Anda di halaman 1dari 21

KLIPING

BENCANA ALAM TSUNAMI DAN GEMPA


BUMI

Irzan Alfian Hakim


Kelas 3A

SD Negeri Sapan 02
Jl. Raya Sapan Desa Tegalluar Kec. Bojongsoang
Kab. Bandung
Gempa lagi: berpusat di Sukabumi, terasa hingga
Bandung dan Depok
 8 Januari 2019

Hak atas foto BMKG

Gempa bumi kembali melanda, kali ini di Sukabumi dengan kekuatan 5,4 Skala Richter, dengan pusat gempa
di Samudera Hindia. Tak ada ancaman tsunami, namun guncangannya terasa hingga Bandung dan Depok.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut dalam cuitannya, gempa pada Selasa (8/1)
itu terjadi pada pukul 16.54 WIB.

"Pusat gempa ada di laut, di 113 km barat daya kota Sukabumi, Jawa Barat," tulis BMKG.

"Kedalaman pusat gempa 10 km, lanjutnya," namun "tidak berpotensi tsunami," tandasnya.

Sebelumnya, Sukabumi dilanda bencana longsor, akibat hujan deras, yang menewaskan sejumlah orang.
Sementara gempa bumi, melanda Manokwari, tanpa menimbulkan kerusakan dan korban berarti.

Masih belum jelas, apakah ada kerusakan atau korban akibat gempa kali ini.

Namun Sri Wahyu Kurniawati, seorang guru berusia 41 tahun, di desa Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi
mengaku sempat panik.

"Ya getarannya sekitar 20 detik. Walaupun tidak ada benda atau barang yang berjatuhan," katanya.
Saat itu ia sedang bersama keponakannya seorang bocah bernama Febby.

"Febby berteriak, 'Gempa! Cepat keluar, ada gempa!" Kami pun langsung lari keluar rumah. Takut juga,"
katanya.

Sejumlah tetangganya juga sudah berada di luar rumah, menghindari kemungkinan buruk kalau gempa besar
merusak rumah mereka dan membahayakan jiwa.

Sesudah beberapa lama situasinya kembali normal, barulah ia berani kembali masuk rumah.

Lain lagi dengan Wahyudin, karyawan di pusat kota Sukabumi mengatakan, ia merasakan gempa sekitar pkl
16.50.

"Saya lihat lampu di kantor bergoyang-goyang, dan merasa ada getaran, mungkin sekitar 20 detik, tapi tidak
keras."

Wahyudin, bersama sejumlah kawannya tidak keluar kantor saat gempa mengguncang, "Saya tidak tahu pasti
apakah ini gempa atau bukan, makanya kami tidak lari keluar," katanya.

Hal yang sama terjadi pada ibu Entin 67 tahun yang tinggal di pusat kota Sukabumi.

"Saya tidak tahu ini gempa atau bukan, karena hujan lumayan deras di luar. Saya diam saja sampai getaran
berhenti," katanya kepada Ani Mulyani dari BBC Indonesia.

"Tetangga di sekitar pun tidak keluar rumah, berhubung hujan deras," tandasnya.

Getaran gempa juga dirasakan sampai Bandung dan Depok, menurut warga setempat.

Maya, seorang warga Bandung

Pepy, seorang ibu rumah tangga di Depok, menyatakan sempat panik dan keluar rumah.

"Saya sedang tiduran, tiba-tiba saya merasa ada getaran dan keluar rumah bersama anak-anak," kata Pepy.

Frekuensi gempa bumi meningkat tahun 2018


Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut hampir setiap hari wilayah-wilayah
di Indonesia dilanda gempa baik dengan skala magnitudo rendah hingga sedang.

Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhammad Fadly, mengatakan ada peningkatan frekuensi gempa bumi
pada 2018 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Terus ada gempa bumi, baik di Palu, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Lombok, Aceh, Sumatera, Nias.
Jadi memang saat ini sesar atau patahan itu sedang aktif-aktifnya. Tapi tidak apa-apa, yang penting tidak besar
magnitudonya. Itu kan pelepasan energi untuk mencapai kestabilan," ujar Deputi Bidang Geofisika BMKG,
Muhammad Fadly, dalam percakapan dengan BBC News Indonesia, beberapa waktu lalu.

"Kecuali di suatu tempat belum ada gempa, tapi kita tahu ada sesar atau patahan di sana. Itu yang bahaya,"
sambungnya.
Hak atas foto Reuters Image caption Indonesia mempunyai 175 seismograf, sedangkan Jepang memiliki 1.500
perangkat tersebut.

Karena itu saban hari BMKG bekerja mendeteksi goncangan-goncangan akibat gempa dengan menggunakan
175 seismograf.

Alat itu, menurut Muhamad Fadly, sesungguhnya masih sangat kurang dari angka ideal yakni 1.000
seismograf. Ia berkaca pada Jepang yang luas negaranya seperlima Indonesia saja, punya 1.500 alat deteksi.

"Sensor itu kan dipasang sejak 2006. Kalau sekarang berarti sudah banyak yang rusak, pemeliharaannya juga
setengah mati. Jadi yang sudah tidak berfungsi, kita ganti. Jadi ya sampai jumlahnya tetap segitu saja,"
jelasnya.

Lantaran kurangnya seismograf, data gempa bumi yang diterima dan diolah BMKG tidak presisi. Karena itu,
dia berharap tahun depan BMKG bisa menambah alat pendeteksi itu hingga mencapai 200.

"Ya meski masih kurang, tapi karena keterbatasan anggaran."

Meski tak bisa memprediksi kapan gempa bumi terjadi, BMKG akan memaksimalkan peralatan yang ada
untuk menyebarkan informasi kepada pemerintah daerah maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). Beberapa medium yang dipakai seperti media sosial, website, dan aplikasi berbasis telepon pintar.

Sementara itu, koordinasi antarlembaga yang selama ini macet, kata Muhamad Fadly, tengah dicarikan jalan
keluarnya. Sebab BMKG hanya bisa mendeteksi terjadinya tsunami yang disebabkan gempa bumi. Sedangkan
penyebab dari gunung api atau longsor, nihil.

"Gunung api di Indonesia kan banyak, kalau jaringan BMKG bisa masuk ke situ, pemantauan bisa jadi lebih
cepat. Jadi ke depan sudah dibicarakan supaya kita bisa masuk ke jaringan PVMBG."
Gempa bumi Manokwari, warga pesisir berlarian
cemaskan tsunami
 28 Desember 2018

Hak atas foto BMKG

Gempa bumi berkekuatan 6,1 skala Richter melanda Manokwari, mengakibatkan kepanikan warga sekitar
pantai yang berlarian mencemaskan datangnya tsunami.

"Khususnya yang disekitar Pantai Borobudur, langsung pada berlarian, karena dulu, tahun 2009 pernah terjadi
tsunami kecil di sana," kata Bustam, seorang warga Manokrawi Barat, kepada Ging Ginanjar dari BBC News
Indonesia.

Salah satu warga pantai Borobudur yang mencemaskan tsunami itu adalah Lakaidu, yang bersama
keluarganya langsung mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

"Lebih baik cari aman dari pada tsunami datang dan kita tidak siap," kata Lakaidu, seperti dilaporkan kantor
berita Antara.

Hak atas foto Toyib/Antaranews Papua Barat Image caption Penduduk sekitar pantai di Manokwari
mengungsikan barang mereka menyusul terjadinya gempa, Jumat (28/12).
Penduduk di pantai Borobudur ini banyak warga yang tinggal di rumah terapung yang menjorok ke arah laut,
lapor Antara lagi.

BMKG menyebut di akun Twitter mereka, gempa terjadi pada Jumat (28/12), pada pukul 10:03 WIB, dan
pusat gempa berada di darat, di kedalaman 26km, pada 55 km tenggara Manokwari Selatan

"Gempa dirasakan Cukup Kuat selama 6 detik di Kab. Manokwari Selatan, dan masyarakat sempat panik dan
keluar rumah dan bangunan lain," kata Sutopo, juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
dalam keterangan tertulis.

Sementara di Kabupaten Manokwari, "gempa dirasakan kencang selama lima detik, dan masyarakat setempat
panik saat ini nelayan dan warga berkumpul di kantor Bupati atau di lapangan," katanya pula.

Betapa pun, ditegaskannya, gempa ini tidak berpotensi tsunami.

Berlarian keluar rumah


Saat gempa terjadi, Bustam sedang makan bersama keluarganya: isteri dan dua anak, di rumah mereka di
Kampung Makassar, Manokwari Barat.

"Tiba-tiba bergoyang, kami semua langsung lari keluar, takut rumah ambruk," kata Bustam.

"Goyangannya dua kali. Setelah yang pertama, terus beberapa menit kemudian, bergoyang lagi. Kami
menunggu saja di luar, sama tetangga-tetangga juga, semua di luar," tambah Bustam.

"Setelah sekitar setengah jam, tak terjadi apa-apa lagi, ya kami baru berani masuk lagi ke rumah," kata
Bustam lagi.

Bustam yang bekerja sebagai wartawan di sebuah media lokal menyebut, di daerahnya, tak terjadi kerusakan
berati.

"Tapi di sebuah supermarket, langit-langitnya ambrol, berjatuhan. Juga beberapa ruangan di kantor gubernur,"
katanya.

Belum jelas apakah ada korban, dan seberapa jauh kerusakan akibat gempa itu
Gempa di Manado, Sulawesi Utara, warga panik
berhamburan ke jalanan
 13 Oktober 2018

Hak atas foto BMKG

Warga berlarian ke luar pusat-pusat pertokoan di Manado, ketika gempa bumi mengguncang. Sebagian yang
lain langsung menuju tempat parkir, dan berusaha ke tempat lain dengan kendaraan mereka, mengakibatkan
kemacetan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat terjadinya gempa bumi di Sulawesi Utara
berkekuatan 5,6 SR, namun tak berpotensi tsunami.

Peristiwa gempa di Sulut kali ini terjadi pada pukul 12:34 waktu setempat (11:34 WIB), Minggu (13/10), 38
km tenggara Bitung, pada kedalaman 97 Km.

"Guncangannya terjadi beberapa lama, orang-orang panik, dan lari ke luar," kata Eva Aruperes, seorang
wartawan di Manado.

Menurut BMKG dalam info berkelanjutan di akun Twitter mereka, guncangan dirasakan di beberapa wilayah
di Bitung, Tondano, Airmadidi, dan Manado.

Belum jelas apakah ada kerusakan dan korban.

Di pusat perbelanjaan di Kota Manado, pengunjung berhamburan keluar. Olga Pangkey, saat berada di
Multimart, Manado, menceritakan karyawan hingga pengunjung berhamburan keluar.
"Semua lari keluar. Namun untungnya masih teratur. Jadi tak ada korban. Tapi di parkiran, semua kendaraan
langsung ke luar ke jalan hingga menyebabkan kemacetan," kata Olga kepada Eva Aruperes yang melaporkan
untuk BBC Indonesia.

Ada pun Muhamad Abbas, seorang warga Kota Manado, saat terjadi guncangan langsung lari ke luar rumah
bersama anaknya.

"Saya langsung lari keluar. Soalnya masih trauma dengan berita-berita gempa di Palu. Apalagi keluarga saya
banyak di Palu sana," kata Abbas. Namun, lanjut dia, setelah gempa berhenti, dia bersama anaknya langsung
kembali ke dalam rumah.

Dan memang, tak sampai 5 menit setelah gempa, dan tak ada tanda-tanda guncangan lagi, masyarakat di
Sulawesi Utara mulai beraktivitas lagi.

Di Kabupaten Minahasa, guncangan terasa kuat, kata Eva Aruperes yang sedang berada di rumah saudaranya,
di sana.

"Terjadi kepanikan, karena rumah berguncang-guncang. Tapi rumah tempat saya tinggal untungnya rumah
kayu, jadi walaupun panik, agak tenang juga," katanya pula.

Di Minahasa Selatan, sebagian warga tak merasakan adanya guncangan. Marma Lintjewas, mengaku tidak
tahu kalau terjadi gempa."O, ada gempa? Soalnya getarannya tidak terasa," katanya.

Betapa pun, media sosial di Sulawesi Utara ramai dengan percakapan mengenai hal ini.

Menurut Kepala Stasiun Geofisika Manado Irwan Slamet, hingga pukul 13.10 Wita (12;10 WIB), hasil
monitoring BMKG belum menunjukkan adanya aktivitas gempa bumi susulan (aftershock).

"Jika ditinjau dari kedalaman hiposenternya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempabumi dengan
kedalaman menengah akibat aktivitas zona subduksi lempeng Sangihe Timur menunjam ke arah Tenggara
lempeng Laut Maluku," kata Kepala Stasiun Geofisika Manado Irwan Slamet.

"Kepada masyarakat di sekitar wilayah Kota Manado, Bitung, agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya," katanya.

Ini merupakan gempa terbaru sesudah gempa yang disusul tsunami yang menghantam Sulawesi Tengah,
khususnya Palu dan Donggala, dua pekan lalu (28/9), yang menewaskan lebih dari 2.000 orang.

Sebelumnya, pada Kamis (11/10) juga terjadi gempa di Situbondo dan Sumenep yang menewaskan tiga orang.
Tsunami Selat Sunda: Bocah pantai yang kini takut
ke pantai dan kisah lain
Silvano Hajid (Lampung Selatan), Rivan Dwiastono (Banten) Wartawan BBC News Indonesia

 28 Desember 2018

Hak atas foto MOHD RASFAN/AFP/Getty Images

Kisah sejumlah penyintas tsunami di kedua sisi Selat Sunda yang diterjang tsunami beberapa waktu lalu: yang
lega, yang berduka, dan yang terus berharap menunggu orang-orang tercinta yang tak kunjung muncul.

Adit, Lampung Selatan: sempat dikira sudah mati


Sempat dikira tak selamat dan terpisah dari orang tua kala tsunami menerjang Pesisir Lampung Selatan,
Muhamad Adit Saputra, bocah berusia 8 tahun yang akrab disapa Adit, akhirnya bertemu orang tuanya di
rumah sakit.

Sebelum bencana itu menerjang pesisir Lampung Selatan, sehari-harinya Adit main pasir di pantai, menemani
ayah dan ibunya yang berjualan minuman dan makanan di Pantai Kedu, Kalianda. "Ombaknya kecil,
pasir...dan pantainya bagus," kata Adit mengenang masa-masa itu.

Saat tsunami menerjang, Adit sedang menginap di tempat kerabatnya.


Tak banyak yang dia ingat, selain bahwa ia tertimpa puing bangunan yang runtuh yang membuatnya
mendadak hampir tak sadarkan diri.

"Saya dibopong-bopong orang, (mereka) setopin polisi, dibawa sama polisi di rumah sakit," kata Adit.

Image caption Adit: "Muka sudah bukan rupa muka lagi, Sudah lumpur campur pasir."

Ibunda Adit, Sumarni, sudah sempat kehilangan harapan.

Saat kejadian, ia dan suaminya tidak bersama karena berada di tempat lain. Tsunami menerjang, mereka
langsung dicekam kepanikan dan berlari ke arah kota.

Di tempat pengungsian sementara, ia mendengar kabar bahwa anaknya, Adit tertimpa reruntuhan bangunan.

Lalu ia dan suaminya bergegas menuju Rumah Sakit Bob Bazar, di Kota Kalianda, siapa tahu anaknya dirawat
di sana.

Dan, "ternyata dia ada di sana, masih hidup!" kata Sumarni girang.

Image caption Adit dan ibunya, Sumarni di tempat penampungan pengungsi di kalianda.

Walaupun, katanya, keadaan anaknya tampak tak keruan. "Wajahnya banyak jahitan. Muka sudah bukan rupa
muka lagi, Sudah lumpur campur pasir. Sininya (ia menunjukkan bagian wajah hingga telinga) sudah berdarah
semua," kata Sumarni tentang apa yang dilihatnya waktu itu.Kini Adit dan kedua orang tuanya berada di
pengungsian, di Gedung Olahraga, Kota Kalianda.

Adit ternyata mengalami 20 jahitan untuk berbagai lukanya.

Saat ditemui di tempat penampungan pengungsi di GOR Kalianda, Lampung Selatan, luka-lukanya, jahitan
dan memar di berbagai bagian tubuh masih tampak jelas. Ia mengenakan sarung untuk menghindari gesekan
yang dapat mengakibatkan lukanya makin parah.Adit masih merasakan kesakitan sesekali, namun sering
memaksa untuk berjalan, karena berbaring atau duduk saja membuatnya bosan, katanya.

Betapa pun, ia hanya berjalan-jalan sekitar tempat penampungan pengungsi.

Ia masih tak mau pergi ke pantai. "Takut ada tsunami lagi," kata Adit. Padahal, katanya, dulu ia senang sekali
bermain pasir dan air laut di pantai.

Rizki terus mencari


Telunjuknya merambati kertas yang tertempel di jendela kamar jenazah RSUD Berkah, Pandeglang, Banten,
yang sejak Minggu (23/12) lalu dijadikan Pos DVI (Disaster Victim Identification).

Nama yang ia cari tak ada dalam daftar jenazah yang sudah teridentifikasi di sana.
Ia mengulanginya lagi, menelusuri kolom demi kolom nama korban di kertas itu. "Enggak ada, Mas," ujarnya
lirih.

Rizki Hartadi mencari kakak iparnya, TB Fikri Fakhrurrozi, yang hilang sejak tsunami menerjang. Saat
kejadian, sang kakak tengah berkemah dengan tujuh orang temannya di Pulau Oar, Pandeglang. Mereka
berada di sana sejak Sabtu (22/12) siang.

"Kita belum dapat kabar, entah itu tersapu ke (daratan pulau) Jawa, atau tersapu ke mana," ujar Rizki kepada
Rivan Dwiastono dari BBC News Indonesia, Senin (24/12) malam.

Image caption Rizki tak lelah mencari, kendati nama iparnya tak kuncung tercantum.

Rizki menyadari bahwa sang kakak ipar mungkin menjadi korban tsunami setelah melihat unggahan foto pada
Facebook sebuah komunitas di Pandeglang, yang memperlihatkan salah satu dari tujuh teman kakaknya.

Ia dan saudara-saudaranya yang lain lantas mulai mencari keberadaan Fikri ke sejumlah tempat sejak Minggu
siang.

Seperti Rizki, di tempat yang sama, Subhan juga mencari keberadaan kakaknya, Anwar, yang sejak tsunami
menghantam tak bisa dihubungi.

"Iya, (dia) lagi melaut gitu (saat tsunami terjadi)," ujar Subhan Senin (24/12).

Hak atas foto BBC News Indonesia Image caption Sejumlah jenazah korban tsunami masih berada di Pos DVI
Post Mortem, RSUD Berkah, Pandeglang

Hari Minggu lalu, ia mendatangi rumah sang kakak yang berada di kawasan Carita, Pandeglang. Tapi
pemandangan yang tersaji di depannya di luar dugaan.

"Rumah sudah hancur, karena letaknya di pinggir (pantai)," ungkapnya.

Badarudin: saya sudah tua, tak mau ambil risiko..."


Badarudin, warga Pulau Sebesi yang sudah bermalam-malam di pengungsian di GOR Kalianda Lampung
Selatan berkisah bahwa ia tak punya pilihan lain selain mengungsi, kendati merasa berat meningalkan
rumahnya di pulau yang ia tinggali sejak 1969.

"Baru kali ini gunung itu (meletus) kenceng. Biasanya asapnya tipis-tipis, ini kok tebal, saya yang tua ini tidak
mau ambil risiko, dan harus mau mengungsi," kata Badarudin.

Image caption Badarudin: "Mereka bisa lari ke bukit. Tapi saya yang renta ini tak bisa lari jauh-jauh: mau lari
ke mana lagi?"

Ia berkisah, banyak orang di Sebesi yang memilih tinggal, karena merasa punya kemampuan menyelamatkan
diri, kalau-kalau terjadi apa-apa lagi dengan gunung Anak Krakatau, yang berjarak hanya sekitar 10 km dari
pulaunya.

Bahkan keluarganya sendiri awalnya tidak mau pergi dari pulau itu, namun ia bersikeras untuk mengungsi ke
tempat yang lebih aman.
"Sempat debat sama keluarga. Mereka masih merasa aman, karena bisa lari ke bukit. Tapi saya yang renta ini
tak bisa lari jauh-jauh di pulau itu: mau lari ke mana lagi?" kata Badarudin.

Hujan abu yang menyelimuti Pulau Sebesi, membuat mata Badarudin terluka. Di pengungsian ia sempat
mendapatkan perawatan dari tim medis.

Nursanah: keluar hutan karena tak ada makanan


Selasa (25/12) pagi itu, Nursanah, 54, warga Desa Waymuli Timur, baru kembali ke rumah mereka yang
hancur di pesisir pantai. Ia datang bersama suami, anak, menantu dan dua cucunya.

Mereka keluar setelah tidak ada lagi yang bisa dimakan di dalam hutan tempat mereka mengungsi.

"Hanya pakaian yang melekat di badan yang kami bawa, sesekali ada yang mengantarkan makanan ke atas,
namun tidak cukup untuk kami," kata Nursanah kepada BBC Indonesia.

Hak atas foto BBC News Indonesia Image caption Nursanah dan anaknya di depan rumah mereka yang rubuh

Jarak rumah mereka dari pantai hanya 10 meter. Saat tsunami menerjang merubuhkan rumah, nyawa mereka
selamat setelah berhasil lari sekuat tenaga menuju gunung Rajabasa.

Di sana, mereka membangun tenda sementara di tengah hutan bersama puluhan orang lainnya.

Muka Nursanah masih terlihat memar akibat hantaman puing bangunan.

"Sempat juga kesetrum karena aliran listrik masih waktu air bah datang,"kata Nursanah.

Hak atas foto BBC News Indonesia Image caption Gunung Rajabasa (di belakang) tempat sebagian warga
Waymuli menyelamatkan diri

Tidak jauh dari tempat Nursanah berdiri, rombongan pejabat pusat dan daerah yang berkunjung ke dapur
umum yang memasak 2.000 porsi makanan setiap hari sejak Senin (24/12).

Kendati lebih tenang, namun keluarga Nursanah memilih kembali ke pengungsian di dalam hutan pada sore
harinya.

"Kami masih trauma, apalagi dengar gemuruh (gunung Anak) Krakatau setiap malam semenjak tsunami,"
tambah Nursanah.
Gempa palu : Antara “Hukuman Tuhan
dan penjelasan ilmu pengetahuan”
Akbar, warga kampung Kabonena, Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang kehilangan putranya akibat likuifaksi di
perumahan Balaroa, meyakini bahwa gempa di Palu dan sekitarnya tidak terlepas dari "hukuman Tuhan"
akibat ulah manusia.

"Katanya sih ada lempengan (bumi) yang melalui Palu. Tapi, menurut saya, salah-satu faktor utama adalah
(praktik) mistis (yang digelar dalam Festival Nomoni di Kota Palu)," ungkapnya saat dihubungi BBC News
Indonesia, Kamis (17/10).

Akbar tidak memungkiri bahwa bencana itu akibat pergeