Anda di halaman 1dari 68

1

KASUS DIGESTIVE DISORDERS


A. Kasus
1. Data Pasien
Nama : Tn. AB
No. RM : 270989
JK : Laki-laki
Usia : 53 Tahun
TB/BB : -/-
Ruang : B1
Status : Umum
MRS : 18 Maret 2018
Keadaan Umum : Pasien merasakan mual, perut perih disertai rasa terbakar
sejak 3 hari yang lalu
Diagnosa : Gastritis akut, Kolelitiasis
RPD : Diabetes Melitus ± 10 tahun , Hipertensi ± 3 tahun
Riwayat Pengobatan : irbesartan, amlodipin → HT; glucodex, insulin
novomix , glucobay, glibenklamid, jamu → DM
Alergi Obat : tidak ada
2. Data Klinik Pasien
Parameter 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3 23/3
TD (mmHg) 130/90 120/90 130/80 130/90 120/80 130/90
Nadi (x/menit) 80 85 87 80 82 80
T(ᴼC) 36 36 36 36 36 36

3. Data Lab Pasien


Pemeriksaan Laboratorium
 Hasil Urea Breath Test (UBT ) : (+)
 Batu empedu ukuran 1,5 cm (+) CBD CBD : Commont Bile Duct
(batu empedu pada kantung empedu kolelitiasis
2

Parameter Nilai Normal 18/3/18


WBC 4.000- 10.000 10,0
Creat 0,5- 1,5 1,0
BUN 5-25 mg/dl 53

Terapi yang di berikan oleh dokter


Tanggal
Obat Dosis Rute
18 19 20 21 22 23 24
Amoxicillin 2x500mg IV       
Clarithromycin 2x1g PO  
Sucraflat 3x1 Cth PO   
Infus PZ :
1:1 IV       
nefrosteri
Azithromycin 3x1 Cth PO     
Metronidazole 2x500 PO       
Injeksi
2x30 IV       
Lansoprazole

B. Dasar Teori
1. Patofisiologi
a. Gastritis
Gastritis merupakan inflamasi mukosa gaster, dapat disebabkan
oleh infeksi H. pylori, refluks empedu, anti-inflamasi nonsteroid,
autoimunitas, atau respons alergi. H. pylori merupakan penyebab
tersering gastritis dengan kejadian lebih dari 80%. Pada gastritis
kronik cenderung ditemukan perubahan mukosa gaster menjadi
atrofi yang selanjutnya menimbulkan perubahan fisiologi gaster.
Kondisi ini sebagian besar ditunjukkan pada Helicobacter-
associated gastritis. Gastritis kronik berkelanjutan dapat
menimbulkan ulkus peptikum, gastritis kronis atrofi dan
3

selanjutnya kanker lambung. Risiko kanker lambung ada pada


gastritis kronik atrofi ataupun non-atrofi. 1
Helicobacter pylori, merupakan bakteri berbentuk spiral, Gram
negatif, yang sering ditemukan di permukaan epitel lambung. H.
pylori dianggap merupakan infeksi bakteri yang paling sering di
dunia. Secara klinis, semua manusia yang terinfeksi organisme ini
dapat memiliki gejala gastritis yang dapat bertahan selama
bertahun-tahun dan dapat berkembang menjadi inflamasi kronik.
Infeksi H. pylori dikenal berhubungan dengan berbagai risiko
terjadinya gastritis kronik, penyakit ulkus peptikum/ peptic ulcer
disease (PUD) baik di lambung maupun duodenum, gastric
mucosal-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma, dan
adenokarsinoma lambung H. pylori dapat menangkal lingkunga
sangat asam, karena memiliki aktivitas urease yang tinggi; urease
ini mengubah urea di asam lambung menjadi amonia yang bersifat
alkali dan karbondioksida yang dapat meningkatkan pH, sehingga
memungkinkan pertumbuhan bakteri. 2
Infeksi Helicobacter pylori biasanya dimulai dalam beberapa
tahun awal kehidupan dan bertahan sampai waktu yang tidak
diketahui (jangka panjang), kecuali mendapat terapi. Prevalensi
infeksi H. pylori tinggi pada status sosioekonomi rendah selama
masa kanak-kanak, namun berbeda-beda di seluruh dunia. Minimal
50% populasi manusia di dunia memiliki infeksi H. pylori. Infeksi
H. pylori menjadi kofaktor perkembangan beberapa penyakit,
misalnya: ulkus lambung dan duodenum (dilaporkan muncul pada
1-10% pasien yang terinfeksi H. pylori), kanker lambung (pada
0,1-3%), dan gastric mucosaassociated lymphoid-tissue (MALT)
lymphoma (pada <0,01%).2 Pada ulkus duodenum, inflamasi
mukosa lambung yang diinduksi infeksi paling terlihat di daerah
antral lambung yang tidak mensekresi asam dan menstimulasi
peningkatan gastrin. Peningkatan kadar gastrin selanjutnya juga
4

menstimulasi sekresi asam lambung yang berlebih dari mukos


fundus yang lebih proksimal. Peningkatan asam di duodenum
dapat merusak mukosa duodenum dan menyebabkan ulkus serta
metaplasia. Mukosa yang mengalami metaplasia juga dapat
menjadi tempat kolonisasi H. pylori.2

Gambar 1.1 Patofisiologi gastritis. 3


5

b. Kolelitiasis
Kolelitiasis memiliki beberapa sebab. Namun, pembentukan
batu empedu kolesterol biasanya membutuhkan pembentukan
empedu yang konsentrasi kolesterolnya lebih besar dari persentase
kelarutannya. Proses normal yang mencegah terbentuknya batu
empedu mungkin termasuk fakta bahwa empedu tidak cukup lama
berada di kantung empedu untuk menjadi lithogenik (rentan
terhadap pembentukan batu). Karena itu, hilangnya motilitas
dinding otot kandung empedu (yang dihasilkan dari penyakit
intrinsik dari dinding otot, perubahan kadar hormon, atau gangguan
kontrol saraf) dan kontraksi sphincter yang berlebihan, merusak
pengosongan, adalah faktor predisposisi yang penting. Salah satu
konsekuensi dari pengosongan kandung empedu yang menurun,
adalah konsentrasi empedu yang berlebihan, menyebabkan
litogenisitas tinggi. Ini dapat terjadi dari penurunan daya serap air
atau perubahan komposisi empedu sehingga terjadi peningkatan
kadar kolesterol. 4
Faktor-faktor lain dapat menyebabkan kecenderungan yang
meningkat membentuk batu pada tingkat konsentrasi dan saturasi
tertentu, termasuk adanya faktor pemicu pembentukan inti batu
versus faktor antinukleasi dalam empedu serta jumlah dan
komposisi asam empedu. Faktor lain termasuk estrogen,
prostaglandin, peningkatan produksi lendir dan glikoprotein oleh
kantung empedu epitel, dan kolonisasi bakteri kronis atau infeksi. 4
Estrogen dapat memiliki banyak peran, pertama yang
mempengaruhi komposisi empedu (meningkatkan kolesterol dan
saturasinya dalam empedu) tetapi juga mengurangi motilitas
kandung empedu. Prostaglandin, yang melindungi perut dengan
meningkatkan produksi lendir, sebenarnya dapat berkontribusi
terhadap litogenisitas oleh mekanisme yang sama. Karena itu,
NSAID yang memblokir produksi prostaglandin adalah seringkali
6

bermanfaat untuk pencegahan batu empedu pada pasien yang


rentan, mungkin dengan mengurangi produksi lendir. 4

Gambar 1.2 Patofisiologi kolelitiasis. 4

c. Hipertensi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total
peripheral resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari
variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat
menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang
berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan
darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi
cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks
7

kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal


dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon
angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten
dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh
sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai
organ. 5
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui
terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I
converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon,
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki
peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi
utama. 5
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon
antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus
(kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis),
sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya,
volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan
tekanan darah. 5
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang
memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
8

cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl


(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya
akan meningkatkan volume dan tekanan darah. 5
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi ialah
bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat
berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual
dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium,
penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah tidak
mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan
urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan
tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau
hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang
sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang. 5
9

Gambar 1.3 Patofisiologi hipertensi. 6

d. Diabetes Melitus Tipe 2


Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin
dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat
kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. 7

Patofisologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu:
10

1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pankreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat
dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi
glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan
sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2
hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin
gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan
terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin. 7
11

