CSS Kentod
CSS Kentod
Oleh
BAGIAN PSIKIATRI
PADANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga referat dengan judul “Manajemen Kepatuhan Pasien Rawat Jalan
Psikiatri yang Tidak Patuh Meminum Obat” ini dapat kami selesaikan dengan baik dan sesuai
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai
manajemen kepatuhan pasien rawat jalan psikiatri yang tidak patuh meminum obat, serta menjadi
salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior di bagian Psikiatri Fakultas
dalam pembuatan laporan kasus ini, khususnya dr. Nadjmir, Sp.KJ (K) sebagai preseptor yang
telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran, perbaikan dan bimbingan kepada kami.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua
pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan referat ini yang tidak dapat kami sebutkan
Dengan demikian, kami berharap laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan serta meningkatkan pemahaman semua pihak tentang Manajemen Kepatuhan Pasien
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………….……….. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. 3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….. 4
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….…….….. 33
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang serius
menurut World Health Organization (WHO). WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang di
dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa (WHO, 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013, prevalensi psikosis di Indonesia sebesar 51,7 %, prevalensi tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta dan Aceh yang masing-masing memiliki nilai sebesar 2,7 % sedangkan nilai
prevalensi yang terendah di Kalimantan Barat sebesar 0,7 %. Prevalensi gangguan mental
emosional penduduk Indonesia adalah 11,6 % dan bervariasi di antara provinsi dan
kabupaten/kota. Untuk jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.728
orang. Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2013, menunjukkan prevalensi gangguan
mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 6,0 % dari populasi orang
dewasa. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah
yakni sebesar 11,6 %, sedangkan yang terendah di Lampung yakni sebesar 1,2 %. Berarti dengan
jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang saat ini
mengalami gangguan mental emosional. (Riskesdas, 2013)
Diketahui dari data populasi penduduk dunia yang menderita skizofrenia ditunjukkan
bahwavterdapat 1% dari populasi. Skizofrenia lebih banyak ditemukan pada populasi urban obat
terhadap kekambuhan pasien skizofrenia di RSJD Surakarta pasien dengan diagnosis skizofrenia
diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun
kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Sedangkan menurut Solomon dkk, dalam Akbar
(2008), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita
mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat inap 40%-50% penderita
mengalami kekambuhan, dan setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita
mengalami kekambuhan (Akbar, 2008). Berarti pasien skizofrenia mengalami kekambuhan
pertama pada waktu 6 bulan – 1 tahun pasca
rawat dan lebih banyak ditemukan banyaknya pasien skizofrenia yang mengalami kekambuhan
pada 2 sampai dengan 5 tahun pasca rawat.
Menurut hasil penelitian (Septi, 2014) menunjukkan bahwa 84 responden yang diteliti presentase
yang paling banyak yaitu ketidakpatuhan minum obat sebanyak 63 responden (78,8 %). Hal ini
sesuai dengan teori Stuart dan Laraia (2005) yang mengatakan bahwa, sebagian besar pasien
skizofrenia mengalami ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat. Selain itu, Niven (2002) juga
menambahkan bahwa pasien skizofrenia rata-rata memiliki perilaku ketidakpatuhan dalam
mengkonsumsi obat. Ketidakpatuhan dikarenakan banyaknya jumlah obat yang diminum, adanya
efek samping yang membuat pasien tidak nyaman, serta tidak adanya pengawasan keluarga.
Kekambuhan pada satu tahun setelah terdiagnosa skizofrenia dialami oleh: 60 - 70% pasien yang
tidak mendapatkan terapi medikasi (Wardhani, 2009). Fenomena kekambuhan lebih banyak
diakibatkan oleh putus obat.
Salah satu survey yang membuktikan bahwa kekambuhan diakibatkan oleh ketidakpatuhan akan
obat adalah survey World Federation of Mental Health tahun 2006, survey ini dilakukan terhadap
982 keluarga yang mempunyai anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, hasilnya
menunjukkan 51% pasien gangguan jiwa kambuh akibat berhenti minum obat, 49% kambuh akibat
merubah dosis obat sendiri. (WFMH Survey,2006)
Kepatuhan adalah suatu keadaan yang menunjukkan pasien telah mengikuti petunjuk dan
rekomendasi terapi dari perawat atau dokter (Gajski & Karlovic 2008, dalam Erwina 2015).
