B. Dasar Teori
1. Patofisiologi
a. Gastritis
Gastritis merupakan inflamasi mukosa gaster, dapat disebabkan
oleh infeksi H. pylori, refluks empedu, anti-inflamasi nonsteroid,
autoimunitas, atau respons alergi. H. pylori merupakan penyebab
tersering gastritis dengan kejadian lebih dari 80%. Pada gastritis
kronik cenderung ditemukan perubahan mukosa gaster menjadi
atrofi yang selanjutnya menimbulkan perubahan fisiologi gaster.
Kondisi ini sebagian besar ditunjukkan pada Helicobacter-
associated gastritis. Gastritis kronik berkelanjutan dapat
menimbulkan ulkus peptikum, gastritis kronis atrofi dan
3
b. Kolelitiasis
Kolelitiasis memiliki beberapa sebab. Namun, pembentukan
batu empedu kolesterol biasanya membutuhkan pembentukan
empedu yang konsentrasi kolesterolnya lebih besar dari persentase
kelarutannya. Proses normal yang mencegah terbentuknya batu
empedu mungkin termasuk fakta bahwa empedu tidak cukup lama
berada di kantung empedu untuk menjadi lithogenik (rentan
terhadap pembentukan batu). Karena itu, hilangnya motilitas
dinding otot kandung empedu (yang dihasilkan dari penyakit
intrinsik dari dinding otot, perubahan kadar hormon, atau gangguan
kontrol saraf) dan kontraksi sphincter yang berlebihan, merusak
pengosongan, adalah faktor predisposisi yang penting. Salah satu
konsekuensi dari pengosongan kandung empedu yang menurun,
adalah konsentrasi empedu yang berlebihan, menyebabkan
litogenisitas tinggi. Ini dapat terjadi dari penurunan daya serap air
atau perubahan komposisi empedu sehingga terjadi peningkatan
kadar kolesterol. 4
Faktor-faktor lain dapat menyebabkan kecenderungan yang
meningkat membentuk batu pada tingkat konsentrasi dan saturasi
tertentu, termasuk adanya faktor pemicu pembentukan inti batu
versus faktor antinukleasi dalam empedu serta jumlah dan
komposisi asam empedu. Faktor lain termasuk estrogen,
prostaglandin, peningkatan produksi lendir dan glikoprotein oleh
kantung empedu epitel, dan kolonisasi bakteri kronis atau infeksi. 4
Estrogen dapat memiliki banyak peran, pertama yang
mempengaruhi komposisi empedu (meningkatkan kolesterol dan
saturasinya dalam empedu) tetapi juga mengurangi motilitas
kandung empedu. Prostaglandin, yang melindungi perut dengan
meningkatkan produksi lendir, sebenarnya dapat berkontribusi
terhadap litogenisitas oleh mekanisme yang sama. Karena itu,
NSAID yang memblokir produksi prostaglandin adalah seringkali
6
c. Hipertensi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total
peripheral resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari
variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat
menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang
berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan
darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi
cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks
7
Patofisologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu:
10
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pankreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat
dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi
glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan
sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2
hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin
gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan
terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin. 7
11
e. Gagal Ginjal
Akut
Patogenesis gangguan ginjal akut (GgGA) merupakan kejadian
yang sangat kompleks dan bervariasi serta tergantung dari
etiologinya. Berdasarkan penyebabnya, GgGA terbagi menjadi 3
klasifikasi yaitu: pre renal, intrinsik dan post renal. Gangguan
ginjal akut pre renal menggambarkan reaksi ginjal akibat
kekurangan cairan, Pada keadaan ini, fungsi ginjal sebelumnya
adalah normal. Berkurangnya perfusi ginjal dan volume efektif
arterial akan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis dan renin
angiotensin aldosteron. Stimulasi sistem renin angiotensin
12
Kronis
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrans) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikut oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron
yang masihtersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah
tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin
angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth. Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulo interstisial. 6
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana
basal LFG masih normal atau. malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%. mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia,
16
2. Guideline Terapi
a. Gastritis
b. Kolelitiasis
c. Hipertensi
e. Gagal Ginjal
Penegakan diagnosis gagal ginjal akut
3. Assesment
Diagnosa Pasien: Suspect Gastritis Akut, Kolelitiasis
Problem Medis pasien: Hipertensi Stage 1, Diabetes Melitus Tipe 2,
Suspect CKD (Chronic Kidney Disease)/AKI (Acute Kidney Injury)
mmHg (Stage 1)
22/9: 120/80
mmHg (Normal)
23/9: 130/90
mmHg (Stage 1)
Riwayat DM ± 10 Diabetes • Cek HbA1C
Melitus
tahun Tipe 2 • Acarbose
Riwayat pengobatan
DM: glucodex, insulin
novomix, glucobay,
glibenklamid, jamu
WBC: 10,0 Suspect • Cek GFR
CKD
(Normal) (Chronic Kidney
Creat: 1,0 Disease)/AKI
(Normal) (Acute Kidney
BUN: 53 Injury)
(Meningkat)
4. Plan
a. Terapi Gastritis
b. Terapi Kolelitiasis
c. Hipertensi
d. Diabetes Millitus
e. CKD/AKI
5. Pembahasan Terapi
A. Gastritis
1. Tatalaksana Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam; pada pasien risiko tinggi
seperti instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah
resusitasi atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang
29
nasogastrik, endoskopi dilakukan very early dalam ≤12 jam. Di lain pihak,
endoskopi early meningkatkan risiko desaturasi terutama bila dilakukan
sebelum resusitasi dan stabilisasi. Pada pasien dengan status hemodinamik
stabil dan tanpa komorbid serius, endoskopi dapat dilakukan sebelum pasien
pulang.29
Tujuan endoskopi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang. ACG merekomendasikan terapi endoskopi untuk
perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah visibel tanpa
perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren),
terapi endoskopi dapat dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi
perdarahan ulang. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan untuk ulkus
dengan dasar bersih atau bintik pigmentasi.29
2. Amoxicilin
a. Aktivitas dan Mekanisme Kerja
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan
untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif,
penisilin akan menghasilkan efek bakterisid.
Mekanisme kerja antibiotika betalaktam dapat diringkas dengan
urutan sebagai berikut : (1) Obat bergabung dengan penicillin-binding
protein (PBPs) pada kuman. (2) Terjadi hambatan sintesis dinding sel
kuman karena proses transpeptidase antar rantai peptidoglikan
terganggu. (3) Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding
sel. 16
b. Indikasi
Untuk pengobatan infeksi telinga, hidung, dan tenggorokan,
saluran genitourinari, kulit dan struktur kulit, dan saluran pernapasan
bawah karena rentan (hanya b-laktamase-negatif) strain Streptococcus
spp. (A dan b-hemolytic strain saja), S. pneumoniae, Staphylococcus
spp., H. influenzae, E. coli, P. mirabilis, atau E. faecalis. Juga untuk
31
3. Klaritromisin
a. Mekanisme kerja
Clarithromycin adalah antibakteri makrolid semisintetik yang secara
reversible yang berikatan dengan subunit p dari subunit ribosom 50S
organisme rentan dan dapat menghambat sintetis protein RNA- dependent
dengan menstimulasi disosiasi peptida t-RNA dari ribosom, sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri.
b. ADME
Absorpsi: Stabil dalam asam lambung , penundaan makanan tidak
mempengaruhi tingkat penyerapan
Biovabilitas 50% paruh waktu 2-3 jam
Distribusi: Didistribusikan secara luas ke sebagian besar jaringan tubuh
kecuali sistem saraf pusat SSP.
33
Metabolisme
Sebagian dimetabolisme olen enzim CYP3A4
Ekskresi
Urine ( 30-55%)
c. Indikasi obat dan kontaindikasi obat
Indikasi obat diberikan kepada pasien dengan infeksi dari bakteri h.pylori
Kontraindikasi obat tidak diberikan jika terjadi reaksi hipersensitivitas
dari pasien
d. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan laboratorium
Karena pada pemeriksaan pasien ditemukan UBT +
e. Dosis obat
a. Oral supensi 125 mg/ 5mL
250 mg/ 5mL
b. Tablet 250 mg dan 500 mg
f. Efek samping obat
Efek samping dari pemberian obat clarithromycin dapat menyebabkan
diare, mual dan muntah, perut sakit atau tidak nyaman , sakit kepala dan
mulut terasa perih.
g. Interaksi obat
Klaritomisin meningkatkan toksisitas dihidroergotamin dengan
memengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati atau usus kontraindikasi.
Pemberian bersamaan dapat menyebabkan vasopasme dan iskemia
ekstremitas dan jaringan lain termasuk SSP.
h. Aturan pemakaian obat
Diberikan 500 mg 2 x sehari dalam kombinasi dengan obat obatan
antibakteri lain termasuk salah satu dari obat PPI .
i. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien ,penyakit riwayat
pengobatan
Tidak ada hubungan
j. Hubungan umur paien dengan obat
Tidak ada hubungan
34
4. Lansoprazol
a. Mekanisme aksi
Inhibitor pompa proton; berikatan dengan H + / K + - perubahan
ATPase (pompa proton) pada sel parietal lambung, yang menghasilkan
supresi sekresi asam basal dan menstimulasinya.20
b. ADME
Penyerapan
Bioavailabilitas: 81-91%; menurun 50-70% jika diberikan 30 menit setelah
makan. Puncak waktu plasma: 1,7 jam; makanan meningkatkan waktu
hingga 3,7 jam. Durasi (pada kondisi stabil): >24 jam (PUD,
esophagitis); 40 jam (sindrom Zollinger-Ellison). AUC: Makanan
menurunkan AUC hingga 50%.20
Serangan
Supresi asam lambung: 1-3 jam
PUD: 1 minggu (awal); 4-8 hari (puncak)
Esophagitis: 1-4 minggu (awal); 8 minggu (puncak)
Distribusi
Kontraindikasi
Perhatian
Efek samping
1-10%
<1%
Kegelisahan
Angina
Palpitasi
Sinkop
Busung
Anorexia
Mulut kering
Tenesmus
Perut kembung
Melena
Mialgia
Tinnitus
Reaksi alergi
Fraktur tulang
Interaksi obat
Lansoprazole dimetabolisme di hati dan merupakan penginduksi
yang lemah dari cytochrome P450. Oleh sebab itu ada kemungkinan
interaksi dengan obat-obat yang dimetabolisme di hati.20
Terutama harus hati-hati bila diberikan bersama-sama dengan obat-
obat kontrasepsi oral dan preparat seperti fenitoin, teofilin, atau
warfarin.20
38
Diet. Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu
tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus dapat
merangsang pengeluaran asam lambung. 34
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni,
menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus
meningkatkan kekambuhan tukak. Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi
sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat kesembuhan luka tukak
dan dapat meningkatkan angka kematian. 34
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. air jeruk yang
asam, coca cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada
mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam lambung dan belum
jelas dapat menghalangi penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan
sewaktu perut kosong. 34
Perubahan gaya hidup dan pekerjaan kadang-kadang menimbulkan
kekambuhan penyakit tukak.34
Istirahat fisik dan emosional dipermudahkan dengan menciptakan lingkungan
yang tenang.34
Memberikan dukungan emosi kepada pasien.34
Mendengarkan keluhan-keluhan pasien. 34
Monitoring Gastritis
1) Pemantauan Jangka Panjang
Tes eradikasi H pylori dapat dilakukan 4 minggu setelah menyelesaikan
terapi. Ini dilakukan baik menggunakan tes napas urease cepat atau tes
antigen tinja. Namun, itu tidak efektif dan tidak selalu dilakukan.
Rekomendasi saat ini adalah pasien dengan ulkus dari H. pylori, limfoma
MALT, riwayat kanker lambung, dan mereka yang tidak mengalami
perbaikan gejala meskipun pengobatan harus diperiksa untuk resolusi infeksi
H. pylori.23
40
2) Perawatan medis
Berikan terapi medis sesuai kebutuhan, tergantung pada penyebab dan
temuan patologis.
Tidak ada terapi khusus untuk gastritis akut, kecuali untuk kasus-kasus
yang disebabkan oleh H. pylori. The College of Gastroenterology Amerika
pedoman menyarankan bahwa bukti saat ini tidak mendukung gagasan bahwa
mengobati H. pylori memperburuk gastroesophageal reflux disease (GERD).
Untuk pasien yang membutuhkan pemberantasan H pylori, ini seharusnya
tidak menjadi perhatian. Pada pasien dengan infeksi H. pylori persisten
meskipun pengobatan awal yang sesuai, terapi kombinasi dengan inhibitor
pompa proton (PPI), levofloxacin, dan amoxicillin selama 10 hari tampaknya
lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada kombinasi PPI, bismut,
tetrasiklin, dan metronidazol. Namun ini belum divalidasi dalam literatur
AS.23
Berikan cairan dan elektrolit seperlunya, terutama jika pasien muntah.
Hentikan penggunaan obat yang diketahui menyebabkan gastritis (misalnya,
NSAID, alkohol). Sebuah studi prospektif jangka panjang menemukan bahwa
pasien dengan arthritis yang lebih tua dari 65 tahun dan secara teratur
mengambil aspirin dosis rendah berada pada peningkatan risiko dispepsia
yang cukup parah untuk mengharuskan penghentian NSAID. Hal ini
menunjukkan bahwa manajemen penggunaan NSAID yang lebih baik harus
didiskusikan dengan pasien yang lebih tua untuk mengurangi kejadian GI atas
terkait NSAID.23
Ada kekhawatiran yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir
mengenai interaksi antara PPI dan clopidogrel. Penurunan aktivitas
antiplatelet clopidogrel dengan kemungkinan peningkatan kejadian jantung
yang merugikan dipostulasikan. Farmakokinetik telah menunjukkan bahwa
omeprazole dan lansoprazole berinteraksi secara signifikan dengan
clopidogrel, dan bahwa omeprazole, rabeprazole, dan esomeprazole
berinteraksi dengan prasugrel. Pantoprazole telah terbukti memiliki interaksi
paling sedikit dan dengan demikian, pantoprazole dengan sifat penghambat
41
B. Kolelitiasis
Monitoring Kolelitiasis
Pemantauan Jangka Panjang
Setelah kolesistektomi, sekitar 5-10% pasien mengalami diare kronis. Ini
biasanya dikaitkan dengan garam empedu. Frekuensi sirkulasi enterohepatik
dari garam empedu meningkat setelah kandung empedu diangkat, sehingga
lebih banyak garam empedu mencapai usus besar. Di usus besar, garam
empedu menstimulasi sekresi garam dan air mukosa.24
Diare pasca-kolesistektomi biasanya ringan dan dapat ditangani dengan
penggunaan agen antidiare yang dijual bebas, seperti loperamide. Diare yang
lebih sering dapat diobati dengan pemberian harian dari resin pengikat asam
empedu (misalnya, colestipol, cholestyramine, colesevelam). Setelah
kolesistektomi, beberapa orang mengalami nyeri berulang menyerupai kolik
bilier. Istilah sindrom postcholecystectomy kadang-kadang digunakan untuk
kondisi ini. Banyak pasien dengan sindrom postcholecystectomy memiliki
nyeri fungsional jangka panjang yang awalnya salah didiagnosis sebagai asal
empedu. Kegigihan gejala setelah kolesistektomi tidak mengejutkan. Upaya
diagnostik dan terapeutik harus diarahkan pada penyebab yang benar.
Beberapa individu dengan sindrom postcholecystectomy memiliki gangguan
motilitas yang mendasari sfingter dari Oddi, yang disebut dyskinesia bilier,
42
C. Hipertensi
1. Irbesartan
Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
a. Mekanisme Kerja Irbesartan
Memusuhi efek Angiotensin II, mengantagonisasi efek Angiotensin II
pada reseptor AT1.30
a) Absorpsi: Bioavailability 60-80%, onset 1-2 jam, durasi 24 jam, peak
plasma time 1,5-2 jam.
b) Distribusi: Protein bound 90%, vd 53-93 L
c) Metabolisme: dimetabolisme oleh Hepatic CYP2C9 dan CYP3A4
d) Eliminasi: Eksresi di feces 80% dan urine 20%
b. Hubungan Pengobatan dengan Data Klinik Pasien
Dari data klinik dapat dilihat bahwa pasien mengalami Hipertensi sejak 3
tahun yang lalu, selain itu pasien juga mengalami DM tipe 2 dan suspect
CKD karena itu diberikan Irbesartan yang akan berefek pada dilatasi
arteriol dan vena, mengurangi sekresi aldosterone dan mengurangi
remodelling jantung, selain itu Irbesartan juga tidak akan terlalu
mempengaruhi ginjal karena eliminasi Irbesartan pada Feces 80% dan
pada Urine 20%.31
c. Efek Samping Obat
Hiperkalemia, edema angioneurotic.30
d. Interaksi Obat
Irbesartan aditif dengan antagonis Angiotensin lainnya
Interaksi obat dengan obat
Irbesartan aditif dengan antagonis Angiotensin lainnya
Interaksi obat dengan makanan
44
(6-8 jam) dan mengendalikan stress. Untuk pemilihan serta penggunaan obat-
obatan hipertensi disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter keluarga anda.26
Ada pun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita
hipertensi :
1) Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak
kelapa, gajih).
2) Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit, crackers,
keripik dan makanan kering yang asin).
3) Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta
buah-buahan dalam kaleng, soft drink).
4) Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,
pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).
5) Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein
hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning
telur, kulit ayam).
6) Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco
serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandunggaram natrium.
7) Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.26
Kepatuhan pasien dalam minum obat atau medication adherence
didefinisikan sebagai tingkat ketaatan pasien untuk mengikuti anjuran pengobatan
yang diberikan. Kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh faktor demografi,
faktor pasien, faktor terapi dan hubungan pasien dengan tenaga kesehatan. Salah
satu indikator dari kepatuhan pasien minum obat antihipertensi adalah
pengendalian tekanan darah.26
Konseling yang efektif akan membuat pasien mengerti tentang penyakit
dan pengobatan yang sedang dijalani dan meningkatkan kepatuhan minum obat.
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien penyakit kronis dengan terapi jangka
panjang yang mematuhi instruksi pengobatan diperkirakan hanya 30-50%. 8
Kesalahan yang sering terjadi adalah jika keluhan hilang, pasien merasa sudah
sembuh, kemudian tidak patuh minum obat.26
48
D. Diabetes Millitus
8) Acarbose
a. Mekanisme kerja
Oral alfa-amilase pankreas dan sikat usus alfa-glukosidase. Ini
menghasilkan hidrolisis tertunda karbohidrat kompleks yang dicerna dan
disakarida dan penyerapan glukosa. Menghambat metabolisme sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa.21
Half-Life: 2 jam
Awitan: 1 jam
Puncak Waktu Plasma: 1 jam
Bioavailabilitas: <2% 25
b. Metabolisme
Terdegradasi secara luas di usus oleh enzim bakteri dan pencernaan, unit
glukosa dikeluarkan dari molekul acarbose.25
Metabolit: derivatif 4-methylpyrogallol (major inactive mets) dan
pertemuan tidak aktif lainnya.25
c. Pengeluaran/Eliminasi
Urine: 34% sebagai metabolit tidak aktif.
Feses: 51% sebagai obat yang tidak terserap.25
d. Indikasi & Penggunaan Lainnya
Ketika DM 2, perawatan mono atau dengan sulfonylurea.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap acarbose. Ketoasidosis diabetik, sirosis,
penyakit radang usus, ulkus kolonik, obstruksi intestinal parsial atau
predisposisi obstruksi intestinal, dikenal ditandai dengan gangguan
penyerapan GI. Kondisi yang mungkin memburuk sebagai akibat
meningkatnya pembentukan gas di saluran pencernaan.25
f. Dosis Obat
Tablet
25mg
50mg
51
100mg
g. Dosis Maksimum
> 10%
Postmarketing Reports
G (Gula) artinya bagi para diabetisi sebaiknya pantangan gula dan bagi
non DM membatasi asupan gula
U (Urat) untuk mencegah atau mengatasi hiperurisemia maka batasi
konsumsi JAS-BUKET yaitu Jeroan, Alkohol, Sarden, Burung dara,
Unggas, Kaldu, Kacang-kacangan, Emping, Tape.
L (Lemak) batasi TEK-KUK-CS2 yaitu Telor, Keju-Kepiting, Udang,
Kerang, Cumi, Susu, Santan.
O (Obesitas) lakukanlah penurunan berat badan bila terjadi obesitas
dengan target lingkar pinggang untuk laki-laki < 90 cm, untuk wanita <
80 cm.
H (Hipertensi) untuk pasien hipertensi batasi ekstra garam, ikan asin,
kacang asin, dan lain-lain.
S (Sigaret), stop merokok.
I (Inaktivasi) lakukanlah olahraga setiap hari yang bisa mengeluarkan
kalori kurang lebih 300 kcal/hari atau jalan 3 km atau sit-up 50-
200x/hari.
S (Stress) usahakan tidur nyenyak 6-7 jam sehari, bila tidur malam
kurang maka bisa digantikan pada siang harinya.
A (Alkohol), stop alkohol.
R (Regular Check Up) lakukanlah kontrol secara teratur, bagi umur > 40
tahun setiap 3, 6, 12 bulan, konsultasi kepada ahlinya dan terapi.
Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2
a. Monitoring
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:37
54
Menurut WHO (2003) dalam Wells (2011) kepatuhan adalah sejauh mana
perilaku seseorang dalam melakukan pengobatan, mengikuti program diit, dan
atau menjalankan perubahan gaya hidup sesuai dengan yang disepakati atas
rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan tergantung pada
proses adopsi dan maintenance pada rentang terapi tingkah laku baik oleh pemberi
pelayanan kesehatan dan atau pasien termasuk manajemen diri pasien secara
biologis, perilaku dan faktor sosial yang mempengaruhi sehat dan sakit.
Kepatuhan terhadap regimen terapi menjadi masalah yang meningkat pada
penyakit kronik.27
Pada penyakit chronic kidney disease pasien dihadapkan pada beberapa
perubahan gaya hidup. Parameter yang digunakan untuk menilai ketidakpatuhan
adalah dengan menggunakan interdialytic weight gain (IDWG) atau berat badan
diantara waktu dialysis. Menurut Kugler (2005) interdialytic weight gain
merupakan nilai yang reliabel untuk mengukur ketidakpatuhan terhadap cairan.
Pertambahan berat badan diantara waktu dialysis diklasifikasikam menjadi tiga
kelompok yaitu pertambahan berat badan < 4 % adalah ringan, 4% – 6% adalah
rata – rata dan > 6% adalah bahaya.27
58
Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah
natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari, tetapi asupan
natrium yang optimal harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk
mempertahankan hidrasi yang baik. Asupan terlalu bebas dapat menyebabkan
terjadinya retensi cairan, edem perifer, edem paru, hipertensi dan gagal ginjal
kongestif. Retensi natrium umumnya merupakan masalah pada penyakit
glomerulus dan pada gagal ginjal lanjut. 38
62
D. Kesimpulan
Gastritis
R/ Lansoprazole vial 30 mg No. X
S. 2 dd vial 1 (paraf)
R/ Spuit 5 cc No. X
S. Pro inj (paraf)
R/ Spuit 10 cc No. X
S. Pro inj (paraf)
Hipertensi
R/ Irbesartan tab 150 mg No. V
S. 1 dd tab 1 p.c (paraf)
E. Resep
dr Bella
Jl. Terusan Pemuda No. 1B Cirebon Telepon 08123455667
SIP : 116170099
31 Mei 2018
R/ Lansoprazole vial 30 mg No. X
S. 2 dd vial 1 (paraf)
R/ Spuit 5 cc No. X
S. Pro inj (paraf)
R/ Spuit 10 cc No. X
S. Pro inj (paraf)
Pro : Tn. AB
Umur : 53 Tahun
64
DAFTAR PUSTAKA
12. James PA, Ortiz E, et al. 2014 evidence-based guideline for the
management of high blood pressure in adults. 311(5):507-20. JNC 8:
JAMA; 2014.
13. Soelistijo dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI); 2015.
14. Harty J. Prevention and Management of Acute Kidney Injury. 83(3):149-
157. UK: Ulster Med J; 2014.
15. National Kidney Foundation. How to Manage Your CKD Patients.
800.622.9010. New York: National Kidney Foundation; 2015.
16. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2016.
17. PubChem. Amoxicillin. Mei 2018 [diunduh 2 Juni 2018]. Tersedia dari :
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/amoxicillin#section=Top.
18. Medscape. Amoxicillin (Rx). Oktober 2017 [diunduh 2 Juni 2018].
Tersedia dari : https://reference.medscape.com/drug/amoxil-moxatag-
amoxicillin-342473#91.
19. Setiati I, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
20. Medscape. Lansoprazol (Rx, OTC). [diunduh 1 Januari 2018]. Tersedia
dari: https://reference.medscape.com/drug/prevacid-solu-tab-lansoprazole-
341991
21. Cawla, lakhmir. Dkk. Acute kidney injury and chronic kidney disease: an
integrated clinical syndrome. Nomor 82. Volume 23. USA:George
Washington University Medical Center; 2012
22. Pratama hamzah. Eradikasi H.pylori. cdk -243 vol 43. No 8 RSU Siloam :
Tangerang; 2016
66
LAMPIRAN