Anda di halaman 1dari 28

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB)


2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

TB adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi bakteri

Mycobacterium tuberculosis. TB paru termasuk pneumonia, yaitu

pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB paru

mencakup 80% dari keseluruh kejadian penyakit TB, sedangkan 20%

selebihnya merupakan TB ekstra pulmonal (Darmanto, 2017).

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit TB adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis dan

Mycobacterium bovis. bakteri tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron dikali

0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular

atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri

dari lipoid (terutama asam mikolat) (Widoyono, 2011).

Gambar.2.1. Mycobacterium tuberculosis Dengan pengecatan tahan asam bakteri

tampak berwarna biru merah diberi tanda ( ).

6
2.1.3 Cara Penularan Penyakit TB
2

Penyakit TB biasanya menular melalui udara hingga sebagian besar

fokus primer TB terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan dapat

melalui peroral misalnya minum susu yang mengandung basil TB, biasanya

Mycobacterium bovis, dapat juga terjadi dengan kontak langsung misalnya

melalui luka atau lecet dikulit (FKUI, 2012).

Penyakit TB paru ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seseorang

pasien TB batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup

oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat

berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke

dalam paru orang sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan. Risiko terinfeksi

berhubungan dengan lama dan kualitas paparan dengan sumber infeksi dan tidak

berhubungan dengan faktor genetik dan faktor pejamu lainnya. Risiko tertinggi

berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusia dibawah 3 tahun, risiko rendah

pada masa kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa muda

dan usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran

pernafasan dan bisa menyebar kebagian tubuh lain melalui peredaran darah,

pembuluh limfe, atau langsung keorgan terdekatnya (Widoyono, 2011).

2.1.4 Perjalanan Penyakit


1. Infeksi TB Primer
Penularan TB terjadi karena bakteri dibatukkan atau dibersinkan

keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar nya. Bila partikel infeksi ini

terhisap oleh orang yang sehat, maka ia akan menempel pada saluran nafas

atau jaringan paru. Karena ukuran yang sangat kecil bakteri TB dapat

mencapai alveolus. Masuknya bakteri TB ini akan diatasi oleh mekanisme


3

imunologik tubuh non spesifik. Makrofag alveolus akan melakukan

fagositosis terhadap bakteri TB dan biasanya sanggup menghancurkan

sebagian besar kuman TB. Sebagian besar orang terinfeksi kuman TB akan

menjadi sakit primer (infeksi primer) yang biasanya terlokalisir di paru dan

limfonodi regional dalam Cavum thoracis.


Bakteri TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya

akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni bakteri TB

di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari fokus primer, bakteri TB

menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar

limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer dan membentuk

kompleks primer.
Bentuk penyebaran lain adalah penyebaran hematogenik generalisata

akut, bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke

saluran vaskular didekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan

beredar di dalam darah (Sudoyo dkk, 2014).


2. Infeksi TB Sekunder (Pasca Primer)
Bakteri yang bersifat dormant (tidur) pada TB primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (TB

sekunder = TB pasca primer). TB sekunder terjadi karena imunitas tubuh

menurun seperti pada penyakit malnutrisi, Diabetes melitus, HIV (Human

immunodeficiency virus), kanker, gagal ginjal, alkohol. TB sekunder ini di

mulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-

posterior lobus superior atau inferior). Sarang dini ini mula-mula juga

berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi

tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan Datia-

Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang di kelilingi oleh sel-sel
4

limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB sekunder juga dapat berasal dari

infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis)

(Sudoyo dkk, 2014).


2.1.5 Tanda dan gejala

Menurut Widoyono (2011) gejala utama pada tersangka TB adalah:

1. Batuk berdahak lebih dari tiga minggu


2. Batuk berdarah
3. Sesak nafas
4. Nyeri dada
5. Gejala lainnya adalah berkeringat pada malam hari demam tidak

tinggi/meriang, dan penurunan berat badan.


2.1.6 Epidemiologi

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta

kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Terdapat

1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan.

Berdasarkan kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV (+) dengan

kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB

Resisten Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB

baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (dibawah usia 15 tahun) dan 140.000

kematian/tahun.

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,

diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)

dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan

63.000 kasus TB dengan HIV (+) (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi

Kasus Case Notification Rate (CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129

per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya


5

314.965 adalah kasus baru. Jumlah kasus TB Resisten Obat (TB-RO),

diperkirakan sebanyak 6.700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari

kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang

(Kemenkes RI, 2016).

2.1.7 Klasifikasi pasien TB berdasarkan riwayat pengobatan


1. Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).


2. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).


Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB

terakhir, yaitu:
a. Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh

atau karena reinfeksi).


b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.


c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-

up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.

(Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah

putus berobat /default) (Kemenkes RI, 2016).


d. Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.


e. Pasien gagal ; adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahak tetap

(+) atau kembali menjadi (+) pada bulan ke 5 atau lebih selama

pengobatan
6

f. Kasus putus obat ; adalah pasien TB yang telah berobat dan putus

berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA (+).


3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2)

(Kemenkes RI, 2016).


2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik

Untuk menegakan diagnosis penyakit TB, dilakukan pemeriksaan

laboratorium untuk menemukan BTA (+). Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu

dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama.

Metode pemeriksaan dahak (bukan liur) sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) dengan

pemeriksaan mikroskopis membutuhkan lebih kurang 5 ml dahak dan biasanya

menggunakan pewarnaan panas dengan metode Ziehl neelsen (ZN) atau

pewarnaan dingin. Dari dua kali pemeriksaan didapatkan hasil BTA (+), maka

pasien tersebut dinyatakan positif mengidap TB paru (Widoyono, 2011).

Diagnostik TB paru cukup mudah dikenal mulai dari keluhan-keluhan

klinis, gejala-gejala, kelainan fisik, kelainan radiologik sampai kelainan

mikrobiologik. Tetapi dalam praktiknya tidaklah selalu mudah menegakkan

diagnosa tersebut. Tahun 1964 WHO dan American Thoracic Society

menyatakan diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan bakteri

Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan.

Jadi diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit 1 spesimen

konfirmasi Mycobacterium tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi

TB atau bukti klinis sesuai dengan TB (Sudoyo dkk, 2014).

Agar pasien tersebut dapat diberikan terapi sesuai dengan penyakit TB

dan penularan penyakitnya terbatas, perlu dibuat cara klasfikasi khusus untuk

diagnosis TB paru. Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sebagai rumah sakit
7

rujukan nasional untuk penyakit paru telah membuat klasifikasi untuk pasien

yang berkaitan atau pernah berkaitan dengan TB paru. Klasifikasinya,yaitu

sebagai berikut :

1. TB paru (definite PTB)


Diagnosa seperti ini ditegakkan jika semua asil prosedur diagnostik yang

dilakukan mendukung (dignosis pasti).


2. TB paru tersangka (suspect TB)
Dari semua prosedur diagnosis yang dilakukan, hanya hasil pemeriksaan

bakteriologik saja yang masih negatif.


3. Bekas TB paru (old pulmonary TB)
Pasien yang telah sembuh dari TB paru yang datang ke dokter karena

terdapat keluhan pada sistem pernafasan


(Darmanto, 2017).
2.1.9 Pengobatan Penyakit TB

Pengobatan TB paru menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) dengan

metode direcly observed treadment sortcourse (DOTS).

1. Kategori I (dua HRZE/4 H3R3) untuk pasien TB baru.


2. Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan

(pasien yang pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh.
3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-)

Ro (+).
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada

pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dari kategori I atau

kategori II ditemukan BTA (+ )


(Widoyono, 2011).

Menurut Kemenkes RI (2016) Pengobatan TB bertujuan untuk

menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,

memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman

terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).


8

a. Obat Anti tuberkulosis (OAT)


OAT harus diberikan dalam bentuk kominasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian

OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan

sangat dianjurkan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, kemungkinan

besar pasien dengan BTA (+) menjadi BTA (- ) konversi dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan

Pada tahap ini penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel 2.1.Pengelompokan OAT

Obat
Golongan-1 Obat Lini - Pirazinamid (Z)
pertama - Isoniazid (H) - Rifampicin (R)
- Ethambutol (E) - Sreptomycin (S)
Golongan-2/Obat
suntik/Suntikan lini kedua - Kanamycin (Km) - Amikacin (Am)
- Capreomycin (Cm)

Golongan-3/Golongan - Ofloxacin (Ofx) Moxifloxacin (Mfx)


Floroquinolone - Levofloxacin (Lfx)

Golongan-4/Obat -Ethionamide (Eto) - Para amino salisilat (PAS)


Bakteriostatik lini kedua -Prothionamide (Pto)- - Terizidone (Trd)
Cycloserine (Cs)
9

Golongan-5/Obat yang - Clofazimine - Thioacetazone (Thz)


belum terbukti efikasinya - Linezolid - Clarthromycin (Clr)
dan tidak direkomendasikan - Amoxilin- - Imipenem (Ipm
oleh WHO Clavulanate(Amx-Clv)
( Departemen Kesehatan RI, 2007 )

b. Panduan Minum OAT


1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA (+),

pasien TB paru BTA (-) foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra

paru.

Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
( Departemen Kesehatan RI, 2007 )

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 2


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap lanjutan 3
(150/75/400/275) + S kali seminggu RH
(150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT+500 2 tab 4KDT 2 tab 2 KDT + 2


mg Streptomisin tab Etambutol
Inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3
mg Streptomisin tab Etambutol
Inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT + 100 4 tab 4KDT 4tab 2KDT + 4 tab
mg Streptomisin Etambutol
Inj.
10

≥71 kg 5 tab + 100 mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5


Streptomisin Inj. tab Etambutol
( Departemen Kesehatan RI, 2007 )

2.1.10 Pencegahan penularan penyakit TB, antara lain:


1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin
2. Meludah pada tempat khusus yang sudah diberi desinfektan dan

tertutup
3. Imunisasi BCG pada bayi
4. Menghindari udara dingin
5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya

ke dalam tempat tidur


6. Menjemur kasur, bantal dan tempat tidur terutama pagi hari. Semua

barang yang digunakan penderita harus terpisah, begitu juga mencucinya

dan tidak boleh digunakan oleh orang lain


7. Makanan yang bergizi tinggi karbohidrat dan tinggi protein.

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan


pasien TB paru BTA (+) dalam terapi OAT kategori 2

Menurut pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2016,

faktor-faktor yang mempengaruhi angka kesembuhan antara lain adalah

keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO), dan pelayanan kesehatan.

Sedangkan menurut teori Green modifikasi Nizar menyatakan:

1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor

pencetus yang mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam

perilaku kesehatan.
2. Faktor yang memungkinkan (enabling factor)yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan dikarenakan antara

lain adalah pemakaian OAT, Pelayanan kesehatan dan peran PMO


11

3. Faktor penguat (reinforcing factor) terwujud dalam sikap dan

perilaku kelompok yaitu baik dukungan keluarga maupun PMO


4. Dari 3 faktor yaitu presdisposing factor, enabling factor dan

reinforcing factor menimbulkan kepatuhan minum obat.


5. Environment terwujud dalam lingkungan fisik rumah penderita TB

paru (Notoatmodjo, 2014).

2.3 Perilaku pencegahan TB Paru


2.3.1 Pengertian

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu

sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat

luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya.

Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berfikir, persepsi dan emosi

yang merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2014).

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap

stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan

kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku

kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance behavior).

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau

menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana

sakit.

2. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan,

atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking

behavior).
12

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

menderita penyakit dan atau kecelakaan.


3. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik

maupun sosial budaya, dan sebagainya.

Ada 4 pokok unsur perilaku kesehatan yaitu:

a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana

manusia berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, mempersepsi

penyakit dan rasa sakit yang ada dalam dan luar dirinya), maupun aktif

(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.

Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan

tingkat-tingkat pencegahan penyakit yaitu:


1. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan

kesehatan (health promotion behaviour). Misalnya makan makanan

yang bergizi, olahraga dan sebagainya.


2. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour),

adalah respon untuk melakukan pencegahan penyakit. Misalnya

perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.


3. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking

behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan.

Misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari

pengobatan ke fasilitas-fasilitan kesehatan modern (Puskesmas, mantri,

dokter praktik dan sebagainya) maupun ke fasilitas kesehatan

tradisional.
13

4. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health

rehabilitation behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan

usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.


b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, yaitu respons

seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan

kesehatan modern maupun tradisional.


c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yaitu respons

seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.


d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health

behaviour) adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai

determinan kesehatan manusia.

2.3.2 Perilaku dalam Upaya Pengendalian Penyakit TB Paru

Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

timbulya masalah penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Seorang

penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang anggota keluarganya. Namun

demikian pengetahuan dan perilaku penderita dalam mencegah agar anggota

keluarga tidak tertular berpengaruh besar dalam kesembuhan dan pencegahan

penyakit TB paru (Putra, 2011).

Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam menularkan penyakit

menular terutama perilaku yang tidak positif, sehingga lingkungan dapat

berubah sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal sebagai tempat penularan

penyakit. Perilaku penderita TB paru BTA (+) yang tidur bersama-sama dalam

satu tempat tidur/kamar dengan istri, suami anak dan anggota keluarga lainnya

dapat menularkan penyakit TB paru sebanyak 68%. Selama sakitnya penderita


14

TB paru dengan sputum BTA (+) bisa menularkan berpuluh-puluh orang sampai

beratus-ratus orang tetapi bisa juga hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk

mempertahankan keadaan seimbang atau prevalensi tetap sama. Seorang

penderita TB paru dengan BTA (+) hanya perlu menulari 20 orang sehat, dan

kemudian di antaranya satu orang akan menjadi pengganti sebagai sumber

penularan baru setelah lama menjadi sembuh atau mati (Putra, 2011).

2.3.3 Perilaku Hidup Sehat

Menurut Chayatin & Mubarak (2009), perilaku hidup sehat merupakan

salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian penyakit TB paru.

Berikut ini ada beberapa upaya pengendalian diri terhadap penyakit TB paru

yang berkaitan dengan perilaku hidup sehat yaitu:

1. Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungan

a. Badan : mandi minimal dua kali sehari, gosok gigi, cuci tangan dan

sebagainya.
b. Rumah dan lingkungan : di sapu, membuang sampah, membuang

kotoran dan air limbah pada tempatnya, membuka jendela pada siang

hari dan lain-lain.


2. Makanan yang sehat Makan makanan yang bersih, bebas dari

penyakit, cukup kualitas maupun kuantitasnya dan bagi penderita TB paru

untuk tidak makan dengan mengunakan piring atau gelas yang sama

dengan keluarga yang lain.


3. Cara hidup sehat dan teratur
a. Makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur.
b. Rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.
c. Penderita tidak tidur satu kamar dengan keluarga lainnya terutama

anak-anak.
15

4. Meningkatkan daya tahan tubuh


a. Menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang

berasal dari penderita maupun sumber-sumber yang lainnya.


b. Menghindari pergaulan yang tidak baik.
c. Membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan.
d. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-

makanan yang bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya

sistem imun senantiasa terjaga dan kuat.


e. Tidur dan istirahat yang cukup dan menghindari melakukan hal-hal

yang dapat melemahkan sistem imunitas (sistem kekebalan tubuh).


f. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung

alkohol.
g. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.

Selain hal-hal di atas ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam

pengendalian penyakit TB paru yaitu dengan cara pencegahan penyebaran

dan penularan penyakit sebagai upaya agar penderita tidak menularkan

kepada orang lain dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi dengan cara:
1) Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan

atau tissu.
2) Tidak batuk dihadapan anggota keluarga atau orang lain.
3) Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama

pengobatan.
4) Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah yang

diberi lysol, dan dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.

Meludah di tempat yang tarkena sinar matahari merupakan hal yang

dianjurkan bagi penderita TB paru.


5) Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena bakteri

Mycobacterium tuberculosis akan mati bila terkena sinar matahari.


6) Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar matahari

masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya agar rumah mendapat udara
16

bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri Mycobacterium

tuberculosis dapat mati.


7) Minum obat secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi

penderita TB paru.

2.4 Kepatuhan Minum Obat

Salah satu komponen Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)

adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung.

Untuk menjamin kepatuhan pengobatan diperlukan seorang pengawas minum

obat (PMO). Petugas kesehatan menjelaskan pentingnya pengawasaan menelan

obat bagi pasien. Jelaskan bahwa pasien menelan seluruh obat dengan diawasi

oleh seorang PMO, untuk memastikan bahwa pasien menelan seluruh obat secara

benar, teratur dan sesuai waktu yang ditentukan (Kemenkes RI, 2016).

2.1.1 Persyaratan PMO

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

1. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.


2. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
3. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien
(Kemenkes RI, 2016).
2.1.2 Tugas seorang PMO
1. Mengawasi pasien TB agar meminum obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan.
17

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan

diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.


5. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan


(Kemenkes RI, 2016).

2.1.3 Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan

kepada pasien dan keluarganya:


1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan TB

dapat disembuhkan dengan berobat teratur.


2. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya.
3. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
4. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
5. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

meminta pertolongan ke Fasyankes


(Kemenkes RI, 2016).
2.1.4 Bagaimana mencegah penularan TB
Pencegahan dapat dilakukan :
1. Menelan obat secara teratur dan tuntas.
2. Menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin.
3. Membuka jendela atau pintu agar cahaya matahari dan udara segar

masuk kedalam rumah.


4. Tidak diperlukan diet khusus, tidak memisahkan alat makan, dan

mensterilisasi alat makan minum atau perabot rumah tangga


(Kemenkes RI, 2016).

2.1.5 Menjelaskan paduan obat


Penjelasan tentang paduan obat meliputi :
1. Lama waktu pengobatan
2. Jenis obat dan cara pemberiannya
3. Kualitas obat
4. Frekuensi kunjungan mengambil obat
18

5. Kemana pergi untuk mengambil obat


(Kemenkes RI, 2016).
2.1.6 Informasi dan edukasi pada keluarga

Menginformasikan pesan kesehatan untuk keluarga pasien merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan di semua sarana

pelayanan kesehatan. Dukungan anggota keluarga ikut menentukan hasil

pengobatan TB. Untuk itu, keluarga juga harus diberikan informasi tentang TB

agar terus menerus mampu mendampingi pasien selama pengobatan. Petugas

kesehatan harus dapat memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga

pasien dalam bahasa yang jelas dan tepat mengenai penyakit, pengobatan dan

efek sampingnya, tindakan atau pemeriksaan yang akan dilakukan dan upaya

pencegahan (Kemenkes RI, 2016).

1. Peran keluarga dalam pengobatan

Menurut Kemenkes RI (2016) Setelah seseorang ditetapkan sebagai

pasien TB maka keluarga adalah orang yang paling dibutuhkan dukungannya

dalam menjalankan pengobatan. Beberapa peran keluarga dalam mendukung

pengobatan pasien TB, yaitu :

a. Memotivasi pasien untuk menjalani pengobatan sampai sembuh,

dengan :
19

1) Kenali faktor yang dapat mendukung ataupun menghambat

pengobatan bagi pasien serta membantu mencari alternative

solusinya.
2) Meyakinkan kepada pasien bahwa pengobatan yang dijalani

akan memberikan kebaikan bagi pasien maupun keluarganya.


b. Menurut (Kemenkes RI, 2016). Mendampingi dan

memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani

pengobatan secara lengkap dan teratur, yaitu :


1) Memotivasi pasien untuk tetap menelan obat saat pasien

mulai bosan.
2) Memastikan pasien menelan obat dengan disaksikan oleh

keluarga.
3) Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan

menumbuhkan rasa percaya diri.


4) Hal yang jangan sampai terlupa adalah beri waktu bagi

pasien untuk mengekspresikan perasaanya. Jika dibutuhkan cari dan

ikut sertakan pasien dalam pertemuan kelompok pasien.


5) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping obat

dan merujuk ke puskesmas.


6) Menanyakan dan memperhatikan apakah pasien mengalami

keluhan setelah menelan obat.


7) Segera merujuk pasien ke puskesmas bila ada efek samping
8) Menenangkan pasien dan meyakinkan bahwa keluhan yang

dialami dapat ditangani.

Peran serta tugas PMO pada proses penyembuhan penyakit, penderita TB

akan memberikan respon dan sikap yang positif untuk minum obat secara teratur

demi kesembuhan penyakitnya, dengan minum obat secara rutin penderita TB

akan terhidar dari risiko resistensi yaitu gagal menjalankan pengobatan dan akan

kembali berobat dari awal pengobatan, sehingga akan membuat jangka waktu
20

pengobatan lebih lama dan dengan terapi pengobatan awal, selain risiko

penularan kepada keluarga atau orang terdekat yang sering ditemui penderita

Pengendalian TB dengan strategi DOTS (Direct Observed Treatment

Short) sejak tahun 2006 dipandang berhasil, tetapi laju prevalensi dan mortalitas

TB tetap meningkat. Belum optimalnya penanganan TB Paru diperkirakan

terkait dengan beberapa faktor, diantaranya adalah rendahnya dukungan anggota

keluarga untuk berperan aktif menjadi PMO (Pengawas Minum Obat) yang

berdampak pada rendahnya motivasi pasien untuk disiplin minum obat begitu

kondisinya membaik dan menghentikan minum obat begitu merasa sudah

sembuh, padahal jika pengobatan teratur penderita dapat mengalami

kesembuhan pada fase pengobatan intensif dimana BTA (+) berubah menjadi

BTA (-) atau disebut konversi (Kemenkes RI, 2016).

2.5 Lingkungan
Kebersihan lingkungan terdiri dari kebersihan tempat tinggal, tempat

bekerja dan berbagai sarana umum lainnya. Kebersihan sangat penting untuk

diperhatikan, karena sering kali kita biarkan lingkungan kita kotor, seringkali

kita lebih memperhatikan kebersihan diri dan rumah kita tetapi kebersihan

lingkungan tidak kita perhatikan. Apabila lingkungan kotor maka akibatnya kan

mempengaruhi beberapa faktor yang dapat menimbulkan terjadinya penyakit

(Fatonah, 2009).
Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup

perumahan. Syarat-syarat rumah yang sehat yaitu : (Notoatmodjo, 2011).


1. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
21

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam

rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat (Notoatmodjo, 2011).


Fungsi kedua dari pada ventilasi adalah untuk membebaskan udara

ruangan dari bakteri – bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu

terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan

selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah

selalu tetap di dalam kelembapan yang optimum (Notoatmodjo, 2011).

Ada dua macam ventilasi yakni :

a. Ventilasi Alamiah

Aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui

jendela, pintu, lubang angin, lubang – lubang pada dinding dan sebagainya.

Ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan

masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah, untuk itu harus

ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut

(Notoatmodjo, 2011).

b. Ventilasi Buatan

Mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut,

misalnya kipas angin, mesin pengisap udara. Alat ini tidak cocok dengan

kondisi rumah di pedesaan. Perlu diperhatikan disini bahwa sistem

pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak berhenti atau membalik
22

lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah harus ada jalan masuk

dan keluarnya udara (Notoatmodjo, 2011).

2. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup tidak kurang dan

tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,

terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman juga merupakan media atau

tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.

Cahaya dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

a. Cahaya alamiah
Cahaya alamiah, yakni matahari cahaya ini sangat penting karena

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC,

oleh karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang

cukup. Jalan masuk cahya (jendela) luasnya sekurang kurangnya 15%-20%

dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah.


b. Cahaya buatan
Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan

alamiah seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya.


3. Luas Bangunan Rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan

jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan menyebabkan penjubelan (overcrowded). Hal ini

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan bila satu anggota keluarga

terkena penyakit infeksi (misalnya TB) akan mudah menular kepada anggota
23

keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat

menyediakan 2,5-3m2 untuk tiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2011).


4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9

m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang.

Dikatakan padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas

lantai rumah ≥4 m2/orang.

2.6 Penelitian terkait

Hasil study Shofiya & Sari (2016). Mengenai Hubungan keteraturan

minum obat dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA+ pada akhir

pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015 menunjukkan

bahwa pada kelompok kasus sebagian besar pasien teratur minum obat yaitu

sebesar 70,4%.

Yuniar, dkk (2017). Melaporkan tentang pengaruh peran PMO dan

dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat. Penelitian ini menggunakan

metode analitik dengan rancangan cross sectional dengan teknik analisa bivariat

chi square. Hasil penelitian Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor PMO

dengan Kepatuhan Minum obat TB di Daerah Wilayah Puskesmas Sempor 1

Kebumen dengan nilai pv = 0,004 < 0,05. Dan Terdapat hubungan yang signifikan

antara faktor dukungan keluarga dengan Kepatuhan Minum obat TB di Daerah

Wilayah Puskesmas Sempor 1 Kebumen dengan nilai pv = 0,000 < 0,05

Penelitian yang dilakukan Lalombo, Palandeng & Kallo (2015). Tentang

hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di puskesmas

siloam kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe.Hasil penelitian ini


24

diperoleh nilai p= 0,01 yang berarti nilai p lebih kecil dari nilai α (0,05). Maka

dapat Kesimpulan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok

dengan kejadian tuberkulosis paru.

2.7 Kerangka Teori

Menurut pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2016,

faktor-faktor yang mempengaruhi angka kesembuhan antara lain adalah

keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO), dan pelayanan kesehatan.

Sedangkan menurut teory green modifikasi Nizar menyatakan: Faktor

yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor pencetus yang

mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam perilaku kesehatan. Faktor

yang memungkinkan (enabling factor) yaitu faktor yang memungkinkan

terjadinya perubahan status kesehatan dikarenakan antara lain adalah pemakaian

OAT, Pelayanan kesehatan dan peran PMO. Faktor penguat (reinforcing factor)

terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok yaitu baik dukungan keluarga

maupun PMO. Dari 3 faktor yaitu presdisposing factor, enabling factor dan

reinforcing factor menimbulkan kepatuhan minum obat. Environment terwujud

dalam lingkungan fisik rumah penderita TB paru (Notoatmodjo, 2014).


25

Faktor eksternal

Aspek pelayanan
kesehatan :
1. Pengawas
Menelan Obat
(PMO)
2. Peran petugas
kesehatan
3. Ketersediaan
obat
Kegagalan pengobatan
Faktor eksternal pasien TB paru
Aspek kesehatan
lingkungan

1. Kondisi Rumah Faktor internal


2. Sanitasi
Lingkungan 1. Jenis Kelamin
2. Umur
Aspek mikroba atau 3. Tingkat Pendidikan
sifat kuman 4. Tingkat Pekerjaan
Mycobacterium 5. Kepatuhan Berobat
tuberculosis 6. Kebiasaan Merokok
7. Perilaku Kesehatan
8. Penyakit penyerta

Gambar 2.2 Kerangka Teori

2.8 Kerangka Konsep


26

Berdasarkan pada kerangka teori yang ada, maka dapat dibuat kerangka

konsep penelitian. Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan

antara konsep satu atau terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin

diteliti (Notoatmodjo, 2012).

Faktor eksternal
Aspek pelayanan
kesehatan :
1. Pengawas
Menelan Obat
(PMO)
2. Peran petugas
kesehatan
3. Ketersediaan

Faktor eksternal
Aspek kesehatan
lingkungan Kegagalan pengobatan
pasien TB paru
1. Kondisi Rumah
2. Sanitasi
Lingkungan
Faktor Internal
Aspek mikroba atau sifat
1. Jenis Kelamin
kuman Mycobacterium
Tuberculosis 2. Umur
3. Tingkat
Pendidikan
4. Tingkat Pekerjaan
5. Kepatuhan
Berobat
6. Kebiasaan
Merokok

Sumber :Kemenkes RI (2016)


27

Keterangan:
................ Variabel Diteliti
Variabel Tidak Diteliti

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

2.9 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara dari sebuah masalah

penelitian, pernyataan tersebut harus diuji apakah benar atau salah (Suyanto,

2011). Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ha1 : Ada hubungan merokok dengan kegagalan pengobatan pasien TB

paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

H01 : Tidak ada hubungan merokok dengan kegagalan pengobatan pasien

TB paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

2. Ha2 : Ada hubungan perilaku pencegahan dengan kegagalan pengobatan

pasien TB paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

H02 : Tidak ada hubungan perilaku pencegahan dengan kejadian TB paru

di Puskesmas Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

3. Ha3 : Ada hubungan pengawas minum obat dengan kegagalan pengobatan

pasien TB paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

H03 : Tidak ada hubungan pengawas minum obat dengan kegagalan

pengobatan pasien TB paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung

Tahun 2018.

4. Ha4 : Ada hubungan keadaan lingkungan dengan kegagalan pengobatan

pasien TB paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung Tahun 2018.


28

H04 : Tidak ada hubungan keadaan lingkungan dengan kegagalan

pengobatan pasien TB paru di Puskesmas Kota Bandar Lampung

Tahun 2018

Anda mungkin juga menyukai