Anda di halaman 1dari 13

PROMOSI KESEHATAN DALAM KESEHATAN MASYARAKAT

A. Kesehatan
Dalam bahasa Inggris kata "health" mempunyai 2 pengertian dalam bahasa Indonesia, yaitu
"sehat" atau "kesehatan". Sehat menjelaskan kondisi atau keadaan dari subjek, misalnya anak
sehat, orang sehat, ibu sehat, dan sebagainya. Sedangkan kesehatan menjelaskan tentang sifat dari
subjek, misalnya kesehatan manusia, kesehatan binatang, kesehatan masyarakat, kesehatan
individu, dan sebagainya. Sehat dalam pengertian kondisi mempunyai batasan yang berbeda-beda.
Secara awam sehat diartikan keadaan seseorang yang dalam kondisi tidak sakit, tidak ada keluhan,
dapat menjalankan kegiatan sehari-hari, dan sebagainya. Menurut batasan ilmiah, sehat atau
kesehatan telah dirumuskan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 sebagai
berikut: “Keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit dan
cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial.”
Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) yang paling baru ini, memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan
sebelumnya yang mengatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental,
maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. Apabila pada batasan yang terdahulu
kesehatan itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik, mental dan sosial, namun
dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, kesehatan mencakup 4 aspek, yakni: fisik (badan),
mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti, kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari
aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai
pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak
dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau manula, berlaku produktif secara
social. Misalnya produktif secara sosial-ekonomi bagi siswa sekolah atau mahasiswa adalah
mencapai prestasi yang baik, sedang produktif secara sosial-ekonomi bagi lanjut usia atau para
pensiunan adalah mempunyai kegiatan sosial dan keagamaan yang bermanfaat, bukan saja bagi
dirinya, tetapi juga bagi orang lain atau masyarakat.
Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat
kesehatan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat
holistik atau menyeluruh yang mengandung keempat aspek. Wujud atau indikator dari masing-
masing aspek tersebut dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut:
a. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit atau tidak adanya keluhan dan
memang secara klinis tidak adanya penyakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak
ada gangguan fungsi tubuh.
b. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni: pikiran, emosional, dan spiritual.
1) Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang, atau jalan pikiran. Jalan
pikiran yang sehat apabila seseorang mampu berpikir logis (masuk akal), atau berpikir
secara runtut.
2) Emosional yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan
emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih, dan sebagainya.
3) Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur,
pujian atau penyembahan, keagungan, dan sebagainya terhadap sesuatu di balik alam ini,
yakni Sang Pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha Kuasa). Secara mudah,
spiritual yang sehat dapat dilihat dari praktik keagamaan, keyakinan atau kepercayaan,
sesuai dengan agama yang dianut. Dengan perkataan lain, spiritual yang sehat adalah
apabila orang melakukan ibadah dan aturan-aturan agama yang dianutnya.
c. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan atau berkomunikasi
dengan orang lain secara baik, atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain,
tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya, saling menghargai dan toleransi.
d. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari seseorang (dewasa) itu produktif, dalam arti
mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong secara finansial
terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau
mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh
sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni
mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi
siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan sosial, pelayanan agama, atau pelayanan
masyarakat yang lain bagi usia lanjut.

B. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Hal ini berarti, bahwa dalam rangka
mewujudkan derajad kesehatan ini, baik kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat harus
diupayakan. Upaya mewujudkan kesehatan ini dilakukan oleh individu, kelompok, masyarakat,
baik secara melembaga oleh pemerintah, ataupun swadaya masyarakat (LSM). Dilihat dari sifat,
upaya mewujudkan kesehatan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pemeliharaan kesehatan
dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan mencakup dua aspek, yakni: kuratif
(pengobatan penyakit), rehabilatif (pemulihan kesehatan setelah sembuh dari sakit atau cacad).
Sedangkan peningkatan kesehatan mencakup 2 aspek juga, yakni: preventif (pencegahan penyakit)
dan promotif (peningkatan kesehatan) itu sendiri. Kesehatan perlu ditingkatkan karena kesehatan
seseorang itu relatif dan mempunyai bentangan yang luas. Oleh sebab itu, upaya kesehatan
promotif mengandung makna kesehatan seseorang, kelompok atau individu dan harus selalu
diupayakan sampai ke tingkat kesehatan yang optimal. Dimensi sehat-sakit dan upaya pelayanan
pemeliharaan kesehatan dapat digambarkan sebagai berikut.

Pelayanan Kedokteran vs
Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Kesehatan Masyarakat Kedokteran

Promotif
Rehabilitatif

Preventif Kuratif

Sehat
Walafiat Sakit Meninggal

Wilayah <--------------------> Sehat Wilayah <------------------------> Sakit


Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan diwujudkan dalam suatu wadah pelayanan
kesehatan, yang disebut sarana atau pelayanan kesehatan (health services). Jadi, pelayanan
kesehatan adalah tempat atau sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Dilihat dari sifat upaya penyelenggaran pelayanan kesehatan, pada umumnya dibedakan menjadi
tiga yakni:

a. Sarana pelayanan kesehatan primer (primary care):


Adalah sarana atau pelayanan kesehatan bagi kasus-kasus atau penyakit-penyakit ringan.
Sarana kesehatan primer ini adalah yang paling dekat bagi masyarakat, artinya pelayanan
kesehatan yang paling pertama menyentuh masalah kesehatan di masyarakat. Misalnya:
Puskesmas, Poliklinik, dokter praktik swasta, dan sebagainya.
b. Sarana pelayanan kesehatan tingkat dua (secondary care):
Adalah sarana atau pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-kasus atau penyakit-penyakit dari
pelayanan kesehatan primer. Artinya, sarana pelayanan kesehatan ini menangani kasus-kasus
yang tidak atau belum bisa ditangani oleh sarana kesehatan primer, karena peralatan atau
keahliannya belum ada. Misalnya, Puskesmas dengan rawat inap (Puskesmas RI), Rumah
Sakit Kabupaten, Rumah Sakit tipe D dan C, Rumah Bersalin.
c. Sarana pelayanan kesehatan tingkat tiga (tertiary care): Adalah sarana pelayanan kesehatan
rujukan bagi kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh sarana-sarana pelayanan kesehatan
primer seperti disebutkan di atas. Misalnya, Rumah Sakit Provinsi, Rumah Sakit tipe B atau
A.
Sarana pelayanan kesehatan primer seperti telah diuraikan di atas, di samping melakukan
pelayanan kuratif, juga melakukan pelayanan rehabilitatif, preventif, dan promotif. Oleh sebab itu,
Puskesmas khususnya, melakukan pelayanan kesehatan yang lengkap atau komprehensif
(preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif). Dilihat dari empat dimensi kesehatan seperti
diuraikan di atas, yakni: fisik, mental, sosial, dan ekonomi, maka pelayanan kesehatan tersebut
harus juga melakukan pelayanan kesehatan fisik, mental, sosial, dan bahkan ekonomi. Dalam
realita sosial memang keempat aspek tersebut sulit dipisahkan. Oleh sebab itu, pelayanan
kesehatan yang baik adalah bersifat holistik, artinya mencakup sekurang-kurangnya pelayanan
kesehatan fisik dan mental.
C. Sejarah Kesehatan Masyarakat
Membahas kesehatan masyarakat (public health) tidak terlepas dari dua orang tokoh metologi
Yunani, yaitu Asclepius (dalam literatur lain disebut Asculapius) dan Higiea. Berdasarkan cerita
mitos Yunani dikisahkan, Asculapius disebutkan sebagai seorang dokter pertama yang tampan dan
pandai, meskipun tidak disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya.
Diceritakan bahwa ia telah dapat mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan
prosedur tertentu (surgical procedure) dengan baik.
Selanjutnya dikisahkan bahwa Higiea, seorang asistennya, yang kemudian menjadi istri
Asclepius, juga telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk pencegahan penyakit. Sang istri ini
melakukan upaya-upaya untuk mencegah penyakit dengan mengajarkan kepada masyarakat untuk
hidup bersih. Ia menekankan, bahwa penyakit-penyakit tidak akan terjadi bila manusia dapat
menjalankan “hidup seimbang” dan kebersihan diri, antara lain menghindari makanan dan
minuman kotor, beracun, makan makanan yang bergizi, dan cukup istirahat. Apabila orang telah
jatuh sakit, Higiea menganjurkan melakukan upaya-upaya secara alamiah, antara lain memperkuat
tubuhnya dengan makanan yang baik, daripada pengobatan. Dari cerita mitos tersebut dapat dilihat
adanya 2 konsep yang berbeda tentang kesehatan, tetapi saling melengkapi. Apabila Asclepius
melakukan pendekatan pengobatan penyakit, setelah terjadinya penyakit, sedangkan istrinya,
Higiea, melakukan pendekatan pencegahan penyakit (sebelum terjadinya penyakit).
Dalam perkembangan selanjutnya, cerita mitos Yunani tersebut melahirkan dua aliran ilmu
kesehatan yang berbeda. Keduanya tidak bertentangan, malahan saling berhubungan dan saling
melengkapi. Kelompok atau aliran pertama (Asclepius) cenderung menunggu terjadinya penyakit
(setelah sakit), yang selanjutnya disebut pendekatan kuratif atau pengobatan. Kelompok ini pulalah
yang melahirkan ilmu kedokteran dengan profesi-profesinya adalah dokter, dokter gigi, perawat,
dan profesi-profesi lain yang melakukan pengobatan penyakit. Sedangkan aliran atau kelompok
kedua (Higiea) cenderung melakukan pendekatan pencegahan penyakit atau upaya-upaya sebelum
terjadinya penyakit (preventif), serta upaya peningkatan (promosi) kesehatan. Aliran ini pada
akhirnya melahirkan ilmu kesehatan masyarakat (public health), dengan profesi-profesi yang
terkait adalah petugas-petugas kesehatan masyarakat, sanitarian, ahli gizi masyarakat, dan profesi-
profesi lain yang melakukan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan.
Cerita mitos Asclepius-Higiea ini dapat dikatakan merupakan embrio ilmu kedokteran dan
kesehatan masyarakat. Namun, sebelum berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan masih
melewati berbagi fase.
Secara umum perkembangan kesehatan masyarakat dibagi dalam dua masa, yaitu masa
sebelum perkembangan ilmu pengetahuan (pre scientific period), dan masa ilmu pengetahuan
berkembang (scientific period).

a. Periode Sebelum Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Sejarah kebudayaan umat manusia dimulai dari empat pusat kebudayaan kuno, yakni
Babylonia, Mesir, Yunai, dan Roma. Dari catatan peninggalan tersebut diketahui bahwa
pemerintah kota pada waktu itu telah melakukan upaya-upaya pemberantasan penyakit. Bahkan
ditemukan pula dokumen tentang peraturan-peraturan tertulis yang mengatur tentang pembuangan
air limbah atau drainase, pengaturan air minum, pembuangan sampah, dan sebagainya.
Dari catatan sejarah juga dapat diketahui, bahwa di kota-kota peninggalan pada zaman-
zaman tersebut telah dibangun tempat-tempat pembuangan tinja umum (public latrine), dan juga
masyarakat telah membuat sumber air minum sendiri atau sumur. Namun, alasan di balik
pembuatan tempat-tempat pembuangan tinja dan sumber air minum tersebut bukan karena alasan
kesehatan, melainkan lebih karena alasan keindahan (estetik). Dari literatur diketahui, bahwa
pemerintah kota membangun tempat pembuangan tinja umum, dengan alasan agar orang tidak
membuang kotoran di sembarang tempat seperti terlihat di sungai, di semak-semak, di parit-parit,
dan sebagainya. Demikian pula orang membuat sumur pada waktu itu dengan alasan karena air
yang mengalir di sungai yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, yang sebelumnya masih
bersih, ternyata lama kelamaan menjadi kotor, berbau dan terasa tidak enak diminum. (Geene,
1984).
Dari catatan sejarah juga diketemukan, bahwa pada zaman Romawi kuno, pemerintah kota
itu telah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan kesehatan misalnya, masyarakat harus
melaporkan adanya binatang-binatang piaraan yang berbahaya dan yang menimbulkan bau tidak
enak, peraturan tentang pembangunan rumah yang aman dari ancaman-ancaman keamanan, dan
sebagainya. Bahkan pada waktu itu pemerintah kerajaan telah menugaskan beberapa pegawai
kerajaan untuk melakukan supervise atau peninjauan ke tempat-tempat minuman umum (public
bar), warung makan, tempat-tempat prostitusi, dan sebagainya. (Hanlon, 1974).
Kemudian pada permulaan abad pertama sampai dengan kira-kira abad ke-7, kesehatan
masyarakat makin dirasakan pentingnya. Hal ini disebabkan kerena mulai timbul berbagai
penyakit menular yang menyerang sebagian besar penduduk. Bahkan di berbagai tempat telah
terjadi epidemik atau wabah dan endemik. Penyakit kolera yang mula-mula terjadi di Inggris,
kemudian menyebar ke Afrika, ke Asia khususnya Asia Barat (sekarang Timur Tengah), dan
kemudian menyebar sampai Asia Selatan. Pada akhir abad ke-7 tercatat bahwa India telah menjadi
pusat endemik kolera. Di samping kolera, penyakit lepra juga telah menyebar pada abad ke-7,
dimulai dari Mesir kemudian menyebar ke Asia Kecil dan Eropa melalui emigran.
Upaya untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut, juga telah mulai dilakukan, antara lain
melalui perbaikan lingkungan, utamanya higiene dan sanitasi. Pembuangan kotoran manusia (la-
trine), pengusahaan air minum yang bersih, pembuangan sampah, ventilasi rumah, telah tercatat
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada abad ke-13 tercatat telah mulai terjadi epidemik pes yang paling dahsyat terutama di
Cina dan India, sehingga selama epidemik tersebut tercatat 13.000.000 orang meninggal. Dari
catatatan sejarah yang lain menyebutkan, bahwa di India, Mesir, dan Gaza, dilaporkan 13.000
orang meninggal tiap hari karena pes. Dari kumpulan catatan sejarah menunjukkan, bahwa selama
kejadian tersebut telah tercatat kematian sebanyak 60.000.000 orang di seluruh dunia. Oleh sebab
itu, wabah pes pada waktu itu dikenal dengan peristiwa “the black death”. Di samping epidemi
pes pada abad tersebut, juga masih terjadi wabah kolera dan pes di berbagai tempat. Pada tahun
1603 terjadi kematian 1 di antara 6 orang, karena penyakit menular, dan pada tahun 1665
meningkat lagi, yakni terjadi kematian karena penyakit menular 1 orang di antara 5 orang. Di
samping penyakit-penyakit tersebut, pada tahun 1759 tercatat penyakit-penyakit lain yang
menimbulkan wabah, di antaranya difteri, tifus, dan disentri.
Dari catatan-catatan sejarah tersebut dapat dilihat bahwa masalah kesehatan masyarakat,
khususnya penyebaran penyakit menular, sudah begitu meluas dan dahsyat, namun upaya
pemecahan masalah kesehatan masyarakat secara menyeluruh belum dilakukan secara baik pada
zamannya.

b. Periode Berkembangnya Ilmu Pengetahuan


Bangkitnya ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mempunyai dampak
yang luas terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk kesehatan. Kalau pada abad
sebelumnya masalah kesehatan, khususnya penyakit menular, dilihat sebagai fenomena biologis
dan pendekatan yang dilakukan hanya secara biologis yang sempit, maka mulai abad ke-19
masalah kesehatan sudah dipandang sebagai masalah yang kompleks. Oleh sebab itu, pendekatan
masalah kesehatan harus dilakukan secara komprehensif dan multisektor.
Di samping itu, pada abad ini telah mulai ditemukan berbagai macam penyebab penyakit dan
vaksin sebagai pencegah penyakit. Louis Pateur berhasil menemukan vaksin untuk mencegah
penyakit cacar (vaksin cacar), Joseph Lister menemukan asam carbol (carbolic acid) untuk
sterilisasi ruang operasi, dan William Marton menemukan ether sebagai anestesi pada waktu
operasi.
Penyelidikan dan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara ilmiah mulai dilakukan pada tahun
1832 di Inggris. Pada waktu itu sebagian besar rakyat Inggris terserang epidemik kolera, terutama
terjadi pada penduduk yang tinggal di perkotaan yang miskin. Kemudian parlemen Inggris
membentuk komisi untuk penyelidikan dan penanganan masalah wabah kolera tersebut. Edwin
Chadwich, seorang pakar sosial, sebagai ketua komisi melaporkan hasil penyelidikannya. Pada
waktu itu masyarakat hidup di suatu kondisi sanitasi yang jelek, sumur penduduk berdekatan
dengan aliran air kotor dan pembuangan kotoran manusia. Air limbah yang mengalir terbuka tidak
teratur, makanan yang dijual di pasar banyak dikerumuni lalat dan kecoa.
Dilaporkan pula, sebagian besar penduduk miskin bekerja rata-rata 14 jam per hari dengan
gaji di bawah kebutuhan hidup, sehingga sebagian penduduk tidak mampu membeli makanan yang
bergizi. Laporan Chadwich ini dilengkapi dengan analisis data statistik yang sangat bagus dan
sahih. Berdasarkan hasil laporan ini, akhirnya parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang
yang isinya mengatur upaya-upaya peningkatan kesehatan penduduk, termasuk sanitasi
lingkungan, sanitasi tempat-tempat kerja, pabrik, dan sebagainya. Pada tahun 1848 John Simon
diangkat oleh pemerintah Inggris untuk menangani masalah-masalah kesehatan penduduk atau
masyarakat.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulai dikembangkan pendidikan untuk tenaga
kesehatan masyarakat profesional. Pada tahun 1983 John Hopkins, seorang pedagang wiski dari
Baltimore, Amerika, memelopori berdirinya universitas yang di dalamnya terdapat sekolah
(fakultas) kedokteran dengan salah satu departemennya adalah departemen kesehatan masyarakat
(public health). Pada tahun 1908 sekolah kedokteran mulai menyebar ke Eropa, Canada, dan
sebagainya. Dari kurikulum sekolah-sekolah kedokteran tersebut terlihat bahwa kesehatan
masyarakat sudah mendapat perhatian yang cukup. Pengembangan kurikulum kesehatan
masyarakat didasarkan pada suatu realitas bahwa penyakit dan kesehatan itu merupakan hasil
interaksi yang dinamis antara faktor genitik, lingkungan fisik, lingkungan sosial-budaya,
kebiasaan perorangan, dan pelayanan kesehatan/kedokteran.
Dari segi pelayanan kesehatan masyarakat, pada tahun 1855, pemerintah Amerika Serikat telah
membentuk departemen kesehatan yang pertama kali. Fungsi departemen ini adalah
menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk (public), termasuk perbaikan dan
pengawasan sanitasi lingkungan. Departemen kesehatan ini sebenarnya merupakan peningkatan
departemen kesehatan kota yang telah dibentuk di masing-masing kota di Amerika. Pada tahun
1972, diadakan pertemuan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap kesehatan
masyarakat, baik dari universitas maupun dari pemerintah (departemen kesehatan) di kota New
York. Pertemuan tersebut menghasilkan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (American
Public Health Association).

D. Kesehatan Masyarakat Di Indonesia


Sejarah kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada
abad ke-19. Pada tahun 1807, pada waktu Gubernur Jenderal Daendeles, telah dilakukan pelatihan
dukun bayi dalam praktik persalinan. Upaya itu dilakukan dalam rangka upaya penurunan angka
kematian bayi yang tinggi pada waktu itu. Tetapi upaya ini tidak berlangsung lama, karena
langkanya tenaga pelatih kebidanan. Pada tahun 1930 upaya ini dilanjutkan kembali, dimulai
dengan mendaftar semua dukun bayi sebelum dilakukan pelatihan penolong persalinan. Memasuki
zaman kemerdekaan, pada tahun 1952, upaya tersebut ditingkatkan lagi dengan diadakannya
pelatihan-pelatihan dukun bayi yang lebih intensif.
Pada tahun 1851 Sekolah Dokter Jawa (sekarang menjadi Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia) didirikan di Jakarta oleh dr. Bosch (kepala pelayanan kesehatan sipil dan militer) dan
dr. Bleeker. Kemudian sekolah ini terkenal dengan STOVIA (School Tot Opleding Van Indische
Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi. Setelah itu pada tahun 1913 didirikan
sekolah dokter yang kedua di Surabaya dengan nama NIAS (Nederland Indische Arsten School).
Kemudian pada tahun 1927 STOVIA berubah menjadi Sekolah Kedokteran, dan akhirnya pada
tahun 1947, berubah menjadi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Kedua sekolah dokter
tersebutlah yang akhirnya mempunyai peranan yang besar dalam mengembangkan kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tidak kalah petingnya dalam perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah
berdirinya Laboratorium Kedokteran di Bandung pada tahun 1888. Kemudian pada tahun 1938
Pusat Laboratorium ini berubah menjadi Lembaga Eykman dan selanjutnya disusul berdirinya
laboratorium lain di Medan, Semarang, Makasar, Surabaya, dan Yogyakarta. Laboratorium-
laboratorium ini mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka menunjang pemberantasan
penyakit menular seperti malaria, lepra, cacar, dan sebagainya. Bahkan untuk bidang kesehatan
masyarakat yang lain, seperti gizi dan sanitasi lingkungan.
Pada tahun 1922 pes masuk Indonesia, dan pada tahun 1933, 1934 dan 1935 terjadi epidemik
di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Ketika terjadinya wabah pada tahun 1935 telah
dimulai dilakukannya program pemberantasan pes, dengan melakukan penyemprotan dengan
DDT terhadap rumah-rumah penduduk dan juga diadakan vaksinasi massal. Kolera masuk di
Indonesia pada tahun 1927, dan pada tahun 1937 terjadi wabah kolera eltor.
Pada tahun 1925, Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda pada waktu itu,
melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka kesakitan dan kematian di Kabupaten
Banyumas-Purwokerto. Dari hasil pengamatannya, ia menganalisis dan menyimpulkan bahwa
penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian tersebut karena jeleknya kondisi sanitasi
lingkungan di masyarakat. Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang
tempat, seperti di kebun, di kali atau selokan, dan bahkan di pinggir jalan. Padahal mereka
mengambil air untuk keperluan sehari-hari pada umumnya dari kali. Selanjutnya Hydrich
berkesimpulan, bahwa kondisi sanitasi lingkungan yang jelek ini disebabkan kerena perilaku
penduduk.
Oleh sebab itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat ini Hydrich mengembangkan
daerah percontohan dengan melakukan "propaganda" (sekarang penyuluhan) kesehatan. Sampai
sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia. Pada masa
inilah sebenarnya promosi atau pendidikan itu telah dimulai sebagai upaya pelayanan kesehatan
masyarakat di Indonesia. Kemudian pada tahun 1948 cacar masuk Indonesia melalui Singapura
dan menyebar ke seluruh Indonesia. Dengan terjadinya wabah kolera dan cacar tersebut,
pemerintah Belanda pada waktu itu mulai melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Memasuki zaman kemerdekaan, salah satu tonggak penting perkembangan kesehatan
masyarakat di Indoensia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun
1951 oleh Dr. J. Leimena dan dr. Patah, yang selanjutnya dikenal dengan Konsep Patah-Leimena.
Dalam konsep ini mulai diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek
kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek tersebut tidak boleh dipisahkan, baik di rumah sakit
maupun di Puskesmas.
Selanjutnya pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari
upaya pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1956 oleh dr. J. Sulianti didirikan Proyek
Bekasi, Lemah Abang, Jawa Barat, sebagai proyek percontohan atau model pelayanan bagi
pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia, dan sekaligus sebagai pusat pelatihan
tenaga kesehatan. Proyek ini di samping sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan
kesehatan pedesaan (masyarakat) dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan tim
dalam pengelolaan program kesehatan. Untuk melancarkan penerapan konsep pelayanan terpadu
ini terpilih 8 desa wilayah pengembangan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan. Kedelapan wilayah
tersebut merupakan cikal bakal sistem pelayanan kesehatan masyarakat, atau sekarang lebih
dikenal dengan nama Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Pada bulan November 1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program
kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. Pada
waktu itu dibahas konsep Puskesmas yang dibawakan oleh dr. Achmad Dipodilogo, yang mengacu
kepada Konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Kesimpulan seminar ini adalah disepakatinya sistem
Puskesmas yang terdiri dari tipe A, B, dan C. Dengan menggunakan hasil seminar tersebut
Departemen Kesehatan menyiapkan rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia.
Pada tahun 1968 dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dicetuskan, bahwa Puskesmas adalah
merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen
Kesehatan menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas disepakati
sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara
terpadu, menyeluruh, dan mudah dijangkau dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian
kecamatan di kota madya atau kabupaten. Kegiatan pokok pada awalnya hanya lima, disebut
“Basic 5 health services”, kemudian berkembang menjadi “Basic 7 health services”, dan
berkembang lagi sampai tahun 1990-an menjadi 13 usaha pokok, yakni:
1. Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Keluarga Berencana.
3. Gizi Masyarakat.
4. Kesehatan Lingkungan.
5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular.
6. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
7. Pengobatan.
8. Perawatan Kesehatan Masyarakat.
9. Usaha Kesehatan Gigi.
10. Usaha Kesehatan Jiwa.
11. Usaha Kesehatan Sekolah.
12. Laboratorium.
13. Pencatatan dan Pelaporan.
Pada tahun 1969, sistem Puskesmas disepakati hanya ada 2 tipe saja, yakni tipe A dan B. Tipe
A dikelola oleh dokter, sedang-kan tipe B hanya dikelola oleh seorang paramedis. Dengan adanya
perkembangan tenaga medis, maka akhirnya pada tahun 1979 tidak diadakan perbedaan
Puskesmas tipe A dan B, hanya ada satu tipe Puskesmas saja, yang dikepalai oleh seorang dokter.
Pada tahun 1979 juga dikembangkan satu piranti manajerial guna penilaian Puskesmas, yang
disebut "stratifikasi Puskesmas". Berdasarkan penilaian tersebut maka dibedakan adanya 3 strata
atau kategori Puskesmas, yakni:

a. Strata I : Puskesmas dengan prestasi sangat baik


b. Strata II : Puskesmas dengan prestasi rata-rata atau standar
c. Strata III : Puskesmas dengan prestasi di bawah rata-rata.
Selanjutnya Puskesmas juga dilengkapi dengan dua piranti manajerial yang lain, yakni “Micro
Planning” untuk perencanaan program kegiatan Puskesmas, dan "Lokakarya Mini" atau Lokmin
untuk pengorganisasian kegiatan dan pengembangan kerja sama tim. Akhirnya pada tahun 1984
tanggung jawab Puskesmas ditingkatkan lagi, dengan berkembangnya program pelayanan paket
terpadu kesehatan dan keluarga berencana, yang disebut Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU).
Program pelayanan Posyandu ini terdiri dari:
1. Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Keluarga Berencana.
3. Gizi.
4. Penanggulangan Diare.
5. Imunisasi.
Dalam pelayanan Posyandu terdiri dari 5 kegiatan, yang disebut Pelayanan 5 Meja, yakni :
Meja 1 : Pendaftaran, oleh kader kesehatan.
Meja 2 : Penimbangan anak balita, oleh kader kesehatan.
Meja 3 : Pencatatan hasil penimbangan, oleh kader kesehatan.
Meja 4 : Penyuluhan, oleh kader kesehatan.
Meja 5 : Imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil, oleh petugas kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai