Anda di halaman 1dari 39

1

RAIN IN MY HEART

Nora Pramartasari
2

PROLOG

Bulan Desember, tepatnya hari Jum’at di penghujung tahun. Malam yang kelam, ramai,
namun mencekam. Cukup mencekam hati sosok wanita muda, menusuknya hingga ke kalbu,
menyesakkan. Sakit menghujam hati, perih teriris. Kedua kakinya dipaksakan melangkah
menyusuri jalanan lorong putih dan panjang, ramai oleh sosok berjas putih menyambut
kedatangannya dengan mata syahdu dan kosong, pupus tanpa harapan. Tertatih-tatih ia
menyeret kedua kakinya yang enggan menuruti perintah pemiliknya untuk terus melangkah.
Suasana yang mencekam, dikelilingi nuansa putih bisu, ditemani hujan deras yang turun
menghantam atap bangunan luas itu tanpa ampun sehingga menimbulkan suara gaduh. Bau
khas hujan, menyengat di ujung hidung mancung wanita muda yang bernama Laras itu.
Langkahnya seketika terhenti, tempat tujuan masihlah jauh di pelupuk mata, kamar nomor
312, enggan ia menujunya. Mencium bau hujan membuatnya semakin berat hati melangkah,
matanya seketika terpejam, kedua kakinya jatuh lemas, tubuhnya jatuh terkulai namun tetap
bertenaga walau sedikit dan terbungkam di atas kursi besi panjang di salah satu pinggir sudut
ruangan lorong panjang tersebut. Sosok-sosok berjas putih tersebut hanya diam, termangu,
tak enak hati mendekati gadis muda dan mungil itu. Laras menopang wajah manisnya dengan
tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang dada, matanya terpejam, tak terasa
kembali mengalir deras air mata di sela ujung kedua matanya, sakit.

“Hujan, hujan datang lagi. Hujan, hujan, hujan, hujan . . . .!” ucap Laras sedikit berteriak,
namun diurungnya sambil membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Sesak di dadanya
semakin menjadi, membuncah, air mata semakin tak terbendung mengalir deras membasahi
pipi tirusnya. Nafasnya tersenggal, menahan luapan kesedihan tiada akhir.

“Biarkan kali ini aku menangis ya, tolong biarkan kali ini saja aku menangis, tolong mengerti
kondisiku saat ini, tolong biarkan aku menangis, tolong untuk kali ini rinduku semakin
menjadi, sedihku tak terbendung, tolong . . . .” seketika ucapan lirihnya terhenti. Kedua
matanya membuka, lalu menatap jendela panjang tanpa pembatas besi tepat di hadapannya,
tampak derasan air hujan yang turun terpantul cahaya lampu pinggir jalan, putih dan indah.
Terlihat sosok bayangan gadis muda terkulai lemah di hadapan kaca tersebut, matanya
sembab, bibirnya pucat begitu juga wajahnya.

“Biarkan aku menangis, karena alam tahu isi hatiku sekarang. Setelah itu, biarkan hujan ini
yang menghapus lukaku, biarkan aku lemah untuk saat ini, paman . . .”
3

1. Damar Wijaya Kusuma

Bandar Lampung, 23 Desember 1997 pukul 20.19 WIB.

Pusat ibu kota Provinsi Lampung tepatnya provinsi yang terletak paling ujung Pulau
Sumatera. Suasana malam yang mulanya ramai kini mendadak sepi, senyap. Hujan dengan
derasnya mengguyur kota tersebut. Anginnya bertiup kencang, menggoyahkan pohon-pohon
bungur yang telah tertata rapi tertanam di pinggir jalan. Menggetarkan bulu kuduk bagi
siapapun yang mengenai anginnya. Malam itu suasana agak mencekam, gelap gulita hampir
di seluruh bagian penjuru ibu kota tersebut, pemadaman massal karena rusaknya salah satu
jalur listrik pusat PLN akibat hujan badai dan petir yang terus menyerang silih berganti tiada
ampun.

Di sudut salah satu motel kota tersebut, kamar nomor 4, tampak sosok lelaki muda 20 tahun,
menggunakan setelan kemeja putih dan celana dasar hitam itu duduk menyila menghadap
jendela persegi panjang berkusen besi putih, memandang derasnya hujan yang turun bak
serbuan ribuan serdadu, berisik. Tangan kanannya memegang dahi sambil sekali-kali
memijatnya lembut. Kedua matanya terpejam, dahinya mengkerut, seolah sedang berpikir
keras, ya dunia dan masalah yang dihadapinya saat itu benar-benar keras, sulit untuk
dipecahkan. Bertemankan lilin putih yang ujung api orangenya terus bergoyang menggoda
lelaki muda itu agar mau merilekskan diri sementara di tengah permasalahan yang
merundungnya saat ini.

Sayang, itu tak mampu menggoda lelaki muda bernama Damar Wijaya Kusuma itu. Di
usianya yang masih belia, 20 tahun tetapi sudah memangku beban pekerjaan yang cukup
berat, sebagai asisten manajer hotel pribadi milik almarhum kakeknya, hotel bintang lima
yang cukup tersohor se-antero Indonesia dan bertempat di ibu kota, Jakarta. Dia memilih
kuliah menyambi amanat pekerjaan dari mendiang kakeknya sebelum meninggal dunia. Ya
lebih tepatnya Damar adalah satu-satunya keturunan keluarga Wijaya Kusuma yang paling
antusias bekerja di bidang manajemen perhotelan, meneruskan warisan keluarga. Ayah
Damar sudah meninggalkan dunia ini ketika usianya baru menginjak 2 tahun, jadilah Damar
anak satu-satunya bagi bunda, panggilannya untuk malaikat tanpa sayap yang telah
melahirkan dan merawatnya di dunia ini.

Dahinya semakin berkerut, diremasnya dua lembar kertas putih dengan tangan kirinya.
Kepalanya pusing, pusing akan resiko yang terjadi jika pilihan tindakannya salah. Dibukanya
4

kembali surat putih nan lecak tersebut, dibukanya kembali kedua matanya sambil dengan
seksama menggerakkan kedua bola matanya membaca untaian kata-kata yang saat itu mampu
menusuk hati serta batinnya, sakit. Dunia yang sudah keras, kisahnya yang keras,
menghantam keras relung hatinya, sakit dan sesak terasa amat. Berat, ya berat untuk dialami
oleh laki-laki muda seusianya.

“Untuk seseorang yang sudah rela menantiku,

menanti ketidakpastian harapan dan kisah yang kuberikan,

ketidakpastian balasan cinta yang mungkin bisa kuberikan,

ketidakpastian janji yang harus kutepati, seseorang yang ku sebut malaikat hujan.

Seseorang yang masih sangat muda, namun dewasa menyikapi hal kerasnya dunia yang
sudah mampu dihadapinya saat ini.

Lelaki muda nan tangguh yang pertama kali dan mungkin untuk terakhir kali yang pernah
kutemui seumur hidupku, satu-satunya.

Lelaki muda pecinta hujan, romantis sekali.

Tapi, seluruh kelebihanmu di mataku tidak bisa menghapus takdir yang sudah membelenggu
kita selama ini. Kita sudah terikat kuat oleh takdir perpisahan. Aku dengan tulus
mencintaimu, kau juga begitu kan? Mencintai wanita yang lebih tua lima tahun darimu ini?
Wanita yang berlainan denganmu, membenci hujan. Kita sudah lengkap, bahkan cukup untuk
saling melengkapi. Tidak, aku tidak tahan dengan takdir ini.

Hei, kamu Damar, kamu tega dan harus bertanggungjawab atas perasaan ini. Semakin
mencintaimu, aku semakin merasa bersalah, namun semakin aku bahagia, bahagia di atas
penderitaan orang lain. Aku tahu, ini akibatnya. Aku merasakan karma Tuhan. Sudah jelas
Tuhan menciptakan takdir masing-masing, tapi aku terlalu egois dengan keadaan. Aku saat
ini menyerah dengan hukuman Tuhan, dan siap melanjutkan takdirku. Mungkin nasib sial dan
buruk membayangiku selama ini, kehadiranmu tak akan mampu mengubah keadaan yang
memang sudah ditakdirkan. Terima kasih, rasa ini cukup membuatku mengerti apa makna
cinta sesungguhnya, bukan karena ego ataupun nafsu, jujur, yang kurasakan tulus.

Tapi, maaf Damarku. Ingat, aku ingin kembali lagi ke keadaan semula, takdir yang
membelenggu yang membuat kita terpisah. Cukup dosa besar yang merasuki tubuhku dan
5

karma ini yang kurasakan, aku sudah lelah. Kamu harus terus hidup sehat, sukseskan urusan
bisnismu, dan kembalilah ke Jakarta. Jangan hiraukan aku dan kehidupanku, cukup aku yang
menanggung. Jangan cari tahu sumber permasalahan ini, nanti kamu akan sakit, cukup aku
saja. Aku mencintaimu, sampai kapanpun. Jika terlahir kembali, jika memang ada hal seperti
itu di dunia ini, jika Tuhan mengijinkan, aku ingin kembali mencintaimu, sungguh tidak ada
gombalan di dalamnya.

Terima kasih untuk waktu satu tahun keberadaanmu di kota ini.

Terima kasih atas kenangan dan kebahagaiaan tulus yang kamu berikan.

Terima kasih kamu menjadi tegar dan dewasa dan berubah menjadi lelaki tangguh.

Terima kasih sudah menginspirasi hidupku.

Terima kasih,

Terima kasih,

Terima kasih, sudah mampir dan mengisi hatiku.

Aku mohon,

kembalilah ke Jakarta. Teruskan urusan bisnis dan kuliahmu. Aku ingin kamu sukses dan
terkenal, lalu mendapatkan jodoh yang sepadan denganmu, oh tidak, tetapi jodoh yang
dengan tulus mencintaimu dan mampu menerima segala keadaan dan kekuranganmu, ya
walau aku tahu kamu tidak ada kekurangan sedikitpun di mata wanita muda.

Damarku, sayangku, maaf . . . .

Terima kasih dan maafkan aku. . .

Bandar Lampung, 22 Desember 1997.

Dari wanita muda yang telah mencuri hatimu sementara waktu,

Ratna Tri Apsari”


6

Diremasnya kembali kertas putih itu, kembali lecak tak berbentuk. Kedua tangan Damar
mengepal erat, berkali-kali dia berusaha mengatur pola nafasnya yang tak karuan, hirup lalu
hempaskan perlahan. Dadanya terasa sesak, keringat dingin semakin mneyucur deras
membasahi tubuh jangkungnya, bibirnya bergetar hebat, dipejamkannya kedua matanya,
sakit. Sakit akan keadaan, keadaan yang menuntutnya untuk menjalani hal berat.

“Ratnaaaa?! Tidak, ini tidak benarkan? Ini? Bagaimana aku?! Bagaimana kalau aku tidak
mau?! Bagaimana kalau aku, aku ingin melawan takdir yang telah mengikat kita selama ini?
Aku, aku tidak bisa, tidak bisa menjauhimu, apalagi melupakanmu, Ratna. Apa kamu bahagia
jika keinginanmu tercapai, hah?!” ucap lirih Damar sambil berkali-kali memukul keras meja
persegi panjang terlapis kaca tebal sehingga tanpa disadarinya kaca tersebut retak lalu pecah,
ya melukai kedua tangan lelaki muda itu. Sakit, sakit memang. Namun tak sebanding
sakitnya hati dan gundah gulananya hidup yang ia alami saat itu. Darah bersimbah merah
segar di tangan kanannya, di tatapnya tangan itu, kosong.

