Anda di halaman 1dari 9

SEMINAR NASIONAL

TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)


ISSBN : 978-602-71928-1-2

POLA TATA RUANG ARSITEKTUR PESISIR SEBAGAI ALTERNATIF DESAIN


RUMAH USAHA DI DESA KALANGANYAR SIDOARJO
Fairuz Mutia1, Eva Elviana2, Adibah Nurul Yunisya3
123
Program Studi Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
Jl. Rungkut Madya, Surabaya
E-mail: fairuzmutia.ar@upnjatim.ac.id

ABSTRAKS
Kalanganyar merupakan kawasan pesisir yang berkembang, sehingga sebagian warga menggunakan hunian
sebagai alternatif area untuk mendapatkan penghasilan dengan membuka usaha. Profesi warga sebagai pengelola
tambak maupun nelayan menghasilkan komoditas bahari berupa hasil laut/tambak. Jauhnya jarak antara pasar
dengan areal pertambakan menyebabkan banyak warga berjualan di depan rumah, yang berakibat hunian terkesan
kumuh karena memiliki sanitasi kurang baik dan secara visual kurang menarik minat pembeli. Hal ini menyebabkan
perlunya pola tatanan ruang dan desain yang baik bagi hunian usaha. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dan metode perancangan pragmatis. Dari hasil penelitian, belum adadesain rumah usaha yang baik, dalam tata
ruang maupun kualitas sanitasinya. Sebagian besar masih memanfaatkan teras secara apa adanya. Dengan
menggunakan pendekatan arsitektur pesisir, dihasilkan pola tata ruang yang didasarkan dari nilai efektifitas sesuai
kebutuhan, fungsi, estetika dan komersial. Hasil penelitian mengutamakan aplikasi filosofi ruang arsitektur pesisir
dengan penggunaan material lokal dalam membuat model ruang usaha yang fungsional

Kata Kunci: arsitektur pesisir, material lokal, rumah-usaha, tata ruang

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa Kalanganyar merupakan desa yang terletak di ujung timur KabupatenSidoarjo. Dengan kondisi
geografisnya yang berada di pesisir, maka sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan maupun
pengelola tambak. Luas tambak yang ada berada di kisaran 2/3 luas kawasannya, menjadikan kawasan ini sebagai
area yang didominasi oleh budidaya ikan bandeng dan udang. Beberapa area tambak tersebar hampir berbatasan
langsung dengan laut, dan berada di area yang cukup jauh dari area permukiman. Area permukiman berada di
sebelah barat kawasan, dan beberapa tersebar di sepanjang jalan menuju ke timur kawasan. Oleh karena terletak jauh
dari pusat keramaian permukiman, maka beberapa hunian yang berada di areal tambak memanfaatkan areal depan
rumahnya untuk menjual produk hasil budidaya tambak maupun hasil tangkapan dari laut. Hal ini juga diakrenakan
jauhnya pasar desa dari areal pertambakan, sehingga para penjual membutuhkan waktu tempuh yang cukup jauh jika
ingin berjualan di pasar, sehingga mereka memutuskan untuk menjual produk mereka dari rumah sendiri.
Beberapa hunian yang melakukan fungsi hunian – usaha seperti ini cukup banyak, dan bertetangga. Masing –
masing hunian memiliki usaha masing – masing. Hunian ini kemudian terkesan sangat kumuh dengan sanitasi yang
kurang baik, karena langsung melakukan pembersihan hasil tambak/laut di area tersebut. Limbah perut ikan dan
organ dalam, membuat polusi visual dan udara. Hal ini juga mengundang lalat untuk datang dan berterbangan,
mengakibatkan higienitas produk disangsikan.
Sedangkan merujuk pada kondisi eksisting yang merupakan bagian dari geografis khas pesisir, maka selayaknya
terdapat nilai – nilai dan pola tata ruang khas pesisir yang dapat diterapkan pada desain rumah usaha yang ideal.

