Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS BESAR

Seorang Laki-laki 25 Tahun dengan Struma Nodusa Eutiroid

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun Oleh :
Azka Hukmu Irsyada
22010117220117

Dosen Pembimbing :
dr. Tania Tedjo Minuljo, Sp.PD

Residen Pembimbing :
dr. Gita Nurtaningtyas Aini

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Azka Hukmu Irsyada


NIM : 22010117220117
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr Kariadi Semarang /
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Judul Kasus Besar : Seorang Laki-laki 25 Tahun dengan Struma Nodusa
Eutiroid
Pembimbing : dr. Tania Tedjo Minuljo, Sp.PD
Residen Pembimbing : dr. Gita Nurtaningtyas Aini

Semarang, 15 Oktober 2018

Dosen Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Tania Tedjo Minuljo, Sp.PD ` dr. Gita Nurtaningtyas Aini


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. DWS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 25 tahun
Alamat : BSB Grha Taman Bunga, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Mahasiswa
No. CM : C716053

1.2 DAFTAR MASALAH


No. Masalah Aktif Tanggal No. Masalah Pasif Tanggal
1. Struma Nodusa 04-10-2018
 Struma Nodusa 11-10-2018
Eutiroid

1.3 DATA DASAR


Data dasar pasien adalah sebagai berikut:
ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 4 Oktober 2018 di Poli Endokrin Penyakit
Dalam RSDK pukul 10.00

Keluhan Utama : Benjolan di leher


Riwayat Penyakit Sekarang
± 4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan benjolan di leher kanan bawah
bagian depan sebesar tiga jari. Sejak 4 bulan lalu sampai saat diperiksa, pasien
mengaku benjolan membesar namun tidak signifikan. Benjolan dirasakan
berjumlah satu di leher kanan bawah bagian depan. Pasien mengaku tidak ada

2
keluhan nyeri pada benjolan dan sekitarnya. Tidak ada kesulitan dalam menelan
dan bernafas akibat adanya benjolan. Tidak ada faktor yang memperberat maupun
memperingan keluhan. Tidak ada keluhan benjolan lain di sekitar leher. Karena
benjolan yang makin besar, pasien memeriksakan diri ke puskesmas. Kemudian
pasien dirujuk ke RS Permata Medika. Oleh RS Permata Medika pasien dirujuk
ke RSDK. Saat diperiksa di poli pasien mengaku sesak nafas saat beraktivitas (-),
berdebar-debar (-), mudah lelah (-), menyukai udara panas (-), menyukai udara
dingin (-), keringat berlebih (-), mudah tegang/gugup (-), nafsu makan meningkat
(-), nafsu makan menurun (-), berat badan meningkat (-), berat badan menurun (-),
keringat berkurang (-), kulit kering (-), konstipasi (-), suara serak (-), kurang
pendengaran (-), demam (-), BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan,
diare (-), batuk (-), sesak nafas (-), batuk darah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat operasi tiroid sebelumnya disangkal
 Riwayat penyinaran di daerah leher disangkal
 Riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal
 Riwayat keganasan disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat tuberkulosis disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga dengan benjolan di leher disangkal
 Riwayat keluarga dengan keganasan disangkal
 Riwayat keluarga dengan sakit jantung disangkal
 Riwayat keluarga dengan darah tinggi disangkal
 Riwayat keluarga dengan kencing manis disangkal

3
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang mahasiswa, tinggal bersama orang tua dan saudara kandung
Pembiayaan Rumah Sakit ditanggung JKN non PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 4 Oktober 2018 di Poli Endokrin
Penyakit Dalam pada pukul 10.00 WIB.
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5=15
Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 100/60 mmHg
 Denyut nadi : 78 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
 Laju pernafasan : 20x/menit
 Suhu : 37,0 C (aksiler)
 Berat badan : 53 kg
 Tinggi Badan : 172 cm
 IMT : 17,92 kg/m2 (normoweight)
Kulit : Sawo matang, turgor kulit cukup, pucat (-)
Kepala : Mesosefal, malar rash (-), rambut mudah rontok (-)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
eksoftalmus (-/-), tanda Von Graefe (-), tanda Dalrymple
(-), tanda Joffroy (-), tanda Moebius (-), tanda Stellwag (-)
Hidung : Epistaksis (-/-), discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Mulut :Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-),
faring hiperemis (-), uvula di tengah (+), tonsil T1-T1
hiperemis (-)
Telinga : Discharge (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (+) diameter + 5
cm, di lobus dextra tiroid, kesan nodul, permukaan rata,
batas tidak tegas, konsistensi kenyal, tidak berbenjol,

4
dengan perabaan suhu sama dengan sekitar, benjolan ikut
bergerak ke cranial saat menelan, pulsasi (-), bruit (-),
peningkatan JVP (-), nyeri tekan (-)
Thoraks : Simetris, bentuk normal, retraksi (-), sela iga melebar (-)

Paru Depan
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Ekspansi paru kanan = paru kiri
stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Paru Belakang
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Ekspansi paru kanan = paru kiri
stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba setinggi spatium intercostal V 2 cm
medial linea mid clavicularis sinistra, thrill (-), kuat angkat
(-), pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrial (-), sternal
lift (-)
Perkusi : Batas atas = spatium intercostalis II linea parasternal
sinistra
Batas kiri = sesuai ictus cordis
Batas kanan = linea parasternal dekstra
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-), gallop (-)

5
Abdomen
Inspeksi : Datar, rash (-), venektasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, area traube timpani, pekak sisi (+) normal,
pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas
Superior Inferior
Mukosa kuku pucat -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Fine tremor -/-
Acropachy -/-
Tangan teraba panas -/-
Tangan basah -/-

Indeks Wayne
Gejala

1.Dyspnea on effort (-) 0


2.Berdebar-debar (-) 0
3.Mudah lelah (-) 0
4.Suka udara panas (-) 0
5.Suka udara dingin (-) 0
6.Keringat berlebih (-) 0
7.Mudah tegang/gugup (-) 0
8.Nafsu makan meningkat (-) 0
9.Nafsu makan menurun (-) 0
10.Berat badan meningkat (-) 0

6
11.Berat badan menurun (-) 0
Tanda
1.Tiroid teraba (+) +3
2.Bising tiroid (-) -2
3.Eksoftalmus (-) 0
4.Lid retraction(-) 0
5.Lid lag(-) 0
6.Hiperkinesis(-) -2
7.Tangan panas (-) -2
8.Tangan basah (-) -1
9.Fibrilasi atrium (-) 0
10.Nadi teratur: 78x/menit -3
Total skor -7 (euthyroid)

Hasil skor:
< 11 = eutiroid
11-18 = normal
>19 = hipertiorid

Indeks Billewicz
Gejala

1. keringat berkurang (-) -2


2. kulit kering (-) -6
3. intoleransi dingin (-) -5
4. berat badan naik (-) -1
5. konstipasi (-) -1
6. suara serak (-) -4
7. kurang pendengaran (-) 0
Tanda
1.pergerakan lambat (-) -3

7
2.kulit kasar (-) -7
3.kulit dingin (-) -2
4.periorbital bengkak (-) -6
5. Pulse rate (-) -4
6.Ankle jerk (-) -6
Total skor - 47 (bukan hipotiroid)

Skor:
>25: hipotiroid
<-30: bukan hipotiroid

1.4 DAFTAR ABNORMALITAS


1. Benjolan di leher depan
2. PF Leher  Tampak benjolan (+) di leher depan ukuran diameter ± 5 cm,
nodular, permukaan rata, batas tidak tegas, konsistensi kenyal, kulit
kemerahan (-), dengan perabaan suhu sama dengan kulit sekitar, nyeri tekan (-
), ikut bergerak ke cranial saat menelan, tidak berbenjol.
Analisis sintesa:
1-2  Struma Nodusa Eutiroid

1.5 RENCANA PEMECAHAN MASALAH


Problem 1. Struma Nodusa Eutiroid
Assessment : - Anatomi tiroid: nodul, kistik, nodul on difuse
- Fungsi tiroid: eutiroid, hipotiroid, hipertiroid
- Etiologi
Rencana Awal
Dx : Pemeriksaan FT4, TSHs dan USG tiroid
Rx : -

Mx : Kondisi umum, tanda-tanda vital, pembesaran tiroid

8
Ex : - Menjelaskan bahwa benjolan di leher berasal dari kelenjar
tiroid
- Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui aktivas kelenjar
tiroid dan komplikasi dari struma berupa pendesakan ke
saluran napas dan saluran percernaan
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien harus kontrol
untuk memantau perkembangan penyakit pasien

1.6 CATATAN KEMAJUAN


Tanggal 11 Oktober 2018
S: Benjolan di leher, berdebar-debar (-), mudah lelah (-), sesak nafas (-),
berkeringat banyak (-)
O: Keadaan Umum: baik
Kesadaran: Komposmentis
TD: 108/67 mmHg
HR: 82x/menit
RR: 20x/menit
Suhu: 37,4°C

Pemeriksaan USG Thyroid (9 Oktober 2018)

9
Kesan
- Ukuran glandula tiroid kanan membesar (volume ± 32,46 mL) dengan
parenkim inhomogen, disertai nodul solid irregukar, uniform, dan
peningkatan vaskularisasi intra dan perinodul → gambaran struma nodusa.
- Sonomorfologi glandula submandibular dan glandula parotis kanan kiri
dalam batas normal
- Multiple limfadenopati pada regio colli level 2, 3 kanan (ukuran terbesar ±
2,35 x 0,72 cm) serta level 2, 3 kiri (ukuran terbesar ± 1,48 x 0,53 cm)

10
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin (4 Oktober 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Hemoglobin 15,6 g/dL 13.0-16.0
Hematokrit 47,1 % 40-54
Eritrosit 5,4 10^6/uL 4,4-5,9
MCH 28,9 pg 27,00-32,00
MCV 87,2 fL 76-96
MCHC 33,1 g/dL 29,00-36,00
Leukosit 6,9 10^3/uL 3,8-10,6
Trombosit 268 10^3/uL 150-400
RDW 11,9 % 11,60-14,80
MPV 10,5 fL 4,00-11,00

Pemeriksaan Imunoserologi (4 Oktober 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
TSHs 0,71 uIU/mL 0.51-4.94
Free T4 - mol/l -
Mmol/
T4 total 86,36 60-120
L

Problem 1  Struma Nodusa Eutiroid

P:
1. Struma Nodusa Eutiroid
Assessment : - Adenoma dd/ Adeno Ca
- Defisiensi iodium
Rencana Awal
Dx : Sidik tiroid, FNAB, UEI (Urine Excretion of Iodine)
Rx : -

11
Mx : Kondisi umum, tanda-tanda vital, ukuran tiroid

Ex : - Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan


pengambilan jaringan tiroid untuk dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut
- Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan
penyuntikan zat radionuklir melalui vena. Zat tersebut akan
membantu dalam menilai kondisi kelenjar tiroid.

12
BAB II
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan utama berupa benjolan di leher. Organ atau
jaringan yang bisa menimbulkan benjolan pada daerah leher adalah kelenjar tiroid,
nodi limfonodi, kelenjar air liur, otot. Kemudian dilakukan pengumpulan data
lebih lanjut melalui anamnesis.

Dari hasil anamnesis diperoleh data sebagai berikut. Lebih kurang 4 bulan
SMRS pasien merasakan benjolan di leher kanan bawah bagian depan sebesar tiga
jari. Benjolan dirasakan makin lama makin membesar, namun tidak signifikan,
tidak nyeri, tidak teraba panas, tidak kemerahan, benjolan kenyal dan ikut
bergerak ke cranial saat menelan. Benjolan yang berasal dari kelenjar tiroid
merupakan kemungkinan utama.

Oleh karena itu, dicari gejala dari gangguan pada kelenjar tiroid.
Didapatkan data sebagai berikut. sesak nafas saat beraktivitas (-), berdebar-debar
(-), mudah lelah (-), menyukai udara panas (-), menyukai udara dingin (-),
keringat berlebih (-), mudah tegang/gugup (-), nafsu makan meningkat (-), nafsu
makan menurun (-), berat badan meningkat (-), berat badan menurun (-), keringat
berkurang (-), kulit kering (-), konstipasi (-), suara serak (-), kurang pendengaran
(-), demam (-), BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan, diare (-), batuk (-
), sesak nafas (-), batuk darah (-). Didapatkan data bahwa tidak terdapat gangguan
fungsi kelenjar.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran


composmentis, tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 78 x/menit, reguler, laju
pernapasan 20 x/menit, suhu 37,0 oC (aksiler), IMT 17,92 kg/m2 (normoweight).
Pada status lokalis leher didapatkan benjolan di leher kanan bawah bagian depan
dengan diameter ± 5 cm, nodular, permukaan rata, batas tidak tegas, konsistensi
kenyal, kulit kemerahan (-), pada perabaan suhu sama dengan kulit sekitar, nyeri
tekan (-), ikut bergerak ke cranial saat menelan, bruit (-), pembesaran limfonodi (-

13
). Hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan data anamnesis yaitu terdapat perubahan
anatomis dari kelenjar tiroid, sehingga dapat disebut struma.

Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran


kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Struma dapat dibagi menjadi
menjadi dua berdasarkan morfologinya yaitu difusa dan nodular. Dari hasil
palpasi leher didapatkan struma nodular. Diduga struma nodular eutiroid karena
tidak adanya temuan klinis berupa tanda dan gejala dari hipotiroid maupun
hipertiroid.

Temuan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat


dimasukkan ke dalam sistem skoring berupa Indeks Wayne, dan Indeks Billewicz
untuk memperkuat dugaan adanya peningkatan atau penurunan fungsi kelenjar
tiroid. Menurut Indeks Wayne diperoleh total skor sebesar -7 yang
diinterpretasikan berupa eutiroid dan menurut Indeks Billewicz diperoleh total
skor – 47 yang diinterpretasikan berupa bukan hipotiroid.

Temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, skoring dan dengan


pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, yaitu USG tiroid dan pemeriksaan
imunoserologi tiroid. Dari hasil USG didapatkan ukuran glandula tiroid kanan
membesar (volume ± 32,46 mL) dengan parenkim inhomogen, disertai nodul solid
irregukar, uniform, dan peningkatan vaskularisasi intra dan perinodul yang
disimpulkan merupakan gambaran struma nodusa.

Struma nodosa eutiroid dapat ditegakkan sebagai diagnosa dari pasien


tersebut. Perlu dilakukan FNAB untuk pengambilan sampel jaringan tiroid untuk
diperiksa secara patologi anatomi guna tujuan membantu diagnosis adanya tumor
atau tidak. Dilakukan pemantauan kondisi umum dan ukuran tiroid untuk
mengetahui perkembangan penyakit pasien.

Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran


kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Dampak struma terhadap tubuh

14
terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan
organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat
trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia.
Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta
cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher
yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan
disfagia.

Kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)


dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah. Hormon tersebut
dikendalikan oleh kadar TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh
lobus anterior kelenjar hipofisis.

Struma terjadi akibat kekurangan iodium yang dapat menghambat


pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar.

Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang


menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Grave’s. Pembesaran dapat didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dapat pula
terjadi penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya
thiocarbamide, sulfonylurea dan lithium, gangguan metabolik misalnya struma
kolid dan struma non toksik (struma endemik).

Klasifikasi struma dapat dibedakan berdasarkan fisiologi dan berdasarkan


klinis. Berdasarkan fisiologis, struma dibagi menjadi:

15
1. Eutiroid

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang


disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala
kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea

2. Hipotiroid

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar


tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme
adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, menstruasi berlebihan, pendengaran terganggu dan
penurunan kemampuan bicara

3. Hipertiroid

Dikenal juga sebagai tirotoksikosis yang dapat didefenisikan sebagai


respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon
tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya
sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat
badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan,
kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian

16
atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut
rontok, dan atrofi otot.

Berdasarkan klinisnya, struma dibedakan menjadi:

a. Struma Toksik

Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke
jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan
(struma multinoduler toksik).

Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) menyebabkan hipermetabolisme


karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme.

Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap


selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam
sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif.

Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan


pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasil pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentuknya. Apabila gejala-gejala hipertiroidisme bertambah berat
dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik
adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara
dan menelan, koma dan dapat meninggal

17
b. Struma Non Toksik

Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai
simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah
yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan mengandung goitrogen
yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka


pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik (eutiroid).
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.

Untuk penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid, yaitu
TSHs dan Free T4. Untuk pemeriksaan penunjang, USG adalah prosedur yang
sensitif. Digunakan untuk membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Manfaat
USG dalam pemeriksaan tiroid adalah untuk menentukan jumlah nodul,
membedakan lesi tiroid padat atau kistik, mengukur volume nodul tiroid,
mengetahui lokasi dan tempat benjolan tiroid.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular
goiter. J Clin Endocrinol Metab. 2011 May. 96(5):1202-12.
2. Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al. Revised American Thyroid
Association management guidelines for patients with thyroid nodules and
differentiated thyroid cancer. Thyroid. 2009 Nov.19(11):1167-214
3. Knobel M. Etiopathology, clinical features, and treatment of diffuse and
multinodular nontoxic goiters. J Endocrinol invest. 2015 Sep 21.
4. Aghini-Lombardi F, Antonangeli L, Martino E, et al. The spectrum of
thyroid disorders in an iodine-deficient community: the Pescopagano
survey. J Clin Endocrinol Metab. Feb 1999;84(2):561-6.
5. Krohn K, Paschke R. Clinical review 133: progress in understanding the
etiology of thyroid autonomy. J Clin Endocrinol
Metab. Jul 2001;86(7):3336-45.
6. Clark KJ, Cronan JJ, Scola FH. Color Doppler sonography: anatomic and
physiologic assessment of the thyroid. J Clin
Ultrasound. May 1995;23(4):215-23.
7. Braverman LE, Utiger RD, Hermus AR, Huysmans DA:, Clinical
manifestations and treatment of nontoxicc diffuse and nodular goiter. In:
Werner & Ingbar’s The Thyroid. Baltimore, Md: lippincott Williams &
Wilkins:.2000. 866-871
8. Hegedus , Gerber H. Multinodular goiter. In: DeGroot LJ, Jameson JL,
eds, Endocrinology. 2001. 2:1517-1528

19

Anda mungkin juga menyukai