Kepatuhan minum obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan terapi bagi
penderita gangguan jiwa dan menjadi masalah penting dalam dunia kesehatan khususnya
kesehatan jiwa. (Sadock & Sadock ,2010).
Banyak di temukannya masalah ketidakpatuhan pada pasien skizofrenia, namun masalah ini dapat
diatasi dengan tingkat pemahaman dari tenaga medis untuk lebih mengetahui faktor-faktor
penyebab timbulnya ketidakpatuhan pada pasien skizofrenia. Pada kondisi ini penyakit skizofrenia
dapat dikatakan kronis dengan mengetahui penyebab ketidakpatuhan pasien terhadap terapi obat
yang meliputi pasien merasa bosan minum obat, kurang pahamnya pasien tentang tujuan
pengobatan, berkurangnya gejala, tidak mengerti tentang instruksi penggunaan obat, dosis yang
tidak akurat dalam mengkonsumsi obat, efek samping yang tidak menyenangkan, dan harga obat
yang mahal (Erwina 2015).
Keterlambatan penderita datang ke klinik pengobatan adalah salah satu kendala kronis
berkepanjangan, banyak ditemukan penderita yang mengalami kekambuhan yang pengobatannya
menjadi sulit dan tidak sesuai (Kaunang, 2015).
Clinical Science Session ini membahas tentang manajemen kepatuhan pada pasien rawat jalan
psikiatri yang tidak patuh meminum obat.
Clinical Science Session ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana manajemen kepatuhan pada
pasien rawat jalan psikiatri yang tidak patuh meminum obat.
Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan merujuk kepada berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psikofarmaka
I. Definisi
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental
dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup pasien.
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: anti-psikosis,
anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-
kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer,
neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika.
Injeksi 5 mg/ml
Mekanisme Kerja
Semua obat anti-psikosis merupakan obat-obat potensial dalam memblokade
reseptor dopamin dan juga dapat memblokade reseptor kolinergik, adrenergik dan
histamin. Pada obat generasi pertama (fenotiazin dan butirofenon), umumnya tidak
terlalu selektif, sedangkan benzamid sangat selektif dalam memblokade reseptor
dopamine D2. Anti-psikosis “atypical” memblokade reseptor dopamine dan juga
serotonin 5HT2 dan beberapa diantaranya juga dapat memblokade dopamin sistem
limbic, terutama pada striatum.
Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism” di
hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra muscular
(IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan
flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil
dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot
lebih mudah untuk dimonitor.
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis
lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
• Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
• Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping,
sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien
Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari hingga
dosis efektif (sindroma psikosis reda) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)
diturunkan setiap 2 minggu dosis maintenance dipertahankan selama 6 bulan – 2
tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu tapering off (dosis diturunkan tiap 2-
4 minggu) stop
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika
dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung,
mual, muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan
anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil
3x2 mg/hari).
Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur
makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5
cc setiap bulan. Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan
terhadap skizofrenia.
Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu merubah
posisi tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM).
Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet
trihexylfenidil 3-4x2 mg/hari.
Indikasi
Obat anti-psikosis merupakan pilihan pertama dalam menangani skizofreni, untuk
memgurangi delusi, halusinasi, gangguan proses dan isi pikiran dan juga efektif dalam
mencegah kekambuhan. Major transquilizer juga efektif dalam menangani mania,
Tourette’s syndrome, perilaku kekerasan dan agitasi akibat bingung dan demensia.
Juga dapat dikombinasikan dengan anti-depresan dalam penanganan depresi
delusional.
Efek Samping
1. Extrapiramidal: distonia akut, parkinsonism, akatisia, dikinesia tardiv
2. Endokrin: galactorrhea, amenorrhea
3. Antikolinergik: hiperprolaktinemia
Bila terjadi gejal tersebut, obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan. Bisa
diberikan obat reserpin 2,5 mg/hari. Obat pengganti yang yang paling baik adalah
klozapin 50-100 mg/hari.
Reaksi idiosinkrasi yang timbul dapat berupa diskrasia darah, fotosensitivitas,
jaundice, dan Neuroleptic Malignant Syndrome(NSM). NSM berupa hiperpireksia,
rigiditas, inkontinensia urin, dan perubahan status mental dan kesadaran. Bila terejadi
NSM, hentikan pemakaian obat, perawatan suportif dan berikan agonis dopamin
(bromokriptin 3x 7,5 sampai 60 mg/hari, L-Dopa 2x100 mg atau amantidin 200
mg/hari)
Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran
b. Obat Antidepresan
Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer. Umumnya
yang digunakan sekarang adalah dalam golongan trisiklik (misalnya imipramin,
amitriptilin, dothiepin dan lofepramin)
No. Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran
Kaplet 20 mg
c. Obat Antimania
Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood modulators,
mood stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat antimania yang menjadi
acuan adalah litium karbonat.
Liq 2 mg/hr
Injk 5 mg/ml
2-3 x/hr
Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat. Pada
gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium
karbonat sebagai obat profilaks. Daapt mengurangi frekwensi, berat dan lamanya suatu
kekambuahan
Bila penggunaan obat litium karbonat tidak memungkinkaan dapat digunakan
karbamezin. Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma mania akut dan profilaks
srerangan sindroma mania pada gangguan afektif bipolar.
Mekanisme kerja
Efek samping
1. Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik pasien
mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare feses lunak),
kelemahan otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyta pada pasien usia
lanjut dan penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan antidepresan)
9
Kontra Indikasi
Wanita hamil
d. Anti-Ansietas
Paenteral
IV/IM
2-10 mg/kali,
setiap 3-4 jam
Mekanisme kerja
Cara Pengguanan
• Klobazam untuk pasien dewasa dan pada usia lanjut yang ingin tetap aktif
• Alprazolam efektif untuk ansietas antosipatorik, mula kerja lebih cepat dan
mempunyai komponen efek antidepresan.
• Sulpirid 50 efektif meredakan gejala somatic dari sindroma ansietas dan
paling kecil resiko ketergantungan obat.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5
hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu. Kemudian
diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis pemeliharan.
Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8 mingu. Terakhir lakukan
tapering off. Pemberian obat tidak lebih dari 1-3 bulan pada sindroma ansietas yang
disebabkan factor eksternal.
Efek samping
Potensi ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat
dipertahankan setelah dosis trerakhir berlangsung sangat singkat.
Penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus obat, pasien
menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomania, tremor, palpitasi, keringhat dingin,
konvulsi.
Kontra Indikasi
e. Anti-Insomnia
Lansia 1 tab
Lansia 1 tab
Lansia 1 tab
Tab 2mg
Obat anti-insomnia bekerja pada reseptor BZ1 di susunan saraf pusat yang
Cara Penggunaan
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan untuk menghidari oversedation dan intoksikasi.
Efek samping
Rebound Phenomen
Kontra indikasi
Dalam membicarakan obat anti obsesi kompulsi yang menjadi acuan adalah
klomipramin.
Mekanisme kerja
Cara penggunaan
• Alprozolam merupakan obat yang paling kurang toksiknya dan onset kerjanya
lebih cepat
Neurotoksik
• Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan gejala kambuh.
Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semula diulangi selama
2 tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap selama 3 bulan.
2.2 Kepatuhan Minum Obat
Jenis-jenis kepatuhan diantaranya, yaitu :(Cramer, JA. 1991. Compliance In Medical Practice
And Clinical Trail. New York: Raven Press)
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang di
tetapkan melainkan juga kepatuhan dalam memakai obat secara teratur sesuai dengan petunjuk.
Yaitu penderita yang tidak menggunakan obat sama sekali atau penderita yang putus obat.
