Anda di halaman 1dari 2

Siswa di Bondowoso gangguan jiwa karena

kecanduan gawai
Kamis, 11 Januari 2018 07:59 WIB

Ilustrasi anak bermain gadget (ANTARA News/publicdomainpictur)

“...salah seorang anak menunjukkan bahwa pasien itu telah mengidentifikasi


dirinya sebagai pembunuh. Sementara orang yang paling dibencinya adalah
orang tuanya...”

Bondowoso (ANTARA News) - Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur,
dalam beberapa bulan terakhir merawat dua siswa yang kecanduan pada penggunaan gawai
dan laptop hingga menimbulkan guncangan jiwa.

"Kedua pasien itu terdiri atas satu siswa SMP dan satunya siswa SMA," kata dokter spesialis
jiwa RSUD Koesnadi dr Dewi Prisca Sembiring, Sp.Kj kepada wartawan di Bondowoso,
Kamis.

Ia menjelaskan bahwa tingkat kecanduan kedua anak itu sudah tergolong parah. Bahkan salah
satunya membentur-benturkan kepalanya ke tembok ketika sangat ingin menggunakan gawai,
namun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dewi meyakini banyak anak lainnya yang mengalami hal serupa, namun orang tua mereka
enggan membawa anaknya ke rumah sakit atau kurang menyadari tentang masalah yang
sedang dihadapi si anak.

"Untuk masalah ini kami memang harus terus melakukan sosialisasi agar masyarakat semakin
tahu bahwa RSUD Bondowoso kini juga merawat pasien dengan masalah kejiwaan. Masalah
kejiwaan ini tidak identik dengan gila, tapi mereka yang mengalami tekanan dan lainnya
perlu perawatan dan tidak usah malu, termasuk kami sosialisikan informasi bahwa pasien ini
juga bisa di cover dengan BPJS," katanya.

Ia menjelaskan bahwa dari data yang dia kumpulkan, anak-anak yang kecanduan gawai dan
permainan (game) itu awalnya tidak disadari oleh orang tuanya. Orang tua baru menyadari
setelah si anak jarang masuk ke sekolah dan prestasi akademiknya terus menurun.

"Bahkan si anak sudah pada taraf tidak mau sekolah. Akhirnya dibawa ke poli jiwa. Kami
menemukan bahwa awalnya anak menjadi sangat dekat dengan gadget dan laptop karena
tugas-tugas sekolah. Waktu itu hampir semua tugas-tugas sekolah menggunakan teknologi
ini, sehingga si anak kemana-mana membawa laptop," kata dr Dewi.

Menurut dia, hasil psikotest terhadap salah seorang anak menunjukkan bahwa pasien itu telah
mengidentifikasi dirinya sebagai pembunuh. Sementara orang yang paling dibencinya adalah
orang tuanya yang dianggap sebagai penghalang dirinya untuk berhubungan dengan laptop
dan gawai.

"Syukurlah dari penanganan yang kami lakukan hasilnya sudah mulai membaik. Banyak
metode yang kami lakukan untuk menangani pasien ini, termasuk terapi realita. Saya ajak si
anak untuk melihat pasien dengan gangguan jiwa akut atau psikotik. Saya bilang pada anak
itu, kalau kamu tidak mau melepaskan diri dari game, lama-lama menjadi seperti mereka
yang menderita psikotis itu. Dia kemudian terdiam dan saya suruh peluk ibunya. Akhirnya
pikiran dia tentang gadget atau laptop berubah," katanya.

Ia menjelaskan kasus dua anak itu hendaknya menjadi peringatan bagi semua orang tua dan
semua pemangku kepentingan di sekolah agar anak-anak betul-betul mendapatkan perhatian.

"Isilah keinginan anak-anak itu dengan hati kita bukan dengan gadget. Kita harus isi hati
anak-anak itu dengan yang nyata, yaitu kita sebagai orang tua, bukan dengan yang tidak nyata
di gadget," katanya.

Menurut dia, secara psikologis, anak-anak itu mencari kesenangan hati di perangkat teknologi
informasi karena tidak mendapatkan itu dari lingkungan sekitarnya, khususnya orang tua.

Mengenai perawatan poli jiwa ini, pihaknya terus melakukan sosialisasi ke masyarakat,
termasuk melalui dokter-dokter umum dan para medis yang bertugas di seluruh puskesmas di
Bondowoso.

Pihaknya juga ada kerja sama dengan instansi lain, seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial
Pemkab Bondowoso. Pihaknya juga sudah menjalin kerja sama dengan sekolah, meskipun
belum semua untuk menangani masalah siswa yang bisa ditangani oleh sekolah.

Pewarta: Masuki M Astro


Editor: Monalisa
COPYRIGHT © ANTARA 2018

Anda mungkin juga menyukai