1.2 Tinjauan Pustaka


Menurut Egam dan Rengkung (2016) karakter fisik permukiman sebagai kawasan permukiman pesisir
ditandai dengan aktivitas kolektif sebagai nelayan. Aktivitas nelayan dijadikan identitas permukiman sebagai
permukiman nelayan yang diimplementasikan dalam pemanfaatan ruang baik ruang secara personal dalam satu
hunian, maupun ruang komunal di sepanjang pesisir dalam kawasan permukiman. Oleh sebab itu dapat disimpulkan
bahwa pemanfaatan potensi alam berupa tepian air menjadi fokus utama ciri arsitektur pesisir. Menurut Alamsyah
dalam Putri (2013) tipe bangunan perumahan sesuai kultur komunitas pemukim kepulauan di Indonesia terbagi
menjadi 6 jenis, yakni :

SNT2BKL-ST-6 43
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

1. Rumah Non Panggung yang berada di daratan


2. Rumah Panggung yang ada di air tawar
3. Rumah terapung yang ada di air tawar
4. Rumah panggung yang terdapat di area pasang surut air laut
5. Rumah panggung di atas permukaan air laut
6. Rumah terapung di atas laut

Dalam konteks permukiman, tipologi fungsi sebagai permukiman pesisir dengan aktivitas nelayan, menunjukan
perbedaan yang cukup kental. Semakin menjauh posisi bangunan hunian dari pesisir pantai, karakter permukiman
pesisir akan melemah (Egam dan Rengkung, 2016). Menurut Fauzy, Sudikno dan Salura (2012) berdasar catatan
sejarah ada tiga etnis pendatang yang melakukan kegiatan perdagangan di kawasan kota Pesisir, bahkan menetap
dalam waktu yang cukup lama, yakni : etnis Cina, Arab dan Belanda. Pada era tersebut mulai terjadi akulturasi
budaya yang kemudian menjadi kunci dan benih tumbuhnya budaya pesisir.
Kawasan pesisir dianggap sebagai kawasan yang luwes karena terbuka bagi pendatang dan memudahkan proses
akulturasi budaya ini berlangsung. unsur-unsur budaya yang membentuk cikal bakal budaya Pesisir. Kawasan kota
Pesisir dianggap sebagai daerah yang terbuka bagi pendatang, sehingga memudahkan terjadinya proses pertemuan
dan percampuran budayamelalui kegiatan berdagang. Fauzy, Sudikno dan Salura (2012) menambahkan, dalam
perkembangannya percampuran budaya (Cina, Arab dan Belanda) memberikan pengaruh pada arsitektur masyarakat
kota Pesisir yang terwujud dalam berbagai ragam nilai dan bentuk yang didasarkan pada sosok dan wujud
arsitekturnya.
Bentuk dan pola tata ruang pesisir juga memiliki keterhubungan dengan adanya tipe kegiatan dan tipe ruang.
Secara garis pesisir menurut Fauzy, Sudikno dan Salura (2012), penggunaan pola tata ruang pada masyarakat Jawa,
fokus kepada hubungan antara manusia tersebut kepada Tuhannya, kepada alamnya, kepada manusia lain, dan juga
dirinya sendiri.

1.3 Metodologi Penelitian


Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Menurut Groat dan Wang (2002) kualitatif merupakan penelitian
dengan fokus multi-metode yang berusaha menafsirkan pengertian atau makna yang diberikan oleh masyarakat,
sehingga berfokus pada interpretasi dan makna dan mengutamakan setting ilmiah. Tujuan dari penelitian kualitatif
adalah mengungkapkan fakta, keadaan, fenomena, dan variabel dengan apa adanya sesuai dengan kondisi di lokasi
penelitian. Analisa pola tata ruang eksisting menggunakan teknik typological analysis dan dibahas secara deskriptif.
Hasil sintesis kemudian digunakan sebagai konsep awal rancangan, yang kemudian dikejawantahkan menjadi desain
dengan metode perancangan pragmatis. Nilai – nilai arsitektur pesisir dirangkum secara character appraisal dan
menjadi konsep rancangan. Hal ini kemudian menghasilkan pola tata ruang hunian – usaha di Desa Kalanganyar
Sidoarjo yang efektif, higienis, dan juga menarik secara visual.
.

2. PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Umum
Desa Kalanganyar terletak di batas timur Kabupaten Sidoarjo, yang hanya memiliki areal permukiman tidak
lebih dari sepertiga luasan desanya. Sebagian besar luasan desa dimanfaatkan sebagai area pertambakan. Menurut
Spillane dalam Tahir (2005), salah satu pembentuk desa wisata adalah attractions. Attractions ini merupakan
destinasi utama dalam aspek wisata lingkungannya. Aspek ini perlu didukung dengan aspek – aspek lain, salah
satunya adalah Facility (Elviana dkk, 2018). Jika merujuk pada kondisi karakter kawasan, menggunakan character
appraisal maka dapat ditabulasikan beberapa karakter pariwisata kawasan Desa Kalanganyar sebagai berikut:

SNT2BKL-ST-6 44
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

Tabel 1. Character Appraisal Aspek Wisata Desa Kalanganyar (Elviana dkk., 2018)
No, Aspek Wisata menurut Character Appraisal Kawasan
Spillane dalam Tahir
1 Attractions a. Potensi utama kawasan adalah Kolam Pemancingan dan Pertambakan

b. Potensi yang belum ada namun dapat menjadi daya tarik utama adalah wisata
susur sungai

2 Facilities Beberapa fasilitas penunjang yang mampu mendukung potensi utama kawasan:
a. Warung makanan/ fasilitas memasak produk tambak/pemancingan

b. Hunian usaha yang menjual produk / olahan produk tambak dan laut

3 Infrastructure Jaringan infrastruktur yang ada pada area Desa Kalanganyar meliputi akses jalan
beraspal dan paving (lingkungan, saluran PDAM dan listrik serta kabel telepon
dan internet)
4 Transportation Transportasi pada kawasan didominasi oleh adanya kendaraan pribadi berupa
sepeda motor, mobil pribadi, namun terdapat jaringan angkutan umum yang
menjangkau hingga hampir ke seluruh kawasan
5 Hospitality Keramah – tamahan masyarakat tergambar dari begitu terbukanya penduduk
dalam menerima pendatang baru, baik sebagai wisatawan maupun penduduk baru

SNT2BKL-ST-6 45
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

Dari hasil tabulasi character appraisal kawasan ini didapatkan bahwa hunian usaha merupakan aspek facilities,
dimana aspek ini merupakan penunjang dari aspek wisata utama kawasan. Aspek bahari inilah yang mendorong
melimpahnya hasil tambak dan tangkapan nelayan. Produk dan hasil tambak ini dijual di pasar desa, selain itu juga
langsung dijual di kolam pemancingan. Dikarenakan lokasi pasar desa yang terletak cukup jauh dari beberapa areal
pertambakan terdekat maka beberapa pengelola memutuskan untuk berjualan di depan rumah.

Gambar 1. Jarak tempuh Pasar Desa dengan Permukiman (sumber: googlemaps, 2018)

Hal ini pada akhirnya menimbulkan magnet baru bagi kawasan, terutama akhirnya beberapa bangunan privat
yang beralih menjadi hunian usaha. Hunian yang beralih fungsi ini bertetangga, sehingga terdapat satu deretan
khusus yang memiliki fungsi sama yakni hunian – usaha yang berfokus pada hasil tangkapan laut dan tambak.

Gambar 2. Hunian – Usaha Desa Kalanganyar yang menjual hasil tambak/laut

2.2 Pola Perilaku


Dengan adanya beberapa hunian yang berderet membentuk fungsi baru, terbentuklah magnet kawasan yang baru,
dan berpotensi memiliki fungsi khusus yang juga baru. Hal ini terlihat dari adanya beberapa fungsi baru yang
terletak di seberang hunian usaha, membuka warung makanan yang menawarkan untuk mengolah hasil bakar olahan
produk tambak/laut. Saat ini, lokasi pasar desa lama sudah tidak lagi menjadi landmark kawasan yang diketahui oleh
pengunjung, namun pusat keramaian baru ini yang dinamakan Pasar Kalanganyar (data wawancara, 2018). Hal –
hal yang bersifat non fisik seperti ini perlu untuk dapat difasilitasi lebih lanjut.
Tipologi hunian pesisir menurut Fauzy dkk (2012) terdapat konsep fungsi dalam penggunaan ruang masyarakat
pesisir. Pada pola penggunaannya, hunian masyarakat pesisir didominasi budaya arab pada pesisir utara Jawa Timur.
Hal ini nyatanya berpengaruh pada pola hunian yang ada. Beberapa contoh penggunaan tipologi ruang rumah
penduduk dapat dilihat sebagai berikut:

SNT2BKL-ST-6 46
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

Gambar 3. Contoh pola hunian masyarakat pesisir utara Jawa Timur (Fauzy, 2012)

Sebagian besar masyarakat Kalanganyar menggunakan teras rumahnya untuk dialih-fungsikan menjadi area
usaha. Penggunaan ruang dalam dan tipologi ruang dalam rumah bervariasi, namun kesemuanya memiliki kesamaan
yakni menggunakan ruang halaman dan teras rumah sebagai area usaha. Hal ini dikarenakan lokasi yang berbatasan
dengan jalan raya sebagai akses, yang menimbulkan potensi usaha yang cukup menggiurkan. Beberapa hunian
akhirnya bertransformasi menjadi sepenuhnya fungsi usaha pada lantai 1, dan fungsi hunian di lantai 2.
Pola ruang usaha pada hunian-usaha ini bervariasi, dan didapatkan beberapa pola yang menjadi pola umum pada
hunian di Desa Kalanganyar sebagai berikut:

DAPUR DAPUR

R. TIDUR R. TIDUR

R. TIDUR R. TIDUR

RUANG RUANG
TAMU TAMU
& &
RUANG RUANG
KELUARGA KELUARGA

TERAS

HALAMAN RUANG
USAHA

Gambar 4. Perubahan Pola Tata Ruang Hunian menjadi Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

SNT2BKL-ST-6 47
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

Penggunaan ruang – ruang usaha ini belum memperhatikan aspek fungsional ruang, dan juga higienitas. Benda –
benda ditata ala – kadarnya dan digunakan material seperlunya untuk membentuk ruang yang dapat digunakan untuk
berjualan. Penutup atap menggunakan kanopi ataupun perpanjangan atap rumah. Beberapa juga tidak secara msif
ditutup, melainkan dibiarkan semi terbuka untuk mengurangi polusi udara amis yang ditimbulkan oleh hasil laut
yang dijual.

2.3 Nilai Non Fisik Arsitektur Pesisir : Pola Perilaku Jual Beli Masyarakat
Dalam standar toko ikan, Neufert (2002) menyatakan perlunya ice cooler dan desain perabot yang terpadu untuk
menanggulangi aspek sanitasi produk ikan. Hal ini cukup sulit diterapkan jika menggunakan Neufert yang
merupakan standar barat, karena sangat memaksimalkan fungsi ice cooler yang menggunakan listrik. Perlu adanya
sistem standarisasi yang sama nyamannya dengan standar ini namun mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang
lebih ramah terhadap kehidupan masyarakat pesisir nusantara. Jika mengacu pada standar barat, ada sebuah proses
yang akan dilewati. Perbedaan budaya yang ada di Indonesia mengakibatkan terjadinya kegiatan yang berbeda, yang
memungkinkan untuk dapat pula dipertimbangkan untuk diwadahi.
Alternatif pola tata ruang yang telah ada diolah sedemikian rupa bergantung pada program fungsi yang akan
diwadahi. Beberapa analisa aktifitas pelaku baik penjual dan pembeli dapat ditabulasi sebagai berikut:
Tabel 2. Analisa Aktifitas Pelaku Jual Beli Hunian – Usaha Desa Kalanganyar
No. Aktifitas Pelaku Aktifitas Pelaku Visualisasi Aktifitas
1 Penjual Berjualan :
1. Menawarkan barang dagangan
2. Memilihkan ikan yang akan dibeli
3. Menimbang kilogram berat ikan
4. Membersihkan organ dalam dan
sisik ikan
5. Memasukkan ikan ke dalam
bungkus
6. Menyerahkan kepada pembeli

