Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Antara Trikomoniasis Vaginalis dan Sifilis serta Faktor-faktor

yang Mempengaruhinya pada Pekerja Seks Komersial di Daerah Kuningan,


Jawa Barat
Gustin Candra Devi, Widiastuti
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan
Salemba Raya 6, Jakarta, 10430, Indonesia.
gustin.candra@gmail.com

Abstrak

IMS (Infeksi Menular Seksual) merupakan kelompok penyakit pada genital yang ditularkan
melalui hubungan seksual. Trikomoniasis vaginalis (15,1%) dan sifilis (8,7%) adalah salah
satu jenis IMS yang paling sering terjadi setelah gonore dan kandidiasis. Infeksi ini dapat
terjadi sebagai infeksi tunggal maupun infeksi campuran antara beberapa IMS. IMS
dipengaruhi oleh faktor seperti pekerjaan, pendidikan, dan jenis kontrasepsi. Prostitusi
merupakan salah satu jalur penyebaran IMS yang paling dominan di Indonesia dimana 67%
PSK tercatat terinfeksi IMS. PSK (Pekerja Seks Komersial) sebagai salah satu komponen
prostitusi merupakan individu dengan faktor risiko yang tinggi untuk terinfeksi. Penelitian ini
ditujukan untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK
serta hubungannya dengan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi. Penelitian
ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan data sekunder mengenai IMS
pada PSK yang dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini
menunjukkan bahwa dengan uji chi-square dari 50% subjek yang positif trikomoniasis
vaginalis juga sifilis tidak ditemukan hubungan bermakna antara keduanya (p>0,001). Selain
itu, ditemukan terdapat hubungan bermakna antara faktor usia dengan koinfeksi trikomoniasis
vaginalis juga sifilis (p<0,001) sedangkan faktor tingkat pendidikan (p=0,484) dan jenis
kontrasepsi (p=0,084) ditemukan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Berdasarkan hasil
tersebut, trikomoniasis vaginalis dan koinfeksi sifilis dapat terjadi pada wanita usia
reproduktif pada berbagai tingkat pendidikan dan jenis kontrasepsi.

Kata Kunci: IMS (Infeksi Menular Seksual); trikomoniasis vaginalis; sifilis; usia; tingkat
pendidikan; jenis kontrasepsi; PSK (Pekerja Seks Komersial); dan Kuningan.

Association Between Trichomoniasis Vaginalis and Siphylis Also Other Factors Contributed
Among Female Sex Workers in Kuningan, Jawa Barat

Abstract

STD (Sexual Transmitted Disease) is a group of genital disease which is distributed by sexual
course. Trichomoniasis vaginalis (15,1%) and siphylis (8,7%) were the most common kind of
STD after gonorrhea and candidiasis. This infection can be manifestated as single infection
or combination with another kind of STD. STD can be influenced by many factors such as age,
education, and contraception. Prostitution is the most common way of STD distribution in
Indonesia where 67% of FSW (Female Sex Workers) were infected. FSW as an important
component of prostitution is a high risk population to be infected. Therefore, this study aimed

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


to understand the association between trichomoniasis and siphylis in FSW also its association
with age, education, and contraception used. This study used cross-sectional design with
secondary entry about STD among FSW collected in Puskesmas Kuningan, Jawa Barat. The
result claimed that from 50% FSW who were positif trichomoniasis vaginalis and siphylis had
no significant association between trichomoniasis and siphylis (p>0,001). Beside that, there
was significant association between age factor and trichomoniasis also siphylis coinfection
but education and contraception didn’t have any significant association. Due to results of this
study, trichomoniasis vaginalis and siphylis can infect woman in reproductive age with
different education and contraception.

Keywords: STD (Sexual Transmitted Disease); trichomoniasis vaginalis; siphylis; age;


education; contraception; FSW (Female Sex Worker); and Kuningan.

Pendahuluan

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual.1,2 Daili SF dkk (2011) menyebutkan bahwa padahun 1994 didapatkan data prevalensi
IMS di Indonesia berkisar antara 7,4-50%.1 Harahap M (1984) menyatakan bahwa prostitusi
merupakan sumber dari 80-90% kasus IMS.2 Penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 yang
dilakukan oleh Tanudyaya dkk (2010) juga menyebutkan bahwa prevalensi IMS secara umum
pada pekerja seks komersial (PSK) adalah 64%, prevalensi tikomoniasis vaginalis 15,1%, dan
sifilis 8,7%.3
Trikomoniasis vaginalis dan sifilis adalah infeksi genital yang tergolong dalam IMS
tersering di Indonesia setelah gonore dan kandidiasis.4,5 Berdasarkan angka kejadian IMS di
beberapa negara berkembang, WHO (1999) memperkirakan akan terus terjadi peningkatan
pada prevalensi IMS pada negara-negara berkembang seperti Indonesia yakni sebesar 350 juta
kasus baru setiap tahunnya.1,2 Harahap M (1984) menyebutkan bahwa selain faktor ekonomi,
budaya, dan pendidikan prostitusi yang dilakukan oleh waria, PSK, dan homoseksual adalah
salah satu faktor terbesar yang menyebabkan tingginya prevalensi IMS..2 Selain faktor risiko
tinggi IMS seperti usia, pelancong, PSK, pengguna narkotika, dan homoseksual, menurut
Daili dkk (2011) terdapat faktor sosial seperti mobilitas penduduk, prostitusi, kebebasan
individu, dan ketidaktahuan. Penggunaan kondom merupakan salah satu upaya dalam
pengendalian IMS.1
Beberapa penelitian menunjukan bahwa sebuah IMS dapat menyebabkan terjadinya
IMS jenis lain. Penelitian yang dilakukan oleh Tanudyaya dkk (2010) pada PSK di sembilan
propinsi di Indonesia menyebutkan bahwa beberapa PSK diantaranya terinfeksi beberapa IMS

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


sekaligus. 64% diantara PSK dengan gonorrhea dan Chlamydia trachomatis (C. Trachomatis).
Penelitian yang dilakukan oleh Allsworth JE dkk (2009) di tahun 2004 pada NHAES
menunjukkan bahwa 3,5% subjek yang Trichomonas vaginalis (T. vaginalis) positif juga
terinfeksi Treponema pallidum (T. pallidum).6
Mengingat dapat terjadinya koinfeksi IMS dan besarnya sumber infeksi pada PSK,
maka dilakukan penelitian mengenai besarnya prevalensi terjadinya trikomoniasis vaginalis
dan sifilis serta mengetahui terdapatnya hubungan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis
kontrasepsi pada PSK di daerah kuningan, Jawa Barat di Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Daili etal (2011) menyatakan bahwa IMS terbanyak di Indonesia menurut data statistik
pada tahun 1988 hingga 1994 adalah gonorrhea (16-58%) yang diikuti oleh penyakit infeksi
genital nonspesifik (24-54%), kandidiasis (23%), trikomoniasis, sifilis, kemudian herpes
genital.1
Prevalensi IMS di Indonesia berkisar antara 7,4-50%.1 Angka ini diperkirakan WHO
(1999) akan mengalami peningkatan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia
dengan penambahan sekitar 350 juta kasus baru setiap tahunnya. Harahap M (1984)
menyatakan faktor ekonomi, budaya, pekerjaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi
peningkatan insiden IMS.2 Peningkatan insiden IMS di Indonesia dipengaruhi oleh faktor
risiko tinggi seperti usia (laki-laki pada usia 20-34 tahun, perempuan usia 16-24 tahun, usia
20-24 tahun pada kedua jenis kelamin), wisatawan, PSK, pecandu narkoba, homoseksual.1
Trikomoniasis vaginalis merupakan IMS yang disebabkan oleh protozoa anareob
berflagel, Trichomonas vaginalis (T. vaginalis) dengan insisden puncak pada usia 15-24
tahun.7,8 Stadium infektif dari T. vaginalis adalah trofozoit. Protozoa ini menempati area
genital perempuan bagian bawah juga, prostat, dan uretra pada pria dalam bentuk trofozoit
yang akan membelah secara binari dan kemudian akan transmisikan pada area genital
pasangan seksual. Stadium diagnostiknya adalah trofozoit pada sekret vagina dan prostat.
Patogenesis terjadinya infeksi T. vaginalis diawali oleh proses adhesi melalui molekul adhesi
pada membran plasma sel target sehingga dapat menghasilkan molekul sitotoksik pada
membran plasma sel target dan menyebabkan kerusakan.9,10 Infeksi T. vaginalis pada
perempuan umumnya memiliki gejala berupa cairan vagina yang purulen. Gejala tersebut
dapat pula diikuti oleh gejala lain seperti lesi pada vulva vagina maupun serviks, nyeri pada
daerah abdomen, disuria, dan dispareunea.11 Diagnosis dilakukan dengan menggunakan

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


sampel yang diambil dari sekret vagina untuk pemeriksaan langsung (sediaan basah) dengan
NaCl untuk menemukan gambaran motil trofozoit pada mikroskop. Dapat pula dilakukan
pewarnaan giemsa namun pemeriksaan ini kurang sensitif. 1,11
Sifilis meruipakan IMS yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum (T.
pallidum). Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk basil panjang, ramping,
menggulung seperti heliks, atau berbentuk seperti spiral atau sekrup. Sebagai satu-satunya
pejamu alami dari bakteri ini, sumber lokasi infeksi sifilis pada manusia adalah lesi aktif pada
kulit atau mukosa yang kemudian akan menyebar jauh melalui aliran limfatik dan darah.
Sekitar dua minggu setelah inokulasi pada lokasi awal akan muncul lesi primer pada kulit atau
mukosa pasien yang disebut dengan cancre yang akan mengalami penyembuhan sendiri
selama 4-6 minggu. Setelah terjadi cancre yang menandai terjadinya sifilis primer akan terjadi
sifilis sekunder pada sekitar 25% kasus yang tidak mendapakan penatalaksanaan yang adekuat
pada infeksi sifilis primer. Pada sifilis sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah bening
generalisata dan lesi mukosa yang umumnya simetris, mukopapular, berskuama, dan pustular.
Seperti halnya infeksi sifilis sekunder yang dapat sembuh sendiri meskipun tanpa pemberian
antimikroba. Fase ini disebut dengan fase laten dini yang akan berkembang menjadi fase laten
lanjut apabila terjadi kekambuhan apabila tidak diobati dengan baik. Sekitar sepertiga kasus
sifilis akan berlanjut menjadi fase simptomatik lanjut yang terjadi selama 10-20 tahun atau
disebut sebagai dengan fase sifilis tersier.13,14
Diagnosis sifilis pada stadium sifilis primer dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
mikroskopik lapang gelap dengan spesimen yang berasal dari kerokan ulkus cancre,
pemeriksaan histologi yang menunjukkan gambaran hiperplasia epidermis dan hilangnya
epidermis. Stadium sifilis sekunder dilakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan
spirochaeta pada lesi mukosa, biopsi kelenjar getah bening yang membesar akan
memperlihatkan gambaran hiperplasia nonspesifik sentrum germinativum, dan uji antibodi
nontreponema juga antibodi antitreponema yang menunjukan hasil positif. Sedangkan pada
stadium sifilis tersier adalah uji antibodi nontreponema yang menunjukan hasil negatif dan uji
antibodi antitreponema yang menunjukkan hasil positif. 13,14

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan desain cross-sectional dengan pengkajian


analitik untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis serta
hubungannya dengan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi dengan

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


menggunakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian Departemen Parasitologi
mengenai Hubungan Antara Infeksi Menular Seksual pada Pekerja Seks Komersial di daerah
Kuningan, Jawa Barat. Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat pada Mei 2013.
Pengolahan data dilaksanakan di Departemen Parasitologi FKUI pada Juni 2013-April 2014.
Sampel penelitian adalah PSK yang berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat yang
dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat yang bersedia untuk dilakukan
anamnesis dan pengambilan sekret vagina. Sampel diambil dengan menggunakan teknik total
population.
Pada penelitian ini dilakukan analisis data mengenai hubungan trikomoniasis vaginalis
dan sifilis dengan variabel bebas adalah infeksi trikomoniasis vaginalis, usia, tingkat
pendidikan, dan jenis kelamin; sedangkan variabel terikat adalah infeksi sifilis serta hubungan
faktor usia, tingkat pendidikan, serta jenis kontrasepsi dengan trikomoniasis vaginalis dan
sifilis digunakan variabel bebas yakni usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi;
sedangkan variabel terikat adalah trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Data dikelompokkan
dalam kategori usia 16 tahun sebagai usia subjek termuda, dengan interval 5 tahun hingga usia
35 tahun; tingkat pendidikan menggunakan strata pendidikan formal di Indonesia dimulai dari
SD hingga D3; dan kontrasepsi menjadi kondom, nonkondom, dan tidak menggunakan
kontrasepsi.
Data yang telah diolah akan dianalisis dengan cara analisis statistik inferensial secara
bivariat (crosstab) antara variabel bebas dengan variabel terikat untuk mencari nilai p dengan
uji Chi-square dengan SPSS for Windows versi 1615,16

Hasil Penelitian

Sebanyak 265 PSK yang telah diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian,
seluruhnya bersedia menjadi subjek penelitian untuk kemudian dilakukan pengambilan sekret
vagina. Tabel 1 menunjukkan karakteristik subjek penelitian yang terdiri dari asal daerah.
Subjek penelitian terbanyak berasal dari daerah kuningan sebanyak 72 (27,7%). Sebagian
kecil subjek berasal dari daerah lain seperti Jakarta, Bogor, Haeurgeulis, Jatibarang,
Tangerang, Sukamandi, Tangsel, Padang, Solok, dan Subang.

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


Tabel 1. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Daerah
Asal Daerah Frekuensi n (%)
Kuningan 72 (27,7)
Cirebon 56 (21,1)
Indramayu 41 (15,5)
Sukabumi 33 (12,5)
Tasikmalaya 23 (8,7)
Bandung 10 (3,8)
Tangerang 7 (2,6)
Subang 5 (1,9)
Haurgeulis 3 (1,1)
Jatibarang 3 (1,1)
Tangsel 3 (1,1)
Bogor 2 (0,8)
Harjamukti 2 (0,8)
Padang 2 (0,8)
Jakarta 1 (0,4)
Solok (Sumbar) 1 (1,4)
Sukamandi 1 (0,4)

Tabel 2 menunjukkan sebaran usia pada subjek yang digunakan dalam penelitian ini.
Subjek terbanyak berusia 16 hingga 20 tahun sebanyak 128 orang (48,3%).

Tabel 2. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia


Usia Frekuensi n (%)
16-20 tahun 128 (48,3)
21-25 tahun 77 (29,1)
26-30 tahun 53 (20,0)
31-35 tahun 7 (2,6)

Tabel 3 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan yang ditempuh oleh subjek yang
digunakan dalam penelitian ini. Mayoritas subjek penelitian yakni 191 (72,1%) adalah PSK

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


yang memiliki pendidikan terakhir SMP atau sederajat. Sebagian kecil subjek yang memiliki
pendidikan lebih tinggi yakni D3 sebanyak 8 (3%).

Tabel 3. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat


Pendidikan
Tingkat Pendidikan Frekuensi n (%)
D3 8 (3)
SD 38 (14,3)
SMP 191 (72,1)
SMA 28 (10,6)

Tabel 4 menunjukan jenis kontrasepsi yang digunakan oleh PSK sebagai subjek dalam
penelitian ini. Mayoritas responden merupakan PSK yang menggunakan kontrasepsi selain
kondom sebanyak 174 (65,7%) sedangkan sekitar 71 subjek (26,8%) menggunakan kondom
dan 20 (7,5%) yang tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Tabel 4 Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis


Kontrasepsi

Jenis Kontrasepsi Frekuensi n (%)


Kondom 71 (26,8)
Nonkodom 174 (65,7)
Tidak menggunakan 20 (7,5)

Tabel 5 memperlihatkan hubungan antara infeksi trikomoniasis vaginalis dengan


menggunakan uji Chi-square. Dari 167 (63%) subjek yang positif terinfeksi trikomoniasis
vaginalis sekitar 50% diantaranya juga positif sifilis. Didapatkan nilai p lebih besar dari 0,05
yakni sebesar 0,962 sehingga tidak terdapat hubungan bermakna antara infeksi trikomoniasis
vaginalis dan infeksi sifilis.

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


Tabel 5. Hubungan Infeksi Trikomoniasis Vaginalis dan Infeksi Sifilis

Sifilis
Variabel Positif Negatif Nilai P
n % n %
Trikomoniasis Positif 83 50 84 50 0,962
Negatif 49 50 49 50
Total 132 100 133 100

Tabel 6 menunjukkan hubungan antara usia dengan koinfeksi trikomoniasis vaginalis


dan sifilis dengan menggunakan uji Chi-square. Nilai p yang didapatkan adalah lebih kecil
dari 0,05 yakni <0,001. Nilai p tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia
dengan koinfeksi trikomoniasis vaginalis dan sifilis.

Tabel 6. Hubungan Faktor Usia dengan Koinfeksi Trikomoniasis Vaginalis dan


Sifilis

Trikomoniasis & Sifilis


Infeksi TV saja Sifilis Negatif Nilai
Variabel
Campur saja P
n % n % n % n %
16-20 52 40,6 44 34,4 23 18,0 9 7 0,000
21-25 22 28,6 23 29,9 14 18,2 18 23,4
Usia
26-30a 9 17 17 32,1 10 18,9 17 32,1
b
31-35 0 0 0 0 2 28,6 5 71,4
Total 83 31,3 84 31,7 49 18,5 49 18,5

Tabel 7 menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan koinfeksi


trikomoniasis vaginalis dan sifilis dengan menggunakan uji Chi-square. Nilai p yang
didapatkan adalah lebih besar dari 0,05 yakni 0,484. Nilai p tersebut menunjukkan hubungan
yang tidak bermakna antara pendidikan dengan koinfeksi trikomoniasis dan sifilis.

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


Tabel 7. Hubungan Faktor Tingkat Pendidikan dengan Koinfeksi Trikomoniasis dan
Sifilis
Trikomoniasis & Sifilis
Infeksi TV saja Sifilis Negatif Nilai
Variabel
Campur saja P
n % n % n % n %
SD 7 18,4 13 34,2 10 26,3 8 21,1 0,484
SMP 66 34,6 58 30,4 34 17,8 33 17,3
Pendidikan
SMAc 9 32,1 10 35,7 4 14,3 5 17,9
D3d 1 12,5 3 37,5 1 12,5 3 37,5
Total 83 31,3 84 31,7 49 18,5 49 18,5
c,d
digabung untuk keperluan statistika

Tabel 8 menunjukkan hubungan antara jenis kontrasepsi dengan koinfeksi infeksi


trikomoniasis dan sifilis dengan menggunakan uji Chi-square. Nilai p yang didapatkan adalah
lebih besar dari 0,05 yakni 0,346. Nilai p tersebut menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna antara jenis kontrasepsi dengan koinfeksi trikomoniasis dan sifilis.

Tabel 8. Hubungan Faktor Jenis Kontrasepsi dengan Koinfeksi Trikomoniasis dan


Sifilis
Trikomoniasis & Sifilis
Infeksi TV saja Sifilis Negatif Nilai
Variabel
Campur saja P
N % N % n % n %
Jenis Kondom 21 29,6 19 26,8 18 25,4 13 18,3 0,846
Kontra- Non- 62 32,0 65 33,5 31 16,0 13 18,6
sepsi kondom
Total 83 31,3 84 31,7 48 18,1 50 18,9

Diskusi

Pada penelitian ini didapatkan 63% subjek terinfeksi trikomoniasis vaginalis dan 50%
subjek terinfeksi sifilis. Dari 63% subjek yang positif terinfeksi trikomoniasis vaginalis

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


tersebut 50% diantaranya juga positif sifilis. Didapatkan pula nilai P 0,962 yang menunjukkan
tidak terdapat hubungan yang bermakana antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada individu yang positif trikomoniasis vaginalis dapat
mengalami sifilis, begitu pula sebaliknya. Namun demikian pada penelitian ini tidak dapat
diketahui hubungan kausalitas diantara keduanya karena keterbatasan penelitian yang
menggunakan design crossectional.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Alsworth JE, dkkl (2009) yang
menunjukkan terdapat hubungan antara infeksi trikomoniasis vaginalis dan sifils pada wanita
usia reproduktif di Amerika Serikat. Pada penelitian tersebut didapatkan 3,5% subjek dengan
trikomoniasis vaginalis positif juga terdeteksi positif sifilis dengan nilai P <0,001.6 Penelitian
tersebut merumuskan hipotesis bahwa pada individu yang terinfeksi trikomoniasis vaginalis
akan lebih mudah terinfeksi penyakit infeksi menular seksual lain seperti sifilis karena infeksi
trikomoniasis vaginalis akan menyebabkan rekruitmen dari sel-sel imun lokal dan
menyebabkan lesi pada daerah vagina, sehingga meningkatkan risiko masuknya patogen lain
seperti T. pallidum pada vagina melalui lesi aktif tersebut. Hal serupa juga dijelaskan oleh
Cohen MS dkk (1997)19 mengenai pencegahan penyakit infeksi menular seksual dan
penelitian mengenai transmisi Trichomonas vaginalis oleh Sorvillo F dkk (1998).20
Subjek pada penelitian tersebut adalah wanita usia reproduktif dimana pada
penelitian ini subjek yang digunakan adalah subjek dengan risiko tinggi mengalami infeksi
menular seksual akibat frekuensi berhubungan seksual dan berganti pasangan yang tinggi
pada PSK, sehingga terjadinya sifilis dan trikomoniasis pada PSK tinggi. Selain itu dengan
metode penelitian cross sectional tidak dapat ditentukan apakah PSK dengan positif terinfeksi
sifilis disebabkan oleh infeksi trikomoniasis vaginalis sebelumya melalui lesi aktif sebagai
jalur masuknya infeksi T. pallidum, atau sebaliknya infeksi trikomoniasis yang justru
menyebabkan terjadinya infeksi sifilis pada PSK, atau terjadinya kedua infeksi tersebut
berjalan masing-masing tanpa korelasi.
Pada penelitian ini didapatkan 81 subjek (31,3%) yang teridentifikasi positif
terinfeksi T. vaginalis dan positif terinfeksi T. pallidum, 40,6% diantaranya merupakan subjek
yang berusia 16 hingga 20 tahun, sedangkan 28,6% diantaranya berusia 21 hingga 25 tahun,
dan sisanya sekitar 17% berada pada usia 26 hingga 30 tahun. Didapatkan nilai p<0,001
sehingga didapatkan hubungan yang bermakna antara usia dan terjadinya trichomoniasis,
sifilis, maupun kedua infeksi tersebut secara bersamaan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa baik trikomoniasis vaginalis maupun sifilis dapat terjadi pada usia tertentu yakni usia
reproduktif.

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


Hal serupa juga yang dijelaskan oleh Daili SF dkk (2011), bahwa usia merupakan
salah satu faktor risiko tinggi yang menyebabkan seorang individu dapat terinfeksi IMS.
Individu yang tergolong dalam kelompok usia risiko tinggi untuk terinfeksi IMS adalah
wanita berusia 16 hingga 24 tahun.1 Dimana pada penelitian ini 2 kelompok usia terbanyak
dari subjek yang digunakan merupakan wanita yang tergolong dalam wanita dengan risiko
tinggi untuk terinfeksi IMS yakni 48% subjek berusia 15 hingga 20 tahun diikuti wanita yang
berusia 21 hingga 25 tahun sebanyak 29,1%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adebowale
AS dkkl (2013), juga menyatakan bahwa bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya IMS.21
Pada peneilitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor tingkat
pendidikan dengan trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Dari 81 subjek (31,3%) yang terinfeksi
T. vaginalis dan T. pallidum mayoritas memiliki pendidikan tertinggi SMP. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa baik trikomoniasis vaginalis maupun sifilis dapat terjadi pada PSK
dengan berbagai tingkat pendidikan.
Hal ini berbeda dengan pernyataan Daili SF (2011), yang menyatakan bahwa faktor
pendidikan, dalam hal ini adalah ketidak tahuan mengenai IMS dapat menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya IMS.1 Penelitian yang dilakukan oleh Allsworth JE
(2009)6 dan Adebowale AS dkkl (2013)21 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pendidikan dengan terjadinya trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Hal ini
disebabkan karena terdapat faktor variabel lain yang lebih kuat pada penelitian ini yaitu
pekerjaan sebagai PSK pada usia risiko tinggi terjadinya IMS.
Pada peneilitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor jenis
kontrasepsi dengan terjadinya trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Dari 81 subjek (31,3%) yang
terinfeksi T. vaginalis dan T. pallidum mayoritas subjek tidak menggunakan kondom sebagai
alat kontrasepsi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik trikomoniasis vaginalis
maupun sifilis dapat terjadi pada semua PSK dengan berbagai jenis kontrasepsi.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Allsworth JE (2009), yang
menyatakan bahwa faktor penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi sekaligus barrier
dalam penyebaran terjadinya IMS.6 Hal yang serupa juga dijelaskan oleh Adebowale AS dkkl
(2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor penggunaan
kondom dan terjadinya IMS.21 Perbedaan hasil pada penelitian ini dapat disebabkan subjek
yang digunakan pada kedua penelitian ini adalah subjek yang berisiko tinggi terinfeksi IMS
yakni PSK dan wanita pada usia risiko tinggi (16-24 tahun).

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagi berikut:


1. 27,7% subjek berasal dari daerah kuningan dengan rentang usia terbanyak adalah pada
usia 15 hingga 20 tahun sebanyak 48,3%. Mayoritas subjek yakni 72,1% memiliki
pendidikan tertinggi SMP atau sederajat. Jenis kontrasepsi yang paling banyak
digunakan oleh subjek adalah kontrasepsi nonkondom sebanyak 65,7%.
2. Prevalensi trikomoniasis vaginalis pada pekerja seks komersial (PSK) di daerah
Kuningan, Jawa Barat adalah 63%.
3. Prevalensi infeksi sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat adalah 50%.
4. PSK yang positif terinfeksi trikomoniasis vaginalis dan positif terinfeksi sifilis adalah
50%. Tidak ditemukan hubungan antara infeksi trikomoniasis vaginalis dan infeksi
sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat (p=0,926).
5. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan trikomoniasis vaginalis dan
sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat (p<0,001).
6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan
trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat
(p=0,484).
7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi dengan
trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat
(p=0,084).

Saran

Saran yang dapat peneliti berikan terkait dengan penelitian ini adalah dilakukan
penyuluhan kepada PSK sebagai subjek dengan risiko tinggi IMS dan pasangan usia subur di
daerah Kuningan, Jawa Barat mengenai penyakit-penyakit IMS, penularannya, dan
pencegahannya serta diadakan penelitian lain mengenai hubungan infeksi trikomoniasis
vaginalis dan sifilis dan IMS lain yang lebih bervariasi.

Daftar Pustaka

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


1. Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi menular seksual, 4th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2011. p 001-190.
2. Harahap M. Penyakit menular seksual. Jakarta: PT.Gramedia; 1984.
3. Tanudyaya FK, Rahardjo E, Bollen LJ, dkk. Prevalence of sexually transmitted
infection and sexual risk behaviour among female sex workers in nine provinces in
indonesia, 2005. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2010; 41(2): p 463-73.
4. Saifudin AB. Overview of sexual transmitted disease in Indonesia. Issues in
Management of STDs in Family Planning Settings. Jakarta. [cited on 25 November
2013 at 10.00 pm.] Available from:
http://www.hawaii.edu/hivandaids/Overview%20of%20STDs%20in%20Indonesia.pdf
5. Iskandar MB. Improved reproductive health and std services for women presenting to
family planning services in North Jakarta. The Population Council - Jakarta and the
Indonesian Ministry of Health HIV/AIDSPrevention Project under USAID Funding
Coordinated byFamily Health International/AIDSCAP in collaboration with the U.S.
Centers for Disease Control. [cited on 26 November 2013 at 08.00 pm] Available
from: http://www.popcouncil.org/pdfs/frontiers/OR_TA/Asia/indo_STD.pdf
6. Allsworth JE, Ratner BS, Jeffrey FP. Trichomoniasis and other sexually transmitted
infections: result from the 2001-2004 NHANES surveys. Sex Transm Dis. 2009;
36(12): p 738-44.
7. Curtis MG, Overholt S. Hopkins MP. Glass’s office gynecology. 6th ed. Lippincott
william & wilkins; 2006.
8. Schwebke JR, Burgess D. Trichomoniasis. Clinical microbiology review. 2004; 17(4).
p 794–803.
9. Gillespie SH, Pearson RD. Principle and practice of clinical parasitology. New york:
John willey & sons; 2001. p 243-68.
10. Lamb TC. Immunity to parasitic infection. Uuk: John Willey & Sons; 2012.
11. Anonimous. Trichomoniasis. [cited on 26 November 2013 at 11.00 pm]. Available
from: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/S-
Z/Trichomoniasis/body_Trichomoniasis_page2.htm#Clinical Features
12. Anonimous. Syphilis. [cited on 26 November 2013 at 11.00 pm]. Available from:
http://www.cdc.gov/std/stats11/syphilis.htm
13. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins and Cotran: pathologic basis of disease, 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p 750-53.

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014


14. Brooks GF. Jawetz, Melnick, & Adelberg's medical microbiology. San Francisco: The
McGraw-Hill Companies; 2007.
15. Sudigdo Sastroasmoro, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta:
CV Sagung Seto; 2010. p 314.
16. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan, 5th ed. Jakarta: Salemba
Medika; 2011.
17. Kartika SP, Muslimi HM, Safarianti U. Incident of gonorrhoeae infection on
commercial sex workers at ex-localization pembantuan subdistrict landasan ulin
banjarbaru. Epidemiology and Zoonis Journal. 2012; 4(1). p 29-35.
18. Duff P, Shoveller J, Zhang R, Alexson D, Montaner JSG, Shannon K. High lifetime
pregnancy and low contraceptive usage among sex workers who use drugs-an unmet
reproductive health need. BMC Pregnancy Childbirth. 2011; 11(61). p 1-8.
19. Cohen MS, Hoffman IF, Royce RA, dkk. Reduction of concetration of hiv-1 in semen
sfter treatment of urethritis; implication for prevention of sexual transmion of HIV-1.
AIDSCAP Malawi Research Group. Lancet. 1997; 349(9096). p 1868-73.
20. Sorvillo F, Kerndt P. Trichomonas vaginalis and Amplification of HIV-1
Transmission. Lancet. 1998; 351(9097). p 213-4.
21. Adebowale AS, Titiloye, Fagbamigbe AF, Akinyemi OJ. Statistical modeling of social
risk factors for sexually transmitted dieases among female youth in Nigeria. J.Infect
Dev Ctries. 2013; 7(1): 017-027.

Hubungan antara…, Gustin Candra Devi, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai