Anda di halaman 1dari 34

Clinical Science Session

MANAJEMEN KEPATUHAN PASIEN RAWAT JALAN PSIKIATRI YANG TIDAK


PATUH MEMINUM OBAT

Oleh

M. Givanda Melky Pratama P. 2784 A

Anggi Setiawan P. 2781 A

Muhammad Farhan P. 2776 A


Pembimbing :

dr. Nadjmir, Sp.KJ (K)

BAGIAN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSJ PROF. HB. SAANIN

PADANG

2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga referat dengan judul “Manajemen Kepatuhan Pasien Rawat Jalan

Psikiatri yang Tidak Patuh Meminum Obat” ini dapat kami selesaikan dengan baik dan sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan.

Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai

manajemen kepatuhan pasien rawat jalan psikiatri yang tidak patuh meminum obat, serta menjadi

salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior di bagian Psikiatri Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas.


Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu

dalam pembuatan laporan kasus ini, khususnya dr. Nadjmir, Sp.KJ (K) sebagai preseptor yang

telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran, perbaikan dan bimbingan kepada kami.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua

pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan referat ini yang tidak dapat kami sebutkan

satu per satu disini.

Dengan demikian, kami berharap laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan serta meningkatkan pemahaman semua pihak tentang Manajemen Kepatuhan Pasien

Rawat Jalan yang Tidak Patuh Meminum Obat.

Padang, 7 Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….……….. 2

DAFTAR ISI………………………………………………………………….. 3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….. 4

1.1 Latar Belakang………………………………………………….……...... 5

1.2 Batasan Masalah…………………………………………………………. 5

1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………… 5

1.4 Metode Penulisan……………………………………………….……….. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….. 6

2.1 Defenisi Psikofarmaka 6

2.2 Kepatuhan Minum Obat

2.2.1 Pengertian Kepatuhan

2.2.2 Jenis-Jenis Kepatuhan

2.2.3 Cara mengukur Kepatuhan

2.2.4 Karakteristik Kepatuhan

2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

2.2.6 Proses terjadinya Perilaku Ketidakpatuhan

2.2.7 Cara Meningkatkan Kepatuhan

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………. 32

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….…….….. 33
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang serius
menurut World Health Organization (WHO). WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang di
dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa (WHO, 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013, prevalensi psikosis di Indonesia sebesar 51,7 %, prevalensi tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta dan Aceh yang masing-masing memiliki nilai sebesar 2,7 % sedangkan nilai
prevalensi yang terendah di Kalimantan Barat sebesar 0,7 %. Prevalensi gangguan mental
emosional penduduk Indonesia adalah 11,6 % dan bervariasi di antara provinsi dan
kabupaten/kota. Untuk jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.728
orang. Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2013, menunjukkan prevalensi gangguan
mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 6,0 % dari populasi orang
dewasa. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah
yakni sebesar 11,6 %, sedangkan yang terendah di Lampung yakni sebesar 1,2 %. Berarti dengan
jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang saat ini
mengalami gangguan mental emosional. (Riskesdas, 2013)

Diketahui dari data populasi penduduk dunia yang menderita skizofrenia ditunjukkan
bahwavterdapat 1% dari populasi. Skizofrenia lebih banyak ditemukan pada populasi urban obat
terhadap kekambuhan pasien skizofrenia di RSJD Surakarta pasien dengan diagnosis skizofrenia
diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun
kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Sedangkan menurut Solomon dkk, dalam Akbar
(2008), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita
mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat inap 40%-50% penderita
mengalami kekambuhan, dan setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita
mengalami kekambuhan (Akbar, 2008). Berarti pasien skizofrenia mengalami kekambuhan
pertama pada waktu 6 bulan – 1 tahun pasca

rawat dan lebih banyak ditemukan banyaknya pasien skizofrenia yang mengalami kekambuhan
pada 2 sampai dengan 5 tahun pasca rawat.
Menurut hasil penelitian (Septi, 2014) menunjukkan bahwa 84 responden yang diteliti presentase
yang paling banyak yaitu ketidakpatuhan minum obat sebanyak 63 responden (78,8 %). Hal ini
sesuai dengan teori Stuart dan Laraia (2005) yang mengatakan bahwa, sebagian besar pasien
skizofrenia mengalami ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat. Selain itu, Niven (2002) juga
menambahkan bahwa pasien skizofrenia rata-rata memiliki perilaku ketidakpatuhan dalam
mengkonsumsi obat. Ketidakpatuhan dikarenakan banyaknya jumlah obat yang diminum, adanya
efek samping yang membuat pasien tidak nyaman, serta tidak adanya pengawasan keluarga.

Kekambuhan pada satu tahun setelah terdiagnosa skizofrenia dialami oleh: 60 - 70% pasien yang
tidak mendapatkan terapi medikasi (Wardhani, 2009). Fenomena kekambuhan lebih banyak
diakibatkan oleh putus obat.

Salah satu survey yang membuktikan bahwa kekambuhan diakibatkan oleh ketidakpatuhan akan
obat adalah survey World Federation of Mental Health tahun 2006, survey ini dilakukan terhadap
982 keluarga yang mempunyai anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, hasilnya
menunjukkan 51% pasien gangguan jiwa kambuh akibat berhenti minum obat, 49% kambuh akibat
merubah dosis obat sendiri. (WFMH Survey,2006)

Kepatuhan adalah suatu keadaan yang menunjukkan pasien telah mengikuti petunjuk dan
rekomendasi terapi dari perawat atau dokter (Gajski & Karlovic 2008, dalam Erwina 2015).

Kepatuhan minum obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan terapi bagi
penderita gangguan jiwa dan menjadi masalah penting dalam dunia kesehatan khususnya
kesehatan jiwa. (Sadock & Sadock ,2010).

Banyak di temukannya masalah ketidakpatuhan pada pasien skizofrenia, namun masalah ini dapat
diatasi dengan tingkat pemahaman dari tenaga medis untuk lebih mengetahui faktor-faktor
penyebab timbulnya ketidakpatuhan pada pasien skizofrenia. Pada kondisi ini penyakit skizofrenia
dapat dikatakan kronis dengan mengetahui penyebab ketidakpatuhan pasien terhadap terapi obat
yang meliputi pasien merasa bosan minum obat, kurang pahamnya pasien tentang tujuan
pengobatan, berkurangnya gejala, tidak mengerti tentang instruksi penggunaan obat, dosis yang
tidak akurat dalam mengkonsumsi obat, efek samping yang tidak menyenangkan, dan harga obat
yang mahal (Erwina 2015).
Keterlambatan penderita datang ke klinik pengobatan adalah salah satu kendala kronis
berkepanjangan, banyak ditemukan penderita yang mengalami kekambuhan yang pengobatannya
menjadi sulit dan tidak sesuai (Kaunang, 2015).

1.2 Batasan Masalah

Clinical Science Session ini membahas tentang manajemen kepatuhan pada pasien rawat jalan
psikiatri yang tidak patuh meminum obat.

1.3 Tujuan Penulisan

Clinical Science Session ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana manajemen kepatuhan pada
pasien rawat jalan psikiatri yang tidak patuh meminum obat.

1.4 Metodologi Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan merujuk kepada berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psikofarmaka

I. Definisi
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental
dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup pasien.
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: anti-psikosis,
anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-
kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer,
neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika.

II. Obat-Obat Psikotropika


a. Obat Anti-Psikosis
Anti-psikosis disebut juga neuroleptic, dahulu dinamakan major transquilizer.
Salah satunya adalah chlorpromazine (CPZ), yang diperkenalkan pertama kali tahun
1951 sebagai premedikasi dalam anastesi akibat efeknya yang membuat relaksasi
tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ segera dicobakan pada penderita skizofrenia dan
ternyata berefek mengurangi delusi dan halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.
No
Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran
.

1. Fenotiazin Chlorpromazin Tablet 25 dan 100 mg, 150-600


mg/hari
Injeksi 25 mg/ml

Thioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150-600


mg/hari

Trifluoperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10-15 mg/hari


Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12-24 mg/hari

Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10-15 mg/hari

2. Butirofenon Halloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 5-15 mg/hari


mg

Injeksi 5 mg/ml

Droperidol Amp 2.5 mg/ ml 7,5 – 15


mg/hari

4. Difenilbutil Pimozide Tablet 1 dan 4 mg 1-4 mg/hari


piperidin

5. Atypical Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2-6 mg/hari

Mekanisme Kerja
Semua obat anti-psikosis merupakan obat-obat potensial dalam memblokade
reseptor dopamin dan juga dapat memblokade reseptor kolinergik, adrenergik dan
histamin. Pada obat generasi pertama (fenotiazin dan butirofenon), umumnya tidak
terlalu selektif, sedangkan benzamid sangat selektif dalam memblokade reseptor
dopamine D2. Anti-psikosis “atypical” memblokade reseptor dopamine dan juga
serotonin 5HT2 dan beberapa diantaranya juga dapat memblokade dopamin sistem
limbic, terutama pada striatum.

Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism” di
hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra muscular
(IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan
flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil
dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot
lebih mudah untuk dimonitor.
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis
lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
• Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
• Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping,
sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien
Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran  dinaikkan setiap 2-3 hari  hingga
dosis efektif (sindroma psikosis reda)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan  dosis optimal  dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) 
diturunkan setiap 2 minggu  dosis maintenance  dipertahankan selama 6 bulan – 2
tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-
4 minggu)  stop
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika
dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung,
mual, muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan
anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil
3x2 mg/hari).
Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur
makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5
cc setiap bulan. Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan
terhadap skizofrenia.
Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu merubah
posisi tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM).
Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet
trihexylfenidil 3-4x2 mg/hari.
Indikasi
Obat anti-psikosis merupakan pilihan pertama dalam menangani skizofreni, untuk
memgurangi delusi, halusinasi, gangguan proses dan isi pikiran dan juga efektif dalam
mencegah kekambuhan. Major transquilizer juga efektif dalam menangani mania,
Tourette’s syndrome, perilaku kekerasan dan agitasi akibat bingung dan demensia.
Juga dapat dikombinasikan dengan anti-depresan dalam penanganan depresi
delusional.
Efek Samping
1. Extrapiramidal: distonia akut, parkinsonism, akatisia, dikinesia tardiv
2. Endokrin: galactorrhea, amenorrhea
3. Antikolinergik: hiperprolaktinemia
Bila terjadi gejal tersebut, obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan. Bisa
diberikan obat reserpin 2,5 mg/hari. Obat pengganti yang yang paling baik adalah
klozapin 50-100 mg/hari.
Reaksi idiosinkrasi yang timbul dapat berupa diskrasia darah, fotosensitivitas,
jaundice, dan Neuroleptic Malignant Syndrome(NSM). NSM berupa hiperpireksia,
rigiditas, inkontinensia urin, dan perubahan status mental dan kesadaran. Bila terejadi
NSM, hentikan pemakaian obat, perawatan suportif dan berikan agonis dopamin
(bromokriptin 3x 7,5 sampai 60 mg/hari, L-Dopa 2x100 mg atau amantidin 200
mg/hari)
Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran
b. Obat Antidepresan
Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer. Umumnya
yang digunakan sekarang adalah dalam golongan trisiklik (misalnya imipramin,
amitriptilin, dothiepin dan lofepramin)
No. Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran

1. Trisiklik Amitriptilin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari


(TCA)

Imipramin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari

2. SSRI Sentralin Tablet 50 mg 50-150 mg/hari

Fluvoxamin Tablet 50 mg 50-100 mg/hari

Fluoxetin Kapsul 20 mg, 20-40 mg/hari

Kaplet 20 mg

Paroxetin Tablet 20 mg 20-40 mg/hari

3. MAOI Moclobemide Tab 150 mg 300-600 mg/


hari

4. Atypical Mianserin Tablet 10, 30 mg 30-60 mg/hari

Trazodon Tab 50 mg, 100 mg 75-150 mg/hari


dosis terbagi

Maprotilin Tab 10, 25, 50, 75 mg 75-150 mg/hari


dosis terbagi
Mekanisme Kerja

Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin yang


menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin. MAOI
menghambat pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin
memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan
melibatkan modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.
Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan
mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang timbul
dalam waktu kurang dari 2-6 minggu
Untuk sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya
mengikuti urutan:
Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor)
reversibel.
Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna juga
pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi.
Efek Samping
Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan
kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi
SSRI : nausea, sakit kepala
MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic syndrome dengan
gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium, confusion dan
disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:
• Gastric lavage
• Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi
• Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat diulangi
setiap 30-40 menit hingga gejala mereda.
• Monitoring EKG
Kontraindikasi
• Penyakit jantung koroner
• Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat, gangguan fungsi hati, epilepsy

c. Obat Antimania

Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood modulators,
mood stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat antimania yang menjadi
acuan adalah litium karbonat.

No Nama Generik Sediaan Dosis anjuran

1 Litium karbonat 250-500 mg

2 Haloperidol Tab 0,5 mg,2 mg, 5 mg 4,5-15 mg

Liq 2 mg/hr

Injk 5 mg/ml

3 Karbamazepin Tab 200 mg 400-600 mg/hr

2-3 x/hr

Cara Penggunaan Obat

Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat. Pada
gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium
karbonat sebagai obat profilaks. Daapt mengurangi frekwensi, berat dan lamanya suatu
kekambuahan
Bila penggunaan obat litium karbonat tidak memungkinkaan dapat digunakan
karbamezin. Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma mania akut dan profilaks
srerangan sindroma mania pada gangguan afektif bipolar.

Pada ganguan afektif unipolar, pencegahan kekambuhan dapat juga denagn


obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh daripada litium karonat. Dosis awal harus
lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien gangguan fisik yang mempengaruhi
fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan mengambil sampeel darah pagi hari,
yaitu sebelum makan obat dan sekitar 12 jam setelah dosis petang.

Mekanisme kerja

Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi


”dopaminereseptor supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic activity”
dan menghambat ” cyclic AMP” (adenosine monophospat)

Efek samping

1. Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik pasien

2. Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama:

mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare feses lunak),
kelemahan otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyta pada pasien usia
lanjut dan penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan antidepresan)

Tidak ada efek sedasi dan gangguan akstrapiramidal

3. Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan fungsi


tiroid, edema pada tungkai metalic taste, leukositosis, gangguan daya ingat dan
kosentrasi pikiran
4. Gejala intoksikasi

- Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi pikiran


menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan tidak stabil

- Dengan semangkin beratnya intoksikasi terdapat gejala : kesadaran


menurun, oliguria, kejang-kejang

- Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah

5. Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :

- Demam (berkeringat berlebihan)

- Diet rendah garam

- Diare dan muntah-muntah

- Diet untuk menurunkan berat badan

- Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi non


steroid

6. Tindakan mengatasi intoksikasi lithium

- Mengurangi faktor predisposisi

- Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara IV


sebanyak 10 ml

7. Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang faktor


predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis banyak harus
diimbangi dengan minum lebih banyak, mengenali gejala dan intoksikasi dan
kontrol rutin

9
Kontra Indikasi

Wanita hamil

d. Anti-Ansietas

Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain psikoleptik,


transquilizer minor dan anksioliktik. Dalam membicarakan obat antiansietas yang
menjadi obat racun adalah diazepam atau klordiazepoksid

No Nama Generik Golongan Sediaan Dosis aniuran

1 Diazepam Benzodiazepin Tab 2- 5 mg Peroral 10-


30mg/hr,2-3
x/hari

Paenteral
IV/IM

2-10 mg/kali,
setiap 3-4 jam

2 Klordiazepoksoid Benzodiazepin Tab 5 mg 15-30 mg/hari

Kap 5 mg 2-3 x/sehari

3 Lorazepam Benzodiazepin Tab 0,5-2 mg 2-3 x 1 mg/hr

4 Clobazam Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10


mg/hr

5 Brumazepin Benzodiazepin Tab 1,5-3-6 3 x 1,5 mg/hr


mg
6 Oksazolom Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10
mg/hr

7 Klorazepat Benzodiazepin Cap 5-10mg 2-3 x 5 mg /


hr

8 Alprazolam Benzodiazepin Tab0,25-0,5- 3 x 0,25-0,5


1 mg mg/hr

9 Prazepam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hr

10 Sulpirid NonBenzodiazepin Cap 50 mg 100-200


mg/hari

11 Buspiron NonBenzodiazepin Tab 10 mg 15-30 mg/hari

Mekanisme kerja

Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitasndari system limbic yang terdiri dari


dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic yang dikendalikan oleh GABA ergic yang
merupakan suatu inhibitory neurotransmitter. Obat antiansietas benzodiazepine yang
bereaksi dengan reseptornya yang akan meng-inforce the inhibitory action of GABA
neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut mereda.

Cara Pengguanan

• Klobazam untuk pasien dewasa dan pada usia lanjut yang ingin tetap aktif

• Lorazepam untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati atau ginjal

• Alprazolam efektif untuk ansietas antosipatorik, mula kerja lebih cepat dan
mempunyai komponen efek antidepresan.
• Sulpirid 50 efektif meredakan gejala somatic dari sindroma ansietas dan
paling kecil resiko ketergantungan obat.

Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5
hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu. Kemudian
diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis pemeliharan.
Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8 mingu. Terakhir lakukan
tapering off. Pemberian obat tidak lebih dari 1-3 bulan pada sindroma ansietas yang
disebabkan factor eksternal.

Efek samping

Sedasi ( rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerka psikomotor menurun,


kemampuan kognitif melemah)

Relaksasi otot ( rasa lemas, cepat lelah dan lain-lain)

Potensi menimbulkan ketergntungan lebih rendah dari narkotika

Potensi ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat
dipertahankan setelah dosis trerakhir berlangsung sangat singkat.

Penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus obat, pasien
menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomania, tremor, palpitasi, keringhat dingin,
konvulsi.

Kontra Indikasi

Pasien dengan hipersensitif terhadap benzodiazepin, glaukoma, miastenia


gravis, insufisiensi paru kronik, penyakit ginjal dan penyakit hati kronik Pada pasien
usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan (paradoxal reaction) berupa
kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spasitas oto meningkat dan gangguan tidur.
Ketergantungan relatif sering terjadi pada individu dengan riwayat peminum alkohol,
penyalagunaan obat atau unstable personalities. Untuk mengurangi resiko
ketergantungan obat, maksimum lama pemberian 3 bulan dalam rentang dosis
terapeutik.

e. Anti-Insomnia

Sinonimnya adalah hipnotik, somnifacient, atau hipnotika. Obat acuannya


adalah fenobarbital.

No Nama Generik Golongan Sediaan Dosis aniuran

1 Nitrazepam Benzodiazepin Tab 5 mg Dewasa 2 tab

Lansia 1 tab

2 Triazolam Benzodiazepin Tab 0,125 mg Dewasa 2 tab

Lansia 1 tab

Tab 0,250 mg Dewasa 2 tab

Lansia 1 tab

3 Estazolam Benzodiazepin Tab 1 mg 1-2 mg/malam

Tab 2mg

4 Chloral hydrate Non- Soft cap 500 mg 1-2 cap, 15-30


Benzodiazepin menit sebelum
tidur
Mekanisme kerja

Obat anti-insomnia bekerja pada reseptor BZ1 di susunan saraf pusat yang

berperan dalam memperantarai proses tidur.

Cara Penggunaan

ƒ Dosis anjuran untuk pemberian tunggal 15-30 menit sebelum tidur.

ƒ Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan


dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off untuk
mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat.

ƒ Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan untuk menghidari oversedation dan intoksikasi.

ƒ Lama pemberian tidak lebih dari 2 minggu agar risiko ketergantungan


kecil.

Efek samping

Supresi SSP pada saat tidur

Rebound Phenomen

Disinhibiting efect yang menyebabkan perilaku penyerangan dan ganas pada


penggunaan golongan benzodiazepine dalam waktu yang lama

Kontra indikasi

Sleep apnoe syndrome

Congestive heart failure

Chronic respiratory disease

Wanita hamil dan menyusui


f. Obat anti Obsesif-Kompulsif

Dalam membicarakan obat anti obsesi kompulsi yang menjadi acuan adalah
klomipramin.

Obat anti obsesi kompulsi dapat digolongkan menjadi :

1. Obat anti obsesi kompulsi trisiklik, contoh klomipramin

2. Obat anti obsesi kompulsi SSRJ, contoh sentralin, paroksin, flovokamin,


fluoksetin

No Nama Generik Sediaan Dosis anjuran

1 Clompramine Tab 25 mg 75-200 mg/hr

2 Fluvoxamine Tab 50 mg 100-200 mg/hr

3 Sertraline Tab 50 mg 50-150 mg/hr

4 Fluxetine Cap 20 mg, caplet 20-80 mg/hr


20 mg

5 Paroxetine Tab 20 mg 40-60 mg/ hr

Mekanisme kerja

Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin sehingga gejala mereda.

Cara penggunaan

Sampai sekarang obat pilihan untuk gangguan obsesi kompulsi adalah


klomipramin. Terhadap meraka yang peka dapat dialihkan ke golongan SSRI dimana
efek samping relatif aman. Obat dimulai dengan dosis rendah klomopramin mulai
dengan 25-50 mg /hari (dosis tunggal malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan
penambahan 25 mg/hari sampai tercaapi dosis efektif (biasanya 200-300 mg/hari).

Dosis pemeliharan umumnya agak tinggi, meskipun bersifat individual,


klomipramin sekitar 100-200 mg/hari dan sertralin 100 mg/hari. Sebelum dihentikan
lakukan pengurangan dosis secara tappering off. Meskipun respon dapat terlihat dalam
1-2 minggu, untuk mendapatkan hasil yang memadai setidaknya diperlukan waktu 2-
3 bulan dengan dosis antara 75-225 mg/hari

g. Obat Anti panik

Dalam membicarakan antipanik yang menjadi obat acuan adalah imipramin

No Nama Generik Sediaan Dosis Anjuran

1 Imipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hr

2 Clomipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hr

3 Alprazol Tab 0,25 mg,0,5 mg, 2-4 mg/hr


1 mg

4 Moclobemid Tab 150 mg 300-600 mg/hr

5 Sertralin Tab 50 mg 50-100 mg/hr

6 Fluoxetin Cap dan caplet 20 20-40 mg/hr


mg

7 Parocetin Tab 20 mg 20-40 mg/hr

8 Fluvoxamine Tab 50 mg 50-100 mg/hr


Mekanisme kerja

Sindrom panik berkaitan dengan hipersensitivitas dari serotonic reseptor di


SSP. Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat reuptake serotonin pada
celah sinaptik antar neuron

Cara Penggunaan Obat

• Golongan SSRI mempunyai efek samping yang lebih ringan

• Alprozolam merupakan obat yang paling kurang toksiknya dan onset kerjanya
lebih cepat

Efek samping obat

Mengantuk, sedasi, kewaspadaan berkurang

Neurotoksik

Lama Pemberian Obat

• Lamanya pemberian obat tergantung dari individual, umunya selama 6-12


bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi
penderita sudah memungkinkan

• Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan gejala kambuh.
Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semula diulangi selama
2 tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap selama 3 bulan.
2.2 Kepatuhan Minum Obat

2.2.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan atau ketaatan (Compliance/adherence) adalah cara pasien dalam melaksanakan


tingkat pengobatan dan melakukan apa yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain dalam
berperilaku. (Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia)
Kerjasama antara pasien dan petugas kesehatan termasuk penunjang kepatuhan terhadap
pengobatan yang membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam menejemen perawatan diri. Pasien
dikatakan patuh dalam pengobatan adalah pasien yang datang tepat waktu maupun 3 hari
sebelum/sesudah waktu yang ditentukan dan rutin selama 6 bulan sebelumnya berturut- turut.
Tidak patuh apabila melebihi 3 hari dari waktu yang ditentukan dan tidak rutin selama 6 bulan
sebelumnya . Kepatuhan adalah perilaku yang menggambarkan tingkat ketepatan seorang individu
dengan nasihat medis atau kesehatan pada penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada
penggunaan obat yang mencakup penggunaannya yang sesuai dengan petunjuk pada resep serta
pada waktu yang benar.(Slovin dan Robert. 1994. Educational Phychology. Massachuset:
Paramount Publishing)

2.2.2 Jenis-Jenis Kepatuhan

Jenis-jenis kepatuhan diantaranya, yaitu :(Cramer, JA. 1991. Compliance In Medical Practice
And Clinical Trail. New York: Raven Press)

1.Kepatuhan penuh (Total Compliance)

Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang di
tetapkan melainkan juga kepatuhan dalam memakai obat secara teratur sesuai dengan petunjuk.

2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance)

Yaitu penderita yang tidak menggunakan obat sama sekali atau penderita yang putus obat.
2.2.3 Cara mengukur Kepatuhan

Terdapat dua metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepatuhan yaitu :

1) Metode langsung
Pengukuran kepatuhan dengan metode langsung dapat dilakukan dengan observasi
pengobatan secara langsung, mengukur konsentrasi obat dan metabolitnya dalam darah atau urin
serta mengukur biologic marker yang ditambahkan pada formulasi obat. Kelemahan metode ini
adalah biayanya yang mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap penolakan
pasien.(Osterberg, L., Blaschke, T,. 2005. Adherence to Medication. The New England Journal of
Medicine. 6 (2) : 487-495)

2) Metode tidak langsung


Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menanyakan pasien tentang cara pasien

menggunakan obat, menilai respon klinik, melakukan perhitungan obat (pill count), menilai angka

refilling prescriptions, mengumpulkan kuesioner pasien, menggunakan electronic medication

monitor, menilai kepatuhan pasien anak dengan menanyakan kepada orang tua.(Osterberg, L.,

Blaschke, T,. 2005. Adherence to Medication. The New England Journal of Medicine. 6 (2) : 487-

495)

Dari kedua metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Berikut tabel yang menyajikan kelebihan dan kekurangan tiap metode :

Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian Masing-masing Metode Pengukuran

Kepatuhan Pengobatan (Osterberg, L., Blaschke, T,. 2005. Adherence to

Medication. The New England Journal of Medicine. 6 (2) : 487-495)


Pengukuran Keuntungan Kekurangan

Langsung

Observasi terapi
Paling akurat Pasien
secara langsung dapat

menyembunyikan pil dalam

mulut dan membuangnya

Variasi metabolisme
Pengukuran kadar obat atau Obyektif
dapat memberikan
metabolit dalam darah
penafsiran yang salah

terhadap kepatuhan,

mahal

Obyektif: dalam uji Memerlukan


Pengukuran penanda
klinik dapat juga pengajian kuantitatif
biologis dalam darah
digunakan untuk yang mahal dan

mengukur placebo pengambilan cairan tubuh


Sederhana, Rentan terhadap
Tidak Langsung
tidak mahal, keselahan dengan

metode kenaikan waktu antara


Kuesioner
kunjungan; hasilnya udah
yang paling
terdistorsi oleh pasien

berguna dalam

penelitian klinis

Data mudah diubah


Menghitung Pil Obyektif, mudah
oleh pasien
melakukan

Tepat, Mahal,
Monitor obat secara
hasilnya memerlukan
Elektronik
mudah diukur kunjungan kembali dan

pengambilan data
Pengukuran penanda Biasanya Penanda dapat

fisiologis contoh: denyut mudah untuk tidak mengenali

jantung pada penggunaan melakukan Penyebab lain

beta bloker) (misalnya:peningkatan

metabolisme,

turunnya absorbsi)

Mudah diubah oleh pasien

Buku harian pasien

Membantu

memperbaiki

ingatan yang

lemah

Jika pasien anak-anak, Sederhana,


Rentan terhadap distorsi
kuesioner untuk orang tua obyektif

atau yang merawatnya

2.2.4 Karakteristik Kepatuhan


Kepatuhan program terapeutik adalah perilaku pasien dalam mencapai perawatan
kesehatan seperti: upaya aktif, upaya kolaboratif sukarela antara pasien dan provider. Termasuk
didalamnya mengharuskan pasien membuat perubahan gaya hidup untuk menjalani kegiatan
spesifik seperti minum obat, mempertahankan diet, membatasi aktivitas, memantau mandiri
terhadap gejala penyakit, tindakan hygine spesifik, evaluasi kesehatan secara periodik, pelaksana
tindakan teraputik dan pencegahan lain. (Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 2.Jakarta: EGC) Sedangkan hasil penelitian Wardani
menunjukkan tolak ukur perilaku kepatuhan minum obat yaitu adanya kerjasama keluarga dan
pasien dalam pemberian obat, kesadaran diri terhadap kebutuhan obat, kemandirian minum obat
dan kedisiplinan minum obat. Selain itu perilaku patuh minum obat diikuti dengan kontrol rutin
setelah dirawat di rumah sakit. ditentukan oleh pasien sendiri atau hanya mengambil pengobatan
mereka dari waktu ke waktu.(Wardani. 2009. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama)

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan : (Brunner and Suddarth. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 2.Jakarta: EGC)

1. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi dan pendidikan.

2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi.

3. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak
menyenangkan.

4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan,


atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya, dan biaya finansial dan
lainnya yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut di atas juga di temukan oleh Bart
Smet dalam psikologi kesehatan.(Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan.Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia)

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan, yaitu : (Smet, B. 1994. Psikologi


Kesehatan.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia)
1. Komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter mempengaruhi tingkat ketaatan,
misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan
emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang di berikan.

2. Pengetahuan

Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting
dalam pemberian antibiotic untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi. Karena bukan saat obat
itu habis.

3. Fasilitas Kesehatan

Fasilitas Kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan


terhadap penderita, di harapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang
meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung serbaguna untuk penyuluhan dan lain- lain.

faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan, adalah :(Niven, N. 2002. Psikologi Kesehatan :


Pengantar Untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain. Edisi 2. Jakarta : EGC)

1. Penderita atau individu

a) Sikap atau motivasi pasien ingin sembuh

Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu
ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor- faktor yang
berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.

b) Keyakinan

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang
berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus
asa serta dapat menerima keadannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk
melakukan kontrol penyakitnya dapat di pengaruhi oleh keyakinan penderita, di mana penderita
memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalua tahu
akibatnya.

2. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat
dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tentram apabila mendapat pehatian dan dukungan
dari keluarganya. Karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk
menghadapi dan mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-
saran yang diberikan oleh keluarganya untuk menunjang pengelolahan penyakitnya.

3. Dukungan Sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan
faktor-faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat
mengurangi ansietas yang di sebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan
terhadap ketidaktaatan.

4. Dukungan Petugas Kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku
kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna pada pasien menghadapi bahwa perilaku sehat
yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku
pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien yang
telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.

2.2.6 Proses terjadinya Perilaku Ketidakpatuhan

Hasil penelitian studi kualitatif oleh Wardani menemukan penyebab ketidakpatuhan dari
faktor individu adalah: sikap negatif terhadap pengobatan, penyangkalan terhadap penyakit,
manfaat obat dan sikap selektif terhadap caregiver. Selain itu, efek samping obat terhadap fisik,
seksualitas, aktivitas, dan tingkat konsentrasi menjadi alasan klien tidak patuh, bahkan sampai
menghentikan minum obat. Wardani. 2009. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama)
Hasil penelitian Wardani menunjukkan sikap negatif keluarga menjadi penyebab tidak

patuh. Sikap negatif keluarga inti seperti: respon simpati terhadap efek samping obat yang

dirasakan pasien, secara tidak langsung menyebabkan pasien tidak patuh. Sikap negatif dari

keluarga besar terhadap pengobatan meliputi sikap mendukung ketidakpatuhan dan ungkapan

yang menurunkan motivasi minum obat. Sedangkan penyebab yang bersumber dari perilaku

tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas dan ungkapan yang mematahkan semangat

dari tenaga kesehatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.Wardani. 2009.

Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)

2.2.7 Cara Meningkatkan Kepatuhan

Beberapa metode pendakatan untuk mendukung kepatuhan pasien minum obat


diantaranya: pendidikan, akomodasi, modifikasi, faktor lingkungan dan sosial, perubahan model
terapi dan meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien . Pemberian perlakuan
yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien terutama dalam mengonsumsi
obat diantaranya: pemberian terapi perilaku modeling partisipan yakni melalui pendekatan,
mendampingi saat minum obat, membantu mengatasi efek yang tidak menyenangkan saat minum
obat, dan pasien diminta minum obat tanpa pendampingan untuk selanjutnya agar pasien dapat
minum obat secara mandiri.obat tanpa pendampingan untuk selanjutnya agar pasien dapat minum
obat secara mandiri. (Nelson-Jones, R. 2011. Teori dan praktik konseling dan terapi. Edisi 4.
Pustaka pelajar : Yogyakarta)

Ada beberapa cara untuk menghadapi pasien yang mengalami ketidakpatuhan antara

lain:(Niven, N. 2002. Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat & Profesional Kesehatan

Lain. Edisi 2. Jakarta : EGC)


a. Membutuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan pasien akan memiliki

motivasi tinggi untuk patuh jiika memiliki keyakinan, sikap positif dan memahami tujuan dari

perilaku kepatuhan, selain itu adanya dukungan dari keluarga dan teman terdekat terhadap key

akinan tersebut.

b. Mengembangkan strategi untuk merubah perilaku dan mempertahankannya.


Perilaku kepatuhan membutuhkan sikap kontrol diri atau pemantauan terhadap dirinya, evaluasi

diri dan penguatan terhadap perilaku yang meliputi :

1) Mengembangkan kognitif

2) Mengembangkan kognitif terhadap masalah kesehatan yang dialami pasien, sehingga

3) Dukungan sosial

4) Dukungan psikologis dari keluarga akan mengurangi kecemasan pasien

terhadap penyakit dan ketidakpatuhan dalam program pengobatan.

BAB III
KESIMPULAN
Diperlukan adanya peran dari keluarga diharapkan meningkatkan dukungan penilaian
seperti memberikan pujian kepada pasien gangguan jiwa dan juga keluarga
harus melakukan pengawasan minum obat. Bagi petugas kesehatan hendaknya
senantiasa memotivasi keluarga untuk terus memberikan dukungan selama
proses perawatan dirumah. Untuk peneliti selanjutnya disarankan
membahas dukungan keluarga seperti dukungan keluarga emosional, instrumental,

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai