Nama: Rusdianto Nim: H1A117274 Kelas: D Tugas: Hukum Perkawinan
Nama: Rusdianto Nim: H1A117274 Kelas: D Tugas: Hukum Perkawinan
Nim : H1A117274
Kelas : D
Oleh karena itu, melalui pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi (fiqh
al-lugah) dengan prinsip anti sinonimitas istilah, Muḥammad Syaḥrūrmelakukan
interpretasi terhadap istilah milk al-yamīn dalam at-Tanzīl al-Hakīm.
Maka, milk al-yamīn tidak lagi berarti budak wanita melainkan suatu hubungan
sukarela antara seorang pria dewasa dan seorang wanita dewasa, bukan hubungan
kekerabatan, keturunan atau motivasi berkembang biak dan untuk selamanya,
terbatas pada hubungan seks antara kedua belah pihak. Seorang wanita terkadang
menjadi milik seorang pria kemudian menerima pemberian darinya, misalnya dalam
kasus perkawinan mut‘ah (sementara). Seorang pria terkadang menjadi milik seorang
wanita di mana pihak wanitanya tidak menuntut nafkah atau rumah, misalnya dalam
kasus perkawinan misyār. Atau ada kalanya saling memiliki di antara mereka,
misalnya dalam kasus perkawinan friend (persahabatan).
Ekstensitas keabsahan hubungan seksual non marital dalam konsep milk al-yamin
Muḥammad Syaḥrūr meliputi: nikāḥ al-mut‘ah, nikah al-muḥallil, nikāḥ al-‘urfī, nikāḥ
al-misyār, nikāḥ al-misfār, nikāḥ friend, nikāḥ al-hibah, al-musākanah (samen leven)
dan atau akad iḥṣān. Namun demikian, dalam konsep milk al-yamīnSyaḥrūr tidak
berarti merekomendasikan kebebasan hubungan seksual secara mutlak.
"Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis (Abdul Aziz) adalah untuk melindungi
institusi perkawinan yang diagungkan Syariat Islam untuk menjadi keluarga yang
sakinah, bahagia dan damai”.
Analisis :
Sedangkan menurut agama yang saya fahami, pijakan agama tidak hanya
pada hak individu tetapi pada nilai-nilai kemanusiannya juga. Selain itu, keteraturan
dan keseimbangan alam menjadi dasar pijakannya dan jika kita lihat, semua agama,
itu tidak memperbolehkan seks di luar nikah. Al-Qur’ān melarang pelacuran budak
perempuan (Q.S. an-Nūr [24]: 23); menyebut hubungan seksual di luar nikah sebagai dosa
yang akan dihukum di akhirat (Q.S. al-Isra‟ [17]: 32; Q.S. al-Furqan [25]: 68-71) dan
memodifikasi praktek-praktek yang berkembang saat itu untuk mendorong kesucian dan
bentuk pernikahan yang terstandarisasi.
Delapan ayat dalam Q.S. an-Nūr (24): 2-9 membahas persoalan terkait hukum bagi
hubungan seksual yang diharamkan dan menjadi dasar bagi aturan fiqh tentang zinā. Ayat-
ayat ini memperkenalkan sanksi-sanksi baru untuk melindungi pernikahan, mengenakan
hukuman yang sama kepada lakilaki dan perempuan bila melakukan hubungan seksual di
luar nikah, dan melindungi perempuan saat menghadapi tuduhan terkait dengan kesuciannya.
Bagaimanapun, para fuqaha sepakat bahwa hukuman tersebut digantikan dengan Q.S. an-
Nur (24): 2 yang mendera setiap pezina laki-laki atau perempuan 100 kali deraan (cambukan).