“Luka ini, jika ada kamu Ratna kamu pasti sudah khawatir setengah mati seperti biasanya.
Tapi, kamu sepertinya benar-benar sudah tidak peduli. Apa boleh buat?! Aku yang masih
terlalu muda ini terlalu egois, arogan, dan sembrono. Wajar kamu menjauh. Itukan maumu?!
Jangan pernah menyebutku malaikat hujan, aku terlalu berdosa, tapi aku menyukai hujan,
cukup itu Ratna. . . . .” ucapannya kali ini benar-benar lirih, bahkan seperti tersekat di ujung
tenggorokannya, sakit. Di tatapnya bayangan diri tubuh lelaki muda berhati rapuh itu,
dibayangi hujan yang deras menurun.

”Hujan, haha kamu bena-benar mengerti perasaanku saat ini. . .” kata-kata yang terlontar dari
mulutnya kini terdengar lebih tegas, ya menjadi sedih hingga berlarut tiada berarti, menyiksa
hidup.

Dipandangnya lagi tangan kanannya, darah dan berwarna merah, dipandangnya dengan
tatapan sedikit sendu, matanya berkaca.

“Cinta, perasaan apa itu?! Apakah ada cinta tapi rela melepaskan?! Konyol, sungguh konyol.
Aku tahu, aku tahu mengapa kamu menjauh Ratna, tapi kamu tidak siap mengambil tindakan
bersamaku, dan menanggungnya bersama. Kamu, sudah menyerah. Lalu aku harus
bagaimana?! Ikut menyerah juga? Haha, pada akhirnya aku yang dicampakkan, aku tahu . . .”
7

Tanpa terasa buliran air matanya menetes, dadanya sesak, sesak sekali, sakit.
Ditundukkannya kepala, tangan kirinya meremas dadanya, nafasnya terisak, terasa hampa,
benar-benar sakit. Hujan sungguh mengerti perasaannya saat itu, di saat tiada manusia yang
mau berempati dengan perasaan dan permasalahannya, Tuhan dengan adil dan penuh kasih
sayang menurunkan hujan, ya sebagai pelipur lara bagi yang bersedih dan memahami rasa
bersyukur mengapa hujan diturunkan.

Damar dengan langkah gontai berusaha sekuat tenaga meraih lampu senter berwarna merah
dan berbentuk kotak yang terpasang terbalik di atas meja, dihidupkannya, nyalalah sinar putih
bergaris lurus ke depan siap menerangi dan menemaninya, menemani sementara waktu untuk
menghapus duka hatinya. Tujuannya tidak jauh, menuju halaman motel dan ikut bermandikan
hujan. Meski hatinya sakit, kepalanya terasa panas. Ya dunia saat itu terasa berputar cepat,
membuat gesekan hebat antara hati dan pikiran yang akhirnya menimbulkan konflik batin
yang tidak pernah usai, hatinya terluka, berharap hujan yang nyatanya mampu
menghilangkan debu di jalanan, juga mampu menghilangkan dan membersihkan hati lelaki
itu. Membersihkannya dari rasa sakit, sakit menghadapi kenyataan, penolakan cinta.

Langkah kakinya yang bermula pelan kini tampak berlari-lari kecil, beralaskan sepatu
pantopel hitam, di atas halaman rumput motel itu ia menari-nari kecil, bagaikan anak kecil
yang amat bahagia, lupa dengan luka dan sakit yang dirasakannya. Direntangkan kedua
tangannya, lalu wajahnya menengadah ke langit, lalu dinaikkan tangannya, seolah-olah
menunjukkan ke langit bahwa tangan kanannya terluka.

“Hujan, bilang ke Penciptamu ya, yang saat ini terluka tangan kananku. Jangan khawatirkan
hatiku, tanganku yang berdarah, bukan hatiku. Jadi tolong ya hapuskan lukanya, luka di
tangan ini. Aku tidak mau menghapus luka di hatiku yang tidak berdarah ini, biarkanlah
tertanam di batin dan pikiranku selamanya, karena bagaimanapun aku tidak bisa melupakan
wanita itu. Ya, aku memang bodoh, benar-benar terasa panas kepalaku saat ini, jadi aku
mohon dinginkanlah juga ya kepalaku, aku tahu kamu pasti bisa, setelah itu aku janji
berusaha untuk bahagia, hujan, aku menyukaimu, sungguh, jangan cemburu ya meski aku
lebih mencintai wanita lain, kamu tetap prioritas favoritku. . . . .” celotehnya bagaikan anak
kecil, amat bahagia.

Kebahagiaan Damar di bawah hujan hanyalah ilusinya, bohong. Mana bisa hujan menghapus
semua sakitnya, itu hanya hiburan baginya untuk sementara waktu. Dia melanjutkan lari-lari
kecilnya, tubuhnya basah kuyup, tapi ia riang, bahkan tidak malu dipandang aneh oleh
8

pasangan muda-mudi yang menatapnya heran saat itu sambil bergandengan tangan dan
berteduhkan oleh payung. Bahkan tak jarang pasangan tua yang lewat memandang geli
kepada Damar. Damar cuek, bahkan sempat menggoda seorang ibu tua dan tambun dengan
wajah yang tak terlukis sedikit pun senyum di wajahnya untuk ikut menari bersama di bawah
hujan. Ocehan jelas didapatnya dari wanita asing itu, tapi Damar tampak bahagia bahkan
sampai tertawa terbahak-bahak. Ya sekali lagi, semakin berusaha seseorang tampak bahagia
bahkan tertawa di hadapan orang lain di tengah kondisi yang biasa tiada hal istimewa pun,
tawa dan bahagianya hanyalah kebohongan. Sedih, sakit, dan perih, itu perasaan yang ia coba
sembunyikan dari orang-orang di sekitarnya.

“Aku berjanji, akan menepati permintaanmu Ratna, aku janji aku bisa. Katamu lelaki yang
tangguh ialah lelaki yang sanggup menepati permintaan wanitanya demi kebaikan lelaki itu
sendiri kan?! Tapi satu hal yang tidak mungkin kulupakan, yaitu melupakanmu. Doakan,
semoga aku bisa menemukan tambatan hati yang mampu mengisi hatiku. Semoga kamu dan
aku bahagia, bahagia dengan jalan hidup dan takdirnya masing-masing. Ratna . . . .” batin
Damar seketika berhenti, kini ia termangu, menghentikan tariannya, menundukkan kepalanya
dan menatap kedua kakinya. Kedua tangannya kembali dikepal tepat di sisi kiri-kanan saku
celananya, tatapannya kosong.

“Cinta boleh, tapi ingat jangan bodoh Damar. Jangan menjadi bodoh, Damar. . . .” ucapnya
lirih sambil tertawa kecil yang tersungging di bibirnya, dan tanpa disadari ia menyeka kedua
matanya, entah karena air mata yang seakan kembali mau menetes atau air hujan yang sedari
tadi membasahinya.

Hujan saat itu benar-benar deras, bahkan sampai menyebabkan pandangan mata menjadi
kabur, angin bertiup lumayan kencang, manusia normal pun takut berdiam diri di bawah
hujan saat itu. Namun Damar lain, rasanya dunia akan hancur saat itu ketika ia tidak
merasakan hujan, hujan yang dirasanya mampu mendinginkan hatinya dari gundah gulana
untuk sementara waktu. Ya, bermain air hujan adalah kebiasaan Damar sejak usianya tujuh
tahun, bersama bunda tersayangnya. Kata Bunda, hujan memang mulanya bisa membawa
sakit bagi anak-anak yang belum terbiasa, namun makin sering bermain hujan maka sakit itu
akan hilang, karena tubuh sudah kebal. Sama halnya dengan hidup, ketika manusia sudah mulai
merasakan sakit akan kehidupan yang fana dan keras ini, maka biasakanlah, ketika sakit yang
sama kembali lagi, manusia itu akan kuat dan hebat untuk mengadapinya. Menjadi manusia
tangguh, sudah terbiasa tersakiti lalu menjadi hebat dan kuat melawan sakit itu. Hujan adalah
9

keberkahan, hujan adalah kenikmatan, dan hujan adalah anugerah dari-Nya untuk ciptaan-
Nya di bumi yang selalu haus, haus akan kepastian dan penyejukan hati.

2. Hujan dan Mawar Merah

02 Desember 2016 pukul 14.38 WIB.

Bandara Radin Intan 2, di area parkir bandara tersebut amat ramai oleh hiruk pikuk manusia
yang sibuk oleh kesibukannya masing-masing, ada yang sibuk menunggu jemputan sanak
saudara, sibuk mencari-cari penjemput, sibuk menarik koper-koper yang tidak tahu seberapa
berat, bahkan ada juga sampai tertidur pulas di kursi panjang yang tertata di sepanjang
pinggir lorong bandara. Tampak sosok laki-laki dewasa, bersetelkan kemeja putih, celana
dasar panjang hitam, dasi biru tua bermotif lurik, sepatu pantopel hitam, menjinjing koper
besar abu-abunya di sepanjang parkir sambil tangan kanannya sibuk merogoh mencari kunci
mobil di saku celana kanan, kepalanya dimiringkan ke kanan sehingga menempel ke bahu
untuk menyempit handphone di telinganya, sibuk menerima telepon dengan wajah sumringah
walau tampak sedikit lelah.

“Iya bunda, anakmu ini sudah sampaiiiii kok . . . ”

“Kamu ini dadakan banget sih perginya, kapan kamu punya jodoh, bundamu ini udah 60
tahun ini loh nak, . . .”

“Bunda katanya mau sabar buat anakmu ini hehehe”

“Ya sabar sih sabar, tapi inget loh umurmu itu sudah 39 tahun, sudah mau kepala empat.
Sudah sepantasnya punya tiga anak sekarang ini. Jangan kerja terus yang kamu pikirin!”
jawab bunda di seberang telepon dengan nada yang sedikit tinggi.

“Iya bunda, telingaku masih normal kok jangan teriak-teriak gitu dong nanti serem loh seperti
mak lampir hehehe. Tapi walau sudah mau kepala empat, wajahku masih seperti boyband
Korea kan bunda? Masih imut-imut seperti bunda hehehe” jawab kembali Damar dengan
nada bercanda sambil terkekeh-kekeh. Terdengar di seberang telepon bunda juga tertawa
bahkan sangat keras, kalau sudah bercanda begini bunda lupa akan amarahnya. Itulah
kebiasaannya.
10

“Nak, kamu kembali ke Lampung tidak mungkin karena urusan kerja saja kan? Di Jakarta
pekerjaanmu jauh lebih banyak, tapi kenapa kamu serahkan semuanya ke Adimas?” tanya
bunda sedikit curiga.

“Iya bunda, aku mau meneruskan usaha kafe kopi yang baru aku buka di sini, aku mau rehat
sementara dari pekerjaanku di sana, mau refreshing, hmm sekalian mauuuuu. . . .” henti
ucapan Damar sambil tersenyum simpul menggoda.

“Sekalian apa Damar?!” tanya Bunda penasaran.

“Sekalian mau cari jodoh hehehe. Biar bunda nggak cerewet terus nih ke Damar, hehehe”

“Hahahaha! Serius yah nak, beneran loh. Bunda tunggu. Ya sudah bunda mau lanjut masak
dulu, kamu sih pergi jadi percuma bunda masak banyak-banyak sayurnya”

“Ya sudah bunda Damar minta maaf deh hehe, abisin yah bunda sayurnya nanti mubadzir loh
hehe. Bye bundaku sayang, nanti malam Damar lanjut telepon ya kalau sudah cek in hotel”

“Iya sayangku, jangan salah pilih ya nanti wanitanya. Yah semoga dia nggak salah milih
kamu nak hehehe” lalu suara telepon duluan ditutup oleh bunda.

Damar tersenyum, didapatkannya kunci yang dicari. Langkahnya langsung menuju mobil
sedan berwarna hitam yang terparkir di sudut area tersebut, dimasukkannya handphone itu ke
saku celana. Langkahnya dipercepat sambil sekali-kali melirik jam di tangan kanannya.

