Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

“Determination of Potential Oxidative Damage, Hepatotoxicity,


and Cytogenotoxicity in Male Wistar Rats: Role of
Indomethacin”

Disusun oleh :
Nama : Ilham Firmansyah
NIM : 207117015
Dosen : Denih Agus Setia Permana, M. Farm., Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah


melimpahkan rahmat, hidayat dan inayah-Nya kepada kita, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Farmakologi dan Toksikologi tentang toksisitas NSAID
dengan baik. Penulis sangat berterimah kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini.
2. Bapak Denih selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Farmakologi dan
Toksikologi.
3. Orang tua penulis yang selalu memberikan dorongan dan semangat.

Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
ada kekurangan baik dari segi bahasa ataupun segi lainnya. Oleh karena itu,
dengan lapang dada penulis membuka selebar lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik, sehingga penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga dari makalah Farmakologi dan


Toksikologi dalam Pengujian Laboratorium ini dapat diambil pelajarannya
sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Cilacap, 6 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 3
A. Klasifikasi NSAIDs ............................................................................................... 3
B. CARA KERJA NSAIDs........................................................................................ 3
C. Indomethacin ......................................................................................................... 4
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 6
A. HASIL .................................................................................................................... 6
B. PEMBAHASAN .................................................................................................. 11
BAB IV. PENUTUP ........................................................................................................ 13
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat analgesik dan anti-inflamasi berfungsi untuk mengurangi nyeri


ringan sampai sedang, dan mengurangi peradangan dan demam. Agen ini
efektif untuk nyeri somatik (misalnya muskuloskeletal nyeri pada sendi, otot
dan sakit kepala). Nsaid tidak efektif dalam mengurangi nyeri dari organ
visceral seperti jantung, hati, dan paru-paru. Mekanisme analgesik dan agen
anti inflamasi dalam menghasilkan efek terapeutik bekerja dengan
menghambat berbagai prostaglandin, yaitu zat yang terlibat dalam
pengembangan rasa sakit dan peradangan serta pengaturan suhu tubuh.
Karena penggunaan analgesik dan agen anti inflamasi yang digunakan secara
ekstensif, sehingga toksisitas dan efek yang tidak diinginkan telah terjadi
berkali-kali terutama ketika terapi rasa sakit, peradangan dan demam
melibatkan penggunaan dosis yang lebih tinggi untuk jangka waktu lama.

Organ umum yang terlibat adalah hati, ginjal dan GIT. Berbagai
pendekatan yang digunakan untuk menilai keamanan obat tersebut pada
pasien terus dikaji. Pengkajian keamanan obat meliputi stres oksidatif,
hepatotoksisitas, dan potensi genotoksik. Kerusakan fungsional membantu
untuk mengevaluasi kerusakan struktural dan kecenderungan lesi patologis
yang disebabkan karena efek penggunaan obat NSAIDs. Hal ini juga
membantu untuk memahami hubungan antara perubahan kuantitatif dan
kualitatif disebabkan karena dosis obat yang berlebihan. Makalah ini
difokuskan pada evaluasi toksisitas patologis dari dari obat NSAIDs yaitu
Indomethasin terhadap stres oksidatif, hepatotoksisitas, dan potensi
genotoksik yang dilihat dari parameter GSH, SOD, dan level atau aktivitas
CAT dan peningkatkan aktivitas dari PUT, ALT, AST, ALP, dan TBIL dari
tikus wistar

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme terjadinya stres oksidatif, hepatotoksik, dan
sifat genotoksik dari indomethasin pada tikus Wistar jantan.
2. Bagaimana pengaruh indomethasin terhadap parameter GSH, SOD,
dan level atau aktivitas CAT dan peningkatkan aktivitas dari PUT,
ALT, AST, ALP, dan TBIL dari tikus wistar ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya stres oksidatif,
hepatotoksik, dan sifat genotoksik dari indomethasin pada tikus Wistar
jantan.
2. Untuk mengetahui Bagaimana pengaruh pemberian indomethasin
terhadap parameter GSH, SOD, dan level atau aktivitas CAT dan
peningkatkan aktivitas dari PUT, ALT, AST, ALP, dan TBIL dari
tikus wistar

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi NSAIDs
Klasifikasi NSAIDs bergantung pada struktur kimianya, NSAIDs
secara luas dibagi menjadi dua kelas utama seperti, inhibitor COX selektif
non dan selektif COX-2 inhibitor. Klasifikasi berdasarkan sifat kimia
menurut (Vane, et al., 1998)
1. (I) Non-Selektif COX Inhibitors
- Turunan asam salisilat. misalnya Aspirin, Sodium salisilat.
- Derivatif fenol Para-amino. misalnya Acetaminophen.
- Indol dan asam asetat Indane. misalnya Indometasin, Sulindac.
- Heteroaril asam asetat. misalnya tolmetin, Diklofenak, Keterolac.
- Asam propionat aril. misalnya Ibuprofen, Naproxen, Flurbiprofen,
Ketoprofen, Fenoprofen, Oxaprofen.
- Asam antranilat. misalnya mefenamat, asam Meclofenamic.
- Asam Enolic (Oxicams) misalnya Piroksikam, Meloxicam, Tenoxicam,
Isoxicam.
- Alkanones. misalnya nabumeton.
2. (II) Selektif COX-2 Inhibitor
- asam indol asetat misalnya Etodolac.
- Sulfonanilides misalnya Nimesulide.
- Diaril diganti furanones misalnya Rofecoxib.
- Diaril diganti Pyrazole misalnya Celecoxib.
B. CARA KERJA NSAIDs
NSAID menghambat aktivitas enzim dari cycloxygenase I dan II
yang menyebabkan berkurangnya sintesis berbagai mediator inflamasi.
Berdasarkan selektivitas NSAID untuk enzim siklooksigenase, mereka
diklasifikasikan menjadi (i) inhibitor konvensional COX yang
menghambat baik COX1 enzim dan COX II. COX inhibitor atau
penghambat COX yang secara selektif menghambat COXII saja
(Albertsey, 2002). Kedua COX-1 dan COX-2 enzim memiliki peran
homeostasis yang penting dalam banyak sistem tubuh. Penghambatan

3
enzim ini menghasilkan manfaat terapeutik serta toksisitas terkait dengan
NSAID. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang memainkan peran
penting dalam menjaga aliran darah ginjal dan pencernaan serta
memastikan integritas platelet. COX-2 secara tradisional dianggap enzim
diinduksi yang diregulasi pada penyakit inflamasi (Albertsey, 2002).
C. Indomethacin
1. Definisi Indomethacin
Indomethacin (INDO, 1-p-chlorobenzyl-5-methoxy-2-methyl-3-
indoleajcetic acid) merupakan obat golongan Nonsteroidal Anti-
Inflammatory Drug (NSAID) yang memiliki efek sebagai antipiretik,
antitrombotik, dan analgesik (Hao, et al., 2018).
2. Hubungan NSAIDs dengan ROS
Obat golongan NSAID dapat memproduksi radikal bebas yang
menghasilkan generasi Reactive Oxygen Species (ROS) (Keng, et al.,
2017). Generasi ROS menghasilkan stres oksidatif, sehingga setiap bahan
kimia atau obat yang menghasilkan ROS mungkin jelas menambah ROS
yang diproduksi secara endogen dan dapat menyebabkan hubungan antara
efek dan dosis yang non-linier (Mohamed, et al., 2017).
Generasi ROS di dalam sel menyebabkan kerusakan oksidatif pada
membran (lipid peroksidasi [LPO]), protein, RNA, dan molekul DNA,
yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian sel, yang semakin
memperparah cidera. Kerusakan oksidatif memicu pembentukan radikal
superoksida dan hidrogen peroksida (H2O2), Lipid Peroksida (LPO), dan
oksidasi protein, yang secara langsung dapat merusak DNA, lipid
membran, protein seluler, dan organel (Boyacioglu, et al., 2016).
3. Toksisitas Indomethacin
Stres oksidatif telah terlibat sebagai mekanisme umum dalam
toksisitas banyak NSAID. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa
NSAID menghasilkan ROS di dalam sel menghasilkan stres oksidatif.
INDO menghasilkan ROS dengan mengikat ke situs di dekat kompleks I
dan ubiquinone dari rantai transpor elektron mitokondria (Chatterjee, et
al., 2007).

4
INDO menginduksi stres oksidatif dengan meningkatkan produksi
ROS dan LPO di sel Caco-2 dan RGM-1. NSAID sebagian besar telah
dikaitkan dengan kejadian hepatotoksisitas, mekanismenya diyakini
sebagai keunikan dalam imunologis. ROS yang diproduksi di dalam sel
menghasilkan perbaikan DNA yang salah dan lebih rentan terhadap
apoptosis yang mengarah pada genotoksisitas, mutagenisitas, atau
karsinogenisitas (García, et al., 2013).
Penelitian genotoksisitas meliputi uji in vitro dan in vivo yang
dirancang untuk mengidentifikasi obat atau senyawa apa pun yang dapat
menyebabkan kerusakan pada bahan genetik dengan mekanisme yang
berbeda. Genotoksisitas mengacu pada perubahan dalam struktur atau
jumlah kromosom atau urutan pemasangan basis DNA sebagai hasil dari
paparan agen toksik. NSAID menyebabkan genotoksisitas dan
sitotoksisitas terhadap organisme yang hidup di perairan, seperti Oryzias
latipes, Dreissena polymorpha dan Ruditapes philippinarum. NSAID juga
menginduksi genotoksisitas pada Hyalella azteca dan Cyprinus carpio
(Reyes, et al., 2015). Sehingga pengujian genotoksik INDO akan
memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi bahaya sehubungan dengan
kerusakan dan fiksasi DNA

5
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
1. Antioksidan nonenzymatic
GSH: Tingkat GSH menurun secara signifikan di hati, ginjal, dan jaringan
otak pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol.
Kecenderungan penurunan tingkat GSH di jaringan hati, ginjal, dan otak
pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Pada organ hati
perubahan persentase (62,63% - 40,95%) menunjukkan penipisan tingkat
GSH maksimum pada kelompok perlakuan sehubungan dengan kontrol
yang diikuti oleh ginjal perubahan persentase 73,66% - 47,70% dan
penurunan tingkat GSH yang paling sedikit terlihat di otak dengan
perubahan persentase 79,64% - 66,21%. Perubahan persen dihitung
sebagai rasio penurunan tingkat GSH antara kelompok perlakuan dan
kontrol.
2. Antioksidan enzimatik
2.1 Pengaruh INDO pada aktivitas SOD
Aktivitas SOD menurun secara signifikan di hati, ginjal, dan
jaringan otak dari kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol.
Tren penurunan aktivitas SOD di hati, ginjal, dan jaringan otak.
Organ hati perubahan persentase 78,01%- 26,67% menunjukkan
penurunan maksimum dalam aktivitas SOD pada kelompok perlakuan
sehubungan dengan kontrol diikuti oleh ginjal perubahan persentase
54,38% - 32,91% dan otak perubahan persentase 75,58% - 49,31%.
Perubahan persen dihitung sebagai rasio penurunan aktivitas SOD
antara kelompok perlakuan dan kontrol.
2.2 Pengaruh INDO pada aktivitas CAT
Enzim CAT Aktivitas CAT menurun secara signifikan di hati, ginjal,
dan otak jaringan kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol.
Itu tren penurunan di hati, ginjal, dan jaringan otak di kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kontrol diberikan pada Gambar 1C.
Otak (perubahan persen 73,88% -49,20%) menunjukkan penurunan

6
aktivitas maksimum pada kelompok perlakuan sehubungan dengan
kontrol diikuti oleh ginjal (persen berubah 83,36% - 50,98%) dan hati
(persen berubah 79,88% -58,98%). Perubahan persen itu dihitung
sebagai rasio penurunan aktivitas CAT antara kelompok perlakuan
dan kontrol.

GAMBAR 1. Aktivitas hati-spesifik (A) AST, (B) ALT, dan (C)


ALP, dan (D) tingkat TBIL diukur setelah 14 hari
pemberian oral INDO diperlakuan I (0,605 mg / kg.bb)
dan perlakuan II (0,302 mg/ kg.bb). Analisis varian;
AST, aspartate aminotransferase; ALP, alkaline
phosphatase; ALT, alanine aminotransferase; DMSO,
dimethyl sulfoxide; INDO, indometasin; TBIL,
bilirubin total.

3. Stres oksidatif yang diinduksi INDO


Gangguan spesifik jaringan dalam sistem antioksidan diamati dalam
semua kelompok tikus percobaan, oleh karena itu, ini menghasilkan stres
oksidatif, yang dievaluasi dengan estimasi LPO di hati, ginjal, dan
jaringan otak. Tingkat LPO meningkat secara signifikan di hati, ginjal,
dan jaringan otak kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Tren
peningkatan kadar PUT pada kelompok perlakuan di hati, ginjal, dan
jaringan otak dibandingkan dengan kontrol diberikan pada Gambar 2.
Pada kelompok perlakuan, LPO secara signifikan lebih tinggi di otak
persentase perubahan 169,91% -221,20% bila dibandingkan dengan
kontrol diikuti oleh ginjal persentase perubahan 124,82% -160,06%). Hati

7
persentase perubahan 125,81% -151,81% menunjukkan peningkatan
paling tidak pada level PUT pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kontrol. Perubahan persen dihitung sebagai rasio kenaikan di
tingkat PUT antara kelompok perlakuan dan kontrol.
4. Efek INDO pada fungsi hati Fungsi hati
Penentuan aktivitas AST, ALT, ALP spesifik-hati dan tingkat TBIL.
Level-level ini meningkat secara signifikan (P <0,001) di semua tikus
yang diberi INDO (kelompok perlakuan), bila dibandingkan dengan
kontrol. Tren peningkatan ALT, AST, Aktivitas ALP dan tingkat TBIL
pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol diberikan pada
Gambar 2. ALP (perubahan persen 172,50% - 223,35%) aktivitas
menunjukkan peningkatan signifikan maksimum kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol yang diikuti oleh TBIL (perubahan persen
156,86% -218,62%) dan tingkat ALT (perubahan persen 163,41% -
186,26%) pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol
kelompok. Sementara AST (perubahan persen 140,96% -180,56%)
menunjukkan paling sedikit peningkatan pada kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol.

GAMBAR 2. Aktivitas hati-spesifik (A) AST, (B) ALT, dan (C) ALP,
dan (D) tingkat TBIL diukur setelah 14 hari pemberian oral
INDO diperlakuan I (0,605 mg / kg.bb)

8
5. Efek INDO pada histopatologi hati
Dalam penelitian ini, evaluasi histopatologis hati menunjukkan
bahwa INDO berdampak buruk pada perubahan morfologis kotor pada
kelompok perlakuan. Jaringan hati dari kelompok kontrol menunjukkan
morfologi hati normal. Sementara hati dari kelompok perlakuan
menunjukkan vakuolisasi jaringan yang jelas, pembuluh darah yang pecah,
degenerasi hepatoselular, dan nekrosis. Representasi dari hasil
Photomicrograph dari bagian transversal hati dari kontrol menunjukkan
hepatosit normal dan hati dari kelompok perlakuan dengan nekrosis
ditunjukkan pada Gambar 3.

GAMBAR 3. Photomicrograph bagian melintang dari (A) hati tikus


kontrol normal (NHC), (B) hati yang diobati dengan
INDO nekrosis (N), vakuolisasi jaringan (TV), vena
pecah (RV), dan degenerasi hepatoselular (HD)

6. Penilaian genotoksik
6.1 Pengaruh INDO pada frekuensi mikronukleus
Dua jenis eritrosit dapat dibedakan menggunakan diferensial
pewarnaan oleh May ‐ Gruenwald ‐ Giemsa dalam sel sumsum
tulang. Itu eritrosit polikromatik (PCE) dan eritrosit normokromik
diamati ada atau tidak adanya MN. PCEs dengan MN meningkat
secara signifikan pada kelompok perlakuan. Frekuensi rata-rata dari
sel mikronukleasi adalah 1,170 ± 0,15 pada kontrol, 1,970 ± 0,21 in
kelompok perlakuan I, dan 2,74 ± 0,24 pada kelompok perlakuan II.
Kedua kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan kejadian MN
frekuensi bila dibandingkan dengan kontrol. Tren di peningkatan
frekuensi MN pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol
diberikan pada Gambar 4. Fotomikrograf representatif menampilkan
PCE di kontrol dan PCE dengan sel berinti mikro di kelompok
perlakuan ditunjukkan pada Gambar 4

9
GAMBAR 4. Fotomikrograf representatif yang menunjukkan PCE di
(A) kontrol dan MNPCEs di (B) tikus yang diberi
INDO di sumsum tulang sel. Frekuensi induksi
mikronuklear sumsum tulang diukur setelah 14 hari
pemberian INDO oral dalam pengobatan I (0,605
mg/kg.bb)

6.2 Efek INDO pada kerusakan DNA


Persen DNA pada ekor menunjukkan peningkatan kerusakan
DNA yang signifikan pada kelompok perlakuan bila
dibandingkan dengan nilai kontrol. Itu tren persen DNA pada
ekor untuk kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol
diberikan pada Gambar 5. Hasilnya mengungkapkan bahwa
kerusakan DNA secara signifikan diinduksi pada kelompok
perlakuan oleh INDO ketika dibandingkan dengan kontrol.
Insiden kerusakan DNA lebih besar di perlakuan II (34,857 ±
1,171) diikuti oleh kelompok perlakuan I (28.241 ± 2.016), jika
dibandingkan dengan kontrol (1.723 ± 0.198). Itu tingkat
kerusakan DNA diwakili oleh persen dari total DNA di ekor
adalah 20 kali lipat lebih tinggi dalam pengobatan II (perubahan
persen 20,23) dan 16 kali lipat lebih tinggi pada kelompok
perlakuan I (persen berubah 16,39) ketika dibandingkan dengan
kontrol. Photomicrograph yang representatif leukosit dan
persentase DNA pada ekor kontrol, pengobatan Kelompok I dan
perlakuan II diberikan pada Gambar 5. Perubahan persen dihitung

10
sebagai rasio peningkatan persentase DNA antara kelompok
perlakuan dan kontrol.

GAMBAR 5. Fotomikrograf representatif menunjukkan% tail


DNA pada (A) kontrol dan (B) leukosit tikus yang
diperlakukan INDO. Persen ekor DNA dalam
leukosit diukur setelah 14 hari pemberian oral INDO
dalam pengobatan I (0,605 mg / kg.b.w.) Dan
pengobatan II (0,302mg / kg.b.w.) kelompok tikus,
dan kontrol (75 μL DMSO mg / kg bb).
B. PEMBAHASAN
INDO secara signifikan menurunkan kadar GSH di hati, ginjal, dan
jaringan otak kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol dalam
penelitian saat ini. Hasil kami sejalan dengan penelitian yang dilaporkan, di
mana GSH levelnya cukup rendah di grup INDO jika dibandingkan dengan
yang lainnya kelompok eksperimen (Boyacioglu, et al., 2016).
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dikuatkan dengan temuan ini
di mana INDO administrasi secara signifikan mengurangi aktivitas SOD di
hati, ginjal, dan jaringan otak kelompok perlakuan dibandingkan dengan
kontrol. Begum et al melaporkan bahwa status oksidan total dan kandungan
MDA peningkatan signifikan dan aktivitas CAT menurun secara signifikan
setelah Perawatan INDO pada tikus albino jantan (Begum, et al., 2016). Hasil
penelitian ini sejalan dengan temuan yang dipublikasikan ini di mana
administrasi INDO menyebabkan penurunan aktivitas CAT yang signifikan di
hati, ginjal, dan otak pada tikus yang dirawat INDO. Tingkat TBARS di hati,
ginjal, dan jaringan otak meningkat secara signifikan sehubungan dengan
kontrol. Serupa hasilnya dilaporkan oleh Boyacioglu et al, di mana level
MDA berada meningkat sebagai respons terhadap pemberian indometasin
melalui oksidatif stres di jaringan lambung tikus (Boyacioglu, et al., 2016).

11
Administrasi NSAID menghasilkan peningkatan ALT, AST, ALP
aktivitas dan kadar bilirubin. Hasil serupa ditunjukkan dalam penelitian ini, di
mana kelompok perlakuan menunjukkan signifikan peningkatan aktivitas
AST, ALT, ALP spesifik-hati dan tingkat TBIL dibandingkan dengan
kontrol. Enzim spesifik hati yang meningkat di penelitian ini mungkin karena
ROS yang dimediasi oleh INDO generasi sejak hati adalah organ utama yang
diserang oleh ROS (Valle, et al., 2012). Tidak ada kelainan histologis pada
hati kontrol dengan arsitektur lobular hati normal. Sedangkan kelompok
perlakuan ditandai dengan degenerasi hepatoselular yang parah dan nekrosis.
Perubahan morfologis pada tikus yang diberi perlakuan INDO
menguatkan dengan enzim fungsi hati yang meningkat pada saat ini
penelitian NP yang dilaporkan sebelumnya. Hasil kami sejalan dengan
penelitian sebelumnya di mana berbagai NSAID disebabkan kerusakan hati
yang signifikan pada tikus (Chandekar, et al., 2017)
Induksi MN pada PCE sel sumsum tulang adalah yang paling banyak
biomarker andal untuk genotoksisitas mutagenik suatu senyawa. Peningkatan
induksi MN dalam penelitian ini berkorelasi dengan penelitian lain yang
dilaporkan adalah NSAID konsentrasi menyebabkan peningkatan yang
signifikan dalam induksi MN Darah Cyprinus carpio (Sriuttha, et al., 2018)
Peningkatan yang signifikan dalam induksi MN dalam penelitian ini mungkin
disebabkan oleh kesalahan agregasi kromosom dan efek klastogenik yang
ditimbulkan oleh generasi ROS yang diinduksi INDO. Administrasi INDO
menyebabkan kerusakan DNA yang signifikan di kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
tingkat deoksiguanin 8-hidroksi-2, sebagai penanda DNA kerusakan, secara
signifikan meningkat setelah satu dosis indometasin (25mg / kg). Studi serupa
dengan dosis yang sama dari pemberian INDO menginduksi kerusakan DNA
yang signifikan dalam limfosit. Hasil saat ini tentang INDO semakin
diperkuat dengan laporan kami yang baru diterbitkan pada induksi MN yang
diinduksi NP pada tikus Wistar jantan.

12
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya dari penelitian ini adalah INDO adalah agen genotoksik
potensial. Sekumpulan dari tes yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dianggap biomarker andal untuk evaluasi toksisitas NSAID pada manusia

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Chandekar, N. Upamanyu, A. Vyas, A. Tripathi, S. Agrawal, D. Jhade, Int.,


2017, Phytomed, 9(1), 157.

L. Hao, J. Kearns, S. Scott, D. Wu, S. D. Kodani, C. Morisseau, B. D. Hammock,


X. Sun, L. Zhao, S. Wang, J., 2018. Pharmacol. Exp. Ther. 365(3), 467.

M. Boyacioglu, C. Kum, S. Sekkin, H. S. Yalinkilinc, H. Avci, E. T. Epikmen, U.


Karademir, Clin., 2016, Nutr. 35(2), 428.

N. San Juan Reyes, L. M. Gómez-Oliván, M. Galar-Martínez, S. García-Medina,


H. Islas-Flores, E. D. González-González, J. D. Cardoso Vera, J. M.
Jiménez-Vargas., 2015, Sci. Total Environ. 530, 1.

P. Sriuttha, B. Sirichanchuen, U. Permsuwan, Int. 2018. J. Hepatol 2018, 5-253-


623.

S. García-Medina, J. Angélica núñez-Betancourt, A. Lucero garcía-Medina, M.


Galar-Martínez, N. Neri Cruz, H. Islas Flores, L. Manuel gómez-Oliván,
Ecotoxicol. 2013, Environ. Saf, 96, 191.

S. Mohamed, S. Upreti, S. Rajendra, R. Dang, Global J., 2017. Pharm. Pharm.


Sci. 1(5), 1.

V. Sanchez Valle, N. C. Chavez‐Tapia, M. Uribe, N. Mendez Sanchez, Curr.


2012. Med. Chem. 19(28), 4850.

14

Anda mungkin juga menyukai