Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Peningkatan aktivitas ekonomi dan industri disertai pesatnya pertumbuhan
populasi manusia terus mendorong kenaikan kebutuhan energi, sedangkan pasokan
bahan bakar fosil yang merupakan sumber energi yang tidak terbarukan semakin
terbatas. Aktivitas transportasi darat, laut, maupun udara saat ini mengandalkan
bahan bakar fosil dari batubara maupun minyak bumi. Penggunaan bahan bakar
fosil pada aktivitas transportasi tersebut berakibat buruk terhadap kondisi
lingkungan. Permasalahan lingkungan yang muncul sebagai akibat dari penggunaan
bahan bakar fosil salah satunya adalah pemanasan global. Saat ini, pemanasan
global menjadi salah satu masalah yang menjadi perhatian dunia. Pemanasan global
atau global warming disebabkan oleh efek rumah kaca akibat polusi udara. Selain
itu, gas buang hasil pembakaran bahan bakar fosil juga mengandung gas yang
bersifat racun sehingga berbahaya bagi kesehatan.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua per tiga luas lautan
lebih besar daripada daratan. Hal itu juga menjadikan Indonesia sebagai negara
dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada. Transportasi laut
memliki peranan penting dalam mendukung mobilitas penduduk serta distribusi
barang antar pulau maupun antar negara. Mobilitas sektor laut begitu ramai saat ini
memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan, khususnya polusi
udara yang disebabkan oleh emisi gas buang dari hasil pembakaran bahan bakar
kapal. Saat ini transportasi laut menggunakan bahan bakar fosil yang dapat
menghasilkan emisi gas CO2, SOx, dan NOx yang juga disebut gas rumah kaca.
Polusi udara yang disebabkan oleh gas buang kendaraan laut tersebut
mengakibatkan penipisan lapisan ozon dan membahayakan kesehatan karena
bersifat racun. Selain itu, pembakaran bahan bakar fosil juga menghasilkan partikel
debu halus yang berbahaya bagi kesehatan pernapasan dan mengakibatkan
pemanasan global.
Untuk mengatasi isu lingkungan tersebut, PBB mendirikan suatu badan
khusus yang disebut Interntional Maritime Organization (IMO). Badan khusus
PBB tersebut bertanggung jawab untuk keselamatan dan keamanan aktivitas
pelayaran dan pencegahan polusi di laut oleh kapal. IMO mengembangkan suatu
konvensi internasional yang berfokus untuk meminimalkan pencemaran laut yang
disebut MARPOL. Salah satu regulasi yang dikeluarkan oleh MARPOL adalah
Annex VI yang mulai diberlakukan ecara internasional sejak tanggal 19 Mei 2005.
Annex VI mengatur emisi zat-zat perusak lapisan ozon, NOx, SOx, senyawa
organik volatil (VOC), dan insinerasi kapal. Kemudian dilakukan perubahan
peraturan yang mengatur emisi maksimum SOx dari 3.5% menjadi 0.5% yang akan
mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2019.
Berdasarkan regulasi tersebut, setiap kendaraan laut harus mengembangkan
mesin pembakaran, menambahkan after treatment process, atau mengganti bahan
bakar fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Solusi terbaik adalah
mengganti bahan bakar fosil yang selama ini digunakan dengan bahan bakar
organik. Sebagian besar mesin kapal menggunakan mesin diesel. Bahan bakar
biodiesel menjadi alternatif yang tepat untuk menggantikan bahan bakar fosil pada
sektor transportasi laut. Selain biodiesel, jenis bahan bakar diesel lain yang juga
berasal dari senyawa organik adalah green diesel. Green diesel atau yang disebut
juga second generation diesel merupakan generasi baru biofuel yang berasal dari
material organik. Green diesel menghasilkan emisi CO2 lebih sedikit, bebas dari
senyawa aromatik dan napthenes sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih
bersih. Berbeda dengan biodiesel, green diesel tidak mengandung oksigen sehingga
lebih stabil, non korosif, dan memiliki heating value yang mirip dengan diesel dari
minyak bumi.
Green diesel dapat dihasilkan dari proses Fischer Tropsch dengan bahan
baku berupa biomassa. Saat ini, biomassa yang berlimpah dan masih belum
dimanfaatkan dengan baik adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dari industri
kelapa sawit. TKKS merupakan limbah industri kelapa sawit yang jumlahnya cukup
banyak, sekitar 23% dari berat total tandan buah segar. Pemanfaatan TKKS sebagai
bahan baku green diesel akan meningkatkan nilai guna dari limbah TKKS sekaligus
mengatasi permasalahan bahan bakar sustainable yang dibutuhkan dunia di masa
mendatang.
Selain green diesel, juga diperoleh produk samping berupa LPG, gasoline,
dan jet fuel. Produk-produk tersebut dapat menjadi alternatif pengganti bahan bakar
fosil yang selama ini digunakan. Selain lebih ramah lingkungan, bahan baku berupa
biomassa dalam hal ini TKKS dapat disuplai dari area sekitar pabrik yang
merupakan kawasan industri kelapa sawit sehingga suplainya tetap berkelanjutan
selama industri kelapa sawit tetap berjalan.
Perancangan pabrik biorefinery dari TKKS ini diproyeksikan memiliki
kapasitas produksi sebesar 300.000 kilo liter/tahun. Lokasi pendirian pabrik adalah
Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan, yang bertempat di
Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kawasan ini kaya akan sumber daya
alam terutama kelapa sawit dan didukung dengan posisi geostrategis yaitu terletak
pada lintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II). ALKI II merupakan
lintasan laut perdagangan internasional, jalur regional lintas trans Kalimantan,dan
transportasi penyebrangan ferry Tarakan-Tolitoli dan Balikpapan-Mamuju.
Pemasaran produk ditujukan kepada PT Pertamina sebagai bagian dari pelaksanaan
PSO. Produk utama berupa green diesel ditujukan untuk bahan bakar sector
maritim, berdasarkan lokasi pabrik yang berada di lintasan laut perdagangan
internasional. Sedangkan produk samping disuplai ke PT Pertamina.

1.2 Analisis Pasar


Bahan baku yang digunakan berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
yang disuplai dari pabrik kelapa sawit di sekitar lokasi pendirian pabrik biorefinery
ini. Lokasi pabrik yang berada di kawasan industri kelapa sawit memudahkan
distribusi bahan baku dari pabrik penyuplai. Pabrik kelapa sawit di sekitar area
pendirian pabrik menghasilkan limbah TKKS sebesar 23% dari total berat tandan
buah segar.
Analisis supply dan demand bahan bakar solar di Indonesia adalah sebagai
berikut:
25,000,000

y = 280185x - 5E+08
IMPOR
20,000,000 R² = 0.2529

Supply (Kilo Liter) PRODUKSI


15,000,000
Linear
(IMPOR)
10,000,000
Linear
y = -362921x + 7E+08 (IMPOR)
5,000,000 R² = 0.1562 Linear
(PRODUKSI)
-
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Gambar 1.1 Analisis Supply Bahan Bakar Solar di Indonesia

35,000,000
y = 749951x - 1E+09
30,000,000 R² = 0.5068

25,000,000
Demand (Kilo Liter)

20,000,000 KONSUMSI
EKSPOR
15,000,000
Linear (KONSUMSI)
10,000,000 Linear (EKSPOR)

5,000,000
y = -92.7x + 187820
R² = 0.2945
-
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Gambar 1.2 Analisis Demand Bahan Bakar Solar di Indonesia

Berdasarkan kedua grafik tersebut diperoleh persamaan garis untuk


memproyeksikan demand dan supply bahan bakar solar pada tahun 2024. Data yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Proyeksi Demand Bahan Bakar Solar di Indonesia
Konsumsi Ekspor
No. Tahun
(Kilo Liter) (Kilo Liter)
1 2015 29.172.694 914
2 2016 27.707.190 993
3 2017 29.836.776 1,080
4 2018 30.962.670 576
5 2024 35.044.468 195

Tabel 1.2 Proyeksi Supply Bahan Bakar Solar di Indonesia


Impor (Kilo Produksi
No. Tahun
Liter) (Kilo Liter)
1 2014 20.158.936
2 2015 7.318.129 20.558.202
3 2016 5.707.622 19.685.824
4 2017 4.535.776 21.383.678
5 2018 6.499.009
6 2024 3.293.230 22.828.231

Berdasarkan data pada tabel 1.1 dan tabel 1.2, total demand bahan bakar
solar pada tahun 2024 adalah sebesar 35 juta kilo liter. Sedangkan total supply solar
pada tahun 2024 adalah sebesar 26.121 juta kilo liter. Dengan demikian diperoleh
kebutuhan pasar pada tahun 2024 adalah sebesar 8.9 juta kilo liter. Di Indonesia,
pabrik yang menghasilkan green diesel adalah PT Pertamina RU II Dumai dengan
kapasitas produksi 1 juta kilo liter per tahun. Sehingga kebutuhan pasar yang belum
terpenuhi adalah sekitar 7.9 juta kilo liter.
Penentuan kapasitas pabrik dihitung berdasarkan ketersediaan bahan baku.
Dengan mempertimbangkan alur transportasi dan jarak sumber bahan baku,
ditentukan 9 perusahaan kelapa sawit disekitar area pabrik sebagai penyuplai bahan
baku. Berdasarkaan jumlah bahan baku yang disuplai oleh 9 perusahaan tersebut,
kapasitas produksi biorefinery yang dapat terpenuhi adalah sebesar 300.000 kilo
liter/tahun.
1.3 Pemilihan Lokasi
Aspek penting yang harus ditetapkan dalam merancang pembangunan
sebuah pabrik yaitu menentukan letak lokasi pabrik. Pemilihan letak pendirian
pabrik akan berdampak langsung dengan aktivitas ekonomi yang akan berjalan dari
awal pabrik tersebut dibangun dan berproduksi. Berdasarkan beberapa
pertimbangan, diputuskan pembangunan pabrik green diesel untuk sektor maritim
didirikan di Kawasan Ekonomi Kreatif Maloy Batuta Trans Kalimantan, Kabupaten
Kutai Timur, Kalimantan Timur. Pertimbangan-pertimbangan yang dimaksudkan
meliputi beberapa faktor, yaitu faktor utama dan faktor pendukung.
1. Faktor Utama
Faktor utama dalam pemilihan lokasi pembangunan pabrik yaitu berdasarkan
pada:
a. Sumber bahan baku
Bahan baku utama pembuatan green diesel yaitu limbah tandan kosong
kelapa sawit. Daerah perkebunan kelapa sawit yang ada di Kutai Timur
mencapai 453.490 Ha. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Timur 2018, jumlah pabrik kelapa sawit yang ada di Kabupaten
Kutai Timur mencapai 30 pabrik dengan jumlah produksi 5.272.945 ton
tandan buah segar(TBS) dengan 23% presentase tandan kosong kelapa
sawit(TKKS) terhadap TBS dan memiliki rata-rata produksi 17.036
(Kg/Ha).

Gambar 1.1 Lokasi Pembangunan Pabrik


Sumber: googlemaps.com
Ketersediaan bahan baku yang sangat besar tersebut dapat
mencukupi kebutuhan bahan dasar dalam pembuatan green diesel dimana
kapasitas produksi yang dihasilkan pabrik kelapa sawit yang terletak di
sekitar lokasi sebesar 1720 ton/jam tandan buah segar dimana TKKS yang
dihasilkan sebesar 395.6 ton/jam.
b. Utilitas
Maloy Batuta Trans Kalimantan yang terletak di Kabupaten Kutai Timur,
Kalimantan Timur dipilih sebagai lokasi pendirian pabrik dikarenakan area
ini memiliki fasilitas seperti penyediaan air, bahan bakar, dan listrik.
Terletak dikawasan ekonomi kreatif yang berdekatan dengan sumber air
membuat kapasitas pasokan air yang disediakan mencapai 200L/detik (720
m3/jam) bersumber dari gunung sekerat, Kecamatan Bengalon dengan
panjang 24,2 kilometer. Pasokan listrik juga disediakan dengan kapasitas
20MW yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Bahan bakar untuk menjalankan proses yang ada dipabrik dipasok dari hasil
produk samping. Akan tetapi pada awal pendirian dan pengoperasian
pabrik, bahan bakar dibeli dari Pertamina RU V Balikpapan.

Gambar 1.2 Tata letak lokasi pembangunan pabrik


Sumber: kek.go.id
c. Tenaga Kerja
Kebutuhan sumber daya manusia yang berkompeten yang dibutuhkan dapat
diperoleh dari daerah sekitar Kalimantan, terkhusus Kalimantan Timur. Hal
tersebut didukung dengan adanya lulusan dari beberapa perguruan tinggi
negeri yang ada di Kalimantan Timur seperti Institut Teknologi Kalimantan,
Universitas Mulawarman, Politeknik Negeri Samarinda dan Politeknik
Negeri Balikpapan. Selain itu. Penyediaan tenaga kerja juga dapat berasal
dari pendidikan kejuruan ataupun menengah yang berada di daerah sekitar
lokasi pabrik.
2. Faktor Pendukung
Terdapat beberapa faktor pendukung dalam membangun sebuah pabrik yang
dapat membantu sebagai bahan pertimbanga dalam menentukan lokasi
pembangunan pabrik yaitu:
a. Peraturan pemerintah daerah setempat ataupun pemerintah pusat.
b. Lingkungan masyarakat disekitar pabrik (keamanan dan sebagainya).
c. Iklim dan kondisi geologis.
d. Akses transportasi penyediaan kebutuhan dan pendistribusian produk.

Anda mungkin juga menyukai