2 Pembeli Membeli :
1. Memilih – milih barang dagangan
2. Menunjuk barang yang akan
dipilih
3. Meminta untuk dibersihkan
4. Menerima ikan dan membayar

Dari hasil tabulasi ini didapatkan kebutuhan – kebutuhan proses jual beli yang perlu untuk diwadahi dalam
desain pola tata ruang yang fungsional bagi hunian – usaha di Desa Kalanganyar. Proses dan aktifitas pelaku ini
kemudian dihubungkan menjadi bubble diagram yang sesuai dengan pola dan hubungan kedekatan aktifitas yang
ada sebagai berikut

Timbangan Display Area


Produk Hasil Membersih-
Laut/Tambak kan Produk

Keterangan:

: Penjual

: Penjual dan Pembeli

SNT2BKL-ST-6 48
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

Gambar 5. Pola Aktifitas Pelaku Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

Pola – pola ini kemudian digunakan dalam organisasi ruang yang ideal sesuai dengan kapasitas dan interaksi
pelaku yang ada. Menggunakan metode pragmatis, digunakan letak perabot yang sesuai dengan organisasi ruang
yang ada dalam beberapa alternatif sebagai berikut
Tabel 3. Alternatif pola tatanan ruang usaha pada hunian Desa Kalanganyar

Teras Teras
+0.25 +0.25
R. Usaha
+0.25
R. Usaha
+0.05
+0.05

Desain Eksisting Alternatif Desain 1


Kelebihan: Kelebihan:
1. Tidak menggunakan space yang 1. Mewadahi segala aktifitas utama jual
terlalu banyak – beli ikan
2. Pengaturan ruang dapat diubah 2. Memiliki akses privat – publik
secara fleksibel 3. Memiliki sedikit area hijau
4. Memaksimalkan space yang ada
Kekurangan:
1. Tidak ada ruang hijau Kekurangan:
2. Tidak ada area untuk mencuci dan 1. Pengaturan ruang yang kurang
memebersihkan ikan yang layak fleksibel
3. Sirkulasi privat dan publik sama

Dari hasil analisa fungsi masyarakat pesisir Desa Kalanganyar ini didapatkan alternative desain pola ruang yang
memungkinkan adanya pewadahan aspek – aspek kegiatan masyarakat pesisir sekaligus mewadahi aspek higienitas.
Pola tata ruang ini dapat dikembangkan lebih jauh menjadi detail perabot dan pemipaan saluran air kotor dan air
bersih yang baik dan mendukung tingkat higienitas ruang.

2.4 Nilai Fisik Arsitektur Pesisir sebagai Konsep Desain Tata Ruang
Pola perilaku masyarakat pesisir sejatinya merupakan pengaruh dari akulturasi kebudayaan, dan hal ini pula yang
membentuk nilai – nilai arsitekturnya. Belum ada pattern yang jelas dalam tipologi arsitektur pesisir selain dari tipe
struktur dan konstruksinya. Terkait nilai – nilai ruang dan bentuk merupakan proses akulturasi budaya yang bisa
beragam antara area satu dan lainnya. Nilai – nilai fisik ini kemudian diinterpretasikan dalam bentukan – bentukan
arsitektural yang mampu menunjang pola aktifitas baru ini

2.4.1 Struktur dan Konstruksi


Penggunaan struktur dan konstruksi yang mencerminkan kekhas-an arsitektur pesisir yakni dengan
menggunakan system panggung, walaupun hunian tidak berada di atas air. Penggunaan system panggung
sebenarnya juga sudah sering dilakukan terutama pada masa Jawa Kuno (Darwanto, 2012). Penggunaan system ini
selain memberikan area resapan air yang ideal, juga mampu menjadi ciri khas yang unik bagi kawasan. Adanya

SNT2BKL-ST-6 49
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

leveling bertingkat pada area ini juga mampu menjadi pemisahan fungsi area komersial (usaha) dan area private
(hunian). Kemudian penggunaan material – material organic yang berasal dari alam dapat menjadi bahan utama
untuk memberikan visual yang baik dan mampu memenuhi kebutuhan ruang, terutama memberikan area resapan air
yang cukup bagi hunian dengan lahan yang terbatas

Teras
+0.25
R. Usaha
+0.40

+0.05

Gambar 6. Alternatif Penggunaan Struktur - Konstruksi Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

2.4.2 Fasade dan Isometri Bangunan


Fasade bangunan yang mencerminkan kekhas-an arsitektur pesisir dapat dicerminkan melalui adanya
penggunaan – penggunaan sumbu simetris dan non simetris sebagai akulturasi antara budaya colonial yang kental
dan budaya luwes khas masyarakat Jawa.

Gambar 7. Alternatif Fasade Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

3. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pola tatanan ruang masyarakat pesisir sangat bergantung
pada budaya apa yang mengakulturasinya. Bentuk akulturasi ini begitu beragam, dan tidak menjadi baku dan
bersifat sangat kaku. Keluwesan bentuk yang dapat diambil dari falsafah budaya Jawa ini sangat mempengaruhi
proses penggunaan ruang dan bentuk yang ada. Jika ditelaah pada kondisi non fisik masyarakat pesisir, maka dapat
ditemukan bahwa ada pola dan aktifitas dan kegiatan yang tidak dapat diwadahi dengan hanya sekedar mengikuti
standar tertentu. Perlu adanya pewadahan aspek jual beli khas nusantara yang dapat menjadi pengalaman ruang yang
menyenangkan bagi wisatawan maupun pengunjung. Selain itu, untuk mendukung kekhasan areal kawasan pesisir
yang semakin pudar jika letaknya berjauhan dengan air, maka perlu adanya penyesuaian – penyesuaian bentuk yang

SNT2BKL-ST-6 50
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2

mencirikan arsitektur pesisir yang kental. Untuk pengembangan penelitian ke depan, dapat dikembangkan desain
perabot yang sesuai untuk mewadahi display bagi produk tambak/laut yang ramah lingkungan dan mampu
diterapkan oleh pelaku usaha.

PUSTAKA

Egam & Rengkung. 2015. “Kajian Ruang Kawasan Pesisir Pantai dalam Membentuk Wajah Kota”. Temu Ilmiah
IPLBI
Fauzy,dkk. (2011). “Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk Dan Makna Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat
Kota Pesisir Utara Di Kawasan Jawa Timur (Kasus Studi Rumah Tinggal Di Kampung Karangturi Dan
Kampung Sumber Girang, Lasem)”.DIMENSI(Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 38,
No. 2
Fauzy, Bachtiar. (2012). “Kearifan Lokal Dalam Konsep Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara
Jawa, Kasus Studi: Rumah Tinggal di Desa Sumber Girang–Lasem”. Penelitian Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat, Unpar, Bandung.
Groat, L., and Wang, D., 2002, “Architectural Research Method”. John Wiley Son, Inc
Safeyah, M. and Elviana, E., 2016. A Study on Home Based Enterprises in Kampoeng Pandean as Supporting
Sustainable Architecture. In MATEC Web of Conferences (Vol. 58, p. 02001). EDP Sciences.
Sugiyono. (2009). “Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif”. CV.Alfabeta:Bandung.
Soetarso, R. Mohammad Mulyadin, Priasukmana. (2001),”Pembangunan Desa Wisata: Pelaksanaan Undang-
Undang Otonomi Daerah”. Jurnal Info Sosial Ekonomi. Vlo. 2 No. 1
Tahir, M. (2005), “Pemanfaatan Ruang Kawasan Tepi Pantai Untuk Rekreasi Dalam Mendukung Kota
Tanjungpinang Sebagai Waterfront City”, Tesis Program Studi Magister Pembangunan Wilayah Dan Kota,
Universitas Diponegoro : Semarang

SNT2BKL-ST-6 51

Anda mungkin juga menyukai