumber-sumber ini dalam pribadi
manusia bertujuan mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak serta
menguatkan iman dan takwa manusia. Pendidikan islam merupakan unsur terpenting bagi manusia untuk
meningkatkan kadar keimanannya terhadap Allah SWT, karena orang semakin banyak mengerti tentang dasar-
dasar Ilmu pendidikan Islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tahu dan lebih mengerti akan
terciptanya seorang hamba yang beriman. Manusia hidup dalam dunia ini tanpa mengenal tentang dasar-dasar
Ilmu pendidikan Islam, maka jelas bagi mereka sulit untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, apa lagi
menjadi hamba yang beriman. Dari latar belakang masalah di atas, maka kita sebagai calon pendidik perlu
mengetahui bagaimana sumber dan dasar Ilmu Pendidikan Islam sebagai landasan pokok agar pendidikan
Islam tegak berdiri dan tidak mudah roboh karena pengaruh-pengaruh ideologi yang muncul baik sekarang
maupun yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Sumber pendidikan islam itu?
2. Apa Saja dasar pendidikan islam itu?
C. Tujuan Pembahasan
1. Agar kita dapat mengetahui apa saja sumber pendidikan islam itu.
2. Agar kita dapat mengetahui apa saja dasar pendidikan islam itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Pendidikan Islam
Pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai agen of culture dan bermanfaat bagi manusia itu
sendiri, maka dibutuhkan acuan pokok yang mendasarinya. Karena pendidikan merupakan bagian yang
terpenting dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insan pedagogik, maka acuan yang menjadi
dasar bagi pendidikan adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup masyarakat di mana pendidikan itu
dilaksanakan. Untuk itu, karena yang akan dibicarakan di sini adalah pendidikan Islam, maka yang menjadi
pandangan hidup yang mendasarinya adalah pandangan yang Islami, yaitu terhadap nilai yang transenden,
universal, dan internal sebagai dasar. Kata dasar dalam bahasa; (Arab; asas, Inggris; foundation; Perancis,
Latin; fundamentum) secara etimologi berarti; alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu pendapat,
ajaran, aturan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pendidikan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan 1991: 211).
Secara terminologi dasar mengandung arti sebagai sumber adanya sesuatu dan proposisi paling umum
dan makna yang paling luas yang dijadikan sumber ilmu pengetahuan, ajaran, atau hukum (Aly 1999: 19-30).
Sumber Pendidikan Islam ada dua: pertama, sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits, dan alam
semesta sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber msaniah yaitu lewat proses
ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global
(Nizar 2001: 95). Landasan pendidikan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra yakni al-Qur’an, Hadits,
Ijtihad, serta kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat dan nilai-nilai atau tradisi (Azra 1999: 8-11
bandingkan dengan al-Faruqi 1984: 47-50).Sedangkan Yusuf Amir Faisal (1995: 118), dasar pendidikan
Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah sebagai hukum tertulis, hukum yang tidak tertulis, dan hasil pemikiran
manusia tentang hukum, .."misalnya Pancasila, UUD 1945, atau UU SPN. Menurut Hasan langgulung, dapat
dipahami bahwa sumber pendidikan Islam menurut ia ada tiga yakni al-Qur’an, as-Sunnah serta ijtihad.
Hal ini berbeda dengan Abdul Fattah Jalal yang membagi sumber ; pendidikan Islam ke dalam dua
yaitu: pertama, sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits dan alam semesta sebagai ayat kauniyah yang
perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena
yang muncul dan dari kajian lebih lanjut terhadap sumber Ilahi yang masihbersifat global (Nizar 2000: 95).
Secara eksplisit, sumber tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah di wahyukan-Nya kepada nabi Muhammad bagi seluruh
umat manusia. Al-Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia yang bersifat universal. Keuniversalan ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang
tinggi sekaligus merupakan mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa suci
dan berakal cerdas.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki perbendaharaan yang luas dan besar bagi
pengembangan kebudayaan umat manusia. Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap,Baik itu
pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral(akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material
(Kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensinya yang
tidak pernah mengalami perubahan. Kemungkinan terjadi perubahan hanya sebatas interpretasi manusia
terhadap teks ayat yang menghendaki kedinamisan pemaknaannya, sesuai dengan konteks zaman, situasi,
kondisi, dan kemampuan manusia dalam melakukan interpretasi. Ia merupakan pedoman normatif teoritis bagi
pelaksanaan pendidikan Islam yang memerlukan penafsiran lebih lanjut bagi operasional pendidikan Islam
yang lebih lanjut Isinya mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu menyentuh seluruh potensi manusia,
baik itu motivasi untuk mempergunakan pancaindra dalam menafsirkan alam semesta bagi kepentingan
formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan Islam), motivasi agar manusia mempergunakan akalnya,
lewat tamsilan-tamsilan Allah SWT. dalam al-Qur’an, maupun motivasi agar manusia mempergunakan hatinya
untuk mentransfer nilai-nilai pendidikan Ilahiah, dan lain sebagainya. Semua proses ini merupakan sistem
umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT. dalam al-Qur’an, agar manusia dapat mencari kesimpulan dan
melaksanakan kesemua petunjuk tersebut dalam kehidupannya sebaik-baik mungkin.
Bila melihat begitu luas dan persuasifnya al-Qur’an dalam menuntun manusia, yang kesemuanya
merupakan proses pendidikan kepada manusia, menjadikan al-Qur’an sebagai kitab dasar utama bagi
pengembangan ilmu pengetahuan manusia. Mourice Bucaille (1979: 375) kagum akan isi kandungan al-Qur’an
dan mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang obyektif dan memuat petunjuk bagi
pengembangan ilmu pengetahuan modern. Dari penafsiran terhadap ide-ide yang termuat. dalam al-Qur’an,
sains modern dapat berkembang dengan pesat dan memainkan peranannya dalam membangun dunia ini.
Rujukan di atas memberikan kesimpulan yang jelas akan orientasi yang dimuat dan dikembangkan al-
Qur’an bagi kepentingan manusia dalam melaksanakan amanat yang diberikan Allah SWT. Oleh karena itu,
pelaksanaan pendidikan Islam harus mengacu pada al-Qur’an, dengan berpegang pada nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Qur’an terutama dalam pelaksanaan pendidikan Islam akan mampu mengantar dan
mengarahkan manusia bersifat dinamis dan kreatif, serta mampu mencapai lesensi nilai-nilai ‘ubudiyah pada
Khaliqnya.[1]
Dengan sikap ini, maka proses pendidikan Islam akan senantiasa terarah dan mampu menciptakan serta
mengantarkan out putnya sebagai manusia berkualitas. Dan bertanggung jawab terhadap semua aktivitas yang
dilakukannya. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir dua pertiga dari ayat al-Qur’an mengandung nilai-nilai yang
membudayakan manusia dan memotivasi manusia untuk mengembangkannya lewat proses pendidikan. Bila
ditinjau dari proses turunnya yang berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai peristiwa yang
melatarbelakangi peristiwa turunnya, merupakan proses pendidikan yang ditujukan Allah kepada manusia.
Dengan proses tersebut memberikan nuansa baru bagi manusia untuk dilaksanakan pendidikan
secara terencana dan berkesinambungan, layaknya proses turunnya al-Qur’an dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya. Di sisi lain, proses
pendidikan yang ditunjukkan al-Qur’an bersifat merangsang emosi dan kesan insani manusia, baik secara
induktif maupun deduktif. Dengan sentuhan emosional tersebut secara psikologis mampu untuk lebih mengkristal
dalam diri peserta didik, yang akan terimplikasi lewat amal perbuatannya sehari-hari yang bernuansa Islami.[2]
Pendidikan pada dasarnya adalah proses atau tindakan untuk membentuk kepribadian manusia.
Dengan pemahaman demikian, maka pendidikan menjadi sangat strategis, karena pendidikan ikut berperan
aktif dalam menentukan corak dan bentuk aktivitas dan kehidupan manusia secara pribadi maupun sosial.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip tentang pendidikan. Misalnya ayat 13 dan
19 surat Luqman. Ayat-ayat tersebut menggariskan prinsip-prinsip materi pendidikan yang mencakup masalah
keimanan, akhlak, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan.[3]
Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam harus dijadikan landasan dan sumber utama
pendidikan Islam. Firman Allah:È
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-
benar kezhaliman yang besar (Q.S: 31 Luqman: 13).
Ayat lain Misalnya:
Artinya: Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui”. Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapatmenerima pelajaran (Q.S.: 39 Al-Zumar:
9).
Dari rujukan ini, terlihat bahwa seluruh dimensi yang terkandung dalam al-Qur’an memiliki misi dan
implikasi kependidikan yang bergaya imperatif, motivatif, dan persuasif; dinamis, sebagai suatu sistem
pendidikan yang utuh dan demokratis lcwat proses manusiawi. Proses kependidikan tersebut bertumpu pada
kemampuan rohaniah dan jasmaniah masing-masing peserta didik, secara bertahap dan berkesinambungan,
tanpa melupakan perkembangan zaman dan nilai-nilai Ilahiah. Semua proses pendidikan Islam tersebut
merupakan proses konservasi dan transformasi, serta internalisasi nilai-nilai dalam kehidupan manusia
sebagaimana yang diinginkan oleh ajaran Islam. Dengan upaya ini, diharapkan peserta didik mampu hidup
secara serasi dan seimbang, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
2. Hadits (as-Sunnah)
Secara sederhana, hadits atau as-sunnah merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya menjalankan dakwah Islam. Contoh yang dibenkan beliau
dapat dibagi kepada tiga bagian pertama, hadits qauliyat yaitu yang berisikan pernyataan, dan persetujuan Nabi
Muhammad SAW. Kedua, hadits fi’liyyat yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah
dilakukan Nabi. Ketiga hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan Nabi atas tindakan dan peristiwa
yang terjadi. Semua contoh yang ditunjukkan Nabi, merupakan sumber dan acuan yang dapat digunakan umat
Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum sebagian besar dari
syariah Islam terkandung dalam al- Qur’an, namun muatan hukum yang terkandung, tidak mengatur berbagai
dimensi aktivitas kehidupan umat secara mendetail. Penjelasan syariah terkandung dalam al-Qur’an, masih
bersifat umum dan global. Untuk itu, diperlukan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum al-
Qur’an yang ada sekaligus sebagai petunjuk (pedoman) bagi kemashlatan hidup manusia dalam semua
aspeknya.[4]
Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, termasuk pendidikan. Sunnah juga berisi
petunjuk dan pedoman demi kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat Islam
menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang beriman dan bertaqwa. Rasulullah sendiri adalah guru dan
pendidik utama yang menjadi profil setiap guru muslim. Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi juga
menunjukkan jalan. Hal ini tidak hanya diakui oleh sarjana muslim, akan tetapi juga non muslim. Misalnya
seorang Profesor dari Cleveland University, James E. Royster, mengawali tulisannya dengan
mengemukakan ; bahwa belum ada dalam sejarah seorang manusia yang demikian sempurna diikuti, diteladani
seperti Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Sunnah dijadikan sebagai landasan kedua dalam pendidikan
Islam.[5] Salah satu hadist Rasullullah yang dapat dijadikan sebagai landasan sekaligus dorongan dalam
pendidikan Islam adalah:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Bahwasanya Rasulullah bersabda: Barang siapa yang berjalan di suatu
jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (HR.
Bukhari) (Ghazali dan Djumaris 1995: 64).
Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai sumber pendidikan Islam yang utama
setelah al-Qur’an, eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan-
keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiah yang tidak terdapat dalam al- Qur’an, maupun yang
terdapat dalam al-Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci. Untuk
memperkuat kedudukan hadits sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan, dapat dilihat dari firman Allah:
Artinya: “Barang siapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya ia pun taat kepada Allah, dan barang siapa
yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
(Q.S. an-Nisa’: 80)
Dari ayat di atas dapat dilihat dengan jelas, bahwa kedudukan hadits Nabi merupakan dasar utama
yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Lewat contoh dan peraturan-
peraturan yang diberikan Nabi, merupakan suatu bentuk pelaksanaan pendidikan Islam yang dapat ditiru dan
dijadikan referensi teoritis maupun praktis. Seirama dengan batasan di atas, Robert L. Guillick 8ebagaimana
disitir oleh Jalaluddin Rahmat (1991: 115) mengakui akan keberadaan Nabi sebagai seorang pendidik yang
paling berhasil dalam membimbing manusia ke arah kebahagiaan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat
dan dapat dijadikan sebagai acuan dan dasar pendidikan islam.[6]
Dalam dataran pendidikan Islam acuan tersebut, dapat dilihat dari dua bentuk yaitu: pertarna, sebagai
acuan syariah; yang meliputi muatan-muatan pokok ajaran Islam secara teoritis, kedua acuan operasional-
aplikatif yang meliputi cara Nabi memainkan peranannya sebagai pendidik dan sekaligus sebagai evaluator
yang profesional, adil dan tetap menjunjung tinggi nilai- nilai ajaran Islam. Semua ini dapat dilihat dari
bagaimana cara Nabi melaksanakan proses belajar mengajar, metode yang digunakan sehingga dalam waktu
singkat diserap oleh para sahabat, evaluasi yang dilaksanakan sehingga bernilai efektif dan efisien, kharisma
dan sifat pribadi seorang pendidik yang harus ada pada diri seorang pendidik yang telah ditunjukkan Nabi, cara
Nabi memilih materi, alat peraga dan kondisi yang sebegitu adaptik, maupun cara Nabi menempatkan posisi
peserta didiknya dan lain sebagainya. Semua itu merupakan figur yang ada pada diri Rasulullah SAW dan
menjadi model bagi seluruh aktifitas manusia sebagai juswat al-hasanah (QS. 33: 21) yang telah dibimbing
langsung Allah SWT (QS. 53: 3-4), sehingga hampir tidak mungkin melakukan kesalahan dalam proses
pendidikan.[7]
Proses pendidikan Islam yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW. merupakan bentuk pelaksanaan
pendidikan yang bersifat fleksibel dan universal, sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik, kebiasaan
(adat istiadat) masyarakat, serta kondisi alam di mana proses pendidikan tersebut berlangsung dengan dibalut
pilar-pilar aqidah Islamiah.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat dibagi kepada bentuk
yaitu: pertama, pola pendidikan saat Nabi di Mekkah yang terkenal cerdas, dengan mengajaknya membaca,
memperhatikan dan memikirkan kekuasaan Allah SWT, baik yang ada di alam semesta maupun yang ada di
dalam dirinya. Melanjutkan pembuatan syair-syair yang indah dengan nuansa Islami, serta pembacaan ayat-
ayat al-Qur’an merubah kebiasaan masyarakat Mekkah yang selama ini memulai suatu pekerjaan menyebut
nama-nama berhala, dengan mama Allah (Basmalah), dan sebagainya. Secara kongkrit, pemetaan pendidikan
Islam pada periode ini dapat dibagi pada empat aspek utama yaitu: pendidikan akhlak budi pekerti, dan
pendidikan jasmani (kesehatan), seperti menunggang kuda, memanah dan menjaga kebersihan. Kedua, pola
pendidikan pada saat Nabi di Madinah secara geografis Madinah merupakan daerah agraris. Sedangkan
Mekkah merupakan daerah pusat perdagangan. Ini membedakan sikap dan kebiasaan masyarakat di kedua
daerah tersebut. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat petani yang saling membantu antara satu dengan
yang lain. Mereka hidup rukun dan jarang sekali terjadi persengketaan, melihat kondisi ini, pola pendidikan
yang diterapkan Nabi SAW lebih berorientasi pada pemantapan nilai-nilai persaudaraan antara kaum muhajirin
dan anshor pada satu ikatan. Untuk mewujudkan ini, pertama-tama Nabi lakukan dengan mendirikan Masjid
sebagai sarana yang pendidikan yang efektif. Materi pendidikannya lebih ditekankan pada penanaman ketauhidan,
pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan sopan santun (adab) ke semua ini berjalan efektif karena di samping
motivasi internal umat waktu itu, kharisma dan metode yang digunakan Nabi mampu
mengayomi seluruh kepentingan seluruh masyarakat secara adil dan demokratis.Dengan mengacu pada pola ini,
menjadikan pendidikan Islam sebagai piranti yang tangguh dan adaptik dalam mengantarkan peserta
didiknya membangun peradaban yang bernuansa Islami (rahmat li al amin).[8]
3. Ijtihad
Landasan berikutnya yang lebih bersifat praktis dan aplikatif adalah ijtihad para ulama. Dalam hal ini
hasil ijtihad para pakar pendidikan Islam. Ijtihad itu sendiri dalam pemahaman umum adalah berfikir dengan
menggunakan seluruh ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh ilmuwan tertentu untuk menetapkan atau
menentukan seeuatu hukum yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam meletakkan itjihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam, ada dua pendapat pertama, tidak
menjadikannya sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Kelompok ini, hanya menempatkan al-Qur’an dan
hadits sebagai bahan rujukan. Sementara ijtihad hanya sebagai upaya memahami makna ayat al- Qur’an dan
hadits sesuai dengan konteksnya. Kedua, meletakkan ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Menurut
kelompok ini, meskipun ijtihad merupakan salah satu metodeistinbath hukum, akan tetapi pendapat para
ulama akan hal ini, perlu dijadikan sumber rujukan untuk membangun paradigma pendidikan Islam. Dalam hal
ini penulis cenderung pada pandangan kelompok kedua, tanpa bermaksud menyalahkan atau mengingkari
pendapat pertama.[9]
Secara etimologi, ijtihad berarti usaha Jseras dan sungguh-sungguh (gigih). Yang dilakukan oleh para
ulama untuk menetapkan hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas persoalan tertentu. Sementara menurut
Abu Zahrah (tt: 156), Ijtihad merupakan produk ijma (kesepakatan) para mujtahid muslim pada suatu periode
tertentu terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelah (wafatnya) Nabi Muhammad SAW, lintuk
menetapkan hukum syara’ atas berbagai persoalan umat yang bersifat ‘amaliy.[10]
Dari batasan di atas, dapat diketahui bahwa ijtihad, pada dasarnya adalah proses penggalian dan
penetapan hukum syar’iah yang dilakukan oleh para mujtahid muslim dengan menggunakan pendekatan nalar
dan pendekatan lainnya: qiyas, mursalih al- mursalah, urf, dan sebagainya secara independen, guna
memberikan jawaban hukum atas berbagai persoalan umat yang ketentuan hukumnya secara syar’iah tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Rasulullah (an-Na’im 1994: 53). Oleh karena itu, lahan kajian analitis
ijtihad, merupakan lahan kajian yang cukup luas keluasan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan manusia
yang begitu bervariasi dan dinamis, seirama dengan perkembangan tuntutan akselerasi zaman (Daradjat 1998:
21), termasuklah aspek pendidikan di dalamnya, sebagai salah satu aspek yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan dinamis manusia.
Eksistensi ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan Hadits, merupakan
dasar hukum yang sangat dibutuhkan terutama pasca Nabi Muhammad SAW setiap waktu guna, mengantarkan
manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin mengglobal dan mendunia. Oleh karena,
perkembangan zaman yang bersifat dinamis dan senantiasa berubah maka eksistensi ijtihad harus senantiasa
diperbaharui, seirama dengan tuntutan perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip al-
Qur’an dan hadits. Dengan proses ini diharapkan akan diperoleh suatu dimensi kehidupan umat yang ummatik,
dinamis dan dialektis, perlunya melakukan ijtihad secara dinamis dan senantiasa diperbaharui serta
ditindaklanjuti oleh para mujtahid muslim sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, merupakan
hal yang mutlak harus dilakukan. Proses pemikiran ini berupaya menetapkan hukum Islami yang masih global.
Hal ini disebabkan karena tidak semua dimensi kehidupan manusia ini normatif hukumnya secara terperinci
dalam al-Qur’an dan Hadits. Sebagian besar hanya bersifat normatif hukum yang bersifat mutasyabihat. Untuk
proses tersebut, menurut al-Sayuthi, diperlukan. setiap periode (ashr) diperlukan seorang atau sekelompok orang
yang mampu berperan sebagai mujtahid. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin mengglobal dan
mendesak, menjadikan eksistensi ijtihad, terutama di bidang pendidikan, tidak hanya saja sebatas bidang
materi atau isi, kurikulum metode, evaluasi, atau bahkan sarana dan prasarana akan tetapi mencakup seluruh
sistem pendidikan dalam arti yang luas.[11]
Perlunya melakukan itjihad di bidang pendidikan, karena media pendidikan merupakan saran utama
dalam membangun pranata kehidupan sosial dan kebudayaan manusia, indikasi ini memberikan arti, bahwa
maju mundurnya atau sanggup tidaknya kebudayaan manusia berkembang secara dinamis sangat ditentukan
dari dinamika sistem pendidikan yang dilaksanakan. Dinamika itjihad dalam mengantarkan manusia pada
kehidupan yang dinamis, harus senantiasa merupakan pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai serta
prinsip pokok al-Qur’an dan Hadits. Proses ini akan mampu mengontrol seluruh aktivitas manusia, sekaligus
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya.[12]
Di dunia pendidikan, itjihad dibutuhkan secara aktif untuk menata sistem pendidikan yang dialogis,
peranan dan pengaruhnya sangat besar, umpamanya dalam menetapkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai
meskipun secara umum rumusan sistem tersebut telah disebutkan dalam al-Qur’an (QS. 52:56). Akan tetapi
secara khusus, tujuan-tujuan tersebut memiliki dimensi yang harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan
kebutuhan manusia pada suatu periodisasi tertentu, yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perumusan sistem pendidikan yang kondusif dan
dialektis, yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sistem pendidikan yang dimaksud meliputi rumusan
kurikulum yang digunakan, metode pendekatan operasionalisasi dalam interaksi proses belajar mengajar,
sarana dan prasarana yang digunakan untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Diantaranya melakukan
ijtihad tentang kebolehan membuat duplikat makhluk Allah (patung), yang sebelumnya diharamkan oleh para
ulama, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan, yaitu sebagai media pendidikan yang efektif (seperti
pelajaran biologi, geografi, dan sebagainya). Sebab, tidak semua media pendidikan dapat dihadirkan dalam
kelas ketika proses belajar mengajar berlangsung. Namun demikian, nilai-nilai ijtihad tersebut semaksimal
mungkin harus senantiasa tidak bertentangan dengan prinsip pokok ajaran Islam, serta dibungkus rapi dengan
ruh Ilahiah. Proses yang demikian akan membimbing peserta didik semakin meyakini Islam, sehingga seluruh
aktivitas kehidupannya merupakan rangkaian ibadah kepada Khaliqnya.[13]
Untuk perumusan sistem pendidikan yang dialogis dan adaptik, baik karena pertimbangan
perkembangan zaman maupun perkembangan kebutuhan manusia dengan berbagai potensi dan dimensinya
yang dinamis, diperlukan upaya yang maksimal dan sistematis. Proses ijtihad harus merupakan kerja sama
yang padu dan utuh, diantara para mujtahid.
Dalam konteks ini, sosok mujtahid harus merupakan para ahli pada berbagai disiplin ilmu. Dengan
perpaduan tersebut, diharapkan akan lahir suatu sistem pendidikan yang utuh dan integral dan dibungkus rapi
dalam bingkai religius keagamaan. Dengan sistematika yang demikian, akan diperoleh sistem pendidikan yang
cukup kondusif, baik bagi pengembangan kebudayaan manusia dengan berbagai fenomena
yang muncul maupun sebagai piranti dalam mengantarkan peserta didik untuk dapat melaksanakan amanat-
Nya di muka bumi. Lewat proses ini, peserta didik akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki isecara
optimal, yang pada gilirannya mampu menghasilkan berbagai macam bentuk teknologi yang
bermanfaat bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dan segala isinya.
Bila penjelasan di atas dicermati lebih lanjut maka akan dapat terlihat dengan jelas, bahwa eksistensi
sumber atau dasar pendidikan Islam, baik al-Qur’an, Hadits Rasulullah, maupun ijtihad para ulama
merupakan suatu mata rantai yang salingberkaitan antara satu dengan yang lainnya secara integral dan
mewarnai seluruh sistem pendidikan yang dilaksanakan. Proses ini merupakan tindak lanjut untuk
mendapatkan suatu bentuk sistem pendidikan yang ummatik, sebagai langkah lanjut proses mempersiapkan
sumber daya manusia yang berkualitas, baik kualitas intelektual maupun kualitas moral.
Optimalisasi upaya tersebut merupakan tanggung jawab yang cukup berat dan harus dipikul baik
oleh Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama, maupun lembaga pendidikan sosial dan
kemasyarakatan. Kesatuan langkah dan misi ini, akan mampu menempatkan posisi pendidikan, sebagai sarana
yang ampuh bagi proses pemberdayaan manusia. Apabila dari masing-masing komponen
di atas, tidak berjalansecara bersamaan, maka akan mustahil proses pendidikan yang dilaksanakan akan
mampu tugas dan fungsinya secara optimal.
Ijtihad tersebut dapat meliputi berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan dengan tetap
berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan bahasa lain pelaksanaan ijtihad harus tetap mengikuti
koridor yang telah diatur oleh mujtahid dengan tidak boleh bertentangan dengan kandungan al-Qur’an dan al-
Sunnah. Oleh karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu landasan pendidikan islam. Ijtihad dalam
pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengikuti dan mengarahkan perkembangan zaman yang terus berubah,
terasa semakin penting dan mendesak baik yang- menyangkut masalah ini atau materi, sistem, dan
orientasinya.[14]
Oleh sebab itu, teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan
kebutuhan hidup uniat Islam. Misalnya ijtihad Ali Khalil tentang dimensi-dimensi manusia yang harus
dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ali Khalil mengatakan: Dimensi-dimensi manusia yang harus
diperhatikan pendidikan Qur’ani adalah dimensi jasad, dimensi akal), dimensi akidah, dimensi akhlak,
dimensi kejiwaan, dimensi estetika, dimensi sosial kemasyarakatan (al- Ainain 1980: 159).
Ijitihad di bidang pendidikan ternyata semakin penting. Sebab ajaran Islam yang terdapat dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah \ masih bersifat pokok dan prinsip (al-Ainain tt: 159). Bila ternyata ada yang agak
terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan prinsip dan dasarnya. Karena itu,
semenjak zaman Rasulullah telah tumbuh dan berkembang tradisi ijtihad yang dituntut oleh perubahan zaman,
situasi, dan kondisi yang terus tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, ajaran Islam sendiri telah berperang
mengubah kehidupan manusia menjadi kepribadian Islam.
Dewasa ini adalah zaman yang jauh berbeda dari zaman ketika ajaran Islam baru datang. Namun
demikian, seluruh umat Islam meyakini bahwa ajaran tersebut berlaku sepanjang masa, di segala tempat dan
untuk segala kondisi sosial. Kenyataan yang dihadirkan oleh peralihan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. menyebabkan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Sebagai langkah untuk
menyesuaikan dengan perkembangan tersebut, maka ijtihad dalam pendidikan merupa- kan sebuah
keniscayaan. Dengan demikian, ijtihad dijadikan sebagai landasan pendidikan yang terakhir.
4. Kata-kata Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW. dalam keadaan beriman
dan mati dalam keadaan beriman juga. Para sahabat Nabi SAW. memiliki karakteristik yang unik
dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa karakteristik sahabat Nabi
SAW. antara lain: (1) Tradisi yang di- lakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah
dengan Sunnah Nabi SAW.; (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian
besar produk sendiri; (3) Unsur krea'tif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang telah
mengalami kristalisasi dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabt(pendapat sahabat).
Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi SAW. terhadap sesuatu yang bersifat spesifik; dan
(4) Praktik amaliah sahabat identik dengan ijma’ (konsensus umum).[15]
Upaya sahabat Nabi SAW. dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi
perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar al-
Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai
sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanart masyarakat dari pemurtadan dan
memerangi pembangkang dari pembayaran zakat. Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-
Khattab adalah bahwa ia sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam
memperluas wilayah Islam dan memerangi ke zaliman menjadi salah satu model dalam
membangun strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Utsman bin Affan
berusaha untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Al-Qur’an
dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan mushhaf lainnya.
Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti
bagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirali pemuda dalam
belajar, dan demikian sebaliknya.[16]
5. Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashalil al-Mursalah)
Mashalil al-tnursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang
pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan
pertimbangan kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan
menolak kemudaratan. Mashalil al-mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik
maslahat dan menolak nmdarat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat
umum bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.[17]
Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam
sesuai dengan kondisi lingkungan di i mma ia berada. Ketentuan yang dicetuskan
berdasarkan mashalil al-mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetuskan
benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi
dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya; (2)kemaslahatan
yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan
masyarakat, tanpa adanya diskriminasi, misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional di negara Islam atau di negara yang penduduknya mayoritas Muslim; (3) keputusan
yang diambil tidak bertentangan dengan nllai dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya
perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan inanusia di
muka bumi.[18]
6. Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat ( Uruf)
Tradisi (uruf/‘adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun
perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri,
sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh
tabiat yang sejahtera.[19] Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks
dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengeja-
wantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri sejauh di
dalam diri mereka terdapat nilai- nilai kemanusiaaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.[20]

Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat Muslim memiliki corak tradisi
unik, yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sekalipun mereka
memiliki kesamaan agama, tapi dalam hidup berbangsa dan bernegara akan membentuk ciri
unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal dan Islam lokal. Islam
universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasuI-Nya sebagaimana adanya, yang
memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi
muslim dan muslaimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya
masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana
bentuk menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah, atau lain sebagainya.

Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan
Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat: (1) tidak bertentangan dengan
ketentuan nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan
dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan
dan kemudaratan.[21]

B. Dasar Pendidikan Islam


Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk
merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, dasar
operasional pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik
dan administrasi, psikologis, dan filosofis, yang mana keenam macam dasar itu berpusat pada
dasar filosofis.[22] Penentuan dasar tersebut agaknya sekuler, selain tidak memasukkan dasar
religius, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar. Dalam Islam, dasar operasional
segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa
keislaman. Dengan agama maka semua aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai
dasar lain, dan bernilai uhudiyah. Oleh karena itu, dasar operasional pendidikan yang enam di
atas perlu ditambahkan dasar yang ketujuh, yaitu agama.

1. Dasar Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam
bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik.
Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input
tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh.
Firman Allah SWT. dalam QS. al-Hasyr ayat 18: “Dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah di-
perbuatnya untuk hari esok.” Misalnya, bangsa Arab memiliki ke- gemaran untuk bersastra, maka pendidikan
sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi
akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa[23]
2. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosio- Inidaya, yang mana dengan
sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar.
Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan
kebutuhan dan keinginan ma- syarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak ke- liilangan
konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu
merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyeleng- tfarakan format
pendidikan yang baik pula.[24]
3. Dasar Ekonomi
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial,
menggali dan mengatur sumber-sumber, serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran
pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-
sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih suci dan tidak bercampur dengan
harta benda yang syubhat. Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan liasil
pendidikan. Misalnya, untuk pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium
pendidik maupun biaya operasional sekolah, suatu lembaga pendidikan mengembangkan sistem
rentenir. lioleh jadi usahanya itu secara materiil berkembang, tetapi tidak akan berkah secara
spiritual. Peningkatan ilmu pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang
signifikan terhadap perkembangan moral dan spiritual peserta didik. Allah SWT. berfirman
kepada Nabi Dawud as. Dalam Hadis Qudsi: “Hai Dawud, hindari dan peringatkan pada
kaummu dari makanan syubhat karena sesungguhnya hati orang yang memakan
makanan syubhat itu tertutup dari-Ku.” Pada Hadis ini diisyaratkan bahwa penggunaan
liarta syubhat (tidak jelas halal-haramnya) tidak diperbolehkan, apalagi harta yang haram.[25]
4. Dasar Politik dan Administratif
Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang
digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan
bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Dasar ini juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam
rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan atau
kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan
pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan teknis dalam
pelaksanaannya.[26]
5. Dasar Psikologi
Dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak,
karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi, serta sumber daya
manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan
batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan
cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan
indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa
terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.[27]
6. Dasar Filosofis
Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi
arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.
Bagi masyarakat sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat
bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius,
seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dari cara berpikir di bidang
pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dari
nilai ilahiyah.[28]
7. Dasar Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail
telah dijelaskan pada sumber pendidikan I,slum. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan
Islam, sebab dengan dasar ini maka semua kegiatan pendidikan jadi bermakna. Konstruksi
agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pondidikan yang lain, seperti historis,
sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis. Agama
menjadi framebagi semua dasar pendidikan Islam. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan
bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama dan bukan sebaliknya. Apabila agama Islam
menjadi framebagi dasar pmdidikan Islam, maka semua tindakan kependidikan dianggap sebagai
suatu ibadah, sebab ibadah merupakan aktualisasi diri (srIf-actualization) yang paling ideal
dalam pendidikan Islam.[29]
Keberadaan agama, yang diadaptasikan dari Abdul Mujib,[30] di antara dasar-dasar
pendidikan Islam yang lain dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1 di halaman berikut ini.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa agama menjadi sumbu bagi ilnsar operasional
pendidikan Islam. Gambar tersebut memiliki 4 lingkaran: (1) lingkaran (yang paling
dalam)imaniyah-ilahiyyah, ymig intinya berupa rukun iman (iman kepada Allah, malaikat,
kllabullah, rasulullah, hari kiamat, dan takdir); (2) lingkaran (yang lu'dua dari
dalam) ‘ubudiyyah-ilahiyyah, yang intinya berupa rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat,
dan haji) atau dikenal dengan ibadah mahdhah yang tata catanya sudah diatur secara permanen;
(3) lingkaran (yang ketiga dari dalam) mu’amalah-ilahiyyah disebut juga ‘ubudiyyah-
insaniyyah yang intinya berupa dasar yang muncul dari ijtihad manusia (seperti historis,
sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis) yang
pelaksanaannya didasari nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.; dan (4) lingkaran
(yang keempat dari dalam) muamalah-insaniyyah yang intinya berupa aktivitas-aktivitas
pendidikan yang pelaksanaanya didasarkan atas dasar-dasar kemanusiaan (seperti historis,
sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis) tanpa dikaitkan dengan
dasar agama.

Gambar 3.1 Agama dalam Sistem Pendidikan Islam[31]


Keterangan:
1. Lingkaran terdiri atas empat macam, mulai dari yang kecil merupakan lingkaran irnaniah-
ilahiah, ubudiah-ilahiah, muamalah-ilahiah, sampai pada yang besar merupakan
lingkaranmuamalah-insaniah.
2. Setiap lingkaran terbagi enam dasar pendidikan, yaitu historis, sosiologis, politik dan
administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis.
3. Gambar pancaran. Artinya, semakin banyak wilayah yang mengenai pancaran irnaniah-
ilahiah, maka semakin baik nilai kehidupan manusia, baik pada dasar historis, sosiologis, politik
dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis.[32]

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian di atas, pemakalah menyimpulkan dari uraian tersebut dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa sumber pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunah dan ijtihad. Adapun perlunya ijtihad
digunakan karena semakin banyaknya permasalahan yang berkembang sekarang ini dalam bidang pendidikan,
serta diperlukannya pemikiran-pemikiran baru yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. DanTujuan utama pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu
untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu taat dan bertakwa kepadaNya, serta dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sumber pendidikan Islam harus
berpedoman pada dasar hukum Islam itu sendiri yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dua hal itulah yang menjadi
landasan utama dalam pendidikan Islam, dan tentu saja ditambah dengan hasil pemikiran manusia (ra’yu)
sepanjang itu tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan untuk dasar pendidikan islam itu ada 7 yaitu
dasar historis, dasar sosiologis, dasar ekonomi, dasar politik dan administrative, dasar psikologi, dasar
filosofis, dan dasar religious.
B. Saran
Bagi seorang muslim, terutama mereka yang bergelut dibidang pendidikan Islam, disarankan untuk
betul-betul mengetahui dan memahami dasar-dasar, norma atau etika serta harus mampu untuk
mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar agar dapat menghasilkan intelektual muslim yang cerdas,
berwawasan dan taat dalam beribadah, sehingga tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada
Allah serta menjadi khalifah dimuka bumi benar-benar dapat dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asasPendidikan Islam. Jakarta: al-Husna


Magnis Suseno, Frans. 1991. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: Gramedia
Masjfuk Zuhdi, Masjfuk. 1990. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Haji Masagung
Mujib, Abdul. 2006. Ilmu Pendidikan Islam cet.ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media
Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press
Muhaimin. Mujib, Abdul. Mudzakkir, Jusuf. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media
Rada dan Soleha. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Alfabeta

http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-sumber-dan-dasar-pendidikan_35.html

Anda mungkin juga menyukai