Anda di halaman 1dari 12

Proteinuria

Proteinuria adalah adanya protein didalm urin manusia yang melebihi nilai
normalnya aitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun
dapat mnjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adany penyakit ginjal yang serius.
Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan
kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit
ginjal yang tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urind alam jumlah yang
bervaiasi sedikit dan secara bertanggung jawab untuk metabolism yang serius. Adanya
protein didalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanut untuk
menentukan penyebab atau penyakit dasarnya.

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mg/hari
pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan
proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan
jumlahnya biasanya hanya sedikit diatas nilai normal. Dikatakan proteinuria massif bila
terdapat protein diurin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas
albumin.

Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar
atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang
muncul didalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu :

1. filtrasi glomerulus

2. reabsorbsi protein tubulus

Patofisiologi Proteinuria

Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan dibawah ini:
1. perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari
protein plasma normal terutama albumin
2. kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi
3. filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein
(LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorpsi tubulus
4. sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi igA dalam
respons inflamasi

Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas
pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal
melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas
dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin, dan protein dengan
berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini
rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus).
Protein yang lebih kecil ( <20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorpsi kembali
oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari
protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari, sisa protein pada urin akan
dieksresi oleh tubulus(tamm Horsfall, IgA, dan urokinase) atau sejumlah kecil β-2
mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormone peptide.

Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barrieuntuk


menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membrane basalis
glomerulus manangkap protein bessar (> 100 kDal) sementara foot processes dari
epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk
transport melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein
yang kaya akan glutamate, aspartate, dan asam silat yang bermuatan negarif pada
pH fisiologis. Fungsi foot process meningkatkan tekanan sepanjang membrane
basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi
proteinuria non slekteif atau proteinuria bermakna. Mekanisme lain dari timbulnya
proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi
kapasitas reabsropsi tubulus.
Proteinuria Fisiologis

Proeinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainan atau penyakit


ginjal. Beberapa keadaan fisiolois pada individu sehat dapat menyebabkan
proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang
jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat sementara. Misalnya pada keadaan
demam tinggi, latihan fisk yang kuat terutama lari marathon, saat tranfusi
darah/plasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan
proteinuria massif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus
tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat
hematuria tersebut (proteinuria dapat mencapai lebih dari 1 gram/hari)

Proteinuria Patologis

Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya


pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat
obat-obatan analgetik, dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak
ditemui proteinuria. Walaupun demikian, proteinuria adalah manifesatasi besar
penyakit ginjal dan merupakan indicator perburukan fungsi ginjal. Baik pada
penyakit ginjal diabetes maupun pneyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu
proteinuria dianggap sebagai faktor prognostic yang bermakna dan paling akurat.
Resikor morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna
dengan adanya proteinuria.

Proteinuria yang berat, sering kali disebut massif, terutama pada keadaan
nefrotik, yaitu protein di dalam urin yang mengandung lebih dari 3 gram/24 jam
pada dewasa tau 40 mg/m2/jam pada anak-anak, biasanya berhubungan secara
bermakna dengan lesi/kebocoran glomerulus. Sering pula dikatakanbila protein
didalam urin melebihi 3,5 gram/24 jam. Penyebab proteinuria massif sangat
banyak, yang pasti keadaan diabetes mellitus yang cukup lama dengan retinopati
dan penyakit glomerulus.
Hiperkalsemia

Gangguan Keseimbangan Kalsium

40% kalsium dlama plasma terikat dengan protein, 15% membentuk kompleks dengan
sitral, sulfat dan fosfat, 45% sebagai kalsium ion bebas. Kalsium yang terikat dengan
protein atau disebut juga sebagai kalsium yang tidak dapat terdifusi, 80-90% terikat
dengan albumin. Perubahan kadar protein dalam plasma juga akan mempengaruhi
kadar kalsium yang terikat dengan protein. Peningkatan albumin 1 gram/dl akan
meningkatkan kalsium terikat protein sebesar 0,8 mg/dl, sedang peningkatan globulin
1 gram/dl akan meningkatkan kalsium terikat protein 0,16 mg.dl. Kalsium yang tidak
terikat oleh protein termasuk didalamnya kalsium kompleks dan kalsium ion bebas.
Kalsium ion bebas merupakan kalsium yang aktif secara biologis, kadarnya dalam
plasma sebesar 4 m/dl – 4,9 mg/dl atau 45% dari kadar kalsium total dalam plasma.
Pengambulan sampel darah untuk pemeriksaan kalsium ion bebas membutuhkan darah
segar, diambil secara anaerob, tanpa heparin dan terbebas dari fibrin.

Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal balik antara absorbs usus,


ekskresi dalam urin dan faktor hormonal. Absorbs kalsium terjadi di usus halus
terutama di duodenum dan jejunum proksimal. Abrosi kalsium tidak berlangsung
lengkap di usus dikarenakan absobsi kalsium membutuhkan vitamin D dan juga
terbentuknya ikatan kalsium yang sukar larut seperti kalsium- fosfat, kalsium – oksalat.
Ekskresi kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus
(kalsium ultrofiltrable) dan kalsium yang direabsopsi oleh tubulus. Asupan dan
ekskresi natrium dlaamurin akan mempengaruhi ekskresi kalsium urin. Ekskresi
natrium yang meningkat pada keadaan peningkatan volume cairan ekstrasel akan
meningkatkan ekskresi kalsium urin. 97 – 99% dari total kalsium yang difiltrasi oleh
glomerurulus akan direabsopsioleh tubulus. Faktor hormonal yang mempengaruhi
kalsium diperankan oleh vitamin D dengan metabolit aktifnya 1,25-
dihidroksikoleskalsiferol yang disebut juga kalsitriol dan hormone paratiroid.
Kalsitriol yang bersirkulasi dalam darah merupakan pengatur utama absorbs kalsium
di usus. Hormone paratiroid berperan utama dalam mengatur kadar kalsium dalam
darah. Melalui efek umpanbalik perubahan kadar kalsium ion, akan mempengaruhi
sekresi hormone paratiroid yang kemudian menembalikan kadar kalsium ion dalam
batas normal. Efek vitamin D pada tulang ada dua yaitu :

1) Membantu mineralisasi matriks tulang organic


2) Membantu mobilisasi kalsium tulang untuk meningkatkan kadar kalsium
plasma yang tidak berhubungan dengan kemampuan absobsi kalsium diusus.
Vitamin D juga meningkatkan reabsopsi kalsium ditubulus ginjal.

Hiperkalsemia sering menyertai penyakit – penyakit seperti : Hiperparatiroidisme,


tumor ganas, intoksikasi vitamin D, intoksikasi Vitamin A, sarcoidosis,
hipertiroidisme, insufisiensi adrenal, sindrom milk alkali

Diagnosis

Pemeriksaan hormone paratiroid perlu dilakukan untuk membedakan penyebab


hiperkalsemia apakah oleh hiperparatiroid primer atau bukan oleh hiperparatiroid oleh
keganasan, intoksikasi vitamin D, obat – obatan, atau oleh penyakit seperti hipertiroid,
insufisiensi adrenal.

Pengobatan Hiperkalsemia

A. Meningkatkan eksresi kalsium melalui ginjal


Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis. Pemberian cairan ini akan
meningkatkan volume cairan ekstraselular yang umumnya rendah akibat
pengeluaran urin berlebihan disebabkan induksi oleh hiperkasemia, muntah –
muntah akibat hiperkalsemia
B. Menghambat resorbsi tulang
 Kalsitonin menghambat reopsi tulang, dengan cara menghambat maturase
osteoklas. Diberikan intramuscular atau subkutan setiao 12 jam dengan
dosis 4 IU/kgBB
 Bifosfonat menghambat aktivitas metabolic osteoklas dan juga bersifat
sitotoksik terhadap osteoklas
 Gallium nitrat – menghambat resopsi tulang oleh osteoklas degan
memnghambat pompa proton “ATPase dependent” pada membrane
osteoklas

Mengurangi absropsi kalsium dari usus. Kortikosteroid : prednisosn 20 -40 mg/hari.


Berkerja dengan cara mengurangi produksi kalsitriol oleh paru dan kelenjar limfe yang
diaktivasi produksinya oleh sel mononuklir. Kalsium serum dapat turun dalam 2 – 5
hari

C. Hemodialisis atau dialysis peritoneal


DIalisis efektif menurunkan kadar kalsium dengan memakai dialisa bebas
kalsium. Merupakan pilihan terakhir terutama untuk hiperkalsemia berat
khususnya disertai insufisiensi ginjal atau pada gagal jantung dimana
pemberian cairan dibatasi,

Dislipidemia
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid yang ditandai
dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan
fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total (Ktotal),
kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol HDL
(K-HDL). Agar lipid dapat larut dalam darah, molekul lipid harus terikat pada
molekul protein (yang dikenal dengan nama apoprotein, yang sering disingkat
dengan nama Apo. Senyawa lipid dengan apoprotein dikenal sebagai
lipoprotein. Tergantung dari kandungan lipid dan jenis apoprotein yang
terkandung maka dikenal lima jenis liporotein yaitu kilomikron, very low
density lipo protein (VLDL), intermediate density lipo protein (IDL), low-
density lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein (HDL). Dari total
serum kolesterol, K-LDL berkontribusi 60-70 %, mempunyai apolipoprotein
yang dinamakan apo B-100 (apo B). Kolesterol LDL merupakan lipoprotein
aterogenik utama, dan dijadikan target utama untuk penatalaksanaan
dislipidemia. Kolesterol HDL berkontribusi pada 20-30% dari total kolesterol
serum. Apolipoprotein utamanya adalah apo A-1 dan apo A-II.

Klasifikasi Dislipidemia(7)

Berbagai klasifikasi dapat ditemukan dalam kepustakaan, tetapi yang mudah


digunakan adalah pembagian dislipidemia dalam bentuk dislipidemia primer dan
dislipidemia sekunder. Dislipidemia sekunder diartikan dislipidemia yang terjadi
sebagai akibat suatu penyakit lain. Pembagian ini penting dalam menentukan pola
pengobatan yang akan diterapkan. 2.3.1. Dislipidemia primer(7) Dislipidemia primer
adalah dislipidemia akibat kelainan genetik. Pasien dislipidemia sedang disebabkan
oleh hiperkolesterolemia poligenik dan dislipidemia kombinasi familial. Dislipidemia
berat umumnya karena hiperkolesterolemia familial, dislipidemia remnan, dan
hipertrigliseridemia primer. 2.3.2. Dislipidemia sekunder(6) Pengertian sekunder
adalah dislipidemia yang terjadi akibat suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme,
sindroma nefrotik, diabetes melitus, dan sindroma metabolik (tabel2). Pengelolaan
penyakit primer akan memperbaiki dislipidemia yang ada. Dalam hal ini pengobatan
penyakit primer yang diutamakan. Akan tetapi pada pasien diabetes mellitus
pemakaian obat hipolipidemik sangat dianjurkan, sebab risiko koroner pasien tersebut
sangat tinggi. Pasien diabetes melitus dianggap mempunyai risiko yang sama
(ekivalen)dengan pasien penyakit jantung koroner. Pankreatitis akut merupakan
menifestasi umum hipertrigliseridemia yang berat.
Terapi Non-Farmakologis 1. Aktivitas fisik Aktifitas fisik yang disarankan meliputi
program latihan yang mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas
sedang (menurunkan 4-7 kkal/menit) 4 sampai 6 kali seminggu, dengan pengeluaran
minimal 200 kkal/ hari. Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat, bersepeda
statis, ataupaun berenang. Tujuan aktivitas fisik harian dapat dipenuhi dalam satu sesi
atau beberapa sesi sepanjang rangkaian 16 | Panduan Pengelolaan Dislipidemia di
Indonesia - 2015 dalam sehari (minimal 10 menit). Bagi beberapa pasien, beristirahat
selama beberapa saat di selasela aktivitas dapat meningkatkan kepatuhan terhadap
progran aktivitas fisik. Selain aerobik, aktivitas penguatan otot dianjurkan dilakukan
minimal 2 hari seminggu. 2. Terapi Nutrisi Medis Bagi orang dewasa, disarankan untuk
mengkonsumsi diet rendah kalori yang terdiri dari buah-buahan dan sayuran (≥ 5 porsi
/ hari), biji-bijian (≥ 6 porsi / hari), ikan, dan daging tanpa lemak. Asupan lemak jenuh,
lemak trans, dan kolesterol harus dibatasi, sedangkan makronutrien yang menurunkan
kadar LDL-C harus mencakup tanaman stanol/sterol (2 g/ hari) dan serat larut air (10-
25 g /hari). 3. Berhenti merokok Merokok merupakan faktor risiko kuat, terutama untuk
penyakit jantung koroner, penyakit vaskular perifer, dan stroke. Merokok mempercepat
pembentukan plak pada koroner dan dapat menyebabkan ruptur plak sehingga sangat
berbahaya bagi orang dengan aterosklerosis koroner yang luas. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa merokok memiliki efek negatif yang besar pada kadar KHDL dan
rasio K-LDL/K-HDL. Merokok juga memiliki efek negatif pada lipid postprandial,
termasuk trigliserida. Berhenti merokok minimal dalam 30 hari dapat meningkatkan
K-HDL secara signifikan

Terapi farmakologis Prinsip dasar dalam terapi farmakologi untuk dislipidemia baik
pada ATP III maupun ACC/AHA 2013 adalah untuk menurunkan risiko terkena
penyakit kardiovaskular. Berbeda dengan ATP III yang menentukan kadar K-LDL
tertentu yang harus dicapai sesuai dengan klasifikasi faktor risiko, ACC/AHA 2013
tidak secara spesifik menyebutkan angka target terapinya, tetapi ditekankan kepada
pemakaian statin dan persentase penurunan K-LDL dari nilai awal. Hal tersebut
merupakan hasil dari evaluasi beberapa studi besar yang hasilnya menunjukkan bahwa
penggunaan statin berhubungan dengan penurunan risiko ASCVD tanpa melihat target
absolut dari K-LDL(16) . Namun demikian, jika mengacu kepada ATP III, maka selain
statin, beberapa kelompok obat hipolipidemik yang lain masih dapat digunakan yaitu
Bile acid sequestrant, Asam nikotinat, dan Fibrat dengan profil sebagai berikut :

Azotemia

Azotemia adalah kelainan biokimia berupa peningkatan kadar kreatinin dan nitrogen
urea darah dan berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerular. Azotemia dapat
disebabkan oleh banyak penyakit. Berasarkan lokasi penyerbab, azotemia dibagi
menjadi azotemia prarenal dan azotemia pasca renal.

Azotemia pra-renal adalah keadaan peningkatan kadar ureum yang disebabkan


Hipoalbuminemia
Albumin serum adalah protein dengan berat molekul sekitar 65.000 Da dan
terdiri dari 584 asam amino. Albumin adalah protein plasma yang paling
banyak beredar di tubuh manusia.14 Albumin memiliki beberapa fungsi
penting, antara lain:
• Albumin merupakan 50% dari kandungan protein plasma dan menjaga
75- 80% tekanan onkotik koloid plasma,
• Albumin membawa berbagai substansi, termasuk bilirubin, asam lemak,
logam, ion, hormon, dan obat,
• Perubahan kadar albumin mempengaruhi fungsi platelet.14
Rentang nilai normal albumin serum adalah antara 3,5-4,5 g/dl, dengan
kandungan total dalam tubuh sebanyak 300-500 g. Sintesis albumin hanya
terjadi di sel-sel hati dengan kecepatan sekitar 15 g/hari pada orang sehat,
namun kecepatan sistesis ini dapat bervariasi sesuai variasi stress fisiologis.
Protein ini memiliki waktu paruh 21 hari dengan kecepatan degradasi sekitar
4% per hari. Albumin terutama dimetabolisme di endotel vaskular.14
Kadar albumin serum bergantung pada laju sintesis, jumlah yang disekresi oleh
sel hati, distribusi pada cairan tubuh dan derajat degradasi. Hipoalbuminemia
terjadi akibat gangguan pada satu atau lebih dari proses-proses tersebut.
Albumin serum merupakan indikator prognostik yang penting. Pada pasien
yang dirawat di rumah sakit, kadar albumin serum yang rendah berkorelasi
dengan peningkatan risiko morbisitas dan mortalitas.14
Hipoalbuminemia merupakan masalah umum pasien dengan kondisi medis
akut atau kronik. Pada waktu pertama datang ke rumah sakit, 20% pasien
memiliki hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat disebabkan berbagai
kondisi, termasuk sindrom nefrotik, sirosis hati, gagal jantung, luka bakar,
malabsorpsi, malnutrisi, kehamilan akhir, dan keganasan. Meskipun demikian,
kebanyakan kasus hipoalbuminemia disebabkan respons inflamasi akut dan
kronik
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ....................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................23
3.1 SLE ...................................................................................................................23
3.2 NEFRITIS LUPUS ..........................................................................................46
3.3 ILEUS PARALITIK ........................................................................................56
3.4 AZOTEMIA .....................................................................................................58
3.5 HIPERKALSEMIA .........................................................................................61
3.6 HIPOALBUMINEMIA ...................................................................................63
3.7 PROTEINURIA ...............................................................................................64
3.8 DISLIPIDEMIA ...............................................................................................67
BAB IV ANALISA KASUS..................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................77

Anda mungkin juga menyukai