Anda di halaman 1dari 4

Namaku Rangga Prakosa Putra, lahir di Samarinda, 25 Januari 2002.

Aku adalah anak kelima dari


lima bersaudara, buah dari pasangan Kustono dan Rosidah. Rangga adalah nama panggilanku, Aku
terlahir di keluarga yang bisa dibilang keluarga yang berkecukupan. Ini kisah tentang seorang anak yang
berada di tengah laut yang terbawa kesana kemari..

Sebagai anak kelima, kedatanganku sangat tidak diharapkan. Setelah mempunyai empat anak,
Orangtuaku sudah tidak memiliki niatan untuk memiliki anak lagi. Orang tuaku bahkan telah mengikuti
program KB. Setelah berselang beberapa waktu setelah mengikuti program KB, Ibuku menyadari bahwa
dia telah hamil diriku, dan usia kehamilan telah mencapai dua bulan. Jadi, bisa dibilang aku ini adalah
anak yang tidak diharap. Lahir sebagai bayi sehat dengan berat 4 kg di sebuah rumah bidan kecil di kota
Samarinda. Sesaat setelah kelahiranku, Ayahku langsung memberiku nama Rangga Prakosa Putra. Nama
yang menurutku sangat ke-jawa-an.

Ayahku berasal dari Sragen, Jawa. Ia adalah seorang pria bernama Kustono. Di umur yang relatif
muda, Dia sudah menjadi seorang Dokter di sebuah rumah sakit Umum yang terletak di kota Samarinda.
Ayahku adalah seorang yang sangat populer di tempat kerja maupun di kalangan keluarganya. Sifatnya
yang tegas namun juga begitu lemah lembut membuat dirinya mudah disukai orang-orang, dan tentu
saja dikalangan para gadis. Suatu hari, di Rumah Sakit tempat ia berkerja kedatangan perawat-perawat
baru, dan pada saat itulah Dia bertemu dengan Ibuku, yang mana dia salah satu perawat yang baru
masuk.

Ibuku adalah seorang wanita yang berasal dari tempat kecil bernama long iram. Aku sering
diceritakan kerasnya masa kecil Ibuku. Semasa kecilnya Ibuku dan saudara-saudaranya terpaksa
bersekolah sambil berjualan kerupuk keliling di kampungnya. Karena keterbatasan, Ibuku hanya mampu
bersekolah sampai tingkat SMP. Saat adiknya, Fauzi atau yang lebih kukenal sebagai Om Nanang telah
berhasil membuat kehidupan di kota, dia membiayai pendidikan Ibuku. Dengan bantuan Om Nanang,
Ibuku akhirnya merantau ke Samarinda untuk melanjutkan pendidikan nya untuk menjadi seorang
perawat. Berkat kerja kerasnya, Ibuku berhasil menjadi seorang perawat di rumah sakit umum yang
sama dimana tempat Ayahku berkerja.

Ayahku yang terkenal disiplin dengan perkerjaannya menjadi selalu salah tingkah jika berkaitan
dengan Ibuku. Seiring waktu berjalan, cinta mereka semakin mendalam. Pada sekitar tahun 1980-an
mereka mengadakan pernikahan di rumah sakit bersama-sama rekan mereka. Kebahagiaan mereka saat
itu menjadi sebab awalku bisa berada di dunia yang penuh badai dan pelangi ini.
Kembali keceritaku, walaupun kedatanganku tidak diharapkan, aku tetap disayangi sepenuh hati
oleh keluargaku. Aku hanya ingat memori-memori indah jika aku mengingat kembali masa lalu. Di umur
tiga tahun, Aku mematahkan tangan kananku. Aku langsung dirawat di rumah sakit tempat ayahku
berkerja. Bisa dibilang aku malah senang, karena kejadian ini aku lebih diperhatikan dan lebih disayang
oleh keluargaku. Hal yang paling berkesan di kejadian ini, yaitu saat aku dibelikan sebuah bantal nemo
yang sangat besar. Diriku yang kecil pada saat itu sangat senang seakan aku berada di langit ketujuh.

Masih pada umur tiga tahun, ada kejadian mengejutkan yang terjadi padaku. Diriku yang masih
kecil sudah ditinggal oleh ayahku. Ayahku harus meninggalkan semuanya dan mengahadapi kebenaran.
Diriku masa itu hanya setengah paham dengan apa yang terjadi pada saat itu, namun aku tahu bahwa
aku sudah tidak akan bertemu dia lagi.

Melewati masa-masa duka secara perlahan, aku berhasil bangkit kembali. Umur lima tahun
adalah tahun paling menegangkan bagiku. Aku harus sekolah menuntut ilmu untuk membahagiakan
kedua orang tua. Aku bersekolah di sekolah bernama TK Darul Falah. Sebuah TK yang berkedok Islam. Di
masa ini aku mulai mengenal film dan musik yang mana menjadi hobiku nantinya. Kehidupan TK-ku
penuh liku-liku, namun aku berhasil melewatinya dengan senyuman. Pada tahun 2008, aku sudah jadi
seorang wisuda TK.

Keluargaku sudah memiliki sekolah dasar langganan yaitu SDN 008 Samarinda. Empat orang
kakakku semuanya alumni dari sana, jadi tentu saja aku melanjutkan pendidikanku disana. Lokasinya
yang dekat rumah dan guru-guru nya pun dekat dengan keluarga kami. Masa SD adalah masa yang
paling berkesan. Aku bertemu teman-teman yang luar biasa, pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan, dan prestasi-prestasi luar biasa dapat kuraih, salah satunya menjadi 10 lulusan terbaik.
Pengalaman yang paling berkesan pada masa SD adalah ketika study tour ke Balikpapan. Kami berangkat
ke Pantai lamaru. Saat itu ada satu temanku yang hilang keberadaannya. Dia bernama “Jimbly”. Berjam-
jam kami mencarinya kemana-mana, tetapi tidak juga ketemu. Kami sudah menganggap Jimbly telah
tenggelam terbawa laut. Setelah beberapa saat kemudian, Jimbly tiba-tiba muncul dihadapan kita. Kami
semua terkejut.

“Jimbly, darimana saja kamu?” tanya seorang guru.

“Maaf pak, saya habis BAB perut saya sakit karena perjalanan.” Jawab jimblyt

Ternyata dia hanya sakit perut dan mengurung diri di kamar mandi selama berjam-jam.
Walaupun kami merasa kesal padanya, kami juga merasa lega karena ternyata dia baik-baik saja.
Beranjak ke masa SMP. Aku mendaftar ke sekolah Madrasah Tsanawiyah Model Samarinda atau
yang biasa dipanggil MTs. Aku juga tak begitu ingat kenapa aku bisa mendaftar disana, tapi sebagian
besar alasannya karena berkat dorongan orang tua. Alasan yang lain adalah karena banyak temanku
yang bilang kalau mereka juga akan melanjutkan sekolah disana. Tapi kenyataannya tidak ada satupun
teman SD ku yang masuk MTs. Satu-satunya dari SD ku yang masuk ke MTs hanyalah fatur, tetanggaku
yang tinggal disamping rumahku. Walaupun kami bertetangga dan satu sekolah, kami tidaklah terlalu
akrab. Mungkin karena aku seorang yang introvert dan karena kami juga beda kelas saat masa SD yang
lalu yang mengakibatkan kami jarang bertemu. Tapi aku akhirnya bisa akrab dengan fatur karena kami
sekelas saat kelas 7.

MTs adalah sekolah yang ketat dengan aturan. Bisa dibilang aturan yang islami. Contohnya saja
sebulan sekali ada puasa wajib senin-kamis, sholat dhuha setiap pagi, dan hapalan wajib 3 juz dalam 3
tahun sekolah. Diriku yang sudah terbiasa dengan sekolah umum, kurang terbiasa dalam mengahadapi
perubahan ini. Kemudian, disini Lelaki dan perempuan dipisahkan kelasnya. Jadi bisa dibilang selama 3
tahun aku belajar disini, aku tidak pernah berinteraksi dengan perempuan sama sekali. Bisa anda
bayangkan betapa gugupnya aku bila berhadapan dengan perempuan selepas aku lulus dari sini. Tidak
seperti masa SD, pelajaran MTs atau SMP jauh lebih susah, dan aku benar-benar meremehkannya. Nilai
akademisku turun drastis. Di SD, aku selalu aman dengan peringkat lima besar dikelas kini aku selalu
berakhir diantara peringkat 10-15 besar. Penurunan ini terus terjadi hingga mendekati UN. Aku sadar
aku harus belajar untuk mendapat nilai nim yang tinggi. Karena menurut pandanganku nilai nim yang
tinggi lah yang akan membuatku bisa melanjutkan ke sekolah yang kuinginan. Aku mulai belajar keras,
siang malam aku belajar. Begadang merupakan rutinitas tiap malam, mengulang-ulang pelajaran. Hasil
yang kudapat cukup memuaskan aku berhasil mendapatkan nilai 31,5. Tapi nilai IPA ku bisa dibilang
hancur. Aku lulus dengan senyum di wajahku.

Lanjut ke masa SMA, kehidupan yang dinanti-nanti namun yang paling terasa singkat. Kehidupan
senang dan susah. Masuk ke sekolah islam bernama MAN 2 Samarinda. Penuh dengan kecemasan aku
masuk ke hari pertamaku. Sekolah ini memiliki tradisi aneh bernama “Matsama”. Masa Taaruf Siswa
Madrasah. Dimarahi, dipermalukan, disuruh-suruh. Lelah lelah lelah dan lelah, hanya itu yang bisa
kukatakan untuk menggambarkan kegiatan tersebut. Namun, kegiatan tersebut sangat berkesan dan
membekas di ingatan dan benakku.
Ini pertama kalinya aku merasa bahwa aku telah memasuki dunia yang berbeda dari
sebelumnya. Tentu saja aku merasa kebingungan dengan perubahan yang terjadi. Begitu banyak yang
terjadi setelah aku menginjakkan kakiku pertama kali di MAN 2 Samarinda. Aku menemui lebih banyak
orang, mengetahui lebih banyak hal. Aku mengikuti jurusan IPA, walaupun nilai UN IPA ku yang paling
hancur dari pelajaran yang lain. Aku awalnya ingin masuk jurusan bahasa, namun aku diperintahkan oleh
Ibuku untuk masuk ke IPA. Apa daya ku untuk melawan perintah orang tua. Dengan berat hari aku
menerima takdirku. Aku masuk ke eskul bernama English Club. Aku dari dulu memang suka dengan
pelajaran bahasa inggris dan malah membenci pelajaran IPA. Di english club aku berhasil meraih dua kali
juara dalam perlombaan cerdas cermat bahasa inggris. Pertama di Vanilla learning center dan yang
kedua di ESA unmul.

Masuk kelas 12, aku merasa bingung kemana arah tujuanku. Nilai akademis semakin menurun.
Motivasi dan semangat belajar makin meredup. Tidak bisa menemukan passion dalam hal apapun. Aku
terus bertanya kepada Tuhan kemana aku harus melangkah, namun Tuhan belum menjawab
pertanyaanku.

Anda mungkin juga menyukai