Anda di halaman 1dari 37

BAB I

KAJIAN RUU KPK

1.1 PENDAHULUAN
Pemberantasan Korupsi di Indonesia merupakan cita cita Reformasi. Realita
pada hari ini terjadi pelemahan kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang tercermin dari revisi Undang-Undang KPK yang dinilai melemahkan
institusi anti rasuah, hingga terpilihnya Pimpinan KPK yang dibubuhi “Perang
Kepentingan”, Capim dan Pansel dinilai tidak netral dan menguntungkan suatu
institusi. Sehingga melahirkan pertanyaan menganai sejauh mana konsistensi
pemerintah dalam memberantas korupsi di Negara Indonesia? Sejumlah
penyelewengan penegakan korupsi secara terang di perlihatkan Pemerintah lewat
kepanjangan tangannya yaitu Panitia Seleksi (Pansel) KPK yang dirasa tidak
memenuhi rasa keadilan dengan meloloskan calon yang dinilai tidak berintegritas dan
tidak kredibel dalam memimpin KPK atau menduduki institusi KPK nantinya.
Bagaimana tidak hari ini Pansel KPK meloloskan sejumlah calon yang mempunyai
track record yang buruk dalam menangani beberapa kasus di masa silam, kemudian
beberapa calon yang tidak menguasai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
bahkan beberapa calon yang mendukung sistem penegakan korupsi yang dirasa justru
melemahkan institusi KPK. Sejumlah kebijakan pemerintah yang kian hari
menunjukan ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan negara yang bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ditunjukan dengan dikeluarkan Rancangan Undang-
Undang KPK (RUU KPK), yang dinilai melemahkan sistem penegakan hukum di
KPK sehingga menimbulkan polemik di masyarakat, apakah RUU KPK ini sebagai
suatu keniscayaan atau suatu bencana dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Beberapa permasalahan yang muncul dari RUU KPK yaitu: 1. Lahirnya Dewan
Pengawas dari KPK oleh DPR RI
2. Sistem penyadapan yang dipersulit sehingga dirasa tidak efisien
3. Terancamnya independensi KPK
4.Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi
5.Penuntutan perkara korupsi harus berkordinasi dengan Kejaksaan
Agung
6.Perkara yang menjadi keresahan masyrakat tidak lagi menjadi
kriteria
7.Kewenangan pengambilalihan perkara dipenuntutan dipangkas 8.
Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan
dihilangkan 9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan
penuntutan
10.Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan
LHKPN dipangkas.

1.2 PEMBAHASAN
Bahwa dalam meninjau mengenai polemik keberadaan Revisi Undang-Undang
KPK, Kepresidenan Mahasiswa Universitas memiliki pandangan apabila RUU KPK
merupakan produk RUU yang prematur secara formil maupun materiil (substansi)
yang mana dapat dilihat dari beberapa aspek pertimbangan yaitu: melalui
pertimbangan yuridis dan politis.
1. Hal pertimbangan Yuridis
a. Revisi UU KPK cacat Formil
Undang-undang KPK merupakan kategori UU biasa artinya, harus melalui
mekanisme yang semestinya sebagaimana diatur dalam undangundang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
Dalam melakukan suatu revisi UU atau proses pembentukan hukum (law
making process) maka, harus dikedepankan asas keterbukaan sebelum
disahkan. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting
dalam merivisi UU sebagaimana diatur dalam pasal 96 UU 12 tahun 2011.
Bahwa keberadaan RUU KPK merupakan suatu cacat formil yang nyata
dikarenakan RUU KPK tidak termasuk dalam agenda prolegnas DPR tahun
2019 artinya, telah bertentangan dengan pasal 16, pasal 17 jo pasal 18 UU
pembentukan peraturan perundang-undangan.

b. Pegawai KPK tidak lagi independen dan Wajib ASN


Dalam draf RUU KPK yang diatur dalam pasal 1 angka (7) dan pasal 24
angkat (2) dan (3) menerangkan Pegawai KPK adalah ASN sehingga,
bertentangan dengan pasal 24 ayat (3) UU nomor 30 tahun 2002 yang
mengatur mengenai kewenagan KPK dalam menentukan sendiri
kepegawaiannya sebagai wujud independensi dalam personalia, tidak hanya
itu pasal a quo dalam RUU KPK juga telah menghilangkan jiwa
independen KPK yang mana jika dihubungkan dengan UU Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara maka, dapat terlihat jelas pegawai KPK
selaku ASN dalam melakukan penanganan perkara mesti berkoordinasi
dengan kementrian terkait termasuk pengawasan kenaikan pangkat dan
mutas.
c. KPK menjadi Lembaga Pemerintah/Eksekutif, bukan lagi Lembaga Negara
Independen
Draft RUU KPK mengatur bahwa KPK adalah lembaga Pemerintah Pusat
yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Ketentuan ini bertentangan dengan Putusan MK No.012-016-
019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara
yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pasal 38 UU
nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menerangkan apabila
fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi fungsi
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Oleh sebab itu, RUU KPK yang
menempatkan KPK sebagai lembaga eksekutif adalah keliru.
d. KPK dalam hal Penyadapan dan Penyitaan Penggeledahan mesti meminta
izin kepada Dewan Pengawas KPK
Berdasarkan pasal 12 huruf (B) dan (C), pasal 37 huruf (B) dan (E), dan pasal
47 draf RUU KPK menerangkan apabila penyadapan dan penyitaan harus
melalui izin Dewan Pengawas KPK, padahal proses penyadapan yang selama
ini dilakukan KPK didasarkan pada standar lawful interception sesuai standar
Eropa serta dipertanggungjawabkan melalui audit oleh pihak ketiga yang
mana akan tergantikan dengan adanya permohonan izin kepada Dewan
Pengawas. Dewan Pengawas yang dibentuk oleh DPR dari usulan Presiden
berpotensi memiliki conflict of interest dalam melakukan kontrol sehingga,
bepotensi bocor. Padahal penyadapan mempunyai fungsi penting dalam
melakukan operasi tangkap tangan serta fungsi penegakan hukum lainnya.
Lalu, dalam hal penggeledahan dengan mekanisme izin pengadilan dan
penyitaan tanpa izin pengadilan sesuai keistimewahannya sebagaimana dalam
UU KPK kini tergantikan dengan izin Dewan Pengawas. Artinya, fungsi
penyelidikan dan penyidikan sangat bergantung kepada izin Dewan Pengawas
yang dipilih oleh DPR dan Presidenyang syarat politik. Sehingga, tidak
menutup kemungkinan adanya pembatasan ruang KPK dalam memberantas
tindak pidana korupsi secara cepat.

e. Penyelidik hanya boleh dari Kepolisian Sehingga Tidak ada Penyidik


Independen
Kepolisian, Kejaksaan, dan instansi yang mengelola PPNS yang bekerja sama
dengan KPK, sehingga KPK tidak memiliki independensi dalam pengelolaan
personalianya (tidak sesuai pasal 24 ayat (3)). Ketentuan ini bertentangan
dengan Putusan MK No. 109/PUU-XIII/2015 yang menyatakan KPK
berwenang mengangkat penyidiknya sendiri atau penyidik independen.
f. Penuntutan KPK Tidak lagi Independen karena harus berkoordinasi dengan
Kejaksaan Agung
Bahwa dalam draf RUU KPK pada Pasal 12A mengatur bahwa koordinasi
pelaksanaan tugas penuntutan harus dilakukan dengan koordinasi dengan
Kejaksaan Agung karena Kejaksaan Agung RI merupakan lembaga tunggal
yang berwenang melakukan penuntutan, sehingga artinya KPK tidak dianggap
sebagai lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penuntutan
padahal KPK berhubungan dengan Kekuasaan Kehakiman.

g. KPK berwenang Hentikan Penyidikan dan Penuntutan (SP3) Tindak Pidana


Korupsi
Dalam draf RUU KPK pada pasal 40 menjelaskan kewenangan KPK dalam
mengeluarkan SP3 bagi tersangka yang belum selesai penyidikan dan
penuntutan selama satu (1) tahun. Ketentuan ini tentu saja memberikan
kepastian hukum bagi tersangka karena selama ini belum ada peraturan yang
konkret mengenai jangka waktu tersebut. Namun demikian, pasal tersebut
dapat menimbulkan suatu potensi intervensi sehingga menjadi rawan akan
tindakan terlepasnya koruptor dari ancaman pidana korupsi yangmana lebih
tepatnya bagi kasus yang sulit untuk mendapatkan alat bukti tentu saja waktu
satu tahun tidak cukup, harusnya ada klasifikasi kompleksitas kasus dengan
jangka waktunya.
h. KPK berwenang mengambil alih perkara dan melakukan penyadapan hanya
pada Tahap Penyidikan
Bahwa berdasarkan pasal 10 (a) dan pasal 12 ayat (1) draf RUU KPK
menerangkan apabila KPK hanya boleh mengambil alih perkara pada tahap
penyidikan saja dan bahkan dalam soal penyadapan dibatasi juga hanya pada
tahap penyidikan. Ketentuan tersebut justru berlawanan dengan ketentua pada
pasal 8 dan pasa 12 UU nomor 30 tahun 2002 yang pada pokoknya Bahwa
dalam draf RUU KPK pasal 43 dan pasal 43 hurf (A) serta pasal 45 dan pasal
45 (A) mengatur apabila perekrutan penyidik diselenggarakan

2. Hal pertimbangan Politik


Bahwa tidak kurang dari sebulan lagi Dewan Perwakilan Rakyat akan mengalami
pergantian anggota sebagaimana hasil Pemilu 2019. Hal ini tentu saja menjadi
beban moril DPR yang harusnya menyelesaikan ratusan pembentukan maupun
revisi UU yang termasuk didalam agenda prolegnas. Namun demikian, justru
dalam agenda prolegnas tersebut RUU KPK tidak termasuk, sehingga adanya
suatu dugaan atas tindakan spekulasi DPR untuk merivisi UU KPK sebagai
tindakan politis karena tanpa melalui suatu mekanisme benar. Tentu saja
alangkah lebih baik apabila DPR fokus melakukan tinjaun terhadap UU lainnya
yang termasuk dalam agenda prolegnas misalnnya RUU pertanahan, RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU KUHP dan sebagainya.

1.3 KESIMPULAN
Bahwa keberadaan RUU KPK merupakan suatu produk legislasi yang cacat
formil juga didalmnya mengandung substansi yang justru melemahkan KPK. Bahkan
melakukan suatu revisi terhadap UU KPK bukan waktu yang tepat karena tidak ada
suatu kegentingan hukum terhadap UU KPK. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan
Rakyat harusnya meninjau kembali RUU KPK tersebut dengan menggunakan
mekanisme yang benar.
BAB II. KAJIAN CALON PIMPINAN KPK BERMASALAH

2.1 PENDAHULUAN
Pemberantasan Korupsi di Indonesia merupakan cita cita Reformasi. Realita
pada hari ini terjadi pelemahan kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang tercermin dari revisi Undang-Undang KPK yang dinilai melemahkan
institusi anti rasuah, hingga terpilihnya Pimpinan KPK yang dibubuhi “Perang
Kepentingan”, Capim terpilih dan Pansel dinilai tidak netral dan menguntungkan
suatu institusi. Sehingga melahirkan pertanyaan mengenai sejauh mana konsistensi
pemerintah dalam memberantas korupsi di Negara Indonesia? Sejumlah
penyelewengan penegakkan korupsi secara terang di perlihatkan Pemerintah lewat
kepanjangan tangannya yaitu Panitia Seleksi (Pansel) KPK yang dirasa tidak
memenuhi rasa keadilan dengan meloloskan calon pimpinan yang dinilai tidak
berintegritas dan tidak kredibel dalam memimpin KPK atau menduduki institusi KPK
nantinya. Bagaimana tidak hari ini Pansel KPK meloloskan sejumlah calon yang
mempunyai track record yang buruk dalam menangani beberapa kasus di masa silam,
kemudian beberapa calon yang tidak menguasai Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi bahkan beberapa calon yang mendukung sistem penegakan korupsi yang
dirasa justru melemahkan institusi KPK.

2.2 PEMBAHASAN
Bahwa dalam meninjau mengenai janggalnya keputusan panitia seleksi dalam
meloloskan calon pimpinan KPK yang bermasalah sehingga memunculkan polemik
di masyarakat, maka Kepresidenan Mahasiswa Universitas memiliki pandangan
apabila keputusan meloloskan calon pimpinan KPK yang bermasalah merupakan
kemufakatan jahat panitia seleksi dan anti demokrasi karena tidak mendengar aspirasi
serta pendapat masyarakat sebagai suatu pertimbangan. Keputusan tersebut dianggap
merugikan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Beberapa temuan janggal yang
ditemukan diantaranya sebagai berikut:
A. Kepres pansel tidak terbuka public
Pemerintah dan panitia seleksi calom pimpinan KPK tertutup dari publik,
termasuk dalam memberikan hak informasi kepada masyarakat untuk
mengakses informasi Keputusan Presiden Nomor 54/P Tahun 2019, bahkan
tidak dapat diakses dari website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Hal
ini membuktikan bahwa adanya ketidakterbukaan antara pemerintah dan
panitia seleksikepada masyarakat. Bahkan lebih mirisnya lagi, Kementerian
Sekratariat Kabinet memberi pernyataan bahwa Keputusan Presiden hanya
dapat diakses oleh anggota panitia seleksi saja, yang tercantum pada surat
Nomor: B123/Kemensetneg/Humas/HM.00.00/07/2019. Padahal
berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 mengtakan
informasi publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya sesuai dengan
Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa Kepres panitia seleksi KPK
bukan merupakan informasi yang dikecualikan dan diperbolehkan untuk
diakses publik. Hal tersebut menyatakan bahwa publik memiliki hak untuk
memperoleh Kepres tersebut. Dengan kejanggalan tersebut membuktikan
bahwa pemerintah sengaja menjauhkan keberadaan panitia seleksi dengan
masyarakat, karena terindikas intrik bekerja tertutup dan jauh dari harapan
publik.

B. Meloloskan tokoh yang melanggar etik di KPK


Panitia seleksi capim KPK meloloskan tokoh yang bermasalah, termasuk
tokoh yang terlibat dalam pelanggaran etik di KPK. Pekerja komisi
antirasuah, lewat penasihat KPK M. Tsani dan Wakil Ketua KPK Saut
Sitomorang merilis laporan dugaan pelanggaran etik Firli ketika bertugas di
Komisi Pemberantasan Korupsi. Dinyatakan beberapa tindakan melanggar
kode etik, salah satunya, bertemu pihak yang diduga berkaitan dengan
perkara yang ditangani KPK. Dalam Pasal 29 UU KPK, syarat menjadi
pimpinan KPK adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki
integritas moral yang tinggi, dan reputasi yang baik. Artinya ada calon
pimpinan yang diloloskan dengan integritas moral yang rendah. Dan ini
sangat kontradiksi dengan harapan publik yang ingin memiliki pemimpin
KPK yang memiliki etika dan moral baik.
C. Meloloskan tokoh yang tidak terbuka terhadap data laporan kekayaan
(LHKPN) Tidak hanya itu, panitia seleksi juga ternyata meloloskan calon
pimpinan yang tidak memberikan laporan harta kekayaan dalam lembaran
Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), bahkan beberapa
laporan harta kekayaan capim tidak bisa diakses di website KPK. Hal ini
memunculkan ketidakpercayaan publik kepada beberapa calon pimpinan
KPK yang tidak terbuka atas laporan harta kekayaan, ketidakterbukaan
LHKPN pada beberapa tokoh sebenarnya telah menyebabkan mereka tidak
memenuhi syarat sebagai capim KPK dan harus dianggap gugur
pencalonannya. Karena sebagai seorang pimpinan KPK memiliki syarat
harus mengumumkan kekayaan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku seperti bunyi pasal 29 huruf k UU Nomor 30 Tahun
2002.

2.3 KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa pembahasan tersebut, sudah menjadi ironi bahwa proses
penetapan panitia seleksi calon pimpinan KPK sangat tertutup bahkan tidak adanya
kesempatan publik untuk ikut berpasrtisipasi dalam mengawal kerja capim KPK
tersebut. Bahkan keputusan capim KPK yang tetap meloloskan beberapa capim yang
bermasalah menjadi sebuah sorotan publik dan polemik di masyarakat. Karena
banyak persyaratan dasar yang tidak dilakukan oleh capim KPK yang mengikuti test,
bahkan ada tokoh yang memiliki latar belakang kurang baik masih diloloskan oleh
panitia seleksi sampai proses tahap akhir. Semua kejanggalan ini menjadi sebuah
pertanyaan besar di masyarakat, apakah semua ini hanya untuk menjadi akomodasi
kebutuhan beberapa kelompok yang disinyalir sengaja dipolitisir? Publik sangat
menyayangkan atas seluruh keputusan pansel KPK yang tidak objektif dan terbuka,
sampai bisa meloloskan capim KPK yang bermasalah dan mendapat banyak
penolokan di masyarakat.
BAB III. KAJIAN RUU PERTANAHAN

3.1 PENDAHULUAN
Rancangan UU PERTANAHAN kini sedang dikerjakan oleh DPR RI dengan
target akan disahkan undang-undang pertanahan tersebut pada tanggal 24 September
2019. Rancangan tersebut hadir karena pemerintah dan DPR merasa undang-undang
pokok agraria tidak cukup mampu atau sudah tidak lagi relevan dengan
perkembangan ekonomi, perkembangan masyarakat, perkembangan indonesia yang
dulunya hanya mengacu pada fakta jika masyarakat indonesia adalah masyarakat
agraris yang hidup dari lingkup pertanian serta pemerintah dan DPR merasa telah
usang keberadaan undang-undang pokok agraria yang telah digunakan selama 60
tahun terakhir. Namun demikian disamping pemerintah gencar-gencarnya atau
bernafsu membuat rancangan undang-undang pertanahan yang akan disahkan bulan
September 2019, Subtansi dan materi muatan dalam beberapa pasal pada rancangan
tersebut justru dipandang tidak mampu menjawab lima pokok krisis agraria di
Indonesia, Yaitu :
1. Ketimpangan struktur agraria yang tajam
2. Maraknya konflik agraria struktural
3. Kerusakan ekologis yang meluas
4. Laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian
5. Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
Oleh karena itu, RUUP seharusnya menjawab lima krisis pokok agraria di atas
yang dipicu oleh masalah-masalah pertanahan. Apabila kemudian materi muatannya
atau isi rancangan RUU itu tidak menjawab ke lima persoalan krisis pokok agraria
maka, keberadaan RUU Pertanahan tidak berpihak kepada masyarakat mencakup
petani, masyarakat adat, dan secara nyata telah mereduksi pasal-pasal yang ada
didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pertentangan terhadap substansi
RUU Pertanahan juga diterangkan oleh Sandrayati selaku wakil ketua bidang
eksternal Komnas HAM yang menyatakan keberadaan RUU Pertanahan telah
mengabaikan asas kemanusiaan dan tak mencerminkan keadilan bagi rakyat.

3.2 PEMBAHASAN
Bahwa atas beberapa ketentuan dalam RUU Pertanahan tersebut, berikut akan
dijabarkan masaah-masalah dalam muatan RUU pertanahan yang berlawanana
dengan cita-cita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana amanat suci dalam
konstitusi Indonesia tepatnya pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD), Tap MPR IX
Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Undang-Undang No. 5 tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Sumber Daya Alam ; Yakni ;

1. RUU Pertanahan berlawanan dengan putusan MK No. 001-021- 022/PUU-


1/2003
Bahwa dalam draf RUU Pertanahan mengatur kembali menganai hak
pengelolaan (HPL) yang secara nyata justru menyimpang dengan Hak
Menguasai Negara (HMN) yang telah ditegaskan didalam putusan MK. No.
001-021-022/PUU-1/2003, Bahkan HPL telah dihapus dalam UUPA 1960
karena menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dengan konsep domain
verklaring.
2. Problem Hak Guna Usaha
Dalam draf RUUP, HGU tetap diprioritaskan bagi pemodal skala besar, tidak
diarahkan untuk penciptaan keadilan agrarian melalui badan usaha milik
rakyat (koperasi petani, koperasi masyarakat adat, koperasi nelayan, bumdes,
dan bentuk badan usaha berbasis kerakyatan lainnya). Selain itu, pembatasan
maksimum konsesi perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah,
kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan. Masalah lainnya, RUUP
bahkan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan)
apabila perusahaan melanggar ketentuan luas alas hak. RUUP juga tidak
mengatur keharusan keterbukaan informasi HGU sebagaimana amanat UU
tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung
(Konsorsium Pembaruan Agraria).
3. RUU Pertanahan Kontradiksi dengan Agenda Reforma Agraria
Bahwa untuk menilai mengenai reforma agraria dapat ditinjau dari Perpres
Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang secara eksplisit
membawa harapan terhadap kebijakan agraria yakni: 1. Pencapaian sasaran
Reforma Agraria yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi; 2.
Memberikan kepastian dan keadilan kepada masyarakat; 3. Tersedianya
informasi pertanahan yang berkualitas dengan penggunaan teknologi; 4.
Mengurangi terjadinya sengketa dan konflik agraria; 5. Dukungan dana peran
serta masyarakat dalam mensukseskan Reforma Agraria, sehingga tanah dapat
menyejahterakan rakyat. Namun demikian, terdapat keserampangan antara
semangat reformasi agraria di dalam konsideran dan ketentuan umum RUUP
dengan isi RUUP itu sendiri. Pertama, reforma agraria dalam RUUP
dikerdilkan menjadi sekedar program penataan aset dan akses. RUUP tidak
memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, dan pendanaan
negara untuk menjamin pelaksanaan reforma agraria. Kedua, reforma agraria
dalam RUUP tidak menjamin prioritas obyek (tanah) dan subyek (masyarakat)
reforma agraria untuk memastikan pelaksanaannya tepat sasaran sejalan
dengan tujuan-tujuan reforma agraria di Indonesia.
4. Permasalahan Sektoral Administrasi Pendaftaran Tanah
Bahwa berdasarkan pasal 19 ayat (2) UUPA Jo. Pasal 1 angka (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah pada pokoknya
mendefinisikan pendafatar tanah merupakan kegiatan pemerintah dalam
mengukur bidang tanah untuk kemudian hasil ukur tersebut dapat dijadikan
sebagai alat bukti kepemilikan hak. Namun, Pendaftaran Tanah dalam RUUP
bukan merupakan terjemahan dari pendaftaran tanah yang dicita-citakan
UUPA 1960 tentang kewajiban pemerintah mendaftarkan seluruh tanah di
wilayah Indonesia, dimulai dengan pendaftaran tanah dari desa ke desa
sehingga Indonesia memiliki data agraria yang akurat dan lengkap untuk
menetapkan arah strategi pembangunan nasional berbasis agrarian, serta
dalam rangka pemenuhan hak-hak agraria masyarakat. Pendaftaran tanah di
dalam RUUP sematamata untuk percepatan sertifikasi tanah dan bersifat
diskriminatif terhadap wilayah konflik agraria, wilayah adat, dan desa-desa
yang tumpang tindih dengan konsesi kebun dan hutan. Masalah lain, cita-cita
administrasi pertanahan yang tunggal (satu pintu, single land administration)
akan sulit dicapai, apabila RUUP tidak diberlakukan di seluruh wilayah
Indonesia
5. RUU Pertanahan tidak mengakomodir hak atas Tanah Masyarakat Adat
Pengakuan atas adanya hak ulayat sebagai penguasaan tertinggi atas tanah
yang merupakan wilayah suatu masyarakat adat merupakan pengakuan secara
eksplisit dalam pasal 3 UUPA. Beberapa permasalahan terkait pengaturan hak
ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam RUU Pertanahan, antara lain: a)
inventarisasi hak ulayat yang bersifat pasif, hanya masyarakat hukum adat
yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan tanah adatnya, sementara secara
konstitusi harusnya negara lah yang proaktif mendata dan memberikan
pengakuan tersebut; b) RUU Pertanahan mengatur bahwa pengakuan
masyarakat hukum adat dilakukan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi
pemerintah daerah. Hal ini akan lebih menyulitkan dibandingkan praktek saat
ini yang mendelegasikan pengakuan masyarakat hukum adat kepada
pemerintah daerah; dan c). Ketentuan mengenai pemberian hak lain di atas
wilayah adat serta status tanah ketika hak tersebut berakhir.

6. Pengadaan Lembaga Pengelolaan Tanah tidak menyelesaiakan persoalan


Pertanahan
Keberadaan Lembaga Pengelolaan Tanah dalam RUU Pertanahan
menimbulkan konflik yang mana tanah ditempatkan sebagai komuditas dan
dapat dikomersilkan. Bank tanah dapat menimbulkan perampasan tanah
dengan menggunakan cara melakukan spekulasi tanah. Bank Tanah yang akan
dibentuk pemerintah jelas berorientasi menjadi lembaga profit (business
oriented) mengingat sumber kekayaan Bank Tanah tidak hanya berasal dari
APBN. Bahkan sumber kekayaannya, dapat berasal dari pendapatan sendiri,
pinjaman, penyertaan modal dalam bentuk asset/uang, akumulasi modal
dan/atau sumber lain yang sah dalam bentuk kerjasama dengan pihak ke tiga.

3.3 KESIMPULAN
Keberedaan RUU Pertanahan harusnya membawa dampak baik bagi arah
kebijakan agraria di Indonesia. Namun, RUU pertanahan saat ini yang sedang
diperjuangkan oleh DPR untuk disahkan pada september 2019 justru parsial karena
melemahkan masyarakat kecil seperti petani, masyarakat adat, koperasi masyarakat
miskin mengenai kepemilikan dan pengelolan. Muatan materi daam pasal RUU
Pertanahan jelas tidak pro rakyat melainkan malah pro kepada pemilik modal.
Oleh sebab itu, RUU Pertanahan wajib untuk ditunda bahkan ditolak pengesahannya
pada sebtember 2019 ini.

“manusia berasal dari tanah dan berakhir menjadi tanah. Oleh sebab itu jangan
main-main dengan tanah, karena artinya kau bukan manusia tetapi .. (binatang)”
IV. KAJIAN Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang
Hukum Pidana

4.1 Pendahuluan
Perjalanan panjang revisi KUHP akhirnya menemui titik akhirnya, hampir 50
tahun lebih RUU KUHP selalu masuk kedalam proses pembahasan di masa kerja
DPR, bermula dari Seminar Hukum Nasional di Semarang pada tahun 1963 yang
mengusulkan revisi KUHP karena dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan
Bangsa Indonesia, sejak saat itu, mulai dibentuk tim penyusun RKUHP yang terdiri
dari para pakar hukum, guru besar, dan professor dari perguruan tinggi ternama di
Indonesia.
Setelah melalui 7 pergantian presiden, 13 pergantian Menkumham, RKUHP
belum juga disahkan menjadi undang undang yang mempunyai kekuatan hukum,
Namun penantian tersebut tidak lama lagi sepertinya akan berakhir, Rancangan
Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana diagendakan akan disahkan
pada tanggal 24 September 2019 atau setidak tidaknya sebelum pelantikan periode
kedua Presiden Joko Widodo.
Tetapi isi dari RUU KUHP dalam proses pembahasannya selalu menuai
kontroversi karena pasal pasalnya yang dinilai sangat multitafsir dan dalam draf
terakhir RUU KUHP isi dari pasal pasalnya lebih mengatur ke bidang privat, padahal
seperti yang kita tahu, hukum pidana adalah hukum public yang mengatur antara tata
tertib Negara dengan warganya. Draf terakhir RUU KUHP ternyata masih penuh
masalah, mulai dari pasal pasal yang sangat multitafsir, aturan aturan yang tumpang
tindih, sejumlah pasal yang sangat mengancam kebebasan berpendapat, dan pasal
pasal yang terlalu mengatur tentang hubungan privat seseorang yang seharusnya tidak
masuk ranah aturan Negara atau undang undang. Belum lagi pasal ‘living law’ di
pasal 2 RUU KUHP yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam Undang-Undang ini.” Frasa dalam pasal ini bertentangan dengan pasal
sebelumnya yaitu pasal 1 RUU KUHP yang berbunyi “Tidak ada satu perbuatan pun
yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan. (2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.
Didalam pasal 1 ayat 2 jelas dikatakan bahwa dalam menetapkan adanya tindak
pidana dilarang digunakan analogi, analogi yang dimaksud adalah bahwa terhadap
suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana,
tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain
yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan kata lain, menghendaki bahwa
perumusan delik diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege stricta: ‘tiada
ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan
perundang-undangan’. Tetapi kontradiktif dengan apa yang dikatakan oleh pasal dua
yaitu “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Yang artinya “Hukum yang hidup maksudnya hukum yang hidup dalam kehidupan
masyarakat hukum Indonesia. Bentuk hukum yang hidup dalam masyarakat hukum
Indonesia antara lain dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat
ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan
hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat,
maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana ini.” Pada bagian ini sangatlah jelas terdapat unsur untuk
menganalogikan suatu perbuatan pidana dan bertentangan dengan pasal sebelumnya.
Dari dua pasal diatas sudah jelas bahwa Rancangan Kitab Undang Undang Hukum
Pidana yang direncanakan untuk disahkan pada tanggal 26 September masih jauh dari
kata pantas untuk disahkan, masih banyak pasal pasal yang bermasalah, pasal pasal
yang terkesan dipaksakan untuk menghukum, dan pasal pasal yang bersifat represif
yang selanjutnya akan dijelaskan dalam kajian berikut ini.
1. Pasal Pasal Kontroversial Dalam Aspek Kebebasan Berekspresi
a. Pasal Penghinaan Presiden Presiden adalah simbol Negara yang harus
dihormati, saat ada orang yang menghina presiden secara fisik dan bukan
mengkritiknya secara substansi hal itu jelas tidak patut dan tidak etis,
tetapi saat ada orang yang mengkritik presiden dan mempunyai bukti bukti
yang konkrit dan kritikannya bersifat substantive, hal tersebut adalah hak
warga Negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 28, Pasal 28E ayat (2),
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. tetapi nyatanya dalam pasal 218 ayat (1)
RUU KUHP menyebutkan “setiap orang yang di muka umum menyerang
kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana
denda paling banyak Kategori IV.”
Pasal 238 RUU KUHP: Setiap orang yang menyerang diri Presiden dan
Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih
berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun.
Pasal 239 RUU KUHP : (1) Setiap orang yang dimuka umum menghina
Presiden dan Wakil Presiden, dipidakan penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Kategori IV: (2) Tidak merupakan
penghinaan jika perbuatan sebagai dimaksud pada ayat (1) jelas
dilakukakan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.
Walaupun ada pasal yang belum disepakati tetapi tindakan tersebut tetap
menunjukan terkikisnya demokrasi di Indonesia serta mengekang
kebebasan berpendapat di muka umum. Hal tersebut juga bertentangan
dengan UUD 1945.
b. Pasal Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan ‘Contempt Of Court’
Bunyi pasal Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan “Contempt Of Court
dinilai sangat multitafsir dan subjektif. Selain itu Pasal tersebut juga
dianggap berpotensi untuk mengekang kerja pers dan mengancam profesi
Jurnalis. Dibalik itu semua pasal tersebut juga berbentrokan dengan
Undang Undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) serta
kode etik hakim. Pasal 328 RUU KUHP: Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya
proses peradilan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori IV. Pasal 329 RUU KUHP : Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan
hukum; (a) Menampilkan diri untuk orang diri sebagai tindak pidana, yang
karena itu dijatuti pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain ;
(b) tidak mematuhi perintah peradilan yang dikeluarkan untuk
kepentingan proses peradilan ; (c) menghina hakim atau menyerang
integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan ; atau
(d) mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan
c. Pasal Penghinaan Lembaga Negara
Dengan pasal 407 dan Pasal 408 ini berpotensi menjadi pasal karet dengan
potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar,
juga dapat menjadi jelmaan pasal subversive. Dengan adanya pasal
tersebut juga mengikis demokrasi yang ada di Indonesia, yang dimana hak
asasi manusia juga hal yang sangat penting di negara kita. Pasal ini juga
sangat multi tafsir sehingga dapat menimbulkan hal-hal lain dikarenakan
perbedaan penafsiran dalam ruu tersebut.

Pasal 407 RUU KUHP : Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau
tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara yang berakibat
terjadinya lawan arah dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III
Pasal 408 RUU KUHP : Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan,
atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau
memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi
penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan
maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh
umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.
2. Pasal Pasal Kontroversial Dalam Aspek HAM Berat
Pengaturan pelanggaran HAM berat telah diatur pada UU No. 26 tahun
2002 tentang Pengadilan HAM. Menurut Komnas HAM mestinya kasus
pelanggaran HAM berat diatur secara khusus dan tak perlu dimasukkan
dalam RKUHP. Seperti yang kita ketahui dalam pasal 599 menyebutkan
frasa Genosida dan 600 yang menyebutkan tindak pidana kemanusiaan draf
RKUHP mengatur tentang Tindak Pidana Berat terhadap Hak Asasi
Manusia. Masuknya tindak pidana khusus dalam RKUHP justru dinilai
bakal memperumit karena terlalu banyaknya rujukan undang-undang di luar
RKUHP dan ditakutkan akan mengancam proses penuntasan kasus tersebut.
3.Tumpang Tindih Aturan Dalam RKUHP a) UU ITE
Terdapat perbedaan ancaman pidana terkait tindak pidana penghinaan dalam
UU ITE dengan RKUHP UU ITE : bahwa setiap orang yang dengan sengaja
dan tanpa hakmendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000. KUHP : Tindak
pidana penghinaan secara lisan diancam pidana penjara maksimal 9 bulan dan
penghinaan secara tertulis maksimal 1 tahun 4 bulan RKUHP : Penghinaan
secara tertulis ataupun gambar diancam pidana penjara maksimal 9 bulan
sedangkan penghinaan secara tertulis ataupun gambar diancam pidana
maksimal 1 tahun 6 bulan.

4.2 KESIMPULAN
Muatan atau substansi pasal dalam RKUHP syarat kontrovensi karena tidak
berpihak pada kaum rentan, multi tafsir, dan membungkam kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat harus menunda pengesahan RKUHP
untuk kembali meninjau beberapa pasal yang serampangan. Karena pada dasarnya
setiap undang-undang harus mengakomodir kepentingan hukum yang hidup di
masyarakat.
BAB V. KAJIAN RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

5.1 PENDAHULUAN
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ( Komnas Perempuan),
selaku penggagas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU PKS), menyebutkan beberapa poin penting dalam rancangan regulasi tersebut.
RUU-nya untuk dibahas dalam pembahasan nanti di dalam pengesahannya, Poin
pertama adalah pencegahan yang melibatkan masyarakat hingga tokoh adat.
Tujuannya, tercipta perubahan paradigma dan masyarakat terbebas dari
kekerasan seksual. Kemudian, soal hukum acara, yang meliputi pelaporan hingga
persidangan. Komnas Perempuan ingin menciptakan proses hukum yang lebih
merangkul korban dan memperhatikan haknya.

5.2 PEMBAHASAN
a. Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang terus meningkat
berdasarkan data yang diperoleh dari komnas perempuan,jumlah kekerasan
seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018
berjumlah 381,970 kasus yang naik 14% dari tahun sebelumnya yaitu tahun
2017 berjum lacar h 335.062 kasus.
b. Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan bagi
perempuan korban dan tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan
terhadap beberapa jenis kekerasan seksual selama ini memperburuk keadaan
yang ada karena selain rumitnya proses melalui jalur hukum , keadaan sosial
sekarang mempengaruhi para korban sehingga mereka berpikiran bahwa lebih
baik dan mudah untuk menyelesaikan masalah mereka tanpa melalui jalur
hukum , yang justru sebenarnya merupakan ketidak adilan bagi korban dan juga
sama sekali tidak memberi ancaman yang nyata bagi para pelaku dan tidak
menutup kemungkinan akan terulang kembali kejadian yang sama. Contoh
kasus yang terjadi di Gorontalo pada tahun 2012 ketika seorang lelaki mencekik
pacarnya hingga tidak sadarkan diri,lalu disetubuhi, pada akhirnya hakim tidak
menemukan unsur kekerasan pada hasil visum vagina korban dan memvonis
bebas pelaku. Baiq Nuril contoh kekerasan seksual non fisik, korban pelecehan
seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE karena ingin melaporkan tindakan
yang tidak pantas diterimanya berbentuk kekerasan seksual secara verbal.
c. Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari Negara
didalam RUU PKS dicantumkan bahwa adanya pendampingan psikis, hukum,
ekonomi dan sosial juga adanya perubahan dalam hukum acara dalam
memudahkan dan memberikan akses keadilan bagi korban dengan
mengindentifikasi kebutuhan korban sejak pelaporan dan dilindungi oleh sistem
pelayanan yang terkoordinasi di tingkat medis, psikis, dan hukum dengan
adanya sistem ini maka aparat penegak hukum wajib mengidentifikasi
kebutuhan dan pemenuhan hak-hak korban.
d. Pelaku kekerasan seksual akan mendapat akses untuk rehabilitasi

KETIDAK SERIUSAN DPR RI DALAM PEMBAHASAN RUU PKS


DPR tidak berkomitmen dalam pengadaan rapat pembahasan RUU PKS pada
hari senin tanggal 26 agustus 2019. Pada pembukaan rapat pertama tersebut peserta
panja RUU PKS tidak kuorum sehingga rapat dibuka dan ditutup. Rarena hanya
dihadiri oleh 3 orang dari 2 fraksi yakni PKB dan PKS. Jumlah ini sangat jauh dari
kata kuorum. Karena setidaknya rapat harus dihadiri 7 dari 12 fraksi. Kemudian pada
hari senin tanggal 2 september 2019 telah direncanakan untuk diadakan pembahasan
mengenai RUU PKS pada pukul 10.00-13.00 WIB, yang kemudian akan dilanjutkan
dengan gelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan ormas islam untuk membahas
RUU pesantren. Namun pada pelaksanaan nya di jam tersebut komisi 8 DPR RI yang
seharus nya membahas RUU PKS justru menggelar rapat dengar pendapat (RDP)
dengan kepala badan pengawas dan kepala badan pelaksana badan pengelola
keuangan haji, dan pada pukul 14.00 dilanjutkan dengan pembahasan RUU pesantren
dan pendidikan keagamaan. Ketua panja RUU PKS kemudian membenarkan hal ini
dan mengatakan bahwa rapat ditunda menjadi keesokan harinya pada tanggal 3
september 2019. Selain itu terdapat pembahasan mengenai RUU-PKS secara tertutup.
Masyarakat sipil dilarang memantau rapat di balkon komisi VIII DPR. Yang mana hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak hak prosedural warga negara yaitu hak
untuk hadir, hak atas informasi dan hak untuk berpartisipasi.
Dengan ini dapat dilihat bahwa DPR tidak dapat berkomitmen dalam
mengadakan rapat pembahasan RUU PKS yang seharusnya segera di sahkan
mengingat semakin meningkat nya angka kekerasan seksual yang ada di Indonesia.
BAB VI. BENCANA KARHUTLA

6.1 PENDAHULUAN
Semua hutan didalam wilayah republik indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung diadalmnya di kuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Suatu bangsa yang menghancurkan tanahnya, telah
menghancurkan dirinya sendiri. Hutan adalah paru-paru dari tanah kita, memurnikan
udara dan memberi kekuatan baru kepada orang-orang kita.

6.1.1 Akibat bencana karhutla


a. Laporan bupati bahwa 80% wilayah kebakaran hutan dan lahan selalu berubah
menjadi lahan perkebunan sawit atau tanaman industri lainnya
b. Beberapa titik di kalimantan masuk kedalam kategori berbahaya bedasarkan
data kualitas udara (AQI), Sebanyak 2637 jiwa menderita ISPA.
c. Penerbangan di bandara pangsuma diputussiibau , Kapuas hulu , kalbar, sempat
dibatalkan karena jarak pandang penerbangan yang terbatas akibat asap dri
kebkaran huatan Kalimantan
d. Jarak pandang di permukiman warga sempat hanya radius 1 meter yang sangat
menganggu aktivitas masyarakat.
e. Menurut green peace terdapat 11 perusahaan yang terbukti bersalah di
pengadilan telah merusak dan membakar lahan konsensi secara sengaja
kerugian yang diperoleh sebesar 18,9 triliun rupiah
f. rusaknya habitat dari jenis satwa endemik (orang utan).

6.1.2 Tindakan preventif karhutla:


1. gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah seharusnya bisa
mengkoordinir dan memastikan APBD kabupaten/kota agar bisa fokus
terhadap masalah kebakaran dan lahan tersebut, sebab masalah kebakaran
hutan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat semata.
2. Kepolisian harus berani menjerat korporasi besar yang menyebabkan
terjadinya kebakaran hutan.
3. Perizinan dan tata kelola lahan harus memiliki acuan pada undang undang
kehutanan No.41 th.1999 pasal 3. Pemerintah harus menindak tegas mafia
mafia yang melakukan penanaman pohon sawit secara ilegal.

6.1.3 Solusi karhutla


Pemerintah wajib bertanggung jawab untuk masalah karhutla yang menggangu
lingkungan hidup dan oknum penyebab karhutla harus dikenakan pidana. Sesuai
ketentuan pidana pasal 78 UU kehutanan.
BAB VII. POLEMIK DAN DAMPAK RASISME YANG DIALAMI
MAHASISWA PAPUA DI SURABAYA

7.1 PENDAHULUAN
Unjuk rasa dan bentrokan di Malang dan sejumlah kota lain. Pada tanggal 15
Agustus 2019, bertepatan dengan peringatan penandatanganan Perjanjian New York
dan pembahasan tentang papua pada pertemuan Dorum Kepulauan Pasifik di Tuvalu
yang juga diikuti oleh pimpinan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat
(ULWMWP) Benny Wenda, unjuk rasa terjadi di beberapa kota di Indonesia,
termasuk Jayapura, ternate, ambon, bandung, yogyakarta, jakarta dan malang.
Pelaku unjuk rasa tersebut termasuk Komite Aksi ULMWP, Aliansi Mahasiswa
Papua (AMP), Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), dan Komunitas
Mahasiswa Papua (KMP). Di Yogyakarta dan Jakarta, aksi unjuk rasa tersebut
berlangsung tanpa gangguan. Di Bandung, unjuk rasa harus pindah lokasi untuk
menghindari serangan dari lebih dari seratus orang milisi sipil. Sementara itu, unjuk
rasa di Jayapura, Ternate, dan Ambon dibubarkan oleh aparat keamanan dan para
pengunjuk rasa ditangkap, walaupun kemudian dilepas kembali setelah beberapa
waktu.
Di Malang, Jawa Timur, massa pengunjuk rasa berbentrokan dengan warga
yang menghadang mereka dan kemudian dengan massa Aremania yang hendak
menyaksikan pertandingan sepak bola antara Arema dan Persebaya. Sekitar pukul 9
pagi, ketika hendak menuju ke balaikota Malang, massa pengunjuk rasa dari Aliansi
Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dihadang oleh
sejumlah warga di sekitar perempatan Rajabali. Terjadi cekcok antara pengunjuk rasa
dan massa penghadang, yang diikuti dengan kejar-kejaran dan saling lempar batu
antarmassa di Jalan Basuki Rahmat. Polisi kemudian melerai dan menyekat kedua
massa tersebut. Massa pengunjuk rasa kemudian sempat berorasi mengaspirasikan
kemerdekaan Papua. Sekitar pukul 10.15, massa Aremania yang kebetulan hendak
menuju pertandingan di Stadion Kanjuruhan mulai berdatangan di lokasi.
Selanjutnya, terjadi saling teriak antarmassa dan pembubaran paksa oleh massa
Aremania. Bentrokan baru benar-benar bisa dihentikan sekitar pukul 10.30. Massa
pengunjuk rasa kemudian diangkut dengan truk polisi dan selanjutnya dipulangkan,
sementara pengunjuk rasa yang terluka langsung dibawa ke rumah sakit. Kepolisian
Kota Malang menyatakan kepada pers setelah kejadian bahwa unjuk rasa di Malang
tersebut tidak berizin karena pihaknya tidak memberikan tanda terima pengajuan
permohonan unjuk rasa. Selain itu, ketika ditanyai oleh pers mengenai kemungkinan
pemulangan mahasiswa Papua ke daerah asalnya setelah kejadian tersebut, Wakil
Walikota Malang Sofyan Edi Jarwoko menjawab bahwa hal itu dapat menjadi salah
satu pilihan.
Sementara itu, pihak Aliansi Mahasiswa Papua selaku pelaku unjuk rasa
menyatakan bahwa mereka dihadang dan diserang oleh kelompok organisasi
masyarakat. Mereka mendapatkan ujaran kebencian dan kekerasan fisik yang
membuat lima orang terluka. Selain itu, menurut mereka, pihak kepolisian
membiarkan kekerasan tersebut terjadi pada mereka..
Asrama mahasiswa Papua Kamasan III adalah asrama bagi mahasiswa rantau
Papua yang diresmikan pada tahun 2007 dan terletak di Jalan Kalasan, Surabaya,
Jawa Timur, beberapa ratus meter dari kantor Forum Koordinasi Pimpinan
Kecamatan (kantor Kecamatan, Kepolisian Sektor Kota [Polsekta], dan Komando
Rayon Militer [Koramil]) Tambaksari. Pada 6 Juli 2018, petugas gabungan dari TNI,
Polri, dan Satpol PP beserta camat setempat mendatangi asrama tersebut,
membubarkan acara diskusi dan pemutaran film mengenai pembantaian terhadap
200-an warga Papua oleh aparat keamanan di Biak tahun 1998.
Pada bulan Agustus 2018, terjadi insiden yang diawali dengan usaha
pemasangan bendera Merah Putih di asrama ini oleh sejumlah organisasi masyarakat
menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 15 Agustus 2018,
sehari setelah camat setempat menyosialisasikan permintaan wali kota Surabaya
untuk memasang bendera tanggal 14-18 Agustus, organisasi masyarakat, seperti
Patriot Muda, Benteng NKRI, dan Pemuda Pancasila, mendatangi asrama tersebut
untuk memasang bendera. Penghuni asrama menyatakan bahwa massa yang datang
merusak pagar dan melempari asrama serta melontarkan ujaran kebencian. Terjadi
bentrokan dan salah satu anggota organisasi masyarakat terluka, lalu mengadu ke
polisi. Polisi kemudian datang berusaha melakukan penggeledahan, lalu semua
penghuni asrama diangkut ke Mapolrestabes Surabaya. Di antara massa yang
diangkut polisi, ada yang meneriakkan aspirasi kemerdekaan Papua.
Kejadian serupa terjadi pada tahun 2019. Pada 15 Agustus 2019, camat
setempat bersama aparat Satpol PP, Koramil, dan Polsekta mendatangi asrama ini dan
memasang bendera Merah Putih di depan gerbang asrama setelah berdialog dengan
penghuni asrama. Menurut seorang pejabat kecamatan, tiang bendera yang mereka
tancapkan tersebut telah berpindah tempat keesokan harinya, tanggal 16 Agustus.
Menurut penghuni asrama, rombongan kecamatan, Koramil, dan Polsekta lalu
memasang tiang bendera baru di tempat yang sama.
Pada 19 Agustus 2019, ribuan orang berunjuk rasa di Manokwari, ibu kota
Provinsi Papua Barat. Unjuk rasa ini berubah menjadi kerusuhan yang mengakibatkan
terbakarnya gedung DPRD setempat. Menurut laporan pemerintah, tiga petugas polisi
terluka akibat lemparan batu dari para pengunjuk rasa. Selain fasilitas umum,
beberapa properti pribadi juga dibakar. Beberapa dari para pengunjuk rasa membawa
bendera Bintang Kejora - bendera lama Nugini Belanda yang digunakan oleh
Organisasi Papua Merdeka - sambil meneriakkan slogan-slogan pro kemerdekaan. Di
Indonesia, tindakan tersebut dapat dihukum hingga 15 tahun penjara. Wakil gubernur
Papua Barat Mohamad Lakotani mengatakan bahwa ekonomi kota sepenuhnya
lumpuh akibat protes yang dilakukan. Menurut juru bicara Komite Nasional Papua
Barat, seorang pemrotes wanita ditembak di pergelangan kaki saat mengikuti aksi
unjuk rasa di Manokwari. Angkatan Bersenjata Indonesia mengatakan kepada media
bahwa 300 tentara dikerahkan ke Manokwari pada 21 Agustus.
Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, ratusan pengunjuk rasa menurunkan bendera
Merah Putih di depan kantor gubernur. Para pengunjuk rasa juga memblokir jalan ke
Bandar Udara Sentani.
Unjuk rasa juga terjadi di Sorong, dan di sana dilaporkan terdengar suara tembakan.
Menanggapi cercaan "monyet" di Surabaya, beberapa pengunjuk rasa berpakaian
monyet. Massa menyerbu Bandar Udara Domine Eduard Osok dan melemparkan batu
ke jendela kaca bandara, mengakibatkan kerusakan pada gedung terminal. Serangan
itu juga sempat mengganggu operasi bandara untuk sementara waktu. Selain dari
bandara, penjara kota juga dibakar, mengakibatkan 258 orang narapidana serta
tahanan melarikan diri dan melukai beberapa penjaga penjara. Meskipun demikian,
pada 23 Agustus, seorang petugas penjara mencatat bahwa sebagian besar tahanan
yang melarikan diri hanya berusaha untuk melarikan diri dari api dan memeriksa
keluarga mereka, dan kebanyakan pelarian telah kembali ke penjara tersebut. Sekitar
4.000-5.000 pemrotes berunjuk rasa di kota penambangan Timika, menyebabkan
kerusakan pada sebuah hotel di dekat gedung DPRD Kabupaten Mimika. Bentrokan
lebih lanjut antara pengunjuk rasa dan polisi terjadi di depan gedung DPRD Mimika,
ketika polisi membubarkan kerumunan orang menunggu bupati Mimika, Eltinus
Omaleng. Lusinan orang akhirnya ditangkap, didakwa merusak hotel atau memaksa
toko reparasi mobil lokal untuk menyediakan ban bagi para pengunjuk rasa untuk
dibakar. 3 polisi juga dilaporkan terluka akibat bentrokan tersebut.
Ribuan pengunjuk rasa juga berunjuk rasa di kota Fakfak pada 21 Agustus.
Massa membakar pasar lokal dan gedung kantor. Selain itu, para pengunjuk rasa
memblokir jalan ke Bandar Udara Torea Fakfak. Akibatnya, polisi terpaksa
menembakkan gas air mata pada para demonstran untuk membubarkan massa.
Menurut juru bicara kepolisian Indonesia, situasinya "terkendali" dan hanya sekitar
50 orang yang terlibat dalam pembakaran gedung pasar. Beberapa orang terluka
dalam protes dan bentrokan itu.
Sejumlah unjuk rasa juga digelar di Merauke, Nabire, Yahukimo and Biak.
Beberapa mahasiswa Papua di Jakarta juga menggelar unjuk rasa di depan gedung
Kemendagri RI pada 22 Agustus. Protes yang lebih damai berlanjut, dengan "mars
panjang" yang damai di Kabupaten Sarmi pada 23 Agustus dan unjuk rasa pro-
kemerdekaan di Semarang pada hari berikutnya. Demonstrasi lain yang memprotes
rasisme terhadap mahasiswa Papua juga diadakan di Yogyakarta, Bandung dan
Denpasar, serta kota lainnya. Beberapa aktivis mencatat bahwa unjuk rasa ini
merupakan salah satu yang terbesar serta belum pernah terjadi di wilayah ini selama
bertahun-tahun. Unjuk rasa berlanjut pada tanggal 26 Agustus, dengan bendera Papua
Barat dikibarkan oleh pengunjuk rasa damai di Kabupaten Deiyai berjumlah 5.000
menurut para penyelenggara, bersamaan dengan demonstrasi serentak di kota-kota
Papua lainnya, seperti Wamena, Paniai, Yahukimo, dan Dogiyai di samping kota-kota
di luar Papua seperti Makassar. Menindaklanjuti aksi protes, Kementerian
Komunikasi dan Informatika Indonesia Rudiantara melakukan perlambatan akses
internet di sekitar Sorong dalam suatu langkah yang dinyatakan sebagai langkah
untuk memerangi disinformasi. Kementerian juga dilaporkan telah menutup akun
media sosial yang "berbagi konten provokatif".Penutupan internet tersebut
menyebabkan unjuk rasa lain terhadap kementerian di Jakarta oleh organisasi hak
asasi manusia setempat.
Pada malam 19 Agustus, presiden Indonesia, Jokowi merilis pernyataan yang
mendesak ketenangan dan mengatakan kepada orang Papua bahwa "Emosi itu boleh,
tapi memaafkan lebih baik. Sabar juga lebih baik." Jokowi juga menyiapkan
kunjungan ke wilayah tersebut. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan Indonesia Wiranto juga merilis pernyataan yang menjanjikan penyelidikan
"lengkap dan adil" atas insiden di Surabaya dan menambahkan bahwa situasi di
Papua terkendali. Kepala Kepolisian Nasional Tito Karnavian mengklaim bahwa
kerusuhan itu disebabkan oleh, selain dari insiden di Surabaya dan perlakuan
terhadap siswa yang terlibat, juga karena sebuah berita tipuan tentang salah satu siswa
yang terbunuh saat penahanan mereka
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menyerukan penyelidikan
terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden rasisme di Surabaya.
Sebagai respons, Polisi daerah Jawa Timur membentuk tim untuk menyelidiki
tuduhan tersebut Uskup Ambon Petrus Canisius Mandagi juga menyerukan protes
damai dan mengatakan bahwa orang Papua "tidak boleh biadab seperti mereka yang
menyemburkan rasisme". Anggota DPRP Yorrys Raweyai menyerukan pembubaran
Banser Nahdlatul Ulama, mengklaim bahwa pembubaran milisi tersebut adalah
permintaan dari pengunjuk rasa di Sorong
Tri Susanti, seorang anggota partai Gerindra dan pemimpin unjuk rasa di
Surabaya terhadap pelajar Papua, secara terbuka meminta maaf setelah protes di
Papua dan membantah tuduhan kekerasan fisik terhadap para mahasiswa. Tokoh
kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda berkomentar bahwa insiden di Surabaya
telah "menyalakan api unggun rasisme, diskriminasi, dan penyiksaan orang Papua
Barat selama hampir 60 tahun oleh Indonesia".
Pada tanggal 27 Agustus, Gubernur Papua Lukas Enembe mengunjungi gedung
para mahasiswa Papua di Surabaya. Akan tetapi, ia langsung ditolak oleh mereka,
yang sebelumnya telah menolak semua pengunjung dengan memasang spanduk
bertuliskan 'Siapapun yang datang kami tolak'
Langkah yang mengecewakan dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan
Informasi Indonesia, karena dalam peredaman konflik ini yang dilakukan adalah
pemutusan internet di lebih dari 20 daerah di Indonesia. Pemutusan seluruh
komunikasi ini, dinilai adalah langkah yang tidak tepat dalam memperlurus stigma
seluruh masyarakat Indonesia dalam memandang konflik ini. Karena dengan adanya
konflik ini namun seluruh komunikasi diputus, banyak pertanyaan yang muncul
ketika kondisi ini terjadi. Apa yang terjadi di Papua sekarang? Bagaimana kabar
saudara – saudara kita?
Bentuk kepedulian masyarakat masa kini di tahun 2019 adalah berekspresi di
Social Media. Dengan ini saudara kita di Papua mengetahui bagaimana kepedulian
seluruh warga Indonesia di luar Papua. Bentuk radikalisme dan penyebaran kebencian
tidaklah elok untuk dipandang sebagai sebuah ancaman yang mengharuskan
dilakukannya penutupan Komunikasi.
• Pembakaran Kantor Majelis Rakyat Papua
• Perusakan Lembaga Pemasyarakatan Arbepura
• Kerusakan Kepolisian Sektor Jayapura Selatan
• Rusaknya Papua Trade Centre • Kerusakan Kantor Berita Inews Papua dan LKBN
• Pengungsian warga di lebih 10 daerah di Papua
• Diliburkannya Sekolah Sepekan
• Aksi di beberapa titik Masyarakat Papua di Berbagai daerah di Indonesia

TUNTUTAN Penanganan Konflik Papua


1. Mendorong Presiden agar mendesak Kapolri untuk untuk mengusut dan
mengungkap aktor intelektual terhadap pengrusakan tiang bendera dalam kasus
penyerangan asrama Papua di Surabaya termasuk pelaku Ucapan Rasis.
2. Mendesak Presiden agar segera menarik penambahan aparat TNI/Polri yang
diterjunkan, serta menginstruksikan Kemenkominfo untuk membuka akses internet di
Papua dan Papua Barat.
3. Mendesak pemerintag untuk selalu mengedepankan cara dialog dalam
menyelesaikan masalah di Papua.
4. Mendesak Presiden Menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan aparat
keamanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mahasiswa Papua di Seluruh
Indonesia
5. Mendorong semua elemen bangsa untuk tetap menguatkan semangat persatuan
nasional sesama anak bangsa

BAB VIII. Tolak Dwifungsi POLRI


Dalam hal ini, wacana Dwifungsi POLRI tak sejalan dengan cita-cita reformasi
yang menghapuskan dwifungsi ABRI. ABRI yang kami dimaksud adalah TNI dan
POLRI. Kini, dengan wacana ini sama saja memunculkan kembali istilah dwifungsi
POLRI, menurut kami Dwifungsi hanya akan menimbulkan dampak negatif
sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini yaitu berkurangnya jatah
kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat serta akan terjadi
ketimpangan relasi kuasa karena ada akumulasi kekuasaan terjadi saat POLRI masuk
ke dalam instituasi pemerintahan sipil. Hari ini pelaksanaan negara banyak
didominasi oleh POLRI. Dominasi yang terjadi pada saat ini dapat dilihat dari
a. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) Budi Gunawan,
b. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN dan
RB) Komjen (Purn) Syafruddin,
c. Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Komjen (Purn) Budi Waseso,
d. Ketua KPK Irjen Firli Bahuri e. Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Kememkumham) Irjen (Purn) Ronny Franky Sompie.
Adapun pati aktif Polri yang dipercaya menduduki lembaga negara adalah
1. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Heru Winarko,
2. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi
Alius, 3. Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Sestama Lemhanas)
Komjen Mochamad Iriawan,
4. Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Komjen Setyo
Wasisto.
Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur,
Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota POLRI yang
“dikaryakan”, dan juga POLRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk
diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan kami juga
menilai bahwa bertambahnya jumlah polisi yang memimpin kementerian ataupun
lembaga negara menjadi indikasi bahwa Korps Bhayangkara itu hendak menjalankan
Dwifungsi Polri.
Seperti Diketahui TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan
Polri, TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, danUU No.2 tahun
2002 tentang Kepolisian secara terang dan tegas mengatur Polri agar jauh dari dunia
politik praktis, dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Aturanaturan tersebut
menjadi fondasi dan benteng agar Polri tidak ber-“dwifungsi”
Di era kepemimpinan Joko Widodo telah terjadi dwifungsi POLRI dengan
keputusan Mentri Dalam Negri (mendagri) yang menunjuk Perwira Tinggi Polri
untuk menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara
dengan alasan pengamanan daerah dan hari ini dengan terpilihnya Ketua KPK yang
baru Irjen Firli Bahuri yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi Penindakan diduga
telah melakukan pelanggaraan berat yaitu masalah kode etik dengan bertemu Tuan
Guru Bajang (TGB) yang saat itu berkapasitas sebagai saksi dalam kasus dugaan suap
PT Newmont dengan ini kami berpendapat kemungkinan Polri akan bertransformasi
dari yang awalnya menjadi alat untuk yang menjamin keamanan negara maka akan
menjadi alat yang menjamin amannya kekuasaan rezim melalui relasi civilian
subjective control.
Demokrasi yang kini menyatakan ruang publik dibutuhkan, setiap orang berhak
berpendapat, beropini, berekspresi, dan negara memiliki kewajiban untuk menjamin
ruang demokrasi ini. Tetapi bertentangan dengan logika Kepolisian yang mengikuti
komando pemimpin. POLRI sendiri memang butuh keteraturan dan bersifat masif.
Hal ini tidak sepadan dengan sipil, sehingga dibutuhkan pemisahan antara sipil dan
TNI dan POLRI meski pemisahan saja tidak cukup. Maka dibutuhkan supremasi
sipil, di mana yang mengontrol urusan militer/polri adalah sipil, karena sipil yang
dapat mengatur arah demokrasi negara kita. Ketika supremasi sipil tanpa TNI dan
POLRI yang mendukungnya, menjadikan Indonesia seperti sekarang.
Kami berharap kita harus membuka mata bahwa upaya menjaga reformasi dan
profesionalitas POLRI harus berjalan timbal balik, antara Pemerintah dan internal
POLRI, jangan sampai dengan adanya Dwifungsi POLRI yang diputuskan nantinya
akan menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan
berdemokrasi di Indonesia dan semangat reformasi yang mengutamakan supremasi
sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga yang telah
diperjuangkan oleh masyarakat indonesia.
Demikianlah draft kajian beberapa isu nasional untuk aksi “DARURAT
REFORMASI” sebagai orientasi dasar dari arah gerakan perlawanan kepada
zolimnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dan bentuk
perlawanan ini akan selalu ada, bertambah besar, berkelanjutan, dan masif, hanya
untuk satu kepentingan, kepentingan rakyat Indonesia. Salam mahasiswa! Hidup
Rakyat Indonesia!
Rilis Sikap:
Berdasarkan Penjelasan di atas, Mahasiswa Gunadarma menyatakan sikap:
1. Mahasiswa Gunadarma menuntut DPR untuk mencabut RUU KPK yang telah
disahkan dan harus ditinjau kembali.
2. Menuntut KPK harus menjadi lembaga independen
3. Menuntut bahwa KPK seharusnya tidak dibatasi dalam menangani kasus
4. Menuntut Panitia Seleksi Pimpinan KPK untuk meninjau kembali rekam jejak
calon ketua KPK
5. Menolak dibentuknya Badan Pengawas KPK

Anda mungkin juga menyukai