Anda di halaman 1dari 30

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN

BELIMBING WULUH (Avverhoa bilimbi Linn.) TERHADAP


Staphylococcus epidermidis

ARMASI N
IF

AKADEM

AS
I ONAL
SU
RAKARTA

Proposal
KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Syarat untuk Menyelesaikan

Program Pendidikan DIII Farmasi

Oleh:

Febry Nuriyanto

NIM : 09217 F

AKADEMI FARMASI NASIONAL

SURAKARTA

2012
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keanekaragaman hayati merupakan sumber dari semua kebutuhan manusia
dalam kehidupannya. Banyak diantaranya digunakan sebagai sandang, pangan,
papan, obat dan kosmetik. Penggunaan sumber hayati lebih condong terhadap
kebiasaan-kebiasaan masyarakat terdahulu, tidak karena didasari oleh pengetahuan
sumber hayati itu sendiri. Sehingga penggunaan sumber hayati tersebut tidak dapat
digunakan secara maksimal. Salah satu cara untuk mengatasi berbagai penyakit
adalah dengan mencari senyawa-senyawa aktif dari bahan alam yang belum tergarap
dan terjamah dengan baik, misalnya potensi yang berasal dari tumbuhan,
(Masripah, 2009)
Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan adalah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.). Berdasarkan pengalaman masyarakat, tanaman belimbing
wuluh merupakan tanaman yang sering digunakan untuk ramuan obat dan juga untuk
bumbu masakan. Buah belimbing wuluh banyak mengandung vitamin C yang biasa
digunakan sebagai obat sariawan, dan juga obat batuk rejan. Efek farmakologis
belimbing wuluh diantaranya menghilangkan rasa sakit (analgetik), memperbanyak
pengeluaran empedu, anti radang, peluruh kencing (deuretik) dan astringen,
(Masripah, 2009). Daunnya sendiri belum banyak dimanfaatkan secara optimal,
padahal mengandung tanin, sulfur, asam format, peroksida kalium oksalat, Kalium
sitrat (Dalimarta, 2008). yang dapat dipertimbangkan sebagai antibakteri.
Salah satu bakteri gram positif yang merugikan adalah bakteri
Staphylococcus epidermidis merupakan sebagian dari flora normal pada
kulit manusia, saluran pernafasan dan saluran pencernaan makanan.
Pada 6,6% dari bayi yang berumur 1 hari telah ditemukan Staphylococcus
dihidungnya, 50% pada umur 2 hari, 62% pada umur 3 hari dan 88%
pada umur 4-8 hari. Staphylococcus epidermidis merupakan penyebab infeksi kulit
yang ringan yang disertai pembentukkan abses (Jerawat), (Anonim, 1994)
Jerawat adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang
umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis
Jerawat sering polimorfi; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul,
pustule nodus, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik
jaringan parut yang hipotrofik maupun yang hipertrofik. Karena hampir setiap orang
pernah menderita penyakit ini, maka sering dianggap sebagai kelainan kulit yang
timbul secara fisiologis. Kligman mengatakan bahwa tidak ada seorangpun (artinya
100%), yang tidak sama sekali tidak pernah menderita penyakit ini. Umumnya
insidens terjadi pada sekitar umur 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pada pria
dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat
lesi beradang. Dan salah satu penyebab jerawat adalah peningkatan flora folikel
(Propionibacterium acnes, dulu: Corynebacterium acnes, Pityrosporum ovale, dan
Staphylococcus epidermidis) yang berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta
pembentukkan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid sebum, (Anonim, 2007)
Dari berbagai kasus penyakit jerawat tersebut banyak cara yang diusahakan
seseorang untuk menyembuhkan penyakit jerawat yang dialami, salah satu
pengobatan yang dilakukan adalah pengobatan menggunakan bahan-bahan alami,
dari pengobatan secara alami ini tidak sedikit yang mengalami kesembuhan.
Oleh karena itu peneliti sangat tertarik melakukan penelitian mengenai
pengaruh pemberian ekstrak etanol daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.)
terhadap Staphylococcus epidermidis, dengan harapan bisa menambah tingkat
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap jerawat. Penelitian dilakukan oleh
mahasiswa Akademi Farmasi Nasional Surakarta.
B. Rumusan Masalah
1. Senyawa aktif apa saja yang terkandung dalam ekstrak etanol daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) ?
2. Apakah ekstrak etanol daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis ?
3. Pada kosentrasi berapakah ekstrak etanol daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.) memberikan diameter zona hambat yang paling besar
terhadap Staphylococcus epidermidis ?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui mengetahui golongan senyawa aktif pada esktrak etanol daun
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.).
2. Mengetahui kemampuan ekstrak etanol daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.) dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus epidermidis.
3. Mengetahui kosentrasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.) yang dapat memberikan diameter zona hambat yang
paling besar terhadap Staphylococcus epidermidis

D. Manfaat Penelitian
Menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang kandungan senyawa aktif
dari daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) dan manfaat tanaman yang dapat
digunakan sebagai obat tradisional, khususnya daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.) dalam pengobatan penyakit jerawat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.)


Belimbing wuluh ditanam sebagai pohon buah, kadang ditemukan tumbuh
liar. Pohon yang berasal dari Amerika tropis ini menyukai tempat tumbuh yang tidak
ternaungi dan cukup lembab. Belimbing wuluh bisa ditemukan dari dataran rendah
sampai 500 m dpl, (Dalimarta, 2008). Buahnya yang memiliki rasa asam sering
digunakan sebagai bumbu masakan dan campuran ramuan jamu.
1. Klasifikasi Tumbuhan Belimbing Wuluh Adalah Sebagai Berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Familia : Oxalidaceae
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi .L (Dasuki, 1991)
Gambar 1. Daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn)

2. Nama lain
Nama asing: Bilimbi, cucumber tree (I), Kamias(Ph).
Aceh: Limeng, selimeng, thlimeng. Gayo: selemeng. Batak: asom, belimbing,
balimbingan. Nias: malimbi. Minangkabau: balimbieng. Melayu: balimbing asam
Lampung: balimbing. Sunda: calincing, calincing wulet, balingbing. Jawa: blimbing
wuluh, balimbing, blimbing. Madura: bhalingbhing bulu. Bali: blingbing buloh.
Bima: libi. Flores: balimbeng. Sawu: libi. Sangi: belerang. Gorontalo: lumpias,
rumpeasa during, wulidan, lopias, lembetue. Buol: lombituko. Baree: tangkurera.
Makasar: bainang. Bugis: calene. Roti: ninilu dae lok. Timor, Kai: kerbol. Ambon:
takurela. Ulias: balimbi. Buru: taprera. Halmahera: malibi. Kapaur: miri-miri. Irian
Jaya: uteke, (Dalimarta, 2008)

3. Morfologi
tinggi 5-10 m. tanda bekas daun bentuk ginjal atau jantung. Anak daun bulat
telur atau memanjang, meruncing, 2-10 kali 1-3 cm, kearah ujung poros lebih besar,
bawah hijau muda. Malai bunga menggantung, panjang 5-20 cm. bunga semuanya
dengan panjang tangkai putik yang sama. Panjang kelopak ± 6 mm. daun mahkota
tidak atau hampir bergandengan, bentuk spatel atau lanset, dengan pangkal yang
pucat. 5 benang sari didepan daun mahkota meredeuksi menjadi staminodia. Buah
buni persegi membulat tumpul, kuning hijau, panjang 4-6,5 cm. tanah asal tidak
dikenal. Ditanam sebagai pohon buah, kadang-kadang menjadi liar.
(van Steenis, 1947)

4. Kegunaan tanaman
Buahnya digunakan untuk batuk rejan, gusi berdarah, jerawat, panu, tekanan
darah tinggi, dan biduran. Daunnya dapat digunakan untuk obat batuk dan sariawan,
mengobati sakit perut, encok, dan demam, (Hanum, 2011).

5. Kandungan kimia
Tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) ini memiliki kandungan
kimia yaitu: Tanin, sulfur, asam format, peroksidase, kalsium oksalat, kalium sitrat,
(Dalimarta. 2008).

B. Ekstraksi Pelarut
1. Pengertian
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair
dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi pelarut atau juga sering
disebut ekstraksi air merupakan metode pemisahan atau pengambilan zat terlarut
dalam larutan (biasanya dalam air) dengan menggunakan pelarut lain (Estien, 2005).
Metode penyarian merupakan salah satu bagian dari isolasi bahan alam.
Metode penyarian tergantung kandungan zat dari bahan yang diekstraksi. Bahan
segar yang telah terkumpul dikeringkan secepatnya tanpa penggunaan suhu yang
terlalu tinggi dan lebih baik dengan aliran udara yang baik (Harborne,1987).
2. Maserasi
Maserasi berasal dari kata macerace yang berarti merendam, merupakan
proses paling tepat dimana obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam
dalam menstrum sampai meresap dan melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang
mudah larut akan melarut. Dalam proses maserasi, obat yang akan diekstraksi
biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, bersama
menstruum yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-
ulang lamanya biasanya berkisar dari 2-14 hari (Ansel, 1989).

3. Larutan penyari
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk kandungan senyawa berkhasiat atau yang aktif, sehingga senyawa
tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari kandungan senyawa lainnya. Ekstrak
total hanya mengandung sebagian besar kandungan senyawa yang diinginkan, maka
cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang
terkandung.
Pemilihan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari
yang baik harus memenuhi beberapa kriteria yaitu murah, mudah diperoleh, stabil
secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak menguap dan tidak mudah terbakar,
selektif hanya menarik zat yang berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi
zat berkhasiat, diperbolehkan dalam peraturan. Farmakope Indonesia menetapkan
bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air, atau eter (Anonim, 1986).
Air sebagai penyari memiliki gaya ekstraksi yang menonjol untuk banyak
bahan kandungan simplisia yang aktif secara terapeutik, tetapi sekaligus mampu
mengekstraksi sejumlah besar bahan pengotor. Keburukannya adalah dapat
menyebabkan reaksi pemutusan secara hidrolitik dan fermentative yang
menyebabkan cepat rusaknya bahan aktif, serta mudah dikontaminasi (Voight, 1994).
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman
sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorpsinya baik, etanol
dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit (Anonim, 1986). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan
membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut.
Etanol dapat melarutkan senyawa aktif tannin, polifenol, poliasetilen,
flavonol, terpenoid, sterol, alkaloid, dan propolis, sedangkan air melarutkan pati,
tannin, saponin, terpenoid, polipeptida, dan lektin (Cowan, 1999). Etanol (70%)
sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan
penggangu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan penyari (Voight, 1994)

C. Bakteri
1. Pengertian bakteri
Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan tersebar
luas, dibandingkan dengan organisme lainnya. Umumya merupakan organisme
uniseluler (bersel tunggal), prokariota, tidak mengandung klorofil, serta berukuran
mikroskopik (sangat kecil) (Dwidjoseputro, 1989).

2. Bentuk bakteri
Berdasarkan bentuknya bakteri dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu
coccus (bulat), bacil (batang atau silinder), dan spiral (batang melengkung atau
melingkar).
Coccus (bulat) adalah bakteri yang bentuknya serupa bola–bola kecil. Coccus
ada yang bergandeng gandengan panjang serupa tali leher ini disebut streptokokus,
ada yang bergandeng dua–dua ini disebut diplokokus, ada yang mengelompok
berempat ini disebut tetrakokus, coccus yang mengelompok merupakan suatu untaian
disebut stafilokokus, sedangkan coccus yang mengelompok serupa kubus disebut
sarsina.
Bacil (batang atau silinder) berbentuk serupa tongkat pendek, silindris.
Sebagian besar bakteri berupa bacil. Bacil dapat bergandeng gandeng panjang,
bergandengan dua–dua, atau terlepas satu sama lain. Yang bergandeng- gandengan
panjang disebut streptobasil, yang dua–dua disebut diplobasil. Ujung–ujung bacil
yang terlepas satu sama lain itu tumpul, sedangkan ujung–ujung yang masih
bergandengan itu tajam.
Spiral (batang melengkung atau melingkar) adalah bakteri yang bengkok atau
berbengkok–bengkok serupa spiral. Bakteri yang berbentuk spiral itu tidak banyak
terdapat. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling kecil, jika dibandingkan
dengan kelompok coccus maupun bacil.
Bentuk tubuh bakteri terpengaruhi oleh keadaan medium dan oleh usia. Maka
untuk membandingkan bentuk serta besar kecilnya bakteri perlu diperhatikan bahwa
kondisi bakteri itu harus sama, temperatur di mana piaraan itu di simpan harus sama,
penyinaran oleh sumber cahaya apapun harus sama. Pada umumnya bakteri dari
piaraan yang masih muda, yaitu sekitar 6 sampai 12 jam, lebih besar daripada bakteri
berasal dari koloni yang lebih tua. Bakteri dari koloni yang sudah tua sering
menunjukkan kelainan–kelainan seperti sel–sel yang mempunyai cabang, sel-sel yang
besar dan tidak beraturan bentuknya (Dwidjoseputro,1989).
3. Bakteri Staphylococcus epidermidis
a. Klasifikasi Staphylococcus epidermidis
Kingdom : Protista
Phylum : Schyzophyta
Classis : Schyzomycetes
Ordo : Eubacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus epidermidis (Anonim, 1994).

Gambar 2. morfologi Staphylococcus epidermidis

b. Morfologi dan Identifikasi Staphylococcus epidermidis


Kuman ini berbentuk sferis, bila menggerombol dalam susunan yang tidak
teratur mungkin sisinya agak rata karena tertekan. Diameter kuman antara
0,8-1.0 mikron. Pada sediaan langsung yang berasal dari nanah dapat terlihat sendiri,
berpasangan, menggerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek.
Susunan gerombolan yan tidak teratur biasanya ditemukan pada sediaan yang dibuat
dari perbenihan padat, sedangkan dari perbenihan kaldu biasanya ditemukan
tersendiri atau tersusun sebagai rantai pendek.
Kuman ini tidak bergerak, tidak berspora dan positif Gram. Hanya kadang-
kadang yang negatif Gram dapat ditemukan pada bagian tengah gerombolan kuman,
pada kuman yang telah difagositosis dan pada biakan tua yang hampir mati,
(Anonim, 1994)

c. Sifat biakan dan sifat biokimia


Jenis-jenis Staphylococcus dilaboratorium tumbuh dengan baik dalam kaldu
biasa pada suhu 370C. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 150C dan 400C,
sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 350C. Pertumbuhan terbaik dan khas
ialah pada suasana aerob; kuman ini pun bersifat anaerob fakultatif dan dapat tumbuh
dalam udara yang hanya mengandung hidrogen dan Ph optimum untuk pertumbuhan
ialah 7,4. Diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dan konsistensinya lunak.
Warna khas ialah kuning keemasan, hanya intensitas warnanya dapat bervariasi. Pada
lempeng agar darah umumnya koloni lebih besar dan pada varietas tertentu koloninya
dikelilingi oleh zona hemolisis. Untuk mengasingkan kuman dari tinja, dipergunakan
lempeng agar yang mengandung NaCl sampai 10% sebagai penghambat terhadap
kuman jenis lain dan manitol untuk dapat mengetahui patogenitasnya.
Koloni yang masih sangat muda tidak berwarna, tetapi dalam
pertumbuhannya terbentuk pigmen yang larut dalam alkohol, eter, kloroform dan
benzol. Pigmen ini termasuk dalam golongan lipokhrom dan akan tetap dalam koloni,
tidak meresap kedalam perbenihan, tetapi larut dalam eksudat jaringan sehingga
nanah berwarna sedikit kuning keemasan yang dapat merupakan petunjuk tentang
adanya infeksi oleh kuman ini. Atas dasar pigmen yang dibuatnya, Staphylococcus
dibagi dalam beberapa spesies. Yang berwarna kuning keemasan dinamakan
staphylococcus aureus, yang putih Staphylococcus albus, dan yang kuning
dinamakan staphylococcus citreus. Dalam suasana anaerob pada lempemg agar biasa
pada suhu 370C tidak dibentuk pigmen, pada lempeng agar darah pada suhu 370C
pembetukkan pigmen kurang subur. Tetapi bila koloni tersebut dipindahkan pada
agar biasa atau perbenihan Loeffler, dieram pada suhu kamar, maka pembentukkan
pigmennya sangat baik. Virulensi ada hubungannya dengan kemampuannya
membentuk koagulase tetapi tidak bertalian dengan warna koloni,
(Anonim, 1994).

d. Struktur antigen
Kuman Staphylococcus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat
antigenik. Bahan-bahan ekstraseluler yang dibuat oleh kuman ini kebanyakkan juga
bersifat antigenik. Polisakarida yang ditemukan pada jenis virulen disebut
polisakarida A, dan yang ditemukan pada jenis yang tidak patogen disebut
polisakarida B. polisakarida A merupakan komponen dinding sel yang dapat
dipindahkan dengan memakai asam trihlorasetat. Antigen ini merupakan suatu
kompleks petidoglikan asam teikhoat dan dapat menghambat fagositose. Bakteriofaga
terutama menyerang bagian ini.
Antigen protein A terletak diluar antigen polisakarida, kedua-duanya
bersama-sama membentuk dinding sel kuman (Anonim, 1994)

4. Media kultur
Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari
campuran zat-zat makanan (nutrisi) yang diperlukan mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa
molekul-molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Dengan media
pertumbuhan dapat dilakukan isolat mikroorganisme menjadi kultur murni dan juga
memanipulasi komposisi media pertumbuhannya.
a. Syarat-syarat media
1) Mengandung semua zat makanan yang dibutuhkan oleh bakteri
2) Mempunyai tekanan osmose, tegangan permukaan, dan pH yang sesuai
3) Tidak mengandung zat penghambat
4) Temperatur sesuai
5) Media harus steril
b. Klasifikasi media buatan
1.Berdasarkan susunan kimianya.
a) Media anorganik, media yang tersusun dari bahan anorganik
b) Media organik, media yang tersusun dari bahan organik
c) Media sintetik, media yang susunan kimianya diketahui dengan pasti,
biasanya digunakan untuk mempelajari kebutuhan makanan bakteri/
mikroba
d) Media non sintetik, media yang susunan kimianya tidak diketahui
dengan pasti, banyak digunakan untuk membunuh atau mempelajari
taksonomi mikroba.
2.Berdasarkan konsistensinya
a) Medium cair (liquid medium), yaitu medium yang berbentuk cair.
b) Medium padat (solid media), yaitu media yang berbentuk padat,
media ini dapat berupa media organik (alamiah) misalnya media
wortel, media kentang, dan lain-lain, atau media anorganik misalnya
silika gel.
c) Media padat yang dapat dicairkan (semi solid medium), yaitu media
dalam keadaan panas (dipanasi) berbentuk cair tetapi dalam keadaan
dingin berbetuk padat, sebab media mengandung agar-agar atau
gelatin. Berdasarkan atas keperluannya media ini dapat dibuat tegak
atau miring (misalnya medium agar tegak, medium agar miring).
3.Berdasarkan fungsinya:
a) Media diperkaya (enriched media), yaitu media yang ditambah zat-
zat tertentu (misalnya serum, darah, ekstrak tumbuh-tumbuhan, dan
lain-lain) sehingga dapat digunkan untuk menumbuhkan mikroba
heterotrof.
b) Media selektif, yaitu media yang ditambah zat kimia tertentu yang
bersifat selektif untuk mencegah pertumbuhan mikrobia lain,
misalnya media yang mengandung kristal violet pada kadar tertentu
dapat mencegah pertumbuhan bakteri gram positif tanpa
mempengaruhi pertumbuhan bakteri gram negatif.
c) Mediun differensial, yaitu medium yang ditambah reagensia atau zat
kimia tertentu, yang menyebabkan suatu mikroba membentuk
pertumbuhan atau mengadakan perubahan tertentu, sehingga dapat
membedakan tipe-tipenya (misalnya darah agar dapat dipakai untuk
membedakan bakteri hemolitik dan non hemolitik).
d) Medium penguji, yaitu media dengan susunan tertentu yang
digunakan untuk pengujian vitamin-vitamin, asam-asam amino,
antibiotik dan lain-lain.
e) Medium khusus, yaitu medium untuk menetukan tipe pertumbuhan
mikroba dan kemampuannya untuk mengadakan perubahan-
perubahan kimia tertentu, (Anonim, 1989.

5. Inokulasi
Inokulasi merupakan usaha penanaman mikroba ke dalam suatu media.
Berdasarkan wujudnya media dibedakan menjadi 3:
a. Media cair untuk memperbanyak dan mengidentifikasi bakteri misalnya
penanaman pada nutrien broth, media gula.
b. Media padat untuk memperbanyak bakteri dalam rangka untuk
identifikasi, untuk identifikasi saja, untuk memperbanyak koloni sekaligus
untuk identifikasi.
c. Media setengah padat untuk menyebarkan koloni bakteri dari spesimen,
merata pada permukaan medium, sehingga mudah dipisahkan atau
diisolasi bakteri yang satu dengan yang lainnya. (Anonim, 1989)
D. Antibakteri
1. Definisi Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat menggangu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan.
Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya karena kemampuan menginfeksi dan
menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Antibiotik merupakan zat yang
dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau
membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik saat ini dibuat secara semi sintetik
maupun sintetik seutuhnya. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba
penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif
setinggi mungkin. Artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik terhadap
mikroba, tetapi relative tidak toksik hospes. Antimikroba yang ideal harus memenuhi
syarat–syarat sebagai berikut :
a. Tidak terjadinya resistensi dari mikroorganisme patogen.
b. Tidak menimbulkan efek samping yang buruk pada tubuh, seperti alergi,
kerusakan syaraf, iritasi lambung.
c. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang luas, (Anonim, 2010).

2. Penggolongan Mekanisme Kerja Antibakteri


Antibakteri dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu :
a. Antibakteri yang dapat menghambat metabolisme sel mikroba
Mekanisme kerja ini diperoleh efek bakterostatik. Mikroba membutuhkan
asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia yang
mendapatkan asam folat dari luar, kuman patogen harus mensintesis sendiri
asam folat dari asam amino benzoate (PABA) untuk kebutuhan hidupnya
b. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin,
sikloserin.Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam sintesis
dinding sel. Pengaruh tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi dari pada
di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya
lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka.
c. Antibakteri yang mengganggu keutuhan membrane sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin. Polimiksin
sebagai senyawa ammonium–kuartener dapat merusak membrane sel setelah
bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membrane sel mikroba.
d. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein.
Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA,
pada bakteri ribosom terdiri atas sub unit, yang berdasarkan konstant
sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk dapat berfungsi
pada sintesis protein kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai
mRNA menjadi ribosom 70S.
e. Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, salah
satu derivate rimfapisin berikatan dengan enzim polymerase–RNA sehingga
menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut (Anonim, 2010).
E. Uji Antibiotik Antibakteri
Pada uji ini diukur respon pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap
agen antibakteri. Tujuan antibakteri (termasuk antibiotik dan subtansi antibakteri
nonantibiotik, misalnya fenol, bisfenol, aldehid) adalah untuk menentukan potensi
dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa antimikroba di pabrik, untuk
menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau manusia, dan untuk memonitor
dan mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya
suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Terdapat macam–macam metode
uji antibakteri seperti berikut:
1. Metode difusi
a. Metode disc diffusion (Tes Kirby & Bauer).
Metode disc diffusion (Tes Kirby & Bauer) untuk menentukan aktivitas agen
antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar
yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar
tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi,
2008).
b. E-test.
E-test untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory concentration) atau
KHM (kadar hambat minimum), yaitu kosentrasi minimal suatu agen
antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba
dari kadar terendah hingga tertingggi dan diletakkan pada permukaan media agar
yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih
yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).
c. Ditch–plate technique.
Pada metode ini sampel uji berupa agen antmikroba yang diletakkan pada
parit yang dibuat dengan cara memotong pada media agar dalam cawan petri pada
bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam)
digoreskan kearah parit yang berisi agen antimikroba (Pratiwi, 2008).
d. Cup-plate technique.
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, di mana dibuat sumur pada
media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut
diberi agen antimikroba yang akan diuji (Pratiwi, 2008).
e. Gradient–plate technique.
Pada metode ini kosentrasi agen antimikroba pada media agar secara teoritis
bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji
ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri dan di letakkan
dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang di atasnya.
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba
berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam)
digoreskan pada arah mulai dari kosentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan
sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin di
bandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan (Pratiwi, 2008).
2. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan
dilusi padat (solid dilution).
a. Metode dilusi cair (broth dilution) test (serial dilution).
Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau kadar
hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal concentration atau
kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri
pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang di tambahkan dengan
mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair
tanpa penambahan pada mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi
selama 18–24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi
ditetapkan sebagai KBM, (Pratiwi, 2008).
b. Metode dilusi padat (solid dilution tes ).
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu kosentrasi agen antimikroba
yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).
F. Hipotesis
1. Ekstrak etanol daun belimbing wuluh mengandung senyawa, tanin, flavonoid,
saponin, yang mempunyai aktivitas antibakteri, sehingga diharapkan dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis.
2. Pada kosentrasi 100 mg/ml ekstrak etanol daun belimbing wuluh memberikan
diameter zona hambat yang paling besar terhadap Staphylococcus epidermidis
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksperimental dengan melihat
ada dan tidaknya zona hambat ekstrak etanol daun belimbing wuluh dengan
kosentrasi 25mg/ml, 50mg/ml, dan 100mg/ml.

B. Tempat dan Waktu


Penelitian dilakukan di Laboratorium Obat Tradisional dan Mikrobiologi
Akademi Farmasi Nasional Surakarta pada bulan November tahun 2012 sampai
Januari tahun 2013.

C. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah daya antibakteri ekstrak etanol daun belimbing wuluh
terhadap Staphylococcus epidermidis.

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn)
2. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah ekstrak etanol daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn) yang diperoleh kampung Dawung Wetan, kecamatan
serengan, kota Surakarta dengan kosentrasi 25mg/ml, 50mg/ml, dan 100mg/ml.
3. Definisi Operasional
Ekstrak adalah hasil penyarian simplisia daun belimbing wuluh secara
maserasi yang kemudian diuapkan sampai diperoleh bobot konstan.
Daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang
berwarna hijau, dan masih muda.

E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) dengan kosentrasi 25mg/ml, 50mg/ml, dan 100mg/ml.
2. Variabel terikat
Diameter zona hambat ekstrak daun belimbing wuluh terhadap bakteri
Staphylococcus epidermidis.
F. Kerangka Pikir

Pembuatan ekstrak etanol


daun belimbing wuluh

Uji kualitatif

Uji Bobot konstan

Penetapan kadar etanol

Uji daya antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh pada


kosentrasi 25mg/ml, 50mg/ml, dan 100mg/ml terhadap
Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi kertas
cakram Kirby & Bauer.

Pengukuran diameter zona hambat

Analisa data

Kesimpulan
G. Instrumen Penelitian
1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, lampu
spiritus, autoklaf, ohse bulat, ohse lurus, petridisk steril, kapas, erlenmeyer steril, labu
ukur steril, oven, inkubator, tabung reaksi steril, objek glass, rak pengecetan, blank
disk, blender.
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah ekstrak etanol daun belimbing wuluh, biakan
murni Staphylococcus epidermidis, spiritus, media Nutrien Agar (NA) plate, Na
miring, NaCl 0,9%, paper disk antibiotik kloramfenikol, disk blank.

H. Cara Kerja
1. Persiapan Alat
Alat yang digunakan antara lain cawan petri, beaker glass, tabung reaksi,
cawan porselin, kapas lidi, pinset disterilkan dengan oven pada suhu 1750C selama 90
menit.
2. Prosedur Kerja
a. Pembuatan serbuk daun belimbing wuluh.
Daun belimbing wuluh di cuci bersih, kemudian di keringkan sampai
cukup kering, lalu diserbukkan dengan jalan diblender dan kemudian diayak.

b. Pembuatan ektrak etanol daun belimbing wuluh


Timbang serbuk kering belimbing wuluh. Masukan dalam bejana,
tambahkan alkohol 70 % sebanyak 7,5 kali bobot serbuk dan diaduk. Maserasi
selama 5 hari dalam bejana tertutup dengan pengadukan tiap hari. Pisahkan
maserat dari enapan, bilas enapan dengan penyari secukupnya. Enapkan
maserat selama 2 hari ditempat sejuk (jangan diaduk). Pisahkan maserat dari
enapan dengan hati-hati. Uapkan maserat hingga diperoleh ekstrak kental.
Ambil 25 mg ekstrak yang diencerkan dengan etanol 70% sampai dengan
volume 1 ml untuk mewakili konsentrasi 2,5%. Ambil 50 mg ekstrak yang
diencerkan dengan etanol 70% sampai dengan volume 1 ml untuk mewakili
konsentrasi 5% dan Ambil 100 mg ekstrak yang diencerkan dengan etanol
70% sampai dengan volume 1 ml untuk mewakili konsentrasi 10%
(Anonim, 1979).

c. Uji kualitatif
1) Uji Flavonoid
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh dimasukkan dalam tabung reaksi
kemudian dilarutkan dalam 1-2 ml methanol panas 50%. Setelah itu
ditambah logam Mg dan 4-5 tetes HCl pekat. Larutan berwarna merah
atau jingga yang terbentuk, menunjukan adanya flavonoid (Halimah,2010)
2) Uji Tanin
a) Uji dengan FeCl3
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh ditambahkan dengan 2-3
tetes larutan FeCl3 1%. Jika larutan menghasilkan warna hijau
kehitaman atau biru tua, maka menunjukan adanya senyawa tanin
b) Uji dengan larutan gelatin
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh dimasukkan dalam tabung
reaksi ditambah dengan larutan gelatin. Jika ada endapan putih maka
menunjukan adanya senyawa tanin (Halimah,2010).
3) Uji Saponin
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh dimasukkan dalam tabung reaksi
ditambahkan air (1:1) sambil dikocok selama 1 menit, apabila
menimbulkan busa dan setelah ditambah HCl 1N, busa yang terbentuk
dapat bertahan selama 10 menit dengan ketinggian 1-3 menit, maka
menunjukan adanya senyawa saponin (Halimah,2010).
4) Uji triterpenoid dan steroid
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh dimasukkan kedalam tabung
reaksi, dilarutkan dalam 0,5 ml kloroform lalu ditambah dengan 0,5 ml
asam asetat anhidrat. Campuran ini selanjutnya ditambah dengan 1-2 ml
H2SO4 pekat melalui dinding tabung tersebut. Jika hasil yang diperoleh
berupa cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan dua pelarut
menunjukan adanya senyawa triterpenoid, sedangkan jika terbentuk warna
hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid (Halimah,2010)
5) Uji Alkaloid
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh dimasukkan dalam tabung
reaksi, ditambah 0,5 ml HCl 2% dan larutan dibagi dalam 2 tabung.
Tabung 1 ditambah 2-3 tetes reagen dragendorff, tabung 2 ditambahkan
2-3 tetes reagen mayer. Jika tabung 1 terbentuk endapan jingga dan tabung
ke-2 membentuk endapan kekuning-kuningan menjukan adanya alkaloid.
(Halimah,2010).
6) Uji polifenol
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh dimasukkan dalam tabung reaksi
ditambahkan beberapa tetes lapisan air dan ditambahkan 1-2 tetes larutan
FeCl3 1 %, bila terbentuk warna hijau sampai biru berarti terdapat
senyawa fenolik.

d. Uji Bobot konstan


Dengan pernyataan bobot tetap yang tertera pada uji susut pengeringan
dan penetapan sisa pemijaran dimaksudkan bahwa dua kali penimbangan
berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang ditimbang. Penimbangan
dilakukan setelah zat dikeringkan atau dipijarkan lagi selama 1 jam. Dengan
pernyataan bobot yang dapat diabaikan, dimaksudkan bobot yang tidak lebih
dari 0,5 mg, (Anonim, 1997).
e. Uji penetapan kadar etanol
Pipet 25 ml cairan uji ke dalam labu destilasi, tambahkan air dengan
volume sama. Destilasi hingga diperoleh destilat kurang lebih 23 ml, destilat
ditampung dalam labu takar 25 ml. Dalam labu takar tersebut ditambah
dengan aquades sampai tanda batas. Piknometer kosong, piknometer berisi
destilat, dan piknometer berisi aquades ditimbang bobotnya, dan dihitung
bobot jenis. Kadar etanol dapat diketahui dengan menggunakan daftar tabel
bobot jenis dan kadar etanol (Anonim, 1979).

f. Regenerasi bakteri
Membuat biakan agar miring, menggoreskan biakan dari stok bakteri
ke media nutrient agar (NA) miring yang masih baru. Inkubasi pada suhu
37oC selama 24 jam.

g. Uji daya antibakteri ekstrak etanol daun belimbing wuluh dengan metode
Kertas Cakram
Inokulasikan koloni sampel kuman Staphylococcus epidermidis dari
biakan Na miring ke dalam NaCl 0,9% steril, bandingkan kekeruhan yang
terjadi dengan standar Neflometer Mc Farland seri tabung 5 hingga diperoleh
kekeruhan yang sama. Inokulasikan suspensi tersebut secara perataan
menggunakan kapas lidi steril pada NA plate. Biarkan mengering, inkubasi
pada suhu 370C selama 15 menit. Blang disk dengan diameter 0,6 cm dan
ketebalan 0,33 mm (kertas saring Whatman 3) yang telah diimpregnasi
dengan ekstrak etanol daun belimbing wuluh dengan kosentrasi
25mg/ml, 50mg/ml, dan 100mg/ml diletakkan pada permukaan NA plate yang
telah diinokulasikan suspensi bakteri. Sebagai control positif menggunakan
paper disk antibiotik kloramfenikol, kontrol negatif menggunakan blank disk.
Inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Daerah bening di sekitar blank disk
menunjukkan hasil uji positif mampu menghambat pertumbuhan bakteri.
Diameter daerah bening yang diperoleh kemudian diukur menggunakan
jangka sorong (Anonim, 1991).
I. Analisa Data
Hasil yang positif atau dapat menghambat pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis ditandai dengan terbentuknya zona hambat atau
zona jernih pada area di sekitar disk, sedangkan hasil negatif atau tidak dapat
menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis ditandai dengan tidak
terbentuknya zona hambat atau zona jernih pada area disekitar disk. Diameter
zona hambat atau zona jernih yang diperoleh kemudian dianalisis statistika dengan
menggunakan software program SPSS 16 dengan metode Kruskal-Wallis Test dan
Mann-Whitney Test.

Anda mungkin juga menyukai