Innate immunity adalah imunitas alami sebagai pelindung yang selalu ada
dan aktif pada setiap spesies hewan untuk melindungi dari aksi agen
infeksi. Innate immunity terdiri dari barier fisik dan barier mikrobiologis
(flora normal), komponen fase cair, dan konstituen seluler (Hirsch & Zee,
1999).
1. Barier Fisik
2. Flora Normal
Flora normal terdiri dari bakteri dan fungi (umumnya yeast). Bakteri dan
fungi ini memiliki hubungan yang unik dengan organisme yang
ditempatinya (host), hubungan ini dimulai saat fetus yang steril mulai
memasukdd birth canal. Bakteri dan fungi mulai berkoloni di seluruh
permukaan yang terbuka, termasuk permukaan mukosa pencernaan,
saluran pernapasan, dan saluran urogenital distal.
Ada banyak molekul cair yang penting untuk pertahanan alami melawan
mikroorganisme patogenik. Diantaranya protein komplemen, lisozim,
protein fase akut, interferon, dan iron-binding
protein.
Lisozim adalah enzim yang terdapat pada sekret berbagai sel tubuh. Enzim
ini memotong lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Bakteri Gram-
positif mudah diserang.
Protein fase akut secara normal terdapat dalam jumlah yang sangat kecil
dalam plasma. Selama infeksi, mereka bertambah banyak. Contohnya
protein C-reaktif, mengenali dan mengikat Ca2+ ke permukaan berbagai
spesies bakteri dan fungi. C-reaktif berperan sebagai opsonin yang
memfasilitasi fagositosis. Protein ini juga mengaktivasi sistem komplemen.
2. Makrofag
5. Inflamasi
komponen: 1)
meningkatnya sirkulasi ke area, 2) meningkatnya permeabilitas kapiler, 3)
kemotaksis neutrofil dan makrofag ke area (Hirsch & Zee, 1999).
Gambar 1. Proses fagositosis: A) Bakteri diopsonisasi oleh antibodi. Antibodi mengikat reseptor Fc
pada fagosit; B) Fagosit mulai melingkupi bakteri yang menempel; C) Fagosom berisi bakteri, fusi
dengan lisosom pada sitoplasma fagosit membentuk fagolisosom; D) Bakteri mati dan dicerna; E)
Produk pembongkaran bakteri dieliminasi dari sel. Beberapa bagian bakteri masih terdapat pada
Respon ini digerakkan oleh adanya presentasi antigen terhadap sel T dan B
oleh antigen-presenting cell (APC). Antigen ditangkap oleh makrofag dari
lingkungan eksternal, misalnya bakteri yang difagosit dan didigesti di dalam
vakuola fagositik, akan diproses di fagosom dan bagian dari antigen yang
tercerna akan dibawa ke permukaan.
1. Respon Antibodi
IgG dan IgM berfungsi sebagai opsonin dan bekerja bersama sel fagosit
untuk meningkatkan proses menelan dan membunuh. IgG dan IgM juga
mengaktivasi urutan komplemen sehingga mengakibatkan lisisnya bakteri
(jika Gram negatif). Untuk bakteri yang hidup secara intraseluler fakultatif,
misalnya Listeria dan Mycobacterium, antibodi relatif inefektif untuk
membunuh dan membuang agen tersebut. Tipe infeksi ini membutuhkan
respon TH1untuk memproduksi gamma interferon. Gamma interferon
dikenal sebagaimacrophage activating factor, meningkatkan regulasi
proses metabolik pada makrofag, memungkinkan makrofag untuk
membunuh mikroorganisme yang mampu menghindari antibodi. Gamma
interferon juga merupakan aktivator sel NK, meningkatkan kemampuan sel
NK untuk membunuh targetnya (Hirsch & Zee, 1999).
Respon ini terdiri dari dua mekanisme yang berbeda: aktivasi makrofag
(hipersensitifitas) dan sel T sitotoksik. Makrofag teraktivasi berguna untuk
menghancurkan agen infeksi intraseluler (misalnya Brucella, Salmonella,
Mycobacterium, Rickettsia). Sel T sitotoksik melisiskan sel host dimana
agen infeksi berada (Hirsch & Zee, 1999).
Terdapat tiga tipe sel darah, eritrosit (sel darah merah) leukosit (sel darah
putih) dan platelet (trombosit). Terdapat beberapa subtipe leukosit, dilihat
dari perbedaan morofologinya dan kemampuannya.
darah dan jaringan. Semua sel tersebut ditemukan dalam sirkulasi kecuali makrofag, yang
1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi Contoh:
kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat. 2. Produksi toksin yang
menghasilkan berbagai efek patologik Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin
yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan
stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian
besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Contoh: •
Toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2
yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. • Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik
(cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare
yang hebat. • Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada
neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai
otot pernapasan. • Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat
menghasilkan gas gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi
bakteri serta netralisasi efek toksin.
1. Reaksi nonspesifik Tubuh memiliki imunitas bawaan ( innate immunity ) yang merupakan garis
pertahanan terdepan dari sistem imun setelah kulit dan mukosa. Dalam sistem imunitas bawaan ini
PNM dan makrofag memegang peran yang cukup penting. Sel-sel PNM sebagai fagosit yang
predominan dalam sirkulasi adalah sel yang pertama tiba di lokasi infeksi karena tertarik oleh sinyal
faktor kemotaksis yang dikeluarkan oleh bakteri, neutrofil atau makrofag yang telah lebih dulu
berada di tempat infeksi ( jadi merupakan mekanisme umpan balik ) atau dilepaskan oleh
komplemen. Sel PNM sangat peka terhadap faktor kemotaksis tersebut melakukan adhesi pada
endotel atau jaringan lain maupun pada dinding makroba. Kemampuan adhesi PNM bertambah
karena sinyal tersebut juga merangsang ekspresi reseptor Fc maupun reseptor komplemen pada
permukaan sel. Selanjutnya PNM melakukan diapedesis untuk tiba ditempat infeksi lalu menangkap
dan menelan mikroba kemudian membunuhnya. Proses fagositosis oleh PNM berlangsung dalam 5
fase secara berurutan, yaitu : 1) Fase pergerakan 2) Perlekatan 3) Penelanan ( ingestion ) 4)
Degranulasi, dan 5) Pembunuhan ( killing ) Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit
membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantong yang mengelilingi bakteri dan
mengurungnya, sehingga bakteri tertangkap dalam kantung ( vakuola ) yang disebut fagosom.
Dinding fagosom dengan demikian terdiri atas dinding bagian luar fagosit. Selanjutnya granula
intraselular yang berisi berbagai jenis enzim dan protein lain bergabung ( fusi ) dengan fagosom, lalu
dalam waktu beberapa detik terjadi degranulasi dan respiratory burst. Enzim dan protein yang
terdapat dalam granula mampu membunuh kuman, baik dengan proses oksidatif maupun non-
oksidatif. Proses oksidatif ada yang berlangsung dengan mieloperoksidase dan ada yang tidak. Pada
proses oksidatif yang berlangsung dengan mieloperoksidase reaksi didasarkan atas pengikatan H2O2
dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase, membentuk kompleks enzim-substrat dengan daya
oksidatif tinggi. Proses oksidatif menghasilkan berbagai zat toksik, misal asam hipoklorat ( HOCL )
yang merupakan oksidan yang paling kuat untuk membunuh bakteri. Pada proses oksidatif yang
berlangsung tanpa mieloperoksidase, oksidasi masih dapat berlangsung karena adanya H2O2,
superoksida dan radikal hidroksil, namun daya oksidatifnya tidak tinggi. Proses non-oksidatif
berlangsung dengan bantuan berbagai protein sitolitik misalnya flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin,
lisozim, katepsin- G, difensin dan lain-lain. Mekanisme pembunuhan nonoksidatif dapat terjadi
karena protein bermuatan positif yang ada dalam PNM dan magrofag dalam suasana pH alkalis
bersifat toksik dan dapat merusak lapisan dinding kuman Gram-negatif. Namun ada juga jenis kuman
lain yang justru dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom berubah menjadi asam, atau pada pH
optimum untuk aktivitas lisozim. Dengan berbagai proses diatas seolah-olah PNM memproduksi anti
mikroba yang berperan sebagai antibiotika alami ( natural antibiotics ). Berbagai faktor diluar PNM
membantu PNM melaksanakan tugasnya; salah satu mediator di antaranya adalah interleukin 4 yang
diketahui berfungsi sebagai activator neutrofil.
2. Reaksi spesifik Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan mikroba dalam limfosit B
yang memproduksi antibodi, limfosit T yang mengatur sintesis antibodi maupun sel T yang
mempunyai fungsi efektor sitoksisitas langsung. Untuk berfungsi sel-sel ini dibantu oleh sel-sel lain
yang memproses dan menyajikan mikroba serta melepaskan berbagai mediator, sehingga terjadi
respon inflamasi yang dikehendaki. Untuk menimbulkan respon antibodi, sel B dan sel T harus
berinteraksi satu dengan yang lain. Hal ini diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag
atau monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan antigen mikroba
kepada sel Th. Makrofag menangkap mikroba yang telah diopsonisasi dengan IgG, melakukan
endositosis, memproses antigen lalu menampilkannya kembali (eksositosis) bersama-sama dengan
ekspresi MHC kelas II kepada sel Th. Atas pengenalan itu sel Th merangsang sel B untuk
memproduksi antibodi spesifik terhadap mikroba bersangkutan.
3. Interaksi antara mikroba dengan sistem imun Beberapa jenis bakteri mampu menghindarkan diri
dari proses fagositosis dan respons imun dengan beberapa cara, yaitu: a) Memproduksi toksin yang
menghambat kemotaksis b) Membentuk kapsul sehingga fagosit tidak dapat melekat c)
Memproduksi molekul-molekul yang menghambat proses fusi lisosom dengan fagosom, atau
substansi yang menghambat magrofag bereaksi dengan IFN d) Menggangu fungsi magrofag sebagai
APC e) Memproduksi substansi ekstraseluler (slime) yang menghambat fagositosis oleh PNM.
Disamping itu, infeksi bakteri dapat menyebabkan penurunan produksi sitokin pro-inflamatorik
seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 yang diperlukan melawan bakteri. Penglepasan sitokin secara berlebihan
akibat rangsangan endotoksin bakteri gram negatif, dapat mengakibatkan DIC dengan konsekuensi
gangguan pembekuan darah, perubahan permeabilitas vascular, kolaps sirkulasi dan nekrosis
hemoragik. Mekanisme terjadinya kelainan ini diduga karena sitokin seperti TNF dan IL-1
menyebabkan ekspresi molekul adhesi pada endotel dan penglepasan tromboplastin jaringan,
sehingga meningkatkan adhesi sel-sel dalam sirkulasi dan aktivasi faktor-faktor pembekuan.
Sebaliknya sistem imun mempunyai banyak cara untuk melawan upaya bakteri di atas, agar
fagositosis tetap dapat berlangsung. Berbagai jenis antibodi spesifik yang dimiliki seseorang sangat
membantu hal ini. Pertama-tama antibodi berguna dalam menetralisir toksin. Antibodi dapat
mengikat toksin demikian rupa sehingga toksin tidak dapat bereaksi dengan substrat. Dengan
terikatnya toksin oleh antibodi, terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit,
khususnya apabila kompleks itu berukuran besar akibat bereaksi dengan anti-IgG atau anti-C3b yang
terdapat sebagai autoantibodi alami. Opsonisasi bakteri dengan antibodi dan komplemen
mempermudah fagosit melekat pada bakteri karena fagosit memiliki reseptor-reseptor untuk
fragmen Fc IgG dan untuk C3b. Perlekatan bakteri pada permukaan mukosa dicegah dengan melapisi
bakteri dengan IgA sekretorik (sIgA). Bila bakteri dapat mengatasi sawar IgA dan tetap dapat
menembus mukosa, maka sistem imun berikutnya yang bekerja adalah IgE, terutama yang melekat
pada mastosit. Proses selanjutnya adalah degranulasi mastosit dan penglepasan berbagai mediator
sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Sel-sel PNM yang tiba ditempat infeksi selanjutnya melakukan
fagositosis, tetapi bila bakteri bersangkutan ternyata berukuran besar dan sulit difagositosis, bakteri
dihancurkan melalui mekanisme sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (antibody dependent cell
mediated cytotoxicity, ADCC).
Respon Imun terhadap Bakteri Intraselular Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos
dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen diantaranya adalah yang
resisten terhadap degradasi dalam makrofag, contohnya mikrobakteria dan Listeria monocytogenes.
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap
mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif
resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan
alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan
eksaserbasi yang sulit diberantas.
Respon Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular Respon imun spesifik terhadap bakteri
intraselular terutama diperankan oleh Cell Mediated Immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini
diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh
makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon a (IFN a).
Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular
merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara
langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan, misalnya muramil dipeptida pada dinding sel
mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi sitokin
terutama IFN a. Sitokin IFN a ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi
untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi
antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi
membentuk granuloma di sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi
inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas sehingga
menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi, kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh
respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini
adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara
langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis
akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit.
Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal (dormant). Pada saat yang sama, pada
individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi
granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya.
Jadi, imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah
manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.
Terapi Imunoglobulin pada Infeksi Pada keadaan infeksi bakteri yang berat, dapat terjadi kelelahan
respons imun (exhaustion) pada individu yang mempunyai respons imun yang normal dan keadaan
ini dapat terjadi pelepasan berbagai mediator yang merangsang timbulnya syok septik. Dalam
keadaan ini terapi penunjang dengan intravenous immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan. Terapi
IVIG ini secara pasif untuk membantu sistem imun tubuh dengan antibodi yang spesifik terhadap
bakteri serta eksotoksin dan endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG harus mirip seperti
dalam plasma normal dan sanggup memicu eliminasi antigen secara imunologik. Pemberian IVIG
dosis tinggi harus dilakukan dalam jangka pendek tanpa risiko penekanan terhadap sistem imun
endogen. Terdapat 2 jenis preparat IVIG, yaitu yang dipecah oleh plasmin dan yang dipecah oleh
pepsin. 1. Plasmin memecah molekul IgG 7S pada tempat spesifik, yaitu ikatan disulfida pada tempat
CHI yang berseberangan dari rantai berat. Keadaan ini akan melepaskan dua fragmen Fab bebas dan
satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak bertahan lama tetapi meninggalkan efek
imunosupresif. Oleh karena itu, sering digunakan pada terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang
resisten terhadap plasma sehingga masih mengandung sekitar 25% IgG 2. 2. Enzim pepsin memecah
keempat subkelas IgG pada sisi di bawah ikatan disulfida kedua rantai berat molekul imunoglobulin.
Pemecahan oleh pepsin ini menghasilkan fragmen IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang masih
berhubungan dengan ikatan disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya dengan cepat
dimetabolisme sebagai polipeptida dan diekskresi melalui ginjal sehingga tidak mempunyai peran
imunologi lagi. Oleh karena itu, preparat IVIG ini bebas dari fragmen Fc sehingga tidak menyebabkan
supresi sistem imun endogen. Preparat IVIG yang hanya mengandung 2 fragmen F(ab)2 akan migrasi
ke regio 5S pada sentrifugasi, mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis pada saat sistem imun
mengalami kelelahan karena infeksi akut yang berat. Oleh karena itu, pengobatan IVIG 5S dosis
tinggi diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada pasien yang mengalami gangguan
imunitas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai waktu paruh sekitar 20 hari, IgG 5S
mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc
yang menyebabkan imunosupresi.
Virus mempunyai sifat-sifat khusus, diantaranya dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan
respon inflamasi, dapat berkembang biak dalam sel penjamu tanpa merusaknya, ada kalanya
menganggu fungsi khusus sel yang terinfeksi tanpa merusaknya secara nyata dan kadang–kadang
virus merusak sel atau menganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh. Sebagai
contoh, golongan virus herpes terdiri atas sedikitnya 60 jenis, 5 diantaranya sering menyebabkan
infeksi terhadap manusia, yaitu HSV1, HSV2, VZV, CMV dan EBV. Patogenesis infeksi dengan virus ini
secara umum adalah bahwa transmisi terjadi melalui kontak langsung, kecuali pada CMV yang dapat
ditularkan melalui transfusi dan transplantasi, dan bahwa setelah infeksi primer virus herpes
umumnya menetap dalam tubuh. Virus harus menempel dahulu pada sel penjamu sebelum dapat
masuk tubuh, hidup, berkembang biak dan menimbulkan infeksi. Antibodi dalam sirkulasi (IgG) akan
mencegah virus menempel dan hal ini merupakan ppencegahan penting terhadap infeksi. IgA
berperan di saluran napas dan cerna, dapat mencegah virus (seperti polio) dan mikroba masuk
tubuh melalui mukosa. Infeksi virus biasanya dimulai dengan invasi setempat pada permukaan
epitel. Selanjutnya virus masuk ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan fase viremia dan
kemudian invasi sel alat sasaran, seperti kulit, susunan saraf dan sebagainya. Tubuh memerangi virus
yang mempunyai berbagai fase infeksi melalui bermacam-macam cara. Virus berkembang biak
dalam sel sehingga tidak lagi terpajan dengan antibodi dalam sirkulasi. Bila virus menginfeksi sel,
protein virus akan pecah di dalam sel menjadi peptida-peptida spesifik yang kemuudian
diekspresikan dengan bantuan molekul MHC kelas I di permukaan sel. Dengan demikian peptida
tersebut akan dikenal oleh sel T Helper yang selanjutnya mengaktifkan sel efektor CTC atau T
sitotoksik yang dapat menghancurkan sel terinfeksi virus dengan direk (lethal hit). Sel NK yang
mempunyai reseptor Fc (Fcγ-R) berperan pada ADCC. Seperti halnya respon imun terhadap
mikroorganisme yang lain, respon imun terhadap infeksi virus juga melibatkan respon non-spesifik
dan spesifik. Ada 2 mekanisme utama respon non-spesifik terhadap virus, yaitu: 1) infeksi virus
secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel yang terinfeksi: IFN berfungsi menghambat
replikasi virus: 2) sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK mampu melisiskan sel
terinfeksi virus, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC1, karena sel NK
cenderung diaktivasi oleh sasaran yang MHC-negatif.
Gambar
Gambar I. Mekanisme yang berperan pada pertahanan terhadap berbagai fase infeksi virus
1. Interferon dan IgA merupakan pertahanan pertama pada epitel permukaan. 2. Beberapa virus
berkembang dalam epitel permukaan. Ada virus yang mempunyai lebih dari satu masa viraemi dan
selama ada dalam darah virus tersebut rentan terhadap antibodi. 3. Virus di dalam sel diserang
berbagai komponen sistem imun humoral dan seluler dan atau antibodi melalui ADCC. 4. Pada
umumnya pemusnahan virus di dalam sel menguntungkan tubuh, tetapi reaksi imun yang terjadi
dapat menimbulkan pula kerusakan jaringan tubuh yang disebut imunopatologik.
1. Virion diabsorpsi sel penjamu melalui reseptor. 2,3 Virus menembus sel dan melepaskan
mantelnya. 4. Infeksi terjadi melalui beberapa fase yang bergantung pada jenis virus. Berbagai
komponen virus dibentuk di dalam sitoplasma dan atau nukleus sel. Selanjutnya komponen-
komponen tersebut menyatukan diri sehingga terbentuk virus yang matang. 5. Virus dilepas melalui
budding membran sel. 6. Virus dapat pula menyebar dari sel satu ke sel yang lain melalui kontak
tanpa adanya virus yang dilepas ke luar sel. 7. Beberapa virus tetap tinggal di dalam sel yang dapat
diaktifkan sewaktu-waktu. 8. Beberapa virus mampu menyatukan bahan genetiknya dengan genom
sel pejamu dan tinggal laten. Selanjutnya sel menjadi produktif. 9. Atau pada keadaan tertentu
melalui transformasi sel menjadi neoplastik. 10,11 Beberapa infeksi virus terjadi abortif, dalam hal
ini, sel yang mengandung virus akhirnya mati juga. Untuk membatasi penyebaran virus dan
mencegah infeksi, sistem imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan
memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya
infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh
sel-sel yang mengalami lisis. Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus
yang bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara,
di antaranya dengan menghambat cara perlekatan virus terhadap reseptor yang terdapat pada
permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel, dengan demikian replikasi virus
dapat dicegah. Antibodi dapat juga menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui
jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan melalui
proses yang sama seperti diuraikan di atas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang
dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi seringkali antibodi tidak cukup mampu untuk
mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang melepaskan diri ( budding
off ) melalui membran sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam
sel yang berdekatan secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya
adalah virus oncorna ( termasuk di dalamnya virus leukemogenik ), virus dengue, virus herpes,
rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus secara langsung, antibodi
dapat berfungsi dalam reaksi ADCC. Disamping respon antibodi, respon imun selular merupakan
respon yang paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik. Respon imun seluler
melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti-virus
cukup besar, khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak anti-virus dari IFN dapat terjadi melalui: a)
Peningkatan ekspresi MHC kelas I b) Aktivasi sel NK dan makrofag c) Menghambat replikasi virus d)
Menghambat penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi Seperti
halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T sitotoksik selain bersifat protektif juga dapt
merupakan penyebab kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV
(lynphocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunh virus seperti hanya ia membunuh bakteri. Tetapi
pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan sebaliknya virus
memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa virus hanya dapat
berkembang biak intraseluler karena ia memerlukan DNA-penjamu untuk replikasi. Akibatnya ialah
bahwa virus selanjutnya dapat merusak organ-organ tubuh yang lain terutama apabila virus itu
bersifat non-sitopatik ia menyebabkan infeksi kronik dengan menyebar ke sel-sel lain. Pada infeksi
sel secara langsung di tempat masukya virus (port d’entre), misalnya di paru, virus tidak sempat
beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer, dan antibodi yang dibentuk
seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imun seluler mempunyai
peran lebih menonjol, karena sel T sitotoksik pada penderita yang tersensitisasi bersifat sitotoksik
lansung terhadap sel yang terinfeksi virus. Sel T sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor
terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah. Sel T sitotoksik kurang spesifik
dibandingkan antibodi dan dapat melakukan reaksi silang dengan spektrum yang lebih luas. Namun
ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas I yang berbeda. Beberapa
jenis virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga menganggu fungsinya dan mengakibatkan
imunodepresi, misalnya virus influensa, piloi, dan HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri
sendiri (self limiting), pada sebagian lagi menimbulkan gejala klinil atau subklinik. Penyembuhan dari
infeksi virus umumnya diikuti imunitas jangka panjang.
Daftar Pustaka: Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.