“Oh tidak, telat berapa lama . . .” ucap Damar sedikit kecewa. Sesegera ia membuka pintu
belakang mobil dan memasukkan koper, lalu membuka pintu depan dan siap melaju ke suatu
tempat, tempat yang terkenang menurutnya. Disusurinya jalanan aspal yang lumayan ramai
oleh kendaraan roda berempat, disambut puluhan pohon bungur yang tertanam rapi di pinggir
jalan, mendung, seketika cuaca cerah sedikit kelam, semua pengendara buru-buru
menghindari turunnya hujan, namun Damar tersenyum.

“Tiada berubah, kota ini, pohonnya, jalannya, mendungnya, hujannya, dan juga kenangannya.
Ya hanya kamu Ratna yang berubah, tidak ada lagi . . . .” batin Damar seketika berhenti,
tatapannya kini menjadi sendu, dibukanya kaca mobil lalu direntangkannya tangan kanannya
sambil menggoyangkan kecil tangan tersebut, merasakan suasana baru yang sudah lama tidak
dikunjungi.
11

“Kalau waktu boleh diputar, aku tidak akan banyak menuntut untuk mengembalikan ke
keadaan semula, keadaan dimana kita tidak saling kenal, karena mengenalmu tidak pernah
ada penyesalan sedikitpun. Maaf Ratna, sampai sekarang aku belum bisa memenuhi janjiku,
menemukan jodoh yang tulus mencintaiku. Hmm ya, aku cukup selektif soal wanita saat ini.
Bukan karena status ataupun pekerjaan, tetapi mencari yang bisa menggantikanmu sulit, sulit
sekali menemukan duplikatmu di dunia ini. Aku hanya mau menemukan sosok seperti
dirimu, yang benar-benar berhasil telah membuat aku susah melupakan, melupakan segala
kenangan dan kenyamanan yang terjalin” batin Damar terhenti, matanya berkaca lalu
tersenyum kecut.

“Hmm Ratna mungkin melupakan menurutmu mudah, tapi menurutku itu susah, susah sekali.
Maaf aku tidak bisa menemani saat-saat terakhirmu saat itu, seandainya aku menyadari lebih
awal, hmm apa boleh buat, yang hidup haruslah terus hidup. Waktu terus bergulir, roda
kehidupan terus berputar, aku harus terus bergerak tidak bisa menyerah akan keadaan, ya
walau sesekali aku memandang ke belakang , mengingatmu. . . . Ratna”

Lagi, hujan turun dan kali ini hanyalah rintikan-rintikan halus namun rapat, cukup membuat
pandangan mata sedikit kabur. Damar tersenyum, kunjungan lamanya kali ini benar-benar
disambut hujan, menyejukkan hati. Mobil yang dikemudikan dilajunya sedikit cepat, terus
berjalan melewati jalan kenangannya bersama Ratna, melihat pasangan muda-mudi
berboncengan motor sambil wanitanya memeluk erat pinggang sang pria mengingatnya
kembali 19 tahun yang lalu, membonceng wanita itu dengan bangga dan bahagia. Bangga
dapat memiliki wanita anggun dan muda yang begitu berpikiran dewasa dan rasional di
usianya sehingga mampu membuat jiwa Damar tentram, nyaman, dan damai. Wanita muda
yang entah sebagai anugerah atau malah sebagai penumpang lewat di hidup Damar yang
ketika itu sangat singkat menemani hidupnya, singkat namun berkesan dan terbekas
selamanya. Wanita itu membawa kedamaian bagi Damar, tetapi juga membuat luka
untuknya.

“Aku kembali, bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi melanjutkan masa depanku.
Pertama kali mungkin bertemu denganmu, yah aku paham saat ini bagaimana keadaanya
sekarang” oceh Damar pelan sambil tersenyum simpul.

Dilajunya mobil dengan cepat di tengah guyuran hujan yang semakin deras, hatinya riang
walau cuaca mendung. Seketika mobil dihentikan tepat di depan salah satu Tempat
Pemakaman Umum keluarga yang luas pekarangannya sekitar 20x30 meter persegi. Di
12

langkahkan kedua kaki Damar dengan pelan namun pasti, dipegangnya erat sebuket bunga
mawar merah yang memang sedari tadi sudah disiapkan di dalam mobil oleh si penyewa
mobil sesuai dengan permintaan Damar. Dikuatkan hati dan mentalnya. Lalu langkahnya
terhenti tepat di salah satu pemakaman sederhana yang hanya tertutup oleh rumputan hijau,
namun rapi. Nisan batu tersebut dielus oleh Damar dengan lembut, kemudian diciumnya
sebentar. Diletakkannya sebuket mawar merah tersebut tepat di depan nisan yang tertulis
Ratna Tri Apsari. Damar kembali mengulaskan senyum simpulnya.

“Hei aku datang Ratna. Bagaimana kabarmu disana? Kamu pasti benar-benar tenang ya
disana? Maaf aku hanya berani mengunjungimu seperti ini dan sudah lama sekali ya. Aku
sudah bisa memaafkan dan memaklumi masa lalu kok dan telah bisa menerima keadaan,
bahkan sanggup merelakanmu. Maaf aku baru menyadarinya. Maaf aku telat walau sudah
lama sekali. Maaf mungkin aku belum bisa menepati permintaanmu memiliki jodoh, tapi
sekarang aku mantap melanjutkan masa depanku yang satu itu. Selama ini aku hanya sibuk
memikirkan karir sampai-sampai lupa kalau umurku terus bertambah. Ratna, aku
merindukamu. . . . ” ucapan Damar terhenti. Lalu diusapnya rerumputan yang menutupi
gundukan tanah berbentuk persegi panjang itu dengan lembut. Senyuman simpul kembali
diulas di bibir tipisnya.

Hal yang bisa didapat Damar setelah ia mencintai wanita itu di masa lalu, cinta bukan karena
keinginan menggebu yang selalu menghantui dan menguasai seluruh raga seakan wanita itu
harus selalu dimilikinya, tidak bisa. Cinta tidak egois, bukan harus selalu mengerti aku, aku,
dan aku atau selalu berusaha melakukan apapun untuk kamu, kamu, dan kamu. Tapi cinta
harus siap melepaskan, melepaskan meski sakit tapi itulah pengorbanan cinta sesungguhnya.
Jika memang Tuhan menulis skenario indah maka sejauh apapun dilepaskan maka akan
kembali, jika TIDAK, berarti Tuhan mempunyai skenario yang jauh lebih indah, mungkin
nanti, besok, lusa, atau justru tidak tahu kapan akan datang. Dibutuhkan kesabaran ekstra
memang. Tapi jika hidup ini tidak sabar, maka alangkah meruginya. Di balik kesabaran, pasti
akan datang sesuatu yang menakjubkan yang Tuhan ciptakan untuk kita. Sama halnya dengan
hujan. Kerap kali kita merasakan musim kemarau panjang yang tidak tahu kapan berakhir,
bahkan melebihi waktu normalnya. Kita harus begitu sabar menghadapinya. Selain terik,
kerugian di bidang lain pun banyak, tapi disitulah manusia harus terus berjuang dan hidup.
Ada waktunya hujan akan turun dan menghapus dahaga bumi ini. Ada waktunya. Hujan
benar-benar rezeki Tuhan yang tak ternilai harganya.
13

Itulah cinta, lebih baik bersabar menanti akan sosok yang siap mengisi relung hati dan
mampu menerimamu apa adanya daripada buru-buru menemukan cinta yang salah.

Cinta yang salah, bukan karena cintanya, tapi karena salah menaruhkan harapan akan
membangun cinta dengan orang yang tidak tepat, tidak tepat dalam semua hal, yang
mengutamakan ego dan nafsu, mengenyampingkan Tuhan sebagai pencipta manusia itu
sendiri sehingga mengapa cinta bisa menimbulkan rasa dan karsa yang beragam.

Cinta yang salah, mementingkan keterpaksaan, ketika Tuhan bilang TIDAK, pupus semua
harapan.

Mencintai sekedarnya, itu makna bukan cinta yang salah…..


14

3. Payung Merah Muda

02 Desember 2016 pukul 13.31 WIB.

“Ahhh!! Bodoh! Dasar Tama BODOOOOOOOOOOOOOOOHHHHH!!!” hardik seorang


wanita bertubuh mungil dengan rambut pendek sebahu lurus hitam pekat itu yang entah
sudah berapa lama ia komat-kamit mengumpat tak jelas untuk seseorang yang tidak tahu juga
keberadaannya dimana. Dihentakkan pelan kedua kakinya berkali-kali di atas lantai putih
sehingga kursi kerja beroda empat yang ia duduki berkali-kali ikut bergoyang tak tentu arah,
sesuai dengan pikiran dan perasaan wanita itu.

Namanya Larassati Indah Permata. Usia 24 tahun. Masih lajang dan bisa disebut belum
pernah satupun ia memiliki status dengan lelaki lain atau lelaki yang ia taksir. Batas status
yang dimilikinya tak lebih dari sekedar gebetan atau mungkin teman, ya setelahnya mereka
tak mau lagi melanjutkan hubungan yang serius dengannya. Terlalu polos atau terlalu galak
atau, entahlah yang jelas tidak banyak lelaki yang tahan mendekatinya. Memiliki tinggi 153
cm, rambut lurus pendek sebahu, mata bulat, hidung mancung, bibir kecil dan tipis, wajah
oval. Cukup cantik untuk ukuran wanita di mata pria, tapi ya begitulah nasib percintaannya
sampai saat ini. Hobinya ialah memakai wedges coklat. Hal yang paling dihindarinya ialah
hujan, karena takut basah kuyup dan juga hujan menyimpan kenangan buruk baginya, ya
kenangan yang tidak mau dia mengingatnya tetapi semakin berusaha dia melupakannya
semakin banyak ia justru mengingatnya. Payung merah muda, selalu dibawanya kemanapun
ketika musim hujan. Buat jaga-jaga menurutnya. Ya keberadaan payung ini cukup ampuh
melindunginya dari hujan dan juga lelaki hidung belang dan tidak bertanggung jawab, ya
kejadian yang pernah ia alami dua tahun yang lalu ketika dirinya seorang diri memasuki lift
di sebuah karaoke ternama siang bolong. Dari lantai satu menuju lantai empat, yang entah
darimana nasib sial itu bisa datang tiba-tiba sosok lelaki paruh baya yang juga seorang diri di
dalam lift itu langsung ingin menyentuh Laras, ya spontan Laras merasa terancam dan juga
marah, diraihnya lalu dipukulnya dengan keras kepala plontos lelaki tersebut dengan gagang
payung merah mudanya yang terbuat dari besi itu, alhasil kepala lelaki itu bocor dan
bersimbah darah, ya cukup untuk melunasi perbuatan tak bermoralnya itu ditambah lagi ia
harus rela dirawat selama tiga pekan. Yah itulah Laras, meski bertubuh mungil ia tak segan-
segan kepada lelaki yang berani menggodanya.

Kembali lagi ke rutinitas menggerutu Laras yang masih sibuk komat-kamit tak jelas dengan
objek yang dilihatnya melalui handphonenya. Dilihat dan dibacanya berkali-kali pesan
15

singkat yang bertuliskan nama pengirimnya Tama. Sahabat Laras sejak kecil. Lelaki yang
sebaya dengannya hanya tua dua bulan dari Laras. Lelaki kedua yang tahan dengan sifat
keras kepala Laras, ya di posisi pertama ialah ayah Laras. Lelaki yang sudah tahu betul
bagaimana menanggapi amarah Laras yang memuncak yang datangnya entah darimana,
dengan berdiam diri dan mengalah. Itulah Tama, lelaki berpostur tinggi sekitar 176 cm,
perawakan kurus namun sedikit padat, rambut cepak, wajah putih pucat, mata kecil, hidung
mancung, dan memiliki kharisma sebagai lelaki pecinta banyak wanita. Ya lebih tepat
dikatakan sebagai playboy. Sungguh berbalik dengan percintaan Laras. Maka setiap kali
Laras gagal menjalin hubungan yang serius dengan lelaki yang saat itu mendekatinya,
pelampiasan kemarahan pertama kalinya ialah Tama, ya karena Laras merasa sialnya nasib
percintaannya selama ini karena karma dari Tama dan Laras yang harus merasakannya. Tama
hanya pasrah lalu tertawa, hal itu yang membuat Laras sering marah tidak jelas kepada Tama.

Kali ini yang membuat Laras marah bukan karena gagal lagi menjalin cinta dengan lelaki
idaman, tetapi karena Tama yang tiba-tiba menghilang dari kehidupan Laras selama tiga hari
dan tidak ada kabar. Laras sungguh bingung dan sedih dibuatnya. Bukan apa-apa, karena
terakhir mereka bertemu Laras kembali marah dengan Tama karena ia tega mencomblangkan
Laras dengan lelaki tambun berusia 37 tahun sebagai manajer di salah satu restoran seafood.
Tama kurang detail mencari informasi mengenai lelaki tersebut, ternyata setelah ditemui
langsung oleh Laras rupanya lelaki itu tidak jauh beda memiliki watak seperti lelaki plontos
yang ia hantam dengan payung merah muda ketika di dalam lift sebuah karaoke, bahkan lebih
parahnya lagi lelaki itu sudah beristri dan memiliki tiga anak. Mulanya marah, kini dibuat
linglung oleh Tama. Semarah-marahnya Laras terhadap Tama tidaklah lama, paling lama satu
jam, kemudian lupa lalu baikan. Tapi kali ini sungguh aneh, Laras benar-benar merasa tidak
enak dan bersalah karena setelah kejadian itu Tama tidak menghubunginya bahkan
menghilang, di tempat kerjanya sebagai asisten manajer di salah satu perusahaan dealer mobil
pun tidak ada.

Berkali-kali Laras menatap handphone yang berwallpaper wajah diri Laras beserta nenek dan
ayahnya yang tampak bahagia sambil tersenyum lengkap dengan pose yang sama yaitu
member tandatangan V dan kostum baju putih celana hitam.

“Hai Tama bodoh, angkat dong! Kamu kemana sih?! Aku, aku minta maaf ya pasti karena
kejadian waktu itu, .. . AAAHHH!!! Aku benar-benar merasa bersalah. Maaf aku kangen
kamu dimana sih? Nggak ada lagi nih yang tiap malem ngajak minum bandrek sambil makan
16

bakpao di pinggir jalan. Maafin aku ya, Tama. . . .” pesan singkat yang ke 86. Dengan kata-
kata yang berbeda, namun bermakna sama, kekhawatiran dan permintaan maaf. Laras
sungguh-sungguh menyesal. Diletakkannya kembali handphone tersebut di atas meja persegi
panjang terbuat dari jati berukuran 1x1 meter persegi yang tepat terletak di depan tubuhnya.
Nampak penuh sekali alat-alat tulis di atas meja tersebut, laptop bersarung merah, kotak
pensil merah, cangkir kosong berwarna merah, dan bingkai foto keluarganya yang lengkap
berwarna merah juga. Bibir mungilnya berkali-kali komat kamit kecil, sambil memejamkan
erat kedua matanya.

“Ciih Tama sekarang mulai lagi ya main sumputannya. Oke aku bakal buktiin kalau aku
nggak akan kalah! Inget itu! Aku tunggu saja pasti kamu akan muncul lagi. Tunggu aja,
huuffftt!!” kembali gertak Laras kali ini sambil meninju kecil handphone nya.
Disandarkannya tubuh mungil itu di kursi kerja yang suaranya memekikkan telinga, berusaha
untuk rileks. Tanpa sadar Laras menjatuhkan handphone nya dan terpelanting keras di atas
ubin berwarna putih dan tampak kusam itu.

“TIDAAAKK!!” teriak Laras kencang. Untung tidak ada manusia di ruangan tempat Laras
kini duduk. Hening, tampak tiga kursi kosong dan tak bertuan. Ya ini adalah saatnya jam
makan siang, seluruh pegawai sekretaris kelurahan sedang menikmati makan bersama kepala
desa yang sedang berkunjung, Laras menolak ajakan teman-temannya, sedang tidak enak
badan alasan utamanya, sehingga mampu membuat mereka meyakininya tanpa interogasi
lebih lanjut. Padahal sih alasan utamanya ialah karena gusar memikirkan Tama.

Dirakitnya kembali baterei handphone yang sempat terpental dari pemilikinya itu, kemudian
dihidupkan kembali dengan cemas, berharap tidak ada yang rusak.

“Ahhh syukur, huaa bahaya kalau kamu mati” ucap Laras sambil sedikit menyekakan air
matanya yang tanpa sadar keluar dari kedua bola matanya. Ditatapnya handphone itu dengan
sendu. Wanita galak bagaikan rubah itu kini berubah menjadi lembut, lembut sekali.

“Berhenti membuatku khawatir bisa tidak sih Tama?! Kamu ituuuuuu…..”

-------------------------------------------------------------------------------------

“Hai, siapapun yang mempunyai nomor ini. Bisa kita bertemu sebentar? Di café kopi 21,
bisa? Ini menyangkut seseorang yang mempunyai nomor ini. Hari ini jam lima sore ya, saya
tunggu. Terima kasih.”
17

Tiba-tiba satu pesan singkat terbalas dari kontak bernama Tama. Sendu di wajah Laras kini
berubah menjadi seulas senyuman kecil, dihapusnya air mata yang mampu membuat wajah
Laras tampak kusut semrawut.

“Ciih dasar kamu Tama. Begitu ya jual mahal balesnya. Jangan pura-pura jadi orang lain lagi
deh. Aku itu nggak sebodoh yang kamu kira ya. Oke aku akan kesana, itu kafe yang baru
dibukakan? Tunggu aku! Awas kalau kamu pergi lagi ya. Aku rindu kamu, jangan pergi lagi
ya! Tunggu ya!” balasan pesan singkat Laras, penuh dengan semangat.

“Hari ini, jam lima sore ya, saya tunggu” ucap ejek Laras sambil memonyongkan bibir
mungilnya, berusaha untuk mengikuti ekspresi si penyampai pesan singkat itu dengan
ekspresi wajah datar. Lalu Laras tertawa kecil, bahagia sekali ia.

“HAHAHA! Sok kaku deh kamu Tama. Biasanya juga smsnya hei bebeb kuh, kamu dimana?
Hayuk ketemuan. Aku jemput yah ciin. Heheheh dasar kamu :*” balas Laras kemudian.

Tidak ada balasan kembali.

“AAHHH!!” gerutu Laras kembali lemas, tidak ada semangat melanjutkan pekerjaannya.
Ditatapnya kembali jam di tangan kirinya.

“Jam lima? Hmm lama juga ya? Apa nanti jam tiga aku langsung kesana? Biar dia merasa
surprise deh hehehe” ucapan batin Laras dan tanpa disadarinya ia terkekeh kecil. Tanpa
disadarinya pula rekan-rekan kantor sudah kembali dan mengisi ruangan itu, sedari tadi
menatap miris ke arah Laras, miris Laras benar-benar menggila ditinggal tiga hari oleh Tama.
Salah satu rekan kantor serta teman dekatnya ialah Siska, berdiri tepat di samping tubuh
Laras sambil mendekatkan wajahnya ke wajah pucat Laras, gila.

“Kamu aneh, kalau memang dari lahir otakmu sudah aneh, sekarang kamu naik level tingkat
keanehannya” ejek Siska sambil memicingkan kedua matanya yang sipit.

Laras tidak berani menatap kedua mata teman karibnya semenjak awal kali bekerja di kantor
kelurahan tersebut, teman seperjuangan, sama-sama berjuang mencari pasangan hidup yang
berkali-kali gagal sampai saat ini. Tapi setidaknya roman picisan Siska tidak separah Laras,
saat ini dirinya sudah berhasil menjalin kasih dengan teman SMAnya selama satu tahun.
Miris bagi Laras yang jikalau teman karib profesinya ini galau menceritakan semua lelaki
yang memiliki masalah hati dengan Siska, Laras paling jago memberikan nasihat dan
18

motivasi bak motivator kawakan, nyatanya sampai saat inilah Laras yang gagal menemukan
cintanya, miris.

“Ehh?! Hmm ituuu, hmm aku bahagia sekarang makanya jadi salah tingkah begini Sis,
hehehe. Udah iihh jangan natap gitu dong, ntar nambah salah tingkah ini jadinya, hehehe”
ucap pelan Laras sambil memintirkan rambutnya dan bernada sedikit manja.

Laras kembali menatap gadis tambun yang tepat berdiri di depannya ini, masih betah
mendekatkan wajahnya. Laras Nampak risih lalu bergeser menjauh. Siska tertawa kecil
meledek.

“Sungguh bahagia?”

“I…iiiyyaaa sungguh!”

“Sungguh bahagia selamanya? Nggak diulangi lagi sedihnya? Hmmm….?”

“Iiiyaaaa!! Betul! Nanti kalo sedih lagi ya galau lagi? Hehehe….”

Siska semakin menajamkan tatapannya, jarak wajahnya kini menjauh, sambil melipat kedua
tangannya di depan dada. Kepalanya menggeleng berkali-kali, begitu juga dengan rekan-
rekan lain yang ikut menggeleng, menggeleng karena melihat tingkah dua wanita ini yang
tidak jelas, bahkan sampai ada yang terkekeh-kekeh kecil lalu diurungkan.

“Tama barusan sms, ngajakin ketemuan jam lima nanti. Tapi aku mau kasih surprise deh, jam
tiga aku udah kesana sambil beli kado dulu buat dia kan lusa kemarin dia ulang tahun. Biar
dia terkejut aku sampai duluan, hehehe” bisik Laras yang sedikit keras sehingga membuat
Siska harus menggaruk telinga kanannya.

“Hmm baiklah, semoga beruntung. Selesaikan urusan kalian, oh iya kasih kado? Kalau begitu
aku titip kado juga deh buat dia ya!”

“Boleh. Kamu mau kasih kado apa?”

“Sini aku bisikin deh!”

Kembali Laras yang kini mendekatkan telinganya ke bibir tipis Siska.

“Aku ada ucapan buat dia khusus, jadi tolong sampaikan ya. Aku nggak mau kasih dia kado
barang, terakhir dia mengutang kepadaku saja belum dilunasi hehehe. Bilangin ya ke Tama
19

aku juga punya surprise buat dia, bilangin kalau minggu depan aku akan menagih hutangku,
hehehehe” jawab Siska terkekeh.

Laras pun juga ikut tertular, mereka sama-sama terkekeh bahkan sampai tertawa terbahak-
bahak, berhasil membuat manusia seisi ruangan itu semakin bingung dengan tingkah mereka,
tadinya bagaikan penyidik yang dengan garang mengintrogasi terdakwa kini seperti anak
kecil yang tertawa lepas tanpa beban, konyol.

“Baiklah akan aku sampaikan my sis. Nanti kasih tahu aku ya berapa besar hutangnya!”

“Buat apa aku kasih tahu kamu? Nanti kamu terkejut hehehe”

“Bukan apa-apa, nanti besar hutangnya kutambahin jumlahnya diakan biasanya sedikit lupa
dengan nominal hehehe, biar jadi bonus buat kamu karena dia telat bayar”

“HAHAHA! Bisa juga kamu, hmm lihat nanti deh. Tapi tega juga sih hehehe”

“HAHAHA! Aku bercanda, mana tega kamu orangnya. Oke deh yuk kembali kerja, nanti jam
tiga aku pergi duluan ya, mau beli kado dulu, jadi aku nggak bisa anter kamu pulang ya sis”

“Iya tenang aja, masih banyak angkot kok disini”

“Oke, kamu memang teman yang pengertian deh, muaaaccchhh!”

“Bukannya Tama yang paling pengertian?!” sindir Siska sambil menyinyir geli.

“Hehehe, kalau tidak ada dia posisi pertama yang paling pengertian kamu deh” jawab Laras
semangat dan sedikit bernada gombal.

“Oh iya nanti sore sepertinya akan hujan, jangan lupa bawa mantel mu. Kalau tidak bawa
juga payung mu” ingat Siska dengan tegas. Ya temannya ini selalu saja lupa menyelipkan
pelindung hujannya, makanya sering sekali mereka berdua basah kuyup kehujanan, cukup
membuat Siska demam dua hari.

“Iya sayangku, makasih ya”

“Yaudah yuk kembali kerja! Banyak berkas yang harus diurus ini!”

“Siap! Ibu pejabat! Hehehe”

------------------------------------------------------------------------------------------------
20

Jam sudah menunjukkan pukul 3.07 sore. Laras tampak sedikit panic namun lega sudah
menyelesaikan tugasnya. Direhatkannya tubuh mungil itu lalu dengan sigap berdiri,
menenteng tas merah, membawa kunci motor, dan juga payung merah mudanya. Langkahnya
amat terburu-buru.

“Aku duluan ya!” teriak Laras semangat sehingga mampu menggetarkan seisi ruangan itu,
semua manusia di dalamnya menoleh.

“Iya, semangat!” balas Siska sambil mengepalkan tangan kanannya ke arah Laras, sebagai
tanda member kata semangat.

Pukul 4.18 sore, tubuh mungil Laras telah sampai di tempat tujuan. Warna kafe yang penuh
dengan nuansa corak campuran antara hitam, merah, coklat, putih, dan kuning. Dindingnya
penuh dengan guratan gambaran abstrak yang terkesan muda, kursi kayu dengan kaki
berjumlah empat, terdapat dua ruangan yaitu di teras dan dalam. Namun laras lebih memilih
untuk duduk di dalam ruangan karena mengincar pendinginnya, cukup untuk mendinginkan
otaknya karena kejadian sebelumnya yang tidak mengenakkan ketika di took sewaktu
membeli kado tadi, seorang lelaki paruh baya dan berkepala botak depan dengan berani
menyentuh tangan Laras dan hampir menarik keras Laras, mengajaknya berkenalan secara
tidak sopan. Spontan Laras menampar lelaki paruh baya itu, tanpa disadari ada sosok wanita
tua renta di belakang mereka, ya istri dari lelaki nekat itu yang memang terlihat jelas kalau
jaraknya jauh lebih tua. Tidak ada percekcokan memang, sang lelaki tua itu hanya pasrah
ditarik paksa daun telingan kanannya sepanjang lorong toko, membuat seluruh pengunjung
mencemoohkan, tetapi cukup membuat Laras kesal.

“Hah lupakan sajalah! Toh laki-laki itu memang pantas disiksa oleh istrinya!” desah Laras
pelan. Dipegangnya handphone kesayangannya itu lalu diketikan kembali pesan balasan
untuk Tama.

“Kamu dimana? Aku sudah sampai nih. Maaf ya kecepetan. Aku duduk di meja nomor 23
dalam ruangan. Kalau urusanmu sudah kelar nanti langsung saja ya!”

Laras kembali merenung, lesu, dan menyedot minuman mochacinonya tanpa semangat
sambil bertumpu dagu.

Ting tong, suara balasan pesan singkat yang baru ditinggal oleh Laras dua menit lalu.

“Aku sudah sampai, dari tadi. Di meja 23 ya?”


21

Balasan yang amat mampu membuat Laras berdecak bahagia. Ditatapnya sekeliling ruangan
itu, berkali-kali ia celingukan ke semua arah mencari sosok Tama, nihil tak didapat sosok
yang dicarinya. Jantungnya semakin berdegup kencang, namun pikirannya semakin
berantakan.

“Dimanasih dia?!!”

“Hei, kamu yang namanya Laras ya? Benar?”

Tiba-tiba muncul sosok lelaki asing bersetalkan kemeja putih dan celana dasar hitam, klasik
namun pas, pas untuk tubuh lelaki itu yang menjulang tinggi sekitar 187 cm dan bertubuh
tegap, tidak terlalu kurus namun padat.

“Kamu Laraskan? Iya kan? Yang sedari tadi sms ke nomor ini kan?” lanjut lelaki tersebut
sambil melangkah pelan mendekat.

Laras menatap curiga lelaki tersebut. Diperhatikannya seksama wajah lelaki itu dengan
serius, tak sedikitpun suara yang ia keluarkan dari mulutnya.

“Tinggi, wajahnya tampan juga, hidung mancung, mata sipit namun terkesan tajam dan
berkharisma, alis tebal, wajah oval tegas, putih untuk ukuran lelaki, rambut tidak terlalu
cepak, pakaian yang dipakainya nampak seperti orang kebanyakan namun terlihat sekali ini
pakaian mahal, jam tangannya, simple namun berkelas, pasti ini bukan asli orang sini, tau
darimana dia kalau aku Laras? Oh tidak, bagaimana dengan Tama? Apa hubungannya?”

“Hei, kenapa melamun? Tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku terlalu cepat ya? Maaf
karena aku keburu waktu, baiklah kalau begitu perkenalkan . . . .”

Lelaki itu langsung duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Laras langsung, sambil
menyodorkan tangan kanannnya, mengajak untuk berjabat tangan.

“Aku Damar Wijaya Kusuma. Beberapa hari yang lalu aku merental mobilnya Tama tapi
sepertinya dia melupakan handphone ini dan ditinggalkannya di mobil dan tak diduga
handphone ini terus sibuk karena kamu,…”

Laras tetap bengong, tanpa sahutan. Damar mendesah pelan, berharap lebih sabar lagi
mengucapkan seluruh rentetan kejadian secara detail.
22

“Karena kupikir kamu paling dekat dengan Tama makanya aku hubungin kamu, aku ada
perlu dengannya, masa rental mobilku sudah selesai, aku sangat bingung menghubunginya
lewat mana, cuma nomor ini yang kutahu. . . ”

“Dasar brengsek . . .!” jawab Laras bagaikan menyerbu seketika, mengejutkan Damar.

“Apa??!! Apa yang barusan kamu bilang?”

“Dasar bajingan . . .!”

“Hei!! Kamu mengumpat? Untuk aku?”

“Dasar lelaki pengecuuuuuutttt!!!” kali ini ucapan Laras amat keras, membuat seluruh
pengunjung di café tersebut melongo kearahnya bahkan seluruh pelayan yang sibuk bolak-
balik mengantarkan buku menu dan pesanan menatap tajam ke arahnya, habislah Laras.

Laras menahan rasa malu, kesal, dan sedihnya dengan menutup wajahnya menggunakan
kedua tangannya, tertunduk lesu, tak mau menatap seluruh manusia di ruangan itu, bahkan
Damar yang tepat di depannya tak berani ia tatap.

“Hei, kamu kenapa, hmmm Laras? Apa ada yang salah?” ucap Damar pelan berusaha untuk
menenangkan suasana, diangkatkan telunjuk kanan Damar kepada beberapa pelayan di café
itu sambil mengarahkannya ke dapur, tandanya urusi saja urusan pekerjaan kalian, jangan
hiraukan kami.

“Berapa usia mu Damar?” ucap Laras sambil dibukanya kembali wajahnya yang memerah
lalu menatap tajam Damar. Suasana menjadi geming.

“Haha kenapa kamu tiba-tiba bertanya umur? Kamu penasaran banget ya sepertinya!”

“Langsung saja, katakan apa mau kamu! Oh ya aku paling ahli menebak ekspresi seseorang
dan juga usia dari wajahnya . . .” balas Laras sedikit bangga.

“Terus? Kalau kamu tahu kenapa harus bertanya?” ledek Damar dengan senyum terkekeh.
Sungguh aneh wanita di hadapannya ini.

“Haha, baiklah akan kujawab . . . .” balas Laras sambil melirik ke arah kiri. Ditaruhnya
telunjuk tangan kanan di dahi, seolah-olah sedang berpikir, lalu menatap tajam Damar sambil
menyipitkan tatapannya.
23

“Kamu sebenarnya ingin mengajak ku kencan kan? Alibi saja memakai mobil dan handphone
Tama . . .” terka-terka Laras sambil menunjuk ke arah luar, menunjuk mobil sedan hitam
yang tampak mengkilap itu, benar-benar habis dibersihkan rupanya.

“Hei, kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanya Damar penasaran dengan nada sedikit
mengejek. Laras semakin kesal dibuatnya.

“Sudah kuduga, itu benar akal-akalan kalian berdua. Aku tahu memang selama ini aku paling
sial dengan hal bercinta, makanya aku kasih tahu kamu satu hal ya, Tama selalu
mencomblangiku dengan alasan dia selalu menghindariku, nanti ketika kencan ku gagal,
maka Tama baru berani muncul . . .”

“Lalu. . . .??”

“Ya jadi Tama ingin kita berkencan, dengan lelaki asing ini. Pasti kamu bukan asli sini kan?”

“Hmm iya betul . . . .”

“Boleh ku tebak usia mu itu, boleh ku kasih saran?”

“Boleh, silahkan saja…”

“Kita kan sudah sama-sama dewasa, kalau ku tebak usiamu tidak jauh dari ku, 28 tahun. Iya
kan? Apa masih pantas seusia mu menggunakan trik permainan ini untuk mengajak ku
kencan? Berpura-pura menjadi Tama? Ciihh ini sungguh keterlaluan, kamu sudah memupus
harapanku untuk bertemu dengannya secara langsung . . .”

“Apa?! Hahahaha, hei kamu berpikiran apa sih?!”

“Sudah! Jangan mengelak!!! Katakan dimana Tama sekarang? Aku harus bertemu
dengannya…”

“Nona Laras, dengarkan aku baik-baik ya, boleh ku kasih saran?” tanya Damar kembali
dengan mengikuti ekspresi dan nada bicara Laras sebelumnya. Laras semakin jengkel, tangan
kanannya mulai memegang erat payung merah muda, bersiap-siap.

“Boleh, silahkan apa saranmu!”

“Apa yang sudah kamu katakan ke aku itu, SALAH! ” ucap Damar dengan pelan dan tegas,
terdengar seperti mendikte, agar Laras jelas mendengarnya.
24

“Kuulangi sekali lagi ya, S, A, L, A, H. SALAH!!”

Laras semakin menatap tajam lelaki itu. Justru Damar dengan santai menatapnya dengan
sedikit menggoda lalu melipatkan kedua tangannya di depan dada dan menggelengkan
kepala, sungguh aneh wanita ini.

“Ciiih! Kamu berani mengelak ya?! Ya sudah kalau memang tidak mau mengatakan dimana
Tama ya sudah! Oh iya dengar ya aku menolak kencan buta ini, aku tidak menyukaimu dari
kesan awalnya saja sudah buruk…. ”

Laras menggerakkan kedua tangannya dan mengikuti setiap lekukan wajah dan tubuh Damar,
mencoba memspesfikasi dari segi fisik. Damar tampak bingung.

“Kamu tampan, tinggi, dan kaya. Tapi caramu mengajakku kencan benar-benar tidak keren,
dan berani sekali kamu menyembunyikan Tama! Sini kembalikan handphonenya, biar aku
yang menyimpannya” balas Laras sambil mengambil paksa handphone Tama yang sedari tadi
terpampang pasrah di atas meja.

“Ya silahkan, sepertinya bukan aku yang tidak keren, tapi temanmu itu Tama, dia yang tidak
keren hehe” balas Damar sedikit menyindir.

Eratan tangan kanan Laras semakin kuat, payung merah muda itu bergetar hebat.

“Terserah dan jangan pernah kamu beraninya mengejek dia ya!” ucap Laras acuh lalu berdiri
meninggalkan Damar seorang diri. Damar hanya tertawa kecil.

“Oh jadi ini namanya Laras? Si bunga mawar merah? Hahaha Tama kamu dimana sih?
Beraninya kamu ya melibatkan aku, kalau kamu ketemu awas saja kamu ya!” ucap Damar
pelan dan tenang.

Laras melangkah dengan cepat, cepat-cepat ingin menghindari lelaki yang membuat
perasaannya panas dan jengkel setengah mati ini. Baru sampai di ambang pintu keluar, ia
dijegat oleh pelayan wanita yang tampak berusia 40 tahun.

“Hei mbak, kamu belum bayar! Masa abis minum pergi gitu aja?! Bayar dulu mbak, lihat di
notanya. . .”ucap wanita itu dengan nada jengkel, ya tidak kalah jengkelnya dari Laras.
Jengkel melihat Laras sedari tadi yang dengan seenak jidatnya berlaku keras terhadap Damar.
25

“Oke, oke, akan kubayar. Berapa semuanya?!” jawab Laras keras, kali ini seluruh
pengunjung kembali menatap picik kearahnya.

“Ambil saja notanya di meja kamu duduk tadi mbak! Terus ke kasir deh mbak bayar…”
jawab pelayan itu dengan nada kesal, sekali-kali matanya melirik Damar yang tampak
tersenyum puas.

Laras semakin tertekan, jengah di wajahnya tak bisa disembunyikan, dipijitnya pelan dahi
yang sudah penuh dengan keringat gelisah, lalu memandang kesal kearah Damar.

Benar-benar aneh dan menjengkelkan.

“Ok, itu sesuatu yang mudah dilakukan”

Dengan wajah jutek dan jengkel Laras dengan ogah melangkahkan kakinya menuju meja
dimana Damar duduk. Damar begitu memerhatikan gerak-gerik Laras dengan senyuman yang
tersimpul di ujung bibirnya, cukup menggoda, dan mampu membuat Laras menjadi salah
tingkah jadinya.

Laras enggan menoleh, diambilnya nota dengan cepat lalu berjalan cepat menuju kasir,
kelarlah urusan memalukan ini dengan cepat, itu harapannya.

“Dua gelas mochacino, satu porsi sandwich, dan satu porsi kentang gorengnya ya mbak jadi
semuanya tiga puluh lima ribu. Mau bayar tunai atau pakai kartu mbak?” tanya petugas kasir,
bertubuh besar dan tegap, ya sosok pria remaja namun perawakannya membuat dia tampak
lebih tua dari usianya.

“Tunai aja mas, nggak ada kartu kredit, ini mas”

Dengan langkah cepat Laras meninggalkan ruangan itu, meninggalkan sosok Damar yang
sedari tadi menatapnya, tak lepas sedikit pun. Benar-benar membuat Laras salah tingkah
jadinya.

“Wanita aneh. . . .”

Sesampainya di luar kafe, suasana berubah mencekam, gelap dan angin kencang. Ya hujan
turun seketika dengan derasnya. Membuat Laras menjadi naik level tingkat kejengkelannya
hari ini.

“Ini hari apa sih? Kenapa sial melulu sih hari ini? AAHHHH!!”
26

Laras berteriak kesal membuat seluruh pengunjung kembali menatapnya aneh. Tanpa rasa
malu Laras membanting keras payung merah muda yang dipegangnya sedari tadi, mengenai
pintu depan kafe, membuat suara gaduh.

Damar begitu penasaran mengapa wanita asing itu tak kunjung sembuh juga kesurupannya.
Sambil berjalan santai, Damar menenangkan beberapa pengunjung di kafe itu, focus saja
menghabiskan makanan yang sudah disajikan. Beberapa pelayan menatap was-was ke
Damar, dengan maksud jika nanti wanita asing itu berulah ada kami yang siap membela.

“Hei kamu dari tadi emosi saja deh?! Ada masalah apa sih?”

Lemah lembut dan sabar Damar bertanya. Laras hanya melengos dan tak berani memandang
Damar. Ya secara jujur Laras mengakui ketampanan Damar yang begitu berwibawa dan
dewasa, terlihat pula fisiknya yang keren dan yang pastinya berlimpah harta. Tak kuasa Laras
memberi nilai plus di awal pertemuannya, namun ia sangat kesal karena seseorang yang
diharapkannya hadir tidak ada.

“Tampan sih, keren, dewasa. Tapi kok pengen tahunya dari tadi kebangetan deh. Nggak peka
apa ya. . .” batin Laras begitu kesal.

“Nggak lihat apa ini hujan? Makanya jadi kesal begini . . .”

“Kan bisa tunggu hujannya reda, atau kalau nggak ya pakai jas ujan!”

“Aku nggak bawa jas ujan, ”

“Ya sudah tunggu saja hujannya reda, lagian juga kamu bawa payung merah muda nggak
bisa lindungin kamu dari hujan kan?”

“Tapi aku mau cepat-cepat pulang, aku kesal berada disini, membuatku tidak nyaman”

“Hahaha tidak nyaman karena apa? Hmmm karena aku atau karena nggak ada Tama?” tanya
Damar dengan nada sedikit mengejek dan menerka-nerka.

“Iya semuanya benar, kamu sepertinya selalu betul ya dan sudah tahu jadi jangan tanya lagi
deh!”

“Iya kamu itu wanita yang mudah sekali ditebak dari tingkah lakunya. Tapi kamu aja sudah
salah menebak aku di awal pertemuan kita ini . . .”
27

“Apa?! Haah sudahlah jangan mengelak. Jika kamu mau mengajak aku berkencan caranya
harus gentle, jangan memakai Tama, memakai mobil dan handphone Tama. Sungguh tidak
keren”

Laras menyinyir Damar dengan semangat, ya mengeluarkan segala unek di hatinya dan
memberi tanda jempol ke bawah. Laras begitu serius namun Damar hanya tertawa
memanggapinya, sungguh lucu menurutnya.

“Hei kenapa kamu tertawa?!”

Laras begitu merah mukanya, antara marah dan malu semuanya campur aduk.

“Karena kamu salah, salah besar” Damar membuat lingkaran besar dengan gambaran kedua
tangannya. Laras begitu terpaku melihatnya. Suara petir dan angin kencang tak mengganggu
pembicaraan mereka.

“Baiklah aku kasih kejujuran sekali lagi ya, . . .”

“Ya sudah katakan saja pasti juga bohong”

“Pertama, Damar Wijaya Kusuma ini merental mobil atas nama Tama sudah tiga hari dan ini
adalah hari terakhir, mau mengembalikan tetapi susah dihubungi dan ternyata handphonenya
tertinggal di mobil itu, dari kemarin kontak yang bernama Laras sibuk menghubungi,
makanya aku mengajak kamu ketemuan disini siapa tahu bisa menolong, tapi ternyata
sungguh di luar dugaan . . .”

“Ya ya lanjutkan saja!”

“Kedua, semua tebakan kamu salah. Mengajak kencan? Dari perantara orang? Haha mana
mungkin, itu bukan caraku selama ini. Jika mau mengajak kencan pastilah secara langsung.
Oh iya katamu usia ku 28 tahun? Hahaha muda sekali, aku tidak semuda itu, usiaku sekarang
39 tahun? Hmm bagaimana? Sudah bisa diterima kejujuran ini?”

Damar menaikkan kedua alisnya lalu menatap erat Laras. Laras begitu terperangah mendegar
seluruh ucapan Damar dan berani menatapnya, tatapan tak percaya dan heran.

“Berarti usia kita terpaut 15 tahun, tapi wajahmu, aahhhhh!!! Kamu bohong!”
28

“Hmm yaudah deh terserah kamu gimana yang penting aku tidak mau pertemuan pertama ini
kesannya jelek, oh iya kamu bisa membantuku mencari Tama? Mobilnya ini harus segera
dikembalikan…”

Laras tak fokus dengan ucapan Damar, dengan seksama ia terus menatap erat wajah lelaki
asing itu. Begitu hangat menurutnya dan sedikit ada penyesalan karena sikapnya.

“Hei? Kamu kenapa? Haha wajah ini memang tampan dari lahir kok sudah banyak orang
yang bilang, jadi jangan begitu ahh natapnya!”

“……..”

“Oh kamu masih tidak percaya ya? Hmm sini biar kulihat dari wajahmu, sekarang kamu
sepertinya merasa kagum dan menyesal karena perbuatan tadi kan?”

Damar mendekatkan wajahnya ke wajah Laras, ya berjarak 15 cm untuk melihat secara detail
bagaimana wajah Laras. Dibungkukkannya tubuh jangkung itu. Damar diam seketika.

“Ya kamu memang pria yang paling benar, maaf atas sikapku, karena dilihat dari ekspresi
wajahmu kamu tidak berbohong. Kamu tidak seperti Tama, dialah yang brengsek, pengecut!”

Laras memalingkan wajahnya dan menutupi dengan kedua tangannya, kali ini ia menangis
kesal, kesal akan semuanya, semua harapannya pupus.

Refleks Damar menepuk pundak Laras, sebagai rasa iba. Laras tak berkutik, secara jujur ia
nyaman. Tidak pernah ada lelaki yang menepuk pundaknya ketika ia patah semangat apalagi
menangis, Tama tak pernah melakukan hal sederhana itu. Tangis Laras semakin menjadi,
Damar semakin tidak tega melihatnya.

“Maaf bos jika dilihat-lihat hujannya semakin deras, masuk saja bos tidak baik terkena hujan
petirnya juga mengerikan” seru salah satu pelayan wanita muda namun berparas hangat
mendekati Damar. Laras menganga melihatnya, dan tangisannya berhenti.

“Apa?! Jadi kamu yang punya kafe ini?! Sungguh?!”

“Hehe iya, kafe baru buka juga, coba-coba saja usaha beginian sekalian refreshing dari
kerjaan di Jakarta” jawab Damar pelan lalu melepaskan tepukannya. Air mata Laras semakin
tak terbendung, di ujung pelupuk matanya sudah berkumpul buliran air mata yang siap
keluar, tangisan pun tak bisa dihindari.
29

“Hei, kenapa kamu menangis?” dengan spontan Damar menyeka air mata di pipi tirus Laras.
Laras tak merespon, biasanya ia paling anti disentuh lelaki asing, tetapi kali ini berbeda.

“Kenapa kamu begitu baik dan sabar? Kenapa kamu membuat aku malu begini? Aku pulang
saja, kalau tetap disini aku dipandang wanita gila oleh semua orang, maafin aku atas semua
ketidak sopanan dan kesalah pahaman ini, maaf karena aku terlalu berharap bertemu Tama
sekarang”

Terbata-bata Laras menyampaikan ucapan itu. Damar semakin kalut, justru ia yang merasa
bersalah karena membuat wanita yang mulanya kesurupan kini menjadi lembut dan lemah,
bagaikan ratu menangis.

“Jangan keras kepala! Ini hujan dan deras, bahaya juga naik motor. Kalau sudah tidak tahan
bagaimana kalau ku antar? Oh iya ini maksudnya baik kok bukan apa-apa, sebagai
imbalannya tolong anterin ke tempat kerja Tama ya, hehe. Mau?”

“Tama tidak ada disana? Aku meminta nomor lain yang bisa dihubungi juga tidak ada. Ke
rumahnya juga tidak ada, orangtuanya tidak tahu dia dimana, sungguh bodoh lelaki itu. Tidak
aku harus pulang sekarang, aku benci hujan dan aku benci menunggu, aku harus melawan
hujan ini, aku harus pulang, aku mau menenangkan diri”

Sesenggukan Laras mengatakan kata-kata itu. Damar kembali menatap erat kedua bola Laras.

“Jangan menatapku begitu, karena sekarang aku lelah makanya tidak aku hajar kamu!”

“Kalau lelah, jujur saja. Kalau lemah, jangan pura-pura kuat, jujur saja! Kalau sakit jangan
ditahan, jujur saja!” ucap Damar begitu hangat dan dalam. Laras kembali terperangah
mendengar ucapan itu, ucapan yang cukup membuatnya nyaman dan damai.

“Kamu tahu apa tentang aku?! Jangan menerka-nerka dan mengatur deh. Urusi saja
urusanmu. Aku pergi, dah!”

Laras mencoba mengalihkan keterpesonaan itu dengan tingkah ketus dan dengan cepat ia
meninggalkan Damar yang masih bengong melihatnya. Melaju pelan namun pasti di bawah
guyuran hujan deras, ya bersama hujan dan air mata membasahi wajahnya, cukup malu
menangis dan marah di depan lelaki asing itu. Menghindar adalah pilihan terbaik, daripada
semakin lama dan semakin dalam lelaki itu menebak isi hatinya, sungguh membuatnya
30

nyaman namun itu bahaya. Laras tidak suka kebaikan dari orang asing, takut semua itu
hanyalah fiktif belaka.

Jalanan panjang, lengang, dan sepi selikur dilewatinya bersamaan dengan hembusan angin
yang mampu membuat bulu kuduk berdiri dan mendinginkan tubuh tetapi membekukan hati
wanita itu. Benar-benar tanpa sadar ia meniggalkan payung merah mudanya yang kini sedang
dipegang Damar, Damar tertawa kecil.

“Haha dasar teledor, kalau sudah begini sepertinya kita akan bertemu lagi wanita aneh,
hehehe”

Sore itu diakhiri dengan kesedihan dan keanehan, hujan yang menyapu semua kisahnya.
Hujan deras yang membuat mereka terpisah sementara, di bawah hujan deras Laras masih
tersedu akan kejadian yang barusan terjadi, akan harapannya yang pupus, di sisi lain Damar
menikmati hujan dengan menyentuhnya saja, ia bahagia. Rindu dengan suasana ini. Rindu
dengan seseorang yang entah sepertinya akan mampu mengisi hatinya.

Payung merah muda, mawar merah. Teka-teki berkesinambungan memang. Damar tahu itu
semua, namun Laras tidak. Laras tetap fokus akan harapannya terhadap Tama, lelaki yang
entah perasaannya hanya sekedar main-main atau serius. Ya Tama mengganggap
persahabatan dengan Laras adalah hal yang penting, namun Laras tidak bisa
menyembunyikannya, perasaan suka selama ini yang dipendam. Semua scenario dan isi hati
itu telah diketahui oleh Damar tanpa harus dikatakan secara langsung, karena Damar bisa
membacanya dan menyimpulkannya.

“Dasar kalian bocah, sungguh kekanakan. Aahh tapi itu lucu juga, hidup memang lucu, lucu
karena menjadi ribet hanya karena perasaan”

Perasaan itu bagaikan warna-warni hidup, tergantung manusia memilih warna yang mana.
Lebih baik hidup penuh dengan warna-warni. Tidak kaku hanya satu warna. Minimal dua
warna. Penuh warna berarti penuh dengan keankeragaman jenis hidup. Biarkan semua warna
bersatu padu, memainkan goresan abstraknya tersendiri, sehingga menghasilkan makna hidup
tersendiri, tergantung dari sudut pandang mana manusia memandangnya.
31

4. Pertemuan Kedua

5 Desember 2016 pukul 15.14 WIB

Cuaca begitu hangat, tidak ada hujan seharian, cukup bersahabat, tidak seperti biasanya.
Begitu juga dengan hati Damar saat ini yang selalu damai dan ya… bersahabat. Di sudut kafe
miliknya ia duduk sambil menyilangkan kaki, membaca berkas-berkas secara serius dengan
sesekali membolak-balikkan ratusan kertas yang bertumpuk itu. Menatap jendela persegi
panjang dan berkusen abu-abu, melepas penat sesaat, sekali-kali menghembuskan dan
mengatur nafas perlahan, rileks. Hiruk pikuk pelanggan dan pelayan di kafe itu tak
mengganggu konstentrasinya, sampai seketika muncullah sosok lelaki dengan tiba-tiba dan
duduk berhadapan dengannya, memberi senyum kecut dan sedikit panik, menyapa Damar
dengan tatapan sedikit takut.

“Selamat sore pak, maaf ya saya merepotkan beberapa hari ini. Maaf saya tiba-tiba
menghilang dan buat kekacauan karena teman saya . . .”

“Kamu darimana saja? Jangan minta maaf ke saya looh. Tuh minta maaf sama temen kamu
siapa ya namanya? Laras ya kalau tidak salah”

“I..ii.iiyaaa pak. Laras namanya. Pasti kemarin dia buat kericuhan ya?!”

“Hmm ya sedikit, tapi tidak apa-apa. Tidak sampai ada barang yang rusak kok. Apalagi
korban hehehehe”

Seketika itu pula sosok wanita yang sedang mereka bicarakan memasuki ruangan ramai itu.
Berjalan pelan dan terpaku menatap sosok Tama, tak ada satupun ekspresi, hanya sebulir air
mata yang tertahan di matanya. Pakaian dinas berwarna coklat muda yang dikenakan wanita
itu amat lusuh dan kotor, penuh dengan cipratan air kubangan hujan, sudah ditebak bahwa
wanita itu buru-buru mengendarai motornya dan ingin segera bertemu dengan Tama tanpa
memerhatikan kondisi jalan berlubang di sekitarnya. Tatapan nanar terlihat di wajah Damar,
namun tatapan takut amat tampak bagi Tama.

“Tama?! Kamu kemana aja selama ini? Kamu menghilang begitu aja, bikin aku khawatir
setengah mati. Kalau memang karena keegoisan aku, ya maaf. Jangan menghilang lagi ya,
nanti aku makin rindu . . .”
32

Didekapnya tubuh Tama. Tama tak berkutik di bawah pelukan wanita itu. Wanita itu
menangis, tak kuasa menahan air matanya, antara menyesal, rindu, dan perih semua menjadi
satu. Namun tatapan Tama tetap saja kosong. Damar hanya tersenyum, miris memang.

“Tama sudah katakan aja yang sebenarnya, kasihan dia. Jangan membuat perasaannya
semakin kacau” ucap Damar mengisi di tengah kondisi romantis itu. Tama melepaskan
pelukan Laras, lalu menatap Damar dengan ekspresi terkejut.

“Apa yang kamu ketahui pak? Jangan asal menerka!”

“Aku nggak asal menerka kok. Aku yang menyuruh Laras datang kesini dan kemarin aku
meminta nomor handphonenya dan ya akhirnya haru kuberi tahu semua apa yang aku
ketahui”

Laras semakin sendu, kedua kakinya tidak kuat menahan beban tubuh dan beban hati yang ia
pikul selama ini, dengan lemas ia duduk di samping Damar dan menutup wajah dengan kedua
tangannya.

“Mawar merah yang sengaja kamu beli buat ke pemakaman waktu itu, padahal sebelumnya
aku tidak pernah memesan mawar merah. Aku tidak memesan apapun. Tapi karena kamu
ingin memberi hadiah mawar merah itu kepadaku ya aku terima”

“Tapi anehnya kenapa di mawar itu ada secarik kertas bertuliskan nama Laras si payung
merah muda?! Dan entah kenapa sengaja atau tidak kamu meninggalkan handphone juga di
mobil itu, dan ya benar sekali nomor yang selalu mencoba menghubungi kamu ya ternyata si
Laras” lanjut Damar dengan detail dan ekspresi tenang, namun terdengar tegas.

Tama tak berkutik, dadanya sesak, sesak akan ketahuan isi hatinya, begitu juga wajahnya
memucat, mati gaya kali ini. Tak bisa dipungkiri, jurus andalannya sebagai playboy tak
muncul, sungguh ironi.

“Iiiyaa! Semua benar! Aku memiliki rasa dengan Laras. Aku tahu Laras juga begitu. Tapi,
tapi aku nggak bisa melakukan itu semua. Aakkuu, aku sebenarnya menghilang beberapa hari
ini benar-benar disengaja. Aku sengaja melakukannya, aku benar-benar ingin menghilang
dari kamu Laras!”

“Tapi kenapa Tama? Kenapa?! Kamu sungguh konyol melakukan itu semua. Kamu bukan
anak kecil lagi ya, yang jika ada masalah justru menghindar, bukan diselesaikan!”
33

Teriakan Laras kali ini membuat seisi pengunjung menatap ke arahnya, menatap aneh. Tama
semakin kalut, namun Damar begitu tenang.

“La..la..ras, lebih baik kita keluar saja. Jangan disini! Jangan buat ulah lagi kamu!” ucap
Tama sedikit terbata namun keras. Dengan sedikit memaksa ia menarik tangan kanan Laras
dan menarik seluruh tubuhnya untuk mengikuti langkah kaki Tama. Damar tak bisa berkutik,
hanya ditatapnya sendu.

Langkah kaki Tama berhenti di dalam mobil sedan hitam yang sedari kemarin masih terparkir
di posisi yang sama, tanpa meminta pengembalian kunci rupanya Tama punya cadangannya.
Dengan wajah merah, air mata deras mengalir, dan kekesalan di hatinya, Laras menatap tajam
Tama. Kali ini Tama berani memandangnya, melekat di kedua bola mata wanita itu.

“Laras, dengar. Mungkin kali ini semua sudah terbongkar, jujur aku marah dan malu. Marah
karena kenapa harus orang lain yang mengungkapkan semuanya, malu, ya malu kepadamu,
sungguh tidak gentle diriku sebagai lelaki…”

“Lalu? Masih mau kamu ulangi lagi kelakuan kamu ini?”

“Jujur, aku nggak tahu kenapa perasaan ini bisa tumbuh. Aku tahu itu semua kamu duluan
yang merasakan, awalnya aku merasa risih, mengapa sahabat baik harus memiliki perasaan
terhadapku. Namun akhirnya aku menyerah, menyerah untuk tidak menyukaimu…” ucapan
Tama terhenti, ditundukkannya kepala itu. Dilipatnya ke dalam bibir tipisnya. Tubuhnya
bergetar. Sambil terbata dan tertahan, Tama berusaha melanjutkan. Diambilnya nafas yang
sedalam-dalamnya, lalu dihembuskan tergesa.

“Aku nggak bisa membuat hubungan kita menjadi lebih serius lagi. Aku nggak bisa, kita
cukup sahabat, ya. Larasku…”

Laras sungguh terkejut. Jawaban yang diberikan tidak sesuai harapannya.

“Kenapa? Apa susahnya? Kita sama-sama memiliki perasaan itu kan? Apa salahnya? Apa?!
APA!! Kamu Jahat Tama, JAHAAATTT!!! KAMU BISANYA CUMA LARI DARI
KENYATAAN DAN DENGAN TEGANYA SELALU BERUSAHA MENJODOHKANKU
DENGAN LELAKI LAIN, KAMU EGOIS, JAHAT!!!!!” tak terbendung lagi amarah Laras,
teriakannya sungguh keras, dengan emosi ia memukul dada Tama berkali-kali menggunakan
kedua tangannya. Tangisnya tak terbendung. Sungguh ironi ketika Tama hanya pasrah
diperlakukan seperti itu. Tak lama kemudian Laras berhenti memukulinya, lalu menyeka air
34

matanya yang sedari tadi membasahi pipinya. Lalu ditatapnya pemandangan keluar jendela di
sebelah kirinya yang tepat menghadap halaman café Damar. Tampak beberapa pelayan yang
dengan antusias dan penasaran melihat mobil yang sedang mereka tumpangi ini, penasaran
dengan apa yang terjadi, mengapa terdengar teriakan wanita yang begitu miris didengarnya.
Laras menghela napas, amat panjang. Berusaha untuk menenangkan diri kembali. Lalu
tertunduk lesu, dan menutupi kedua wajahnya. Tama hanya diam dan tak bergeming.

“Kalau begitu, kamu harus kasih aku satu alasan, alasan kenapa kita gak bisa menjalin
hubungan yang serius?! Kalau aku sudah puas dengan jawabanmu dan itu dapat diterima, aku
akan langsung pulang, tapi jika tidak, aku akan menghajarmu!”

“Hmm, Laras, aku… aku nggak bisa kehilangan kamu, jujur selama aku lari dari kamu,
karena aku takut mengecewakan kamu, aku takut perasaan ini semakin menjadi, aku takut hal
seperti ini akan terjadi, tapi Laras… Dengar baik-baik. Bukannya aku yang menolak semua
ini, tapi aku tidak bisa membantah keinginan mama dan papaku. Kamu tahukan, akhir-akhir
ini papa sakit-sakitan? Aku sebagai anak lelaki mereka satu-satunya, yang selama ini belum
bisa membahagiakan mereka, yang bisanya hanya menyusahkan mereka dengan kenakalanku
ini, aku sudah kapok, kapok untuk tidak menurut lagi. Aku takut tidak ada waktu lagi buat
papa, dan sudah lama papa memperkenalkanku dengan gadis impiannya, yang dijodohkan
denganku. Aku sungguh bingung, pernah sekali berontak dan akhirnya adu mulut hebat
dengan papa, kamu tahu karena apa? Karena aku mengatakan sejujurnya kalau aku ingin
menjadikan Laras pendamping hidupku. Namun penyakit stroke papa kumat, aku merasa
sangat berdosa sebagai anaknya, aku sungguh tidak tahu harus apalagi, aku tetap akan
menikahi gadis pilihan papa, dan tidak akan pernah melepaskan perasaan ini kepadamu…
Laras, maafkan aku”

Sungguh penjelasan yang amat panjang, namun mengena di hati terdalam Laras. Tak sepatah
katapun yang mampu terucap oleh Laras. Matanya berbinar, menatap lekat ke arah Tama, lalu
memeluk Tama, sambil menepuk punggung lelaki itu. Tanpa disadari Tama menangis, air
matanya membasahi punggung Laras, dan semakin erat pula ia memeluk Laras.

“Biarkan kita tidak bisa menyatu di dunia ini, tapi aku harap di kehidupan lain aku dan kamu
bersatu. Aku, sungguh menyayangimu Laras. Sahabatku terbaik dan tercantik di
dunia…maafkan aku.”
35

Dilepaskannya pelukan itu. Laras kembali menatap Tama, kosong. Tak ada lagi air mata yang
mengalir, lalu dengan sigap ia memberi kado yang dibelinya kemarin. Tama menatapnya
bingung. Dan secara bergantian Tama memberi dua kuntum mawar merah kepada Laras, dan
diterima oleh gadis itu dengan cuma-cuma. Tak ada pembicaraan kali ini, bisu dan hening.
Cukup puas akan jawaban Tama, dengan cepat Laras keluar dari mobil itu, memasuki
ruangan café yang rupanya masih terduduk Damar yang sedang sibuk dengan berkas-
berkasnya, tak peduli dengan keriuhan yang barusan saja terjadi. Semua pengunjung dan
pelayan berbisik keras sambil menatap aneh kearah Laras. Laras hanya termangu dan
terduduk lemas tepat di hadapan Damar. Damar sadar akan kehadiran wanita itu. Ditatapnya
dengan heran sambil menggaruk jidatnya yang tidak gatal itu. Laras menatap kosong. Damar
berkali-kali mengayunkan tangan kanannya tepat di hadapan Laras, semoga saja Laras sadar,
tapi rupanya tidak. Tanpa aba-aba, seketika Laras menarik tangan Damar tersebut, sedikit
keras, dan membuat tubuh Damar sedikit tertarik. Pelayan Damar pun sekejap mendatangi
bosnya yang tampak terancam, namun Damar mengelak dan menyuruh mereka kembali.
Damar menatap aneh ke wanita yang sedang galau akut ini.

“Ini, aku tidak butuh bunga mawar merah ini. Aku tidak mau menerimanya. Anda saja yang
mengambil mawar ini, kalau tidak suka kasih saja ke istri Anda…” ucap Laras lemas sambil
menyodorkan mawar merah pemberian Tama tersebut. Damar menatap aneh Laras, semakin
aneh, dan dilepaskannya genggaman tangan wanita itu. Lalu duduk dengan santai, dan
diambilnya mawar merah cantik itu, tak tega melihat Laras yang begitu frustasinya.

“Bolehdeh mawarnya, cantik. Lucu deh baru kali ini ada wanita yang ngasih bunga ke
seorang pria…”

“Aku kan sudah bilang untuk istri Anda, berarti bukan untuk pria”

“Aku tidak punya istri, eh tidak maksudnya belum.”

Yang mulanya kosong seketika Laras terkejut dan menatap aneh balik kearah Damar. Damar
pun geleng-geleng kepala, sambil menyiumi bau bunga mawar yang sungguh wangi baginya.

“Mana mungkin di usia mu belum memiliki istri. Ya sudah kalau begitu berikan saja kepada
pacarmu”

“Aku juga belum punya pacar” jawab Damar cepat masih dengan menatap mawar merah itu.

“Ya sudah, berikan kepada teman special perempuan mu.”


36

“Aku juga nggak ada teman special perempuan!”

“APA?!!”

“Wah jangan heran gitu dong, nyindir nih sepertinya!” ucap Damar dengan tersenyum simpul
dan tertawa kecil.

“Ya sudah, terserah buat siapa aja. Yang penting aku mau bilang terimakasih berkat Anda,
semua urusanku kelar dengan Tama, meski menjengkelkan tapi Anda sungguh berjasa.
Maafkan segala kegaduhan yang telah saya perbuat. Sekian dan terimakasih. Saya harus
langsung pulang! Selamat sore.”

“EEEhhhh, tunggu dulu!” Damar berusaha menahan Laras yang sudah beranjak berdiri.

“Formal amat si kata-katanya, panggil aja aku Damar, hmm atau kalau agak risih karena
umur kita yang jauh panggil om juga gapapa!”

“Ya sudah, paman aja lebih nyaman sepertinya” sambut Laras, lalu menyodorkan tangan
kanannya, menjabat tangan Damar, dan sigap pergi meninggalkan ruangan itu. Mobil sedan
hitam masih terparkir di tempat yang sama, Tama menatap nanar Laras. Tidak bisa
melakukan apapun. Sedangkan Damar tersenyum kecil sambil menatap bunga mawar merah
itu. Dan tak disangka sosok tubuh Tama sudah berada di hadapannya.

“Maaf bos atas segala kerepotan ini. Saya rasa cukup sampai disini, saya harus pamit pulang
sekarang!”

“Hei, nanti tunggu dululah, makan dulu kamu, cicipi hasil menu terbaik hari ini. Bagaimana?
Setuju kan?”

Tama mengangguk pasrah, ya tidak munafik kejadian hari ini sungguh menguras hati dan
energinya yang cukup membuatnya kelaparan.

Sambil menyantap lahap makanan yang disajikan itu, di hadapan Damar, Tama tidak malu-
malu melahap semuanya. Damar hanya tersenyum geli dan senang.

“Kamu pasti kesal ya dengan tindakan saya ini, jujur aja ya!” tanya Damar ramah. Dengan
makanan yang masih memenuhi mulutnya, Tama menjawab dan tetap melanjutkan
makannya.
37

“Ya, jujur aja saya kesal, tapi bos ada benarnya juga. Kalau kelamaan dipendam juga nggak
akan kelar masalahnya. Terimakasih bos untuk semuanya, walau menyakitkan setidaknya
saya sudah berani jujur”

“Ya saya juga minta maaf dan terimakasih, maaf ya jika saya terlalu ikut campur, tapi jujur
saya tidak tega melihat Laras yang kebingungan mencari kamu. Semoga ini memperjelas
hubungan kalian. Jadi, kapan kamu dan gadis yang dijodohkanmu akan menikah?”

Tama terdiam, berhenti mengunyah, dan menatap sendu Damar.

“Dua bulan lagi saya akan menikah, bos…?”

“Iya?”

“Perlukah Laras kuundang dipernikahanku nanti?”

“Kalau kamu tidak tega lebih baik jangan, tapi kalau Laras menawarkan diri dan sudah siap
ya silahkan saja diundang..”

“Bos, apakah saya egois meninggalkan Laras? Jika saja papa tidak bersikeras dan sampai
sakit seperti ini, mungkin takdir kami bisa bersatu…”

“Jangan persalahankan keadaan, ini takdir Tuhan! Terima saja, mungkin di awal sakit, tapi
kamu pasti bisa!”

“Apakah kebisaan saya untuk menerima takdir ini juga bisa melupakan perasaanku dengan
Laras? Selamanya? Meski kami akhirnya tidak bersatu?”

Damar terdiam, menatap kosong jendela, seperti kembali ke masa lalu.

“Adalah bohong jika sakit dan perasaan cinta kita untuk orang yang tidak bisa bersatu hilang
begitu saja, selamanya akan tetap membekas, tergantung bagaimana cara kamu
menyikapinya, jika kamu mendapatkan seseorang yang lebih dari orang itu, lebih akan
membuat perasaanmu kepada orang baru itu, mungkin perasaan itu akan perlahan hilang.
Tapi, semua butuh waktu…”

Damar menghela napas panjang, lalu menunduk lesu. Tama yang mulanya semangat melahap
makanan, berhenti dan menatap penasaran Damar.

“Bos, maaf, apakah ini pengalaman pribadi?” tanya Tama penasaran.


38

Damar langsung tersenyum simpul lalu tertawa kecil. Tama tampak bingung dengan tingkah
bosnya itu. Dengan lembut Damar mengusap kepala Tama, Tama menjadi salah tingkah dan
sedikit mundur untuk menghindari Damar.

“Bos, maaf saya masih normal!”

Damar yang mulanya bingung lalu tertawa terbahak.

“Hahahaha, kamu lucu, kenapa sih kamu? Baru diusap kepalanya saja sudah baper. Saya
melakukan itu biar kamu tahu, itu adalah tindakan saya buat keponakan-keponakan yang
sukanya banyak bertanya, tujuannya biar mereka langsung diam”

Tama semakin merasa bersalah, lalu tertunduk lesu dan tidak semangat melanjutkan
makannya.

“Maaf bos, saya sudah lancang”

“Tidak. Tidak apa-apa. Saya suka pertanyaan kamu, tapi untuk pertanyaan terakhir saya tidak
bisa jawab, ya sudah diabisin tuh makannya, nanti dingin nggak enak lagi.”

Tama mengangguk dan melanjutkan rutinitas mengunyahnya. Tak diduga Damar


menyodorkan amplop coklat, menyuruh Tama menerimanya, dan dengan spontan Tama
membuka isinya. Mata Tama terbelalak, dan Damar dengan kebiasaannya hanya tersenyum
simpul.

“Bos ini sungguh kebanyakan. Biaya penyewaan tidak sebanyak ini bos!”

“Tidak apa-apa ambil saja, kamu harus menerimanya. Ingat sebentar lagi kamu akan
menikah, butuh modal, maaf jika yang saya berikan tidak banyak”

Tama meneteskan air mata, Damar tertawa, sungguh polos lelaki itu di mata Damar. Damar
sungguh tidak percaya jika Tama adalah lelaki cap playboy seperti yang Laras katakan
sebelumnya. Bagi Damar, Tama seperti keponakannya sendiri, sungguh membuatnya gemas,
gemas karena susah sekali berlaku jujur akan perasaanya.

“Baik bos saya terima. Terimakasih banyak bos, terimakasih. Saya tidak akan melupakan bos.
Apapun itu, jika bos butuh bantuan, saya siap membantu”
39

Anda mungkin juga menyukai