2.2.3 Cara mengukur Kepatuhan
Terdapat dua metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepatuhan yaitu :
1) Metode langsung
Pengukuran kepatuhan dengan metode langsung dapat dilakukan dengan observasi
pengobatan secara langsung, mengukur konsentrasi obat dan metabolitnya dalam darah atau urin
serta mengukur biologic marker yang ditambahkan pada formulasi obat. Kelemahan metode ini
adalah biayanya yang mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap penolakan
pasien.(Osterberg, L., Blaschke, T,. 2005. Adherence to Medication. The New England Journal of
Medicine. 6 (2) : 487-495)
menggunakan obat, menilai respon klinik, melakukan perhitungan obat (pill count), menilai angka
monitor, menilai kepatuhan pasien anak dengan menanyakan kepada orang tua.(Osterberg, L.,
Blaschke, T,. 2005. Adherence to Medication. The New England Journal of Medicine. 6 (2) : 487-
495)
Langsung
Observasi terapi
Paling akurat Pasien
secara langsung dapat
Variasi metabolisme
Pengukuran kadar obat atau Obyektif
dapat memberikan
metabolit dalam darah
penafsiran yang salah
terhadap kepatuhan,
mahal
berguna dalam
penelitian klinis
Tepat, Mahal,
Monitor obat secara
hasilnya memerlukan
Elektronik
mudah diukur kunjungan kembali dan
pengambilan data
Pengukuran penanda Biasanya Penanda dapat
metabolisme,
turunnya absorbsi)
Membantu
memperbaiki
ingatan yang
lemah
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan : (Brunner and Suddarth. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 2.Jakarta: EGC)
1. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi dan pendidikan.
2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi.
3. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak
menyenangkan.
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter mempengaruhi tingkat ketaatan,
misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan
emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang di berikan.
2. Pengetahuan
Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting
dalam pemberian antibiotic untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi. Karena bukan saat obat
itu habis.
3. Fasilitas Kesehatan
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu
ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor- faktor yang
berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.
b) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang
berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus
asa serta dapat menerima keadannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk
melakukan kontrol penyakitnya dapat di pengaruhi oleh keyakinan penderita, di mana penderita
memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalua tahu
akibatnya.
2. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat
dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tentram apabila mendapat pehatian dan dukungan
dari keluarganya. Karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk
menghadapi dan mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-
saran yang diberikan oleh keluarganya untuk menunjang pengelolahan penyakitnya.
3. Dukungan Sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan
faktor-faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat
mengurangi ansietas yang di sebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan
terhadap ketidaktaatan.
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku
kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna pada pasien menghadapi bahwa perilaku sehat
yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku
pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien yang
telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.
Hasil penelitian studi kualitatif oleh Wardani menemukan penyebab ketidakpatuhan dari
faktor individu adalah: sikap negatif terhadap pengobatan, penyangkalan terhadap penyakit,
manfaat obat dan sikap selektif terhadap caregiver. Selain itu, efek samping obat terhadap fisik,
seksualitas, aktivitas, dan tingkat konsentrasi menjadi alasan klien tidak patuh, bahkan sampai
menghentikan minum obat. Wardani. 2009. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama)
Hasil penelitian Wardani menunjukkan sikap negatif keluarga menjadi penyebab tidak
patuh. Sikap negatif keluarga inti seperti: respon simpati terhadap efek samping obat yang
dirasakan pasien, secara tidak langsung menyebabkan pasien tidak patuh. Sikap negatif dari
keluarga besar terhadap pengobatan meliputi sikap mendukung ketidakpatuhan dan ungkapan
yang menurunkan motivasi minum obat. Sedangkan penyebab yang bersumber dari perilaku
tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas dan ungkapan yang mematahkan semangat
Ada beberapa cara untuk menghadapi pasien yang mengalami ketidakpatuhan antara
lain:(Niven, N. 2002. Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat & Profesional Kesehatan
motivasi tinggi untuk patuh jiika memiliki keyakinan, sikap positif dan memahami tujuan dari
perilaku kepatuhan, selain itu adanya dukungan dari keluarga dan teman terdekat terhadap key
akinan tersebut.
1) Mengembangkan kognitif
3) Dukungan sosial
BAB III
KESIMPULAN
Diperlukan adanya peran dari keluarga diharapkan meningkatkan dukungan penilaian
seperti memberikan pujian kepada pasien gangguan jiwa dan juga keluarga
harus melakukan pengawasan minum obat. Bagi petugas kesehatan hendaknya
senantiasa memotivasi keluarga untuk terus memberikan dukungan selama
proses perawatan dirumah. Untuk peneliti selanjutnya disarankan
membahas dukungan keluarga seperti dukungan keluarga emosional, instrumental,
DAFTAR PUSTAKA