Anda di halaman 1dari 9

Menganalisis Bentuk - Bentuk Pantologi Sosial Yang Terjadi Di Indonesia

Makalah Ini Di Buat Guna Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pantologi Sosial

DOSEN PENGAMPU:Arizona,M.Pd

Di Susun Oleh
Kelompok V
Dessye kirana Dewi (1810502005)
Ismi Fatona (181050200)
Widya Harum Pratiwi (1810502017)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara hukum, maka kepentingan
mayarakat banyak harus dilindungi, seperti yang tersebut dalam Alinea IV UUD
1945 Amandemen : “.....untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia.....”. semua warga Negara berhak untuk hidup
aman, damai, tentram dan terhindar dari kejahatan. Dengan aparat penegak hukum
diharapkan tindakan kejahatan dapat ditangani. Akan tetapi apabila tindakan aparat
penegak hukum tidak maksimal maka kejahatan semakin berkembang, salah satunya
kejahatan korupsi yang semakin meningkat di negara kita.
Korupsi adalah penyelewengan tugas dan penggelapan uang Negara atau
perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dampak tindakan korupsi
dapat merusak perkonomian Negara, demokrasi dan kesejahteraan umum. Pemerintah
telah berupaya untuk menuntaskan kasus korupsi melalui kebijakan-kebijakan
untuk memberantas korupsi. Walaupun demikian, masih banyak kasus korupsi yang
tidak ditangani secara serius dan berbelit-belit.
Korupsi merupakan permasalahan besar yang harus diatasi, agar tercapai
pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi
yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun eletronik, terlihat
adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Lembag- lembaga anti
korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini.Peraturan
perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh
pemerintah pun seakan juga diabaikan dan menjadi meaning less, apabila tidak
dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang - undangan
yang ada Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor
atau para pelaku hukum. Kejadian seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang
dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang
terjadi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan korupsi dan gejala - gejala korupsi

2. Apa faktor penyebab Korupsi dan Modernisasi

3. Bagaimana Praktik-praktik korupsi di Indonesia

4. Bagaimana cara Penanggulan Korupsi


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi Dan Gejala Gejala Korupsi


a. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahas latin “corruption” yang berarti menggoyahkan, memutar
balik, busuk dan rusak. Secara harafiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.1
Arti harifiah adalah Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat di
suap, Tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Korupsi adalah tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan
pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara, jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai dan salah urus dari kekuasaan demi keuntungan pribadi salah urus terhadap
sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-
kekuatan fromal untuk memperkaya sendiri.2
Delict korupsi menurut kitab undang-undang hukum pidana/KUHPadalah
kejahatan atau kesalahan ataupun perbuatan yang bisa di kenai tindakan sanksi hukum.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di jelaskan dalam 13 pasal ( UU No.31
Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 ) Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak pidana
korupsi, yang di kelompokan Sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi3

1
Satjipto Raharjo. 2006. Ilmu Hukum. Bandung : PT Citra Aditya Bakti
2
R. Sugandhi.1980.KUHP dan Penjelasanya. Surabaya: Usaha Nasional
3
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Gejala Gejala Korupsi
Faktor-faktor penyebab korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1). Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin meningkat.
Pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab
yang paling gambang dihubungkan misalnya kurangnya gaji pejabat-pejabat,
buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen
yang kacau yang menghasilkan adanya prodesur yang berliku-liku dan sebagainya.

Tetapi banyak faktor yang bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain
sampai menghasilkan keadaan yang kita hadapi. Yang dapat dilakukan hanyalah
mengemukakan faktor-faktor yang paling berpengaruh. Buruknya ekonomi belum
tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi dikalangan pejabat kalau
tidak ada faktor-faktor lain yang bekerja. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang
menentukan.

2). Latar belakang kebudayaan kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi.
Dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia, apabila hal itu ditinjau lebih
lanjut yang perlu diselidiki tentunya bukan kekhususan hal itu orang satu per satu,
melainkan yang secara umum meliputi, dirasakan dan mempengaruhi kita semua
orang Indonesia.

Dengan demikian, mungkin kita bisa menemukan sebab- sebab masyarakat kita
dapat menelurkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi
itu secara diam-diam ditoleransi, bukan oleh penguasa, tetapi oleh masyarakat
sendiri. Kalau masyaraat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti para
mahasiswa pada waktu melakukan demontrasi anti korupsi, maka korupsi sungguh-
sungguh tidak akan dikenal.

B. Faktor modernisasi sebagai penyebab korupsi

Menulis sebagai berikut bahwa korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih
umum dalam masyarakat yang satu dari pada masyarakat yang lain dan dalam masyarakat
yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang lain.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan
dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat. Penyebab modernisasi
mengembangbiakkan korupsi dapat disingkat dari jawaban Huntington berikut ini :

a). Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.

b). Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-
sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan
politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat,
sedangkan norma-norma yang baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-
golongan berpengaruh dalam masyarakat.

c). Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan- perubahan yang diakibatkannya


dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi di negara-negara yang memulai
modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan
kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah. (Andi hamzah.
2007:25)4

C. Praktik-praktik korupsi di Indonesia

Praktek korupsi merupakan perilaku negatif manusia dengan mengorbankan makhluk


lain dan sesama manusia. Lingkungan yang rusak adalah salah satu contoh praktek korupsi
di bidang kehutanan yang merugikan manusia. Izin-izin HPH diberikan bagi
pengusahapengusaha tertentu dengan imbalan yang mengiurkan diberikan kepada
pemangku kepentingan dibidang kehutanan. Pemberian izin tambang di hutang lindung
tanpa mengindahkan kelestarian kehidupan ekosistem telah merusak lingkungan lebih
parah. Contoh lain seperti pemberian secara tidak tertulis oleh aparat terhadap illegal
loging di Riau, Kalimantan dan Irian. Perilaku manusia yang terkait dengan korupsi dapat
berdampak negatif kepada manusia lainnya. Korupsi telah menyengsarakan semua sendi
kehidupan manusia. Kasus Gayus terkait dengan penggelapan pajak telah mengurangi
pendapatan Negara. Dapat dibayangkan apabila pelaku penggelapan pajak tidak hanya
Gayus saja. Apabila seorang Gayus yang hanya PNS golongan IIIA mampu melakukan
penggelapan pajak ratusan milyar, bagaimana kalau pelakunya juga melibatkan atasannya
yang beberapa tingkat di atas. Baru satu kasus gayus. Satu gayus akan menimbulkan
kerugian ratusan milyar bagi Negara. Apabila ada 1000 Gayus di departemen pajak maka
kerugian Negara akan mencapai ratusan triliun.

4
Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 52.
Kerugian yang ditimbulkan akibat praktek korupsi bisa menimbulkan ratusan triliun
bahkan kalau di akumulasikan dapat mencapai ribuan triliun. Jumlah ini bahkan bisa
menyamai jumlah hutang negara Indonesia saat ini. Ukuran moralitas dalam menjalani
hidup bagi manusia tidak dianggap begitu penting lagi. Menjalani hidup sesuai dengan
konsep moralitas bukanlah sesuatu yang mudah bagi manusia yang ingin kesenangan
duniawi. Socrates seorang filsuf terkenal mengatakan bahwa moralitas adalah bicara
masalah bagaimana kita seharusnya hidup.

Dalam perjalanan hidup ini manusia banyak dipengaruhi oleh nafsu untuk menguasai,
PRAKTEK KORUPSI DI INDONESIA 40 MAJALAH AKUNTAN INDONESIA, Edisi
29/TahunV/2011, ISSN No.1978-7537 mengumpulkan harta, dan ingin jadi yang terbaik
dan terhormat. Bila untuk mencapai hal tersebut tidak didasarkan pada unsur moralitas,
maka dapat diperkirakan manusia tersebut akan tergelincir melakukan hal-hal yang tidak
benar. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh manusia adalah termasuk hal tersebut

D. Penanggulangan Korupsi

Ada beberapa upaya penggulangan tindak pidana tindak pidana korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi
tindak pidana tindak pidana korupsi sebagai berikut :
 Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.

 Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.

 Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan


pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi
pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi
kesempatan korupsi.

 Tindak pidana korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin


keseluruhan tindak pidana tindak pidana korupsi dibatasi, tetapi memang harus
ditekan seminimum mungkin, agar beban tindak pidana tindak pidana korupsi
organisasional maupun tindak pidana korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya
ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi
kesempatan dan dorongan untuk tindak pidana korupsi dengan adanya perubahan
organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized)
tindakan yang semula dikategorikan kedalam tindak pidana korupsi menjadi tindakan
yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka
untuk kesempatan tindak pidana korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan
struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung
jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa
meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai berikut :

 Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab untuk melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.

 Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan


nasional.

 Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

 Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.

 Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan


jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.

 Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan


berdasarkan sistem “ascription”.

 Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi


pemerintah.

 Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.

 Sistem budget dikelola oleh pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.

 Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok


dengan penanganan pajak yang tinggi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa
dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan
kelompoknya. Fenomena korupsi di Indonesia sebagai patologi sosial, tidak hanya
merusak keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah merusak pilar-
pilar budaya, moral, politik dan tananan hukum dan keamanan nasional. Upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia masih memerlukan perjuangan berat. Kejahatan
korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah merusak seluruh lapisan masyarakat,
sehingga dalam penanganannya juga harus dilakukakn cara-cara yang luar biasa secara
komprehensif. Penanggulangan korupsi memerlukan kemauan politk dari Presiden
sebagai Kepala Negara serta peran Polisi, Jaksa, Pengadilan dan KPK yang bersatu
memberantas korupsi diIndonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Adi. 2012. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Surachmin. & Cahya, Suhandi. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.

Anwar, Syamsul, 2006, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP).

Maryanto. 2012. Jurnal Ilmiah CIVIS Volume II No. 2 Juli. Pemberantasan Korupsi Sebagai
Upaya PenegakanHukum.

Pope, Jeremy. 2003.Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional. (terj.)
Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

R. Sugandhi.1980.KUHP dan Penjelasanya. Surabaya: Usaha Nasional

Satjipto Raharjo. 2006. Ilmu Hukum. Bandung : PT Citra Aditya Bakti

T.Rifqy Thantowi .Maret-April 2005.Newslatter KHN Vol 4 no. 6 hal 34.

UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Wardiman Joyonegoro. 2013. Jurnal Ilmiah “Pidana Korupsi di Indonesia”. Universitas


Negeri Semarang.

Anda mungkin juga menyukai