Gambar 1.4 Patofisiologi diabetes tipe 2. 8

e. Gagal Ginjal
Akut
Patogenesis gangguan ginjal akut (GgGA) merupakan kejadian
yang sangat kompleks dan bervariasi serta tergantung dari
etiologinya. Berdasarkan penyebabnya, GgGA terbagi menjadi 3
klasifikasi yaitu: pre renal, intrinsik dan post renal. Gangguan
ginjal akut pre renal menggambarkan reaksi ginjal akibat
kekurangan cairan, Pada keadaan ini, fungsi ginjal sebelumnya
adalah normal. Berkurangnya perfusi ginjal dan volume efektif
arterial akan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis dan renin
angiotensin aldosteron. Stimulasi sistem renin angiotensin
12

aldosteron akan mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II


yang akan menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferent
glomerulus ginjal (post glomerulus). Angiotensin II juga berperan
pada arteriol afferent glomerulus ginjal (pre glomerulus) tetapi
efeknya akan meningkatkan hormon vasodilator prostaglandin
sebagai upaya kontra regulasi. Vasokonstriksi pada post
glomerulus dilakukan untuk mempertahankan tekanan kapiler intra
gomerulus serta laju nitrasi glomerulus (LFG) agar tetap normal.
Beberapa faktor gangguan hemodinamik yang akan meningkatkan
kadar angiotensin ll, akan merangsang pula sistim saraf simpatis
sehingga terjadi reabsorbsi air dan garam di tubulus proksimal
ginjal. 6
Pada keadaan tersebut terjadi perangsangan sekresi dari
hormon aldosteron dan vasopresin (hormon antidiuretik) sehingga
mengakibatkan peningkatan reabsorbsi natrium, urea dan air pada
segmen distal netron. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagai respons fisiologis terhadap gangguan hipoperfusi ginjal
yang ringan, maka untuk mempertahankan LFG terjadi retensi urin
dan natrium sehingga urin menjadi pekat dengan kadar natrium
yang rendah. Profil urine klasik pada pasien dengan azotemia
prerenal adalah: kadar natrium dalam urine rendah (<20 meq/L),
ekskresi fraksional Natrium (fractional excretion of Natrium)
rendah (<1), ekskresi fraksional urea (fractional excretion of) urea
rendah (<35%) dan osmolalitas urin tinggi. Mekanisme
autoregulasi diatas dapat terganggu atau tidak dapat lagi
dipertahankam apabila pasien GgGA prerenal mengalami
gangguan hipoperfusi ginjal yang berat atau berlangsung lama. 6
Penyebab utama GgGA intrinsik adalah nekrosis tubular akut
(TNA). Penyebab kerusakan ginjal pada TNAdapat dibagi menjadi
dua yaitu: proses iskemik dan proses nefrotoksik. Walaupun
demikian, TNA umumnya diakibatkan oleh etiologi multifaktorial
13

yang biasanya terjadi pada keadaan penyakit akut dengan sepsis,


hipotensi, atau penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik. Respon
ginjal terhadap hipoperfusi umumnya berakhir dalam dua keadaan,
yaitu: azotemia prerenal atau gangguan iskemik. Sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa pada azotemia prerenal, hipoperfusi akan
mengganggu fungsi ginjal saja dan dapat kembali normal
(reversibel) bila hipoperfusinya diatasi. Apabila hipoperfusi
bertambah berat atau berkelanjutan, maka akan terjadi kerusakan
pada sel sel tubulus disertai gangguan fungsi ginjal. Kerusakan
yang terjadi ditandai dengan ditemukannya sel sel epitel tubulus
yang mati (nekrosis) dan apoptosis. Gangguan iskemik reperfusi
tersebut ternyata tidak saja terjadi pada epitel tubulus, tetapi juga
pada endotel pembuluh darah serta terjadi pula aktivasi dari sel sel
inflamasi serta mediator mediator humoral. 6
14

Gambar 1.5 Patofisiologi gagal ginjal akut. 3


15

Kronis
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrans) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikut oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron
yang masihtersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah
tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin
angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth. Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulo interstisial. 6
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana
basal LFG masih normal atau. malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%. mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia,
16

badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat


badan, Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna, Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan kaseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 6
17

Gambar 1.6 Patofisiologi gagal ginjal kronis. 3


18

2. Guideline Terapi
a. Gastritis

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis dispepsia. 9


19

Gambar 2.2 Algoritma terapi eradikasi H. Pylori. 9


20

b. Kolelitiasis

Gambar 2.3 Algoritma terapi kolelitiasis. 10


21

Gambar 2.4 Tatalaksana pasien dengan batu empedu pada common


bile duct. 10

Gambar 2.5 Tatalaksana pasien kolelitiasis. 11


22

c. Hipertensi

Gambar 2.6 Algoritma terapi hipertensi menurut JNC 8. 12


23

d. Diabetes Melitus Tipe 2

Gambar 2.7 Algoritma terapi DM tipe 2. 13


24

e. Gagal Ginjal
Penegakan diagnosis gagal ginjal akut

Gambar 2.8 Algoritma penegakan diagnosis AKI. 1


25

Penegakan diagnosis gagal ginjal kronis

Gambar 2.9 Algoritma penegakan diagnosis CKD. 15


26

C. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan


1. Subjektif
Nama : Tn. AB
No. RM : 270989
JK : Laki-laki
Usia : 53 Tahun
TB/BB : -/-
Ruang : B1
Status : Umum
MRS : 18 Maret 2018
Keadaan Umum : Pasien merasakan mual, perut perih disertai
rasa terbakar sejak 3 hari yang lalu
Diagnosa : Gastritis akut, Kolelitiasis
RPD : Diabetes Melitus ± 10 tahun , Hipertensi ±
3 tahun
Riwayat Pengobatan : irbesartan, amlodipin → HT; glucodex,
Insulin novomix , glucobay, glibenklamid,
jamu → DM
Alergi Obat : tidak ada
2. Objektif
Data Klinik Pasien
Parameter 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3 23/3
TD (mmHg) 130/90 120/90 130/80 130/90 120/80 130/90
Nadi (x/menit) 80 85 87 80 82 80
T(ᴼC) 36 36 36 36 36 36

Data Lab Pasien


Pemeriksaan Laboratorium
 Hasil Urea Breath Test (UBT ) : (+)
 Batu empedu ukuran 1,5 cm (+) CBD CBD : Commont Bile Duct
(batu empedu pada kantung empedu kolelitiasis
27

Parameter Nilai Normal 18/3/18


WBC 4.000- 10.000 10,0
Creat 0,5- 1,5 1,0
BUN 5-25 mg/dl 53

3. Assesment
Diagnosa Pasien: Suspect Gastritis Akut, Kolelitiasis
Problem Medis pasien: Hipertensi Stage 1, Diabetes Melitus Tipe 2,
Suspect CKD (Chronic Kidney Disease)/AKI (Acute Kidney Injury)

S (Subjective) O (Objective) A (Assesment) P (Plan)

Tn AB Urea Breath Test Suspect • Endoskopi


Gastritis
53 Tahun (UBT ) : (+) Akut • Amoxicillin
Mual • Clarithromycin
Perut perih • Lansoprazole
Rasa Terbakar
Alergi Obat tidak ada
Batu empedu 1,5 Kolelitiasis Laparoskopik
cm •
Riwayat Hipertensi ± 3 TD Hipertensi Stage 1 • Irbesartan
tahun 18/9: 130/90
Riwayat pengobatan mmHg (Stage 1)
HT: irbesartan, 19/9: 120/90
amlodipin mmHg (Diastolik
Stage 1)
20/9: 130/80
mmHg (Sistolik
Stage 1)
21/9: 130/90
28

mmHg (Stage 1)
22/9: 120/80
mmHg (Normal)
23/9: 130/90
mmHg (Stage 1)
Riwayat DM ± 10 Diabetes • Cek HbA1C
Melitus
tahun Tipe 2 • Acarbose
Riwayat pengobatan
DM: glucodex, insulin
novomix, glucobay,
glibenklamid, jamu
WBC: 10,0 Suspect • Cek GFR
CKD
(Normal) (Chronic Kidney
Creat: 1,0 Disease)/AKI
(Normal) (Acute Kidney
BUN: 53 Injury)
(Meningkat)

4. Plan
a. Terapi Gastritis
b. Terapi Kolelitiasis
c. Hipertensi
d. Diabetes Millitus
e. CKD/AKI

5. Pembahasan Terapi
A. Gastritis
1. Tatalaksana Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam; pada pasien risiko tinggi
seperti instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah
resusitasi atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang
29

nasogastrik, endoskopi dilakukan very early dalam ≤12 jam. Di lain pihak,
endoskopi early meningkatkan risiko desaturasi terutama bila dilakukan
sebelum resusitasi dan stabilisasi. Pada pasien dengan status hemodinamik
stabil dan tanpa komorbid serius, endoskopi dapat dilakukan sebelum pasien
pulang.29
Tujuan endoskopi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang. ACG merekomendasikan terapi endoskopi untuk
perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah visibel tanpa
perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren),
terapi endoskopi dapat dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi
perdarahan ulang. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan untuk ulkus
dengan dasar bersih atau bintik pigmentasi.29

Gambar 3.1 Bagan tatalaksana berdasarkan endoskopi. 29

Penentuan stigmata melalui endoskopi dapat menjadi dasar pertimbangan


terapi. Perdarahan ulkus aktif memerlukan kombinasi terapi hemostasis, salah
satunya adalah epinefrin yang dapat dikombinasikan dengan pemasangan
30

hemoklip, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi. Epinefrin tidak


direkomendasikan sebagai terapi tunggal.29
Pasien dengan stigmata risiko tinggi (perdarahan aktif, pembuluh darah
visibel, bekuan darah) memerlukan rawat inap setidaknya 3 hari. Pasien
dipulangkan jika tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi rawat inap
lagi. Pasien dapat memulai diet cair jernih segera setelah endoskopi dan
ditingkatkan bertahap. Bila terjadi perdarahan ulang, endoskopi dapat
diulang. Jika tidak dapat dihentikan dengan endoskopi, dapat dilakukan
pembedahan atau embolisasi arterial.29
Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat langsung diberi diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi bila status hemodinamik stabil, hemoglobin
adekuat, dan tidak ada masalah medis lain.29

2. Amoxicilin
a. Aktivitas dan Mekanisme Kerja
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan
untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif,
penisilin akan menghasilkan efek bakterisid.
Mekanisme kerja antibiotika betalaktam dapat diringkas dengan
urutan sebagai berikut : (1) Obat bergabung dengan penicillin-binding
protein (PBPs) pada kuman. (2) Terjadi hambatan sintesis dinding sel
kuman karena proses transpeptidase antar rantai peptidoglikan
terganggu. (3) Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding
sel. 16
b. Indikasi
Untuk pengobatan infeksi telinga, hidung, dan tenggorokan,
saluran genitourinari, kulit dan struktur kulit, dan saluran pernapasan
bawah karena rentan (hanya b-laktamase-negatif) strain Streptococcus
spp. (A dan b-hemolytic strain saja), S. pneumoniae, Staphylococcus
spp., H. influenzae, E. coli, P. mirabilis, atau E. faecalis. Juga untuk
31

pengobatan gonore akut, tanpa komplikasi (ano-genital dan infeksi


uretra) karena N. gonorrhoeae (pria dan wanita). 17
c. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap penisilin, sefalosporin dan imipenem. 18
d. Efek Samping
Manifestasi klinik reaksi alergi penisilin yang terberat adalah
reaksi anafilaksis yang termasuk dalam kelompok reaksi alergi
immediate. Reaksi alergi yang lain yang sifatnya berat adalah
angioedema, penyakit serum dan fenomena Arthus. Dapat terjadi juga
anemia, elevasi SGPT/SGOT dan kemerahan kulit. 16
e. Sediaan dan Posologi
Tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran 125, 250 dan 500 mg
dan sirup 125 mg/5 mL. Dosis sehari yaitu 3 kali 250-500 mg. 16
f. Farmakokinetik
Absorbsi amoksisilin di saluran cerna lebih baik daripada
ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang dicapai
oleh ampisilin. Penyerapan amoksisilin tidak terhambat oleh adanya
makanan. 16
Distribusi amoksisilin luas di dalam tubuh dan ikatan oleh protein
plasmanya hanya 20%. Amoksisilin yang masuk ke dalam empedu
mengalami sirkulasi enterohepatik. Penetrasi ke CSS dapat mencapai
kadar yang efektif pada keadaan peradangan meningen. Bila diberikan
sesaat sebelum persalinan, dalam satu jam kadar obat dalam fetus
menyamai kadar obat dalam darah ibunya. Pada bayi prematur dan
neonatus, menghasilkan kadar dalam darah yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama dalam darah. 16
Eksresi penisilin pada umumnya melalui proses sekresi di tubuli
ginjal. 16
32

g. Hubungan pengobatan dihubungkan dengan data klinik dan


laboratorium.
Diberikan amoksisilin karena dari hasil pemeriksaan Urea Breath
Test menunjukkan hasil positif. Cara kerjanya adalah dengan menyuruh
pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon, baik 13C
ataupun 14C. Bila ada aktivasi urease dari kuman Helicobacter pylori
akan dihasilkan isotop karbon dioksida yang diserap dan dikeluarkan
melalui pernapasan. 18
h. Hubungan pengobatan dengan penyakit pasien.
Didapatkan diagnosis kerja nya adalah gastritis yang diakibatkan
oleh infeksi dari Helicobacter pylori. Indikasi pemberian amoksisilin
salah satu nya adalah karena infeksi dari Helicobacter pylori dan di
dalam algoritma gastritis et causa Helicobacter pylori lini pertama
pengobatan nya adalah amoksisilin, PPI dan klaritomisin. 16
i. Lama penggunaan obat untuk terapi.
Untuk terapi gastritis yang diakibatkan oleh infeksi Helicobacter
pylori, pemberian nya adalah selama 7 sampai 14 hari. 1

3. Klaritromisin
a. Mekanisme kerja
Clarithromycin adalah antibakteri makrolid semisintetik yang secara
reversible yang berikatan dengan subunit p dari subunit ribosom 50S
organisme rentan dan dapat menghambat sintetis protein RNA- dependent
dengan menstimulasi disosiasi peptida t-RNA dari ribosom, sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri.
b. ADME
Absorpsi: Stabil dalam asam lambung , penundaan makanan tidak
mempengaruhi tingkat penyerapan
Biovabilitas 50% paruh waktu 2-3 jam
Distribusi: Didistribusikan secara luas ke sebagian besar jaringan tubuh
kecuali sistem saraf pusat SSP.
33

Metabolisme
Sebagian dimetabolisme olen enzim CYP3A4
Ekskresi
Urine ( 30-55%)
c. Indikasi obat dan kontaindikasi obat
Indikasi obat diberikan kepada pasien dengan infeksi dari bakteri h.pylori
Kontraindikasi obat tidak diberikan jika terjadi reaksi hipersensitivitas
dari pasien
d. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan laboratorium
Karena pada pemeriksaan pasien ditemukan UBT +
e. Dosis obat
a. Oral supensi 125 mg/ 5mL
250 mg/ 5mL
b. Tablet 250 mg dan 500 mg
f. Efek samping obat
Efek samping dari pemberian obat clarithromycin dapat menyebabkan
diare, mual dan muntah, perut sakit atau tidak nyaman , sakit kepala dan
mulut terasa perih.
g. Interaksi obat
Klaritomisin meningkatkan toksisitas dihidroergotamin dengan
memengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati atau usus kontraindikasi.
Pemberian bersamaan dapat menyebabkan vasopasme dan iskemia
ekstremitas dan jaringan lain termasuk SSP.
h. Aturan pemakaian obat
Diberikan 500 mg 2 x sehari dalam kombinasi dengan obat obatan
antibakteri lain termasuk salah satu dari obat PPI .
i. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien ,penyakit riwayat
pengobatan
Tidak ada hubungan
j. Hubungan umur paien dengan obat
Tidak ada hubungan
34

k. Lama penggunaan obat untuk terapi


Clarithromycin diberikan 250- 500 mg diberikan 2 kali sehari selama 7-14
hari.

4. Lansoprazol
a. Mekanisme aksi
Inhibitor pompa proton; berikatan dengan H + / K + - perubahan
ATPase (pompa proton) pada sel parietal lambung, yang menghasilkan
supresi sekresi asam basal dan menstimulasinya.20
b. ADME
Penyerapan
Bioavailabilitas: 81-91%; menurun 50-70% jika diberikan 30 menit setelah
makan. Puncak waktu plasma: 1,7 jam; makanan meningkatkan waktu
hingga 3,7 jam. Durasi (pada kondisi stabil): >24 jam (PUD,
esophagitis); 40 jam (sindrom Zollinger-Ellison). AUC: Makanan
menurunkan AUC hingga 50%.20
Serangan
 Supresi asam lambung: 1-3 jam
 PUD: 1 minggu (awal); 4-8 hari (puncak)
 Esophagitis: 1-4 minggu (awal); 8 minggu (puncak)

Distribusi

Protein terikat: 97-99%


Vd: 14-18 L
Metabolisme
Di Metabolisme oleh CYP2C19 hati; Metabolisme lambat kekurangan
enzim CYP2C19 dan dapat meningkatkan konsentrasi plasma 5 kali lipat
atau lebih tinggi. Sel parietal lambung: pH asam mengubah lansoprazole
menjadi metabolit sulfaftanya yang aktif.21
Metabolit aktif: Cyclic sulfenamide dan disulfide metabolite
35

Metabolit tidak aktif: 5-hidroksi-lansoprazol, metabolit sulfida, sulfon


omeprazol, metabolit sulfon, metabolit hidroksisitulfit, metabolit
hidroksisikulfon.21
Enzim dihambat: CYP2C19
Eliminasi
Setengah hidup: 0,9-1,5 jam
Total klirens ginjal: 517 mL / menit
Total pembersihan tubuh: 0,7 L / jam / kg
Ekskresi: feses (empedu), 67%; urin, 33%.
Indikasi
 Ulkus duodenum,
 Benign ulkus gaster,
 Refluks esofagitis

Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap lansoprazole atau inhibitor pompa proton


lainnya. Koadministrasi dengan produk yang mengandung rilpivirine.20

Perhatian

Inhibitor pompa proton (PPIs) mungkin terkait dengan peningkatan


insidensi Clostridium difficile-associated diare (CDAD); pertimbangkan
diagnosis CDAD untuk pasien yang memakai PPI yang mengalami diare
yang tidak membaik.20
Penyakit hati mungkin memerlukan pengurangan dosis. Cutaneous
lupus erythematosus (CLE) dan lupus eritematosus sistemik (SLE)
dilaporkan dengan PPI; hindari menggunakan lebih lama dari yang
diindikasikan secara medis; hentikan jika tanda atau gejala konsisten dengan
CLE atau SLE diamati dan rujuk pasien ke spesialis. Studi observasi yang
dipublikasikan menunjukkan bahwa terapi PPI dapat dikaitkan dengan
peningkatan risiko patah tulang pinggul, pergelangan tangan, atau tulang
belakang, terutama dengan terapi dosis tinggi.20
36

Keasaman lambung yang menurun meningkatkan kadar serum


chromogranin A (CgA) dan dapat menyebabkan hasil diagnosis positif palsu
untuk tumor neuroendokrin; menghentikan sementara PPI sebelum menilai
tingkat CgA.20
Hipomagnesemia dapat terjadi dengan penggunaan jangka panjang
(yaitu,> 1 tahun); efek samping dapat terjadi dan termasuk tetani, aritmia,
dan kejang;dalam 25% kasus yang ditinjau, suplemen magnesium saja tidak
meningkatkan kadar magnesium serum rendah dan PPI harus dihentikan.21
PPI dapat menurunkan efektivitas clopidogrel dengan mengurangi
pembentukan metabolit aktif. Relief gejala tidak menghilangkan
kemungkinan keganasan lambung. Terapi meningkatkan risiko Salmonella,
Campylobacter, dan infeksi lainnya.21
Nephritis interstisial akut dilaporkan pada pasien yang memakai
inhibitor pompa proton; hentikan terapi jika nefritis interstisial berkembang.
Penggunaan jangka panjang setiap hari (misalnya, lebih dari 3 tahun) dapat
menyebabkan malabsorpsi atau defisiensi sianokobalamin dapat
meningkatkan dan / atau memperpanjang konsentrasi serum methotrexate
dan / atau metabolitnya ketika diberikan secara bersamaan dengan PPI,
kemungkinan menyebabkan toksisitas. 21
Dosis
Kapsul
 15mg
 30mg
tablet, oral-disintegrasi
 15mg
 30mg
suspensi oral
 3 mg / mL
37

Efek samping

1-10%

Sakit kepala (3-7%)


Diare (1-5%)
Sembelit (1-5%)
Mual (1-3%)
Nyeri perut (1-3%)

<1%

Kegelisahan
Angina
Palpitasi
Sinkop
Busung
Anorexia
Mulut kering
Tenesmus
Perut kembung
Melena
Mialgia
Tinnitus
Reaksi alergi
Fraktur tulang
Interaksi obat
 Lansoprazole dimetabolisme di hati dan merupakan penginduksi
yang lemah dari cytochrome P450. Oleh sebab itu ada kemungkinan
interaksi dengan obat-obat yang dimetabolisme di hati.20
 Terutama harus hati-hati bila diberikan bersama-sama dengan obat-
obat kontrasepsi oral dan preparat seperti fenitoin, teofilin, atau
warfarin.20
38

 Tidak menimbulkan efek klinis yang bermakna dengan obat-obat


antiinflamasi nonsteroid atau diazepam.20
 Antasida dan sukralfat akan mengurangi bioavaibilitas Lansoprazole
dan jangan diberikan antara satu jam setalah makan Lansoprazole.20
Aturan penggunaan obat

Infeksi Helicobacter Pylori

Terapi tiga : Lansoprazole 30 mg + amoxicillin 1 g + klaritromisin 500


mg PO q12hr selama 10-14 hari
Alergi penicillin : Lansoprazole 30 mg + klaritromisin 500 mg +
metronidazol 500 mg q12hr selama 10-14 hari
Sediaan
Kapsul
 15mg
 30mg
Tablet, oral-disintegrasi
 15mg
 30mg
Suspensi oral
 3 mg / mL
Lama penggunaan obat 7-14 hari 1
Terapi Non farmakologi Gastritis akut
 Istirahat. Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap di rumah
sakit. Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat
berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgetik. Stress dan
kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan penyakit
tukak. Walaupun masih ada silang pendapat mengenai hubungan stress
dengan asam lambung, sebaiknya pasien hidup tennag dan menerima stress
dengan wajar.34
39

 Diet. Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu
tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus dapat
merangsang pengeluaran asam lambung. 34
 Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni,
menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus
meningkatkan kekambuhan tukak. Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi
sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat kesembuhan luka tukak
dan dapat meningkatkan angka kematian. 34
 Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. air jeruk yang
asam, coca cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada
mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam lambung dan belum
jelas dapat menghalangi penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan
sewaktu perut kosong. 34
 Perubahan gaya hidup dan pekerjaan kadang-kadang menimbulkan
kekambuhan penyakit tukak.34
 Istirahat fisik dan emosional dipermudahkan dengan menciptakan lingkungan
yang tenang.34
 Memberikan dukungan emosi kepada pasien.34
 Mendengarkan keluhan-keluhan pasien. 34

Monitoring Gastritis
1) Pemantauan Jangka Panjang
Tes eradikasi H pylori dapat dilakukan 4 minggu setelah menyelesaikan
terapi. Ini dilakukan baik menggunakan tes napas urease cepat atau tes
antigen tinja. Namun, itu tidak efektif dan tidak selalu dilakukan.
Rekomendasi saat ini adalah pasien dengan ulkus dari H. pylori, limfoma
MALT, riwayat kanker lambung, dan mereka yang tidak mengalami
perbaikan gejala meskipun pengobatan harus diperiksa untuk resolusi infeksi
H. pylori.23
40

2) Perawatan medis
Berikan terapi medis sesuai kebutuhan, tergantung pada penyebab dan
temuan patologis.
Tidak ada terapi khusus untuk gastritis akut, kecuali untuk kasus-kasus
yang disebabkan oleh H. pylori. The College of Gastroenterology Amerika
pedoman menyarankan bahwa bukti saat ini tidak mendukung gagasan bahwa
mengobati H. pylori memperburuk gastroesophageal reflux disease (GERD).
Untuk pasien yang membutuhkan pemberantasan H pylori, ini seharusnya
tidak menjadi perhatian. Pada pasien dengan infeksi H. pylori persisten
meskipun pengobatan awal yang sesuai, terapi kombinasi dengan inhibitor
pompa proton (PPI), levofloxacin, dan amoxicillin selama 10 hari tampaknya
lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada kombinasi PPI, bismut,
tetrasiklin, dan metronidazol. Namun ini belum divalidasi dalam literatur
AS.23
Berikan cairan dan elektrolit seperlunya, terutama jika pasien muntah.
Hentikan penggunaan obat yang diketahui menyebabkan gastritis (misalnya,
NSAID, alkohol). Sebuah studi prospektif jangka panjang menemukan bahwa
pasien dengan arthritis yang lebih tua dari 65 tahun dan secara teratur
mengambil aspirin dosis rendah berada pada peningkatan risiko dispepsia
yang cukup parah untuk mengharuskan penghentian NSAID. Hal ini
menunjukkan bahwa manajemen penggunaan NSAID yang lebih baik harus
didiskusikan dengan pasien yang lebih tua untuk mengurangi kejadian GI atas
terkait NSAID.23
Ada kekhawatiran yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir
mengenai interaksi antara PPI dan clopidogrel. Penurunan aktivitas
antiplatelet clopidogrel dengan kemungkinan peningkatan kejadian jantung
yang merugikan dipostulasikan. Farmakokinetik telah menunjukkan bahwa
omeprazole dan lansoprazole berinteraksi secara signifikan dengan
clopidogrel, dan bahwa omeprazole, rabeprazole, dan esomeprazole
berinteraksi dengan prasugrel. Pantoprazole telah terbukti memiliki interaksi
paling sedikit dan dengan demikian, pantoprazole dengan sifat penghambat
41

CYP2C19 rendah tampaknya menjadi PPI paling aman untuk digunakan


dengan clopidogrel sampai bukti yang lebih konkret tersedia.23
Konseling, edukasi dan informasi gastritis: 21
1) Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya
keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan terjadwal
atau pola makan teratur, hindari dari makanan yang meningkatkan asam
lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas.
2) Konselimg dan edukasi pasien serta keluarga mengenai faktor resiko terjadinya
gastritis merupakan faktor penting dalam terapi gastritis khususnya terapi non
medikamentosa

B. Kolelitiasis
Monitoring Kolelitiasis
Pemantauan Jangka Panjang
Setelah kolesistektomi, sekitar 5-10% pasien mengalami diare kronis. Ini
biasanya dikaitkan dengan garam empedu. Frekuensi sirkulasi enterohepatik
dari garam empedu meningkat setelah kandung empedu diangkat, sehingga
lebih banyak garam empedu mencapai usus besar. Di usus besar, garam
empedu menstimulasi sekresi garam dan air mukosa.24
Diare pasca-kolesistektomi biasanya ringan dan dapat ditangani dengan
penggunaan agen antidiare yang dijual bebas, seperti loperamide. Diare yang
lebih sering dapat diobati dengan pemberian harian dari resin pengikat asam
empedu (misalnya, colestipol, cholestyramine, colesevelam). Setelah
kolesistektomi, beberapa orang mengalami nyeri berulang menyerupai kolik
bilier. Istilah sindrom postcholecystectomy kadang-kadang digunakan untuk
kondisi ini. Banyak pasien dengan sindrom postcholecystectomy memiliki
nyeri fungsional jangka panjang yang awalnya salah didiagnosis sebagai asal
empedu. Kegigihan gejala setelah kolesistektomi tidak mengejutkan. Upaya
diagnostik dan terapeutik harus diarahkan pada penyebab yang benar.
Beberapa individu dengan sindrom postcholecystectomy memiliki gangguan
motilitas yang mendasari sfingter dari Oddi, yang disebut dyskinesia bilier,
42

di mana sfingter gagal untuk bersantai secara normal setelah konsumsi


makanan. Diagnosis dapat ditegakkan di pusat-pusat khusus oleh manometri
empedu endoskopi. Dalam kasus-kasus yang sudah diketahui mengenai
diskinesia bilier, sparincotomi retrograde endoskopik biasanya efektif dalam
meredakan gejala.24
Terapi Non farmakologi Kolelitiasis
a) Menghindari makanan yang bersalah seperti makanan yang dengan
kandungan lemak tinggi.35
b) Remisi dengan istirahat dan pemberian cairan IV, isap nasogastrik,
analgetik, dan antibiotik.35
c) Pemberian vitamin C
Peranan vitamin C dalam biogenesis asam empedu terutama telah
dianalisis pada marmut. Kolesterol dikonversi menjadi asam empedu di
hati, dan kecepatan pembatasan proses tersebut tergantung pada
konsentrasi vitamin C di hepatosit. Vitamin C meningkatkan kecepatan
cholesterol-7-hydroxylation. Reaksi ini menurun pada defisiensi ascorbic
acid. Supersaturasi empedu dengan kolesterol mengawali terbentuknya
batu empedu kolesterol dan hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya
kecepatan cholesterol-7-hydroxylation. Marmut yang mendapat substitusi
ascorbic acid menunjukkan peningkatan aktivitas cholesterol-7α-
hydroxylation 1,5 kali lipat dibanding marmut dengan defisiensi ascorbic
acid, dan hewan dengan defisiensi ascorbic acid lebih sering mengalami
batu empedu kolesterol. Dapat disimpulkan bahwa vitamin C dapat
membantu mengurangi risiko terjadinya batu empedu. 35
Konseling, Informasi dan Edukasi Kolelithiasis
Pada Kolelithiasis pasien di informasikan tentang pemakaian obat yang
diminum satu kali sehari dan pada saat malam hari karena pada malam hari
kantung empedu sedang dalam posisi fungsional yang beristirahat dan sintesis
kolestrol sedang dalam titik maksimal.
43

Pasien juga di edukasi agar memakan makanan yang bergizi dan


perbanyak minum air putih. Pasien juga diedukasi tentang pentingnya ESWL pada
terapi kolelithiasis nya.32

C. Hipertensi
1. Irbesartan
Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
a. Mekanisme Kerja Irbesartan
Memusuhi efek Angiotensin II, mengantagonisasi efek Angiotensin II
pada reseptor AT1.30
a) Absorpsi: Bioavailability 60-80%, onset 1-2 jam, durasi 24 jam, peak
plasma time 1,5-2 jam.
b) Distribusi: Protein bound 90%, vd 53-93 L
c) Metabolisme: dimetabolisme oleh Hepatic CYP2C9 dan CYP3A4
d) Eliminasi: Eksresi di feces 80% dan urine 20%
b. Hubungan Pengobatan dengan Data Klinik Pasien
Dari data klinik dapat dilihat bahwa pasien mengalami Hipertensi sejak 3
tahun yang lalu, selain itu pasien juga mengalami DM tipe 2 dan suspect
CKD karena itu diberikan Irbesartan yang akan berefek pada dilatasi
arteriol dan vena, mengurangi sekresi aldosterone dan mengurangi
remodelling jantung, selain itu Irbesartan juga tidak akan terlalu
mempengaruhi ginjal karena eliminasi Irbesartan pada Feces 80% dan
pada Urine 20%.31
c. Efek Samping Obat
Hiperkalemia, edema angioneurotic.30
d. Interaksi Obat
Irbesartan aditif dengan antagonis Angiotensin lainnya
 Interaksi obat dengan obat
Irbesartan aditif dengan antagonis Angiotensin lainnya
 Interaksi obat dengan makanan
44

Mengonsumsi alkohol atau tembakau dengan obat-obatan tertentu


juga dapat menyebabkan interaksi terjadi.
 Interaksi obat dengan jamu
Tidak ada interaksi.
e. Hubungan Umur Pasien dengan Obat
Pada dewasa diberikan 150mg/hari atau 300mg/hari . 31
f. Hubungan Pengobatan dengan Riwayat Pasien, penyakit dan riwayat
pengobatan
Tidak ada hubungan
g. Lama penggunaan obat untuk terapi
Digunakan setiap hari 1x1 sebanyak 300mg.30
Indikasi pemberian ARB 31
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI

Monitoring dan Evaluasi Hipertensi


Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk
menilai keberhasilan penemuan dan penatalaksaan penderita hipertensi. Kegiatan
ini dilaksanakan secara berkala untuk mendeteksi bilamana ada masalah dalam
penemuan dan penatalaksanaan penderita hipertensi agar dapat dilakukan tindakan
perbaikan. 36
Pada prinsipnya semua kegiatan harus dimonitor dan dievaluasi antara lain
penemuan penyakit hipertensi mulai dari langkah penemuan penderita dan faktor
risikonya, penatalaksanaan penderita yang meliputi hasil pengobatan, dan efek
samping sehingga kegagalan pengendalian penyakit hipertensi di pelayanan
primer dapat ditekan. 36
Seluruh kegiatan tersebut harus dimonitor baik dari aspek masukan (input),
proses maupun keluaran (output). Cara pemantauan dapat dilakukan dengan
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas
pelaksana dan penderita hipertensi.36
45

Kontraindikasi pemberian ARB 31


 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat
Cara pemberian ARB pada Hipertensi31
Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Konseling, informasi,dan edukasi hipertensi
Definisi Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam
jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal
ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila
tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak
pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus
meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai
bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan
agar hipertensi dapat dikendalikan.26
Faktor resiko Hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,
genetik (faktor resiko yang tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok,
konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan
konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres,
penggunaan estrogen.26 Ada pun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi
berdasarkan penyebab :
46

a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial Hipertensi yang penyebabnya tidak


diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya
hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada
sekitar 90% penderita hipertensi.
b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial Hipertensi yang diketahui
penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah
penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal
atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB).26
Berdasarkan bentuk Hipertensi, hipertensi diastolik (diastolic
hypertension), hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi), hipertensi
sistolik (isolated systolic hypertension). Hipertensi pulmonal suatu penyakit yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru
yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan
aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat
yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal
jantung kanan. Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan
usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan
2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean
survival / sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun. Kriteria diagnosis
untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health, bila tekanan
sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau "mean"tekanan arteri
pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada
aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit
myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.26
Edukasi masyarakat mengenai penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan
dengan menggunakan obat-obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup.
Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak
lebih dari ½ sendok teh (6 gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari
minuman berkafein, rokok, dan minuman beralkohol. Olah raga juga dianjurkan
bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-
25 me nit dengan frekuensi 3-5 x per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat
47

(6-8 jam) dan mengendalikan stress. Untuk pemilihan serta penggunaan obat-
obatan hipertensi disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter keluarga anda.26

Ada pun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita
hipertensi :
1) Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak
kelapa, gajih).
2) Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit, crackers,
keripik dan makanan kering yang asin).
3) Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta
buah-buahan dalam kaleng, soft drink).
4) Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,
pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).
5) Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein
hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning
telur, kulit ayam).
6) Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco
serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandunggaram natrium.
7) Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.26
Kepatuhan pasien dalam minum obat atau medication adherence
didefinisikan sebagai tingkat ketaatan pasien untuk mengikuti anjuran pengobatan
yang diberikan. Kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh faktor demografi,
faktor pasien, faktor terapi dan hubungan pasien dengan tenaga kesehatan. Salah
satu indikator dari kepatuhan pasien minum obat antihipertensi adalah
pengendalian tekanan darah.26
Konseling yang efektif akan membuat pasien mengerti tentang penyakit
dan pengobatan yang sedang dijalani dan meningkatkan kepatuhan minum obat.
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien penyakit kronis dengan terapi jangka
panjang yang mematuhi instruksi pengobatan diperkirakan hanya 30-50%. 8
Kesalahan yang sering terjadi adalah jika keluhan hilang, pasien merasa sudah
sembuh, kemudian tidak patuh minum obat.26
48

Terapi Non farmakologi Hipertensi stage 1


 Semua pasien hipertensi harus melakukan perubahan pola hidup
(therapeutic lifestyle changes), seperti berolahraga teratur, menurunkan
berat badan bagi yang kelebihan berat badan, berhenti merokok,
mengurangi asupan garam, dan lain-lain. Pasien hipertensi dengan risiko
kardiovaskuler tinggi harus diobati lebih agresif dengan target tekanan
darah yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki
risiko kardiovaskular lebih rendah. 39
 Modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan berlebihan atau
kegemukan, pembatasan asupan garam kurang atau sama dengan
100meq/L/hari, meningkatkan konsumsi buah dan sayur, menurunkan
konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali minum/hari, meningkatkan
aktifitas fisik paling tidak berjalan 30 menit/hari selama 5hari/minggu
serta menghentikan merokok, akan mengurangi resiko kejadian
kardiovaskular. 39
 Modifikasi Gaya Hidup
Dalam guideline JNC modifikasi gaya hidup tidak dibahas secara detail,
mungkin tetap mengacu pada modifikasi gaya hidup dalam JNC dan
beberapa panduan lain:
1) Penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-20
mmHg/penurunan 10 kg. Rekomendasi ukuran pinggang < 94 cm
untuk pria dan < 80 cm untuk wanita, indeks massa tubuh < 25 kg/m2.
Rekomendasi penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi
asupan kalori dan juga meningkatkan aktifitas fisik.
2) Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)
dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8-14 mmHg. Lebih banyak
makan buah, sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan
kandungan lemak jenuh dan total lebih sedikit, kaya pottasium dan
calcium.
3) Retriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8
mmHg. Konsumsi sodium chloride ≤ 6 g/hari (100 mmol sodium/hari).
49

Rekomendasikan makanan rendah garam sebagai bagian pola makan


sehat.
4) Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg.
Lakukan aktifitas fisik intensitas sedang pada kebanyakan, atau setiap
hari pada 1 minggu (total harian dapat diakumulasikan, misalnya 3 sesi
@ 10 menit).
5) Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanna darah
sistolik 2-4 mmHg. Maksimun 2 minuman standar/hari : 1 oz atau 30
mL ethanol; misalnya bir 24 oz, wine 10 oz, atau 3 oz 80-proof
whiskey untuk pria, dan 1 minuman standar/hari untuk wanita.
6) Berhenti merokok untuk mengurangi resiko kardiovaskuler secara
keseluruhan. 39
 Modifikasi gaya hidup merupakan program yang harus dijalani:
1) Menurunkan kelebihan berat badan sesuai Body Mass Index (BMI).
2) Diit rendah natrium 2.4 g per hari (100 mmol atau kurang dari 6 gram
garam).
3) Diit rendah lemak dan kolesterol.
4) Diit cukup kalium, kalsium dan magnesium.
5) Tidak minum alkohol.
6) Olahraga yang cukup 20 – 30 menit minimum 3 kali tiap minggu.
7) Hindari stres.
8) Stop merokok.
9) Diit tinggi serat dengan sayuran dan buah-buahan.
10) Aktifitas fisik. 39
50

D. Diabetes Millitus
8) Acarbose
a. Mekanisme kerja
Oral alfa-amilase pankreas dan sikat usus alfa-glukosidase. Ini
menghasilkan hidrolisis tertunda karbohidrat kompleks yang dicerna dan
disakarida dan penyerapan glukosa. Menghambat metabolisme sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa.21
Half-Life: 2 jam
Awitan: 1 jam
Puncak Waktu Plasma: 1 jam
Bioavailabilitas: <2% 25
b. Metabolisme
Terdegradasi secara luas di usus oleh enzim bakteri dan pencernaan, unit
glukosa dikeluarkan dari molekul acarbose.25
Metabolit: derivatif 4-methylpyrogallol (major inactive mets) dan
pertemuan tidak aktif lainnya.25
c. Pengeluaran/Eliminasi
 Urine: 34% sebagai metabolit tidak aktif.
 Feses: 51% sebagai obat yang tidak terserap.25
d. Indikasi & Penggunaan Lainnya
Ketika DM 2, perawatan mono atau dengan sulfonylurea.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap acarbose. Ketoasidosis diabetik, sirosis,
penyakit radang usus, ulkus kolonik, obstruksi intestinal parsial atau
predisposisi obstruksi intestinal, dikenal ditandai dengan gangguan
penyerapan GI. Kondisi yang mungkin memburuk sebagai akibat
meningkatnya pembentukan gas di saluran pencernaan.25
f. Dosis Obat
Tablet
 25mg
 50mg
51

 100mg

g. Dosis Maksimum

<60 kg: 50 mg q8hr

> 60 kg: 100 mg q8hr 25

h. Efek Samping Obat

> 10%

 sakit perut (19%)


 diare (31%)
 transaminase serum meningkat
 perut kembung (74%)

Postmarketing Reports

 Reaksi kulit yang hipersensitif : ruam, eritema, eksantema, dan urtikaria


 Busung
 Trombositopenia
 Pneumatosis cystoides intestinalis
 Gastrointestinal : Hepatitis fulminal dengan hasil fatal, ileus / subileus,
ikterus dan / atau hepatitis dan kerusakan hati terkait.25

i. Interaksi Obat dengan Obat


Penggunaan bersamaan dengan sulfonylureas atau insulin dapat
menyebabkan hipoglikemia, mengobati hipoglikemia dengan glukosa oral
(dekstrosa), bukan sukrosa (gula tebu). Pemantauan kontrol glikemik
dengan tes 1,5-AG tidak disarankan; pengukuran 1,5-AG tidak dapat
diandalkan dalam menilai kontrol glikemik pada pasien yang memakai
acarbose, menggunakan metode alternatif untuk memantau kontrol
glikemik.25
52

j. Aturan Pemakaian Obat


Tipe 2 Diabetes Melitus : Awalnya 25 mg PO q8hr, saat makan (dengan
gigitan pertama). Dapat meningkat menjadi 50 atau 100 mg PO q8hr pada
interval 4-8 minggu berdasarkan glukosa postprandial 1 jam atau kadar
hemoglobin terglikosilasi, dan toleransi.25
Terapi Non Farmakologi DM tipe 2
a) Edukasi
Perubahan gaya hidup dan perilaku, dimulai dengan menghindari merokok,
alkohol, makan berlebihan terutama tinggi lemak dan karbohidrat sampai
keteraturan minum obat, pemakaian insulin.28
b) Terapi Gizi Medis
Karbohidrat 45-60%, protein 10-20%, lemak 20-25% dengan jumlah kalori
dihitung dari berat badan idaman {(TB- 100)-10%)} dikali kalori basal
30kkal/ kgbb untuk laki-laki, 25 kkal/kgbb untuk wanita dan ditambah kalori
untuk aktivitas lalu dibagi 3 porsi besar makan pagi 20%, makan siang 30%,
sore 25%. dan 2-3 porsi makan ringan 10- 15%. Jumlah kandungan serat  25
g/ hari.28
c) Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan teratur 3-4x/minggu selama 30 menit, bersifat CRIPE
(Continuous, Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance training), sedapat
mungkin mencapai sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur). Hati-
hati pada diabetes tidak terkendali (gula darah >250 mg/dL) karena olahraga
dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan benda keton yang dapat
berakibat fatal. 6,28
d) Sepuluh petunjuk pola hidup sehat
Di dalam praktek sehari-hari perlu dilakukan penyuluhan bagi para diabetesi
agar bisa melakukan pola hidup sehat yang meliputi Pola makan dan Pola
Latihan Fisik dengan mudah, untuk ini Askandar Tjokroprawiro 1995-2010
telah menyusun sepuluh petunjuk pola hidup sehat yang disingkat dengan
GULOH-SISAR = SINDROMA-10.
GULOH-SISAR merupakan singkatan dari :28
53

 G (Gula) artinya bagi para diabetisi sebaiknya pantangan gula dan bagi
non DM membatasi asupan gula
 U (Urat) untuk mencegah atau mengatasi hiperurisemia maka batasi
konsumsi JAS-BUKET yaitu Jeroan, Alkohol, Sarden, Burung dara,
Unggas, Kaldu, Kacang-kacangan, Emping, Tape.
 L (Lemak) batasi TEK-KUK-CS2 yaitu Telor, Keju-Kepiting, Udang,
Kerang, Cumi, Susu, Santan.
 O (Obesitas) lakukanlah penurunan berat badan bila terjadi obesitas
dengan target lingkar pinggang untuk laki-laki < 90 cm, untuk wanita <
80 cm.
 H (Hipertensi) untuk pasien hipertensi batasi ekstra garam, ikan asin,
kacang asin, dan lain-lain.
 S (Sigaret), stop merokok.
 I (Inaktivasi) lakukanlah olahraga setiap hari yang bisa mengeluarkan
kalori kurang lebih 300 kcal/hari atau jalan 3 km atau sit-up 50-
200x/hari.
 S (Stress) usahakan tidur nyenyak 6-7 jam sehari, bila tidur malam
kurang maka bisa digantikan pada siang harinya.
 A (Alkohol), stop alkohol.
 R (Regular Check Up) lakukanlah kontrol secara teratur, bagi umur > 40
tahun setiap 3, 6, 12 bulan, konsultasi kepada ahlinya dan terapi.
Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2
a. Monitoring
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:37
54

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 3.1 Kriteria monitoring DM. 37

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard


NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai
sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.37

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).37
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO
glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
55

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil


pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4
kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.


Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E). Pada keadaan yang tidak
memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka
pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
56

Konseling, Informasi dan Edukasi pada DM tipe 2


a. Edukasi pasien agar memakan makanan yang bergizi dan perbanyak
minum air putih.
b. Edukasi pasien agar teratur minum obat.
c. Edukasi pasien agar hidup sehat agar tidak terjadi komplikasi pada DM .33

E. Gagal ginjal (Cronic Kidney Disease/ Acute Kidney Disease)


Konseling, informasi, dan edukasi CDK
57

Menurut WHO (2003) dalam Wells (2011) kepatuhan adalah sejauh mana
perilaku seseorang dalam melakukan pengobatan, mengikuti program diit, dan
atau menjalankan perubahan gaya hidup sesuai dengan yang disepakati atas
rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan tergantung pada
proses adopsi dan maintenance pada rentang terapi tingkah laku baik oleh pemberi
pelayanan kesehatan dan atau pasien termasuk manajemen diri pasien secara
biologis, perilaku dan faktor sosial yang mempengaruhi sehat dan sakit.
Kepatuhan terhadap regimen terapi menjadi masalah yang meningkat pada
penyakit kronik.27
Pada penyakit chronic kidney disease pasien dihadapkan pada beberapa
perubahan gaya hidup. Parameter yang digunakan untuk menilai ketidakpatuhan
adalah dengan menggunakan interdialytic weight gain (IDWG) atau berat badan
diantara waktu dialysis. Menurut Kugler (2005) interdialytic weight gain
merupakan nilai yang reliabel untuk mengukur ketidakpatuhan terhadap cairan.
Pertambahan berat badan diantara waktu dialysis diklasifikasikam menjadi tiga
kelompok yaitu pertambahan berat badan < 4 % adalah ringan, 4% – 6% adalah
rata – rata dan > 6% adalah bahaya.27
58

Managemen IDWG (interdialytic weight gain)


1. Pengaturan natrium
Pengaturan natrium dalam diit memiliki arti penting dalam gagal ginjal.
Jumlah natrium yang diperbolehkan adalah 40 sampai 90 mEq/hari ( 1 hingga 2
gram natrium sehari), akan tetapi asupan yang optimal harus ditentukan secara
individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik.
Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema
perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pada kondisi
jumlah natrium terbatas pada titik keseimbangan negative akan dapat terjadi
hipovolemia.27
2. Pengaturan asupan cairan
Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati – hati dalam gagal
ginjal lanjut karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat
diyakini mengenai keadaan hidrasi klien. Berat badan harian merupakan
parameter penting yang dipantau selain catatan yang akurat menngenai asupan
dan keluaran. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban
sirkulasi, edema dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang dari optimal dapat
menyebabkan dehidrasi, hipotensi dan perburukan fungsi ginjal. Asupan secara
umum untuk asupan cairan adalah keluaran urin dalam 24 jam ditambah 500
ml yang mencerminkan kehilangan cairan yang tidak disadari.27
Pada pasien dengan dialysis diberi cairan yang memungkinkan
penambahan berat badan sekitar 0,9 hingga 1,3 kg. Pada prinsipnya asupan
cairan dan natrium diatur sedemikian rupa untuk mencapai keseimbangan
cairan.27
3. Mengurangi rasa haus dan xerostomia
Untuk mengurangi rasa haus dan xerostomia dapat digunakan permen
karet dan saliva substitute.27
Proses pembentukan efikasi dilakukan melalui proses kognitif,
motivasional, afektif dan seleksi sepanjang kehidupan. Fungsi kognitif
memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang
akan berakibat pada masa depan. Individu akan meramalkan kejadian dan
59

mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi


hidupnya. Sebagian besar motivasi dihasilkan dari proses kognitif. Dengan
motivasi kognitif seseorang memotivasi mereka sendiri dan memandu tindakan
antisipasi mereka melalui pemikiran ke masa depan. Untuk mencapai
keberhasilan diperlukan keyakinan dan rasa optimis.27
Training efikasi sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap intake cairan dilakukan melalui pemberian informasi atau edukasi.
Pemberian edukasi ini termasuk dalam sumber efikasi persuasi sosial.
Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang
yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia
cukup mampu melakukan suatu tugas.27
Edukasi diberikan dengan topik patofisiologi gagal ginjal dan
hemodialisis, pengobatan, komplikasi, nutrisi, pembatasan cairan, cara
mengontrol haus dan manajemen stress. Hal ini dimaksudkan untuk fungsi
kognitif. Melalui proses edukasi ini pasien akan mengetahui bahwa penyakit
ginjal kronik akan mengakibatkan dampak dan berbagai perubahan dalam
tubuh. Ketidak patuhan terhadap pembatasan cairan dapat mengakibatkan
kelebihan cairan secara kronik dan meningkatkan resiko pada kardiovaskuler
dan hipertensi.27
Setelah pasien mengetahui tentang penyakit ginjal kronik dan berbagai
dampak yang ditimbulkan termasuk diantaranya adalah dampak apabila terjadi
kelebihan cairan selanjutnya pasien akan terbentuk motivasinya Dengan
motivasi kognitif seseorang memotivasi mereka sendiri dan memandu tindakan
antisipasi mereka melalui pemikiran ke masa depan. Mereka membentuk
keyakinan tentang apa yang bisa mereka lakukan, mengantisipasi kemungkinan
hasil, menetapkan tujuan dan rencana tindakan yang dirancang untuk masa
depan yang bernilai.27
Monitoring ckd/akd
Harus selalu melihat dari kondisi pasien, Pemantauan pasien untuk
mengontrol tekanan darah, penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem
60

renin-angiotensin, dan penghindaran nephrotoxin mungkin terbukti penting


sebagai kesehatan dari penyakit.27

Non farmakologi CKD


a) Pengaturan diet protein
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan gagal ginjal kronik
(CKD). Penderita azotemia biasanya dibatasi aupan proteinnya meskipun
masih diperdebatkan seberapa juah perbatasan harus dilakukan.
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin
juga hasil metabolisme protein toksik yang belum diketahui, tetapi juga
mengurangi asupan kalium, fosfat dan produksi ion hidrogen yang berasal
dari protein. Gejala-gejala seperti mual, muntah, letih mungkin dapat
membaik. Yang lebih penting lagi, dalam penelitian yang baru dilakukan,
telah dibuktikan bahwa hemodinamik intrarenal yang abnormal dapat
memperberat gagal ginjal kronik pada beberapa macam penyakit ginjal.
Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan
ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Kemungkinana mekanisme
yang berkaitan dengan fakta bahwa asupan rendah protein mengurangi
beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan
intraglomerulus dan cedera sekunder pada nefron infrak. 38
b) Pengaturan diet kalium
Hiperkalemia umumnyta menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut dan
juga menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet. Jumlah
yang diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq/hari. Tindakan yang
harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obat-obatan atau
makanan yang tinggi kandungan kalium. Makanan atau obat-obatan ini
mengandung tambahan garam, ekspektoran, kalium sitrat, dan makanan
seperti pisang, sup, jus buah murni. Pemberian makanan atau obat-obatan
yang tidak diperkirakan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya.
38
61

c) Pengaturan diet natrium dan cairan

Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah
natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari, tetapi asupan
natrium yang optimal harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk
mempertahankan hidrasi yang baik. Asupan terlalu bebas dapat menyebabkan
terjadinya retensi cairan, edem perifer, edem paru, hipertensi dan gagal ginjal
kongestif. Retensi natrium umumnya merupakan masalah pada penyakit
glomerulus dan pada gagal ginjal lanjut. 38
62

D. Kesimpulan

Gastritis
R/ Lansoprazole vial 30 mg No. X
S. 2 dd vial 1 (paraf)

R/ Spuit 5 cc No. X
S. Pro inj (paraf)

R/ Amoxcilin vial 1 g No. X


S. 2 dd vial 1 p.c (paraf)

R/ Clarythomycin tab 500 mg No. X


S. 2 dd tab 1 p.c (paraf)

R/ Spuit 10 cc No. X
S. Pro inj (paraf)

Hipertensi
R/ Irbesartan tab 150 mg No. V
S. 1 dd tab 1 p.c (paraf)

Diabetes Melitus Tipe 2


R/ Acarbose tab 50 mg No. XV
S. 3 dd tab 1 d.c (paraf)
63

E. Resep

dr Bella
Jl. Terusan Pemuda No. 1B Cirebon Telepon 08123455667
SIP : 116170099
31 Mei 2018
R/ Lansoprazole vial 30 mg No. X
S. 2 dd vial 1 (paraf)

R/ Spuit 5 cc No. X
S. Pro inj (paraf)

R/ Amoxcilin vial 1 g No. X


S. 2 dd vial 1 p.c (paraf)

R/ Clarythomycin tab 500 mg No. X


S. 2 dd tab 1 p.c (paraf)

R/ Spuit 10 cc No. X
S. Pro inj (paraf)

R/ Irbesartan tab 150 mg No. V


S. 1 dd tab 1 p.c (paraf)

R/ Acarbose tab 50 mg No. XV


S. 3 dd tab 1 d.c (paraf)

Pro : Tn. AB
Umur : 53 Tahun
64

DAFTAR PUSTAKA

1. Alianto R. Diagnosis Histopatologik Gastritis. CDK-231/ vol. 42 no. 8.


Riau: RSU Indrasari, Kabupaten Indragiri Hulu; 2015.
2. Pratama H. Eradikasi Helicobacter pylori.CDK-243/ vol. 43 no. 8.
Tangerang: RSU Siloam Tangerang; 2016.
3. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Third Edition. New
York: Thieme; 2016.
4. Hammer G, McPhee S. Pathophysiology of Disease An Introduction to
Clinical Medicine. Seventh Edition. New York: McGraw Hill; 2014.

5. Nuraini B. Risk Factors of Hypertention. Volume 4 Nomer 5. Fakultas


Kedokteran Universitas Lampung: J MAJORITY; 2015.
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing;
2015.

7. Fatimah R. Diabetes Melitus Tipe 2. Vol. 4 No. 5. Fakultas Kedokteran


Universitas Lampung: J MAJORITY; 2015.
8. Baynest H. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and Management
of Diabetes Mellitus. DOI: 10.4172/2155-6156.1000541. University of
Gondar Ethopia: Journal of Diabetes and Metabolism; 2015.
9. Syam A et al. National Consensus on Management of Dyspepsia and
Helicobacter pylori Infection. Vol. 49 No. 3. Jakarta: Acta Med Indones -
Indones J Intern Med; 2017.
10. Costi R et al. Diagnosis and management of choledocholithiasis in the
golden age of imaging, endoscopy and laparoscopy. 20(37): 13382-13401
ISSN 1007-9327. Italy: World Journal of Gastroenterology; 2014.
11. Tazuma S et al. Evidence based clinical practice guidelines for
cholelithiasis. DOI 10.1007/s00535-016-1289-7. Japan: Japanese Society
of Gastroenterology; 2016.
65

12. James PA, Ortiz E, et al. 2014 evidence-based guideline for the
management of high blood pressure in adults. 311(5):507-20. JNC 8:
JAMA; 2014.
13. Soelistijo dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI); 2015.
14. Harty J. Prevention and Management of Acute Kidney Injury. 83(3):149-
157. UK: Ulster Med J; 2014.
15. National Kidney Foundation. How to Manage Your CKD Patients.
800.622.9010. New York: National Kidney Foundation; 2015.
16. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2016.
17. PubChem. Amoxicillin. Mei 2018 [diunduh 2 Juni 2018]. Tersedia dari :
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/amoxicillin#section=Top.
18. Medscape. Amoxicillin (Rx). Oktober 2017 [diunduh 2 Juni 2018].
Tersedia dari : https://reference.medscape.com/drug/amoxil-moxatag-
amoxicillin-342473#91.
19. Setiati I, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
20. Medscape. Lansoprazol (Rx, OTC). [diunduh 1 Januari 2018]. Tersedia
dari: https://reference.medscape.com/drug/prevacid-solu-tab-lansoprazole-
341991
21. Cawla, lakhmir. Dkk. Acute kidney injury and chronic kidney disease: an
integrated clinical syndrome. Nomor 82. Volume 23. USA:George
Washington University Medical Center; 2012
22. Pratama hamzah. Eradikasi H.pylori. cdk -243 vol 43. No 8 RSU Siloam :
Tangerang; 2016
66

23. Medscape. Acute Gastritis Treatment and Management. Oktober 2017


[diunduh 5 Juni 2018]. Tersedia dari :
https://emedicine.medscape.com/article/175909-treatment#d6.
24. Medscape. Gallstones (Cholelithiasis) Treatment & Management. Maret
2017 [diunduh 5 Juni 2018]. Tersedia dari:
https://emedicine.medscape.com/article/175667-treatment#d13.
25. Pusat Data dan lnformasi Kementerian Kesehatan RI . Hipertensi . Jakarta
Selatan. Infodatin; 2014
26. Kamyar, Kalantar-Zadeh. Chronic Kidney Disease(CKD).Hendry Ford
Healt system.2011
27. Dwi, Retno Sulistyaningsih. Efektivitas Training Efikasi Diri Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik Dalam Meningkatkan Kepatuhan Terhadap Intake
Cairan; 2011
28. Eko, Vincea. Terapi Diabetes Mellitus. RSUD Belitung Timur :
Kepulauan Bangka Belitung; 2011.
29. Nugraha, Dwi Adhi. Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Atas Non-Variseal. Dokter umum RSU Fastabiq Sehat,
PKU Muhammadiyah, Pati : Jawa Tengah; 2017.
30. Katzung, BG. Farmakologi dasar dan klinik. 12th ed. Jakarta. EGC; 2012.
31. Medscape. Irbesartan (Rx). [diunduh 17 Februari 2017]. Tersedia dari:
https://reference.medscape.com/drug/avapro-irbesartan-342319
32. PERKI. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Edisi 1. Jakarta; 2016
33. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Edisi 1. Jakarta; 2015
34. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Volume 1. EGC : Jakarta; 2015..
35. Masri OA, Chalhoub JM, Sharara AI. Role of vitamins in gastrointestinal
diseases. World J Gastroenterol; 2015.
36. Direktoat pengendalian penyakit tidak menular .pedoman teknis dan
penemuan dan tatalaksana peyakit hipertensi. Departemen kesehatan RI;
2006.
67

37. PERKENI.Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes militus tipe 2


di indonesia.PB PERKENI; 2015.
38. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta; 2016
39. Tedjasukmana, Pradana. Tata Laksana Hipertensi. Departemen
Kardiologi, RS Premier Jatinegara dan RS Grha Kedoya, Jakarta; 2012.
68

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai