Anda di halaman 1dari 5

Makassar,15 Oktober 2019

TUGAS LAPORAN
VIDEO SESION
BLOK BIOETIK

Nama : Ayu Hartati Bakri


Stambuk : 110 2019 0253
Kelas :B
Dosen : Dr.dr. Nasruddin AM, Sp.OG (K) MARS

Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2019
REFLEKSI FILM “7 HATI 7 CINTA 7
WANITA”

7 Hati 7 Cinta 7 Wanita adalah film Indonesia dengan Produser Intan Kieflie
melalui rumah produksi Anak Negeri Films indonesia yang dirilis
pada 2010 dengan disutradarai oleh Robby Ertanto yang dibintangi oleh Jajang C.
Noer dan Marcella Zalianti
Film ini menceritakan kehidupan 7 orang wanita dengan berbagai latar belakang,
masalah kehidupan dan percintaannya. Mulai dari hamil di luar nikah, korban
selingkuh, ditipu pasangan, pekerjaan sebagai pelacur hingga menderita kelainan
seksual.

Kartini adalah dokter kandungan berusia 45 tahun. Masa lalunya yang kelam
membuat ia terjebak di tengah-tengah masalah kehidupan dan percintaan 6 orang
pasien wanitanya yang juga kelam dan tidak bahagia. Namun kebahagiaan hidup
harus diperjuangkan. Walau tidak semua wanita mampu memperjuangkannya dan
kembali menjadi korban.
“7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita” menampilkan kisah para wanita yang menjadi
korban dan ingin melawan. Tema klasik yang tak pernah habis dikupas.
Belum lama ini, seorang dosen ilmu komunikasi di Lampung merilis hasil
penelitiannya mengenai gambaran wanita dalam film Indonesia. Bisa disimpulkan,
penelitiannya menyebutkan adanya kecenderungan film menempatkan perempuan
sebagai obyek seks dan membatasi ruang gerak mereka dalam dunia rumah tangga
semata.
Dalam konteks ini, “7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita” seolah mengajak perempuan
melawan stigma tersebut. Diproduseri Intan Kiefli, film ini menyajikan kisah tujuh
wanita yang terkait satu sama lain di sebuah tempat—rumah sakit. Film ini dibuka
dengan adegan di depan ruang praktik seorang dokter kandungan, Dr. Kartini
(Jajang C. Noer). Sejumlah wanita mengantre. Ada wanita penjaja seks, siswi SMP,
dan wanita berbadan besar yang datang bersama suaminya.
Kisah bergulir dari narasi yang merupakan suara hati Dr. Kartini. Ia bukan dokter
kandungan biasa. Selain memeriksa dan mengobati pasien, ia juga sangat peduli
pada kehidupan personal mereka.
Lewat kepedulian sang dokter, penonton berkenalan dengan para wanita yang
menjadi pasiennya. Ada wanita yang hamil di luar nikah, mengalami kekerasan di
rumah, korban perselingkuhan, perawan tua, penderita kanker, dan seterusnya.
Problem mereka bermacam-macam, tapi ada benang merah yang menyatukannya:
wanita terjebak, terpojok, dan menjadi korban yang cuma bisa pasrah.
Seperti yang dialami Yanti (Happy Salma), wanita yang mengaku ”terpaksa”
menjadi PSK karena setiap kali bekerja ”normal” selalu saja dipaksa tidur oleh bos
atau rekan kerjanya. ”Ini gara-gara body gua,” katanya. Tidak cukup sampai di situ,
ia juga harus terjangkit kanker rahim. Dari mana PSK mendapatkan uang untuk
mengobati kanker rahim? Lingkaran setan pun terbentuk: ia harus bekerja lebih
keras sebagai PSK.
Karakter lainnya, Lyli, adalah korban kekerasan dalam rumah tangga yang terus
saja pasrah walau telah berulang kali dianjurkan Dr. Kartini untuk melapor ke
polisi. Sementara siswi SMP bernama Rara (Tamara Tyasmara), yang digambarkan
masih senang mengisap permen, harus menanggung sendiri beban kehamilan
karena pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Dalam hujan, ia hanya bisa
menangis.
Dr. Kartini pun tidak bebas masalah. Hidupnya terus dihantui problem cinta yang
dilematis di masa lalu yang suram dan lembaga pernikahan yang meragukan.
Sedikit banyak film ini mengingatkan kita pada ”Perempuan Punya Cerita” yang
juga menjadikan wanita sebagai tema utama—ada penderita AIDS, pelajar hamil,
penyanyi dangdut, dan bidan. Bedanya, film ini berisi empat cerita pendek yang
terpisah dan disutradarai empat sutradara perempuan.

Kisah-kisah dalam “7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita” mengalir dengan mulus tanpa


membingungkan penonton. Namun menjelang akhir, sepertinya ada kesan ingin
buru-buru mengakhiri sehingga klimaksnya gagal tercapai. Akting Jajang C. Noer
sebagai dokter nyaris tanpa cacat. Ia bisa bersikap manis pada Dr. Anton (Hengky
Solaiman) yang naksir padanya, bisa juga judes pada dokter kandungan
muda Rohana (Marcella Zalianty).

Setelah menonton film ini, berikut


saya akan mengemukakan pendapat saya tentang aspek Humaniora,
Profesionalisme dan beberapa KDB (Kaidah Dasar Bioetik) terhadap dr. Kartini
dalam film ini.
Aspek beneficence
Dokter kartini berusaha mengambil tindakan yang menguntungkan terhadap
pasiennya serta selalu menciptakan informed consent yang baik terhadap pasien-
pasiennya.
Aspek humaniora
Disini yang sangat menonjol dari sikap dr.kartini ialah aspek humanioranya
dimana ia memanusiakan manusia. Menolong tanpa pamrih serta berusaha
membuat pasiennya kuat dikeadaan terburuk sekalipun.
Aspek profesionalisme
Walaupun ditempat kerja dr. Kartini terdapat dr. Anton yang naksir terhadap
dr.kartini, itu sama sekali tidak mengurangi sifat profesionalisme dr. Kartini. Serta
beberapa kali
dr. Rohana menyinggung dr. Kartini tentang sifat beliau yang selalu saja
mengurusi urusan rumah tangga pribadi pasiennya, tanpa menyadari ada yang
salah terhadap kisah cinta dr. Kartini sendiri. Yaitu ayah dr. Rohana adalah
mantan kekasih dr. Kartini, tapi itu sama sekali tidak membuat dr. Kartini berlaku
semena-mena terhadap dr. Rohana. Sama sekali tidak pernah terucap kata-kata
kasar yang dikeluarkan dr. Kartini terhadap dr. Rohana.
Disisi lain saya pikir sikap dr. Rohana selaku dokter yang mengambil alih kasus
operasi terhadap pasien dr. Anton , sangat tidak profesional karena tanpa adanya
indikasi medis dan hanya bergantung pada contextual futures seorang pasien.
Hubungan dokter pasien
Dokter Kartini saat melakukan pemeriksaan selalu memberi informed consent
terhadap pasiennya. Beliau juga selalu menciptakan suasana yang nyaman buat
pasiennya serta mampu menjaga privasi pasiennya.
Hubungan dokter dengan sejawat
Terlihat beberapa kali dr. Anton dan dr. Kartini melakukan percakapan-
percakapan kecil yang membuat hubungan dokter dengan sejawatnya.
Kesimpulan
Saya melihat dr. Kartini sangat menjunjung tinggi rasa humanisme terhadap
pasiennya serta tidak melihat pasiennya dari segi materi. Tapi berusaha
memanusiakan manusia.
Saya juga melihat Dilema Etik terhadap dr. Anton SpOG pada film ini, yaitu dimana dr.
Anton sekaligus sejawat dari dr. Kartini memiliki pasien bernama Diana pasien tersebut
bersama Ayahnya meminta agar kelahiran bayi dari ibu Diana di percepat karena
memiliki kepercayaan pada tanggal 10-10-2010 adalah hari yang baik untuk lahiran.
Tetapi dr. Anton SpOG menolak karena umur kandungan Diana belum memungkinkan
untuk melakukan sectio caesaria, dimana apabila dr. Anton melakukan sectio caesaria
tersebut maka akan memungkinkan beresiko fatal bagi bayi maupun ibunya. Tapi jika
tidak melakukan operasi maka dr. Anton tidak memenuhi autonomi pasiennya atau ia
tetap menjalankan sikap profesionalismenya sebagai dokter. Disisi lain dr. Rohana selaku
dokter baru di Rumah Sakit tersebut, langsung melakukan Sectio Caesaria kepada Ibu
Diana tanpa adanya informed consent dan mengambil alih pasien dr. Anton tanpa
pesetujuan dr. Anton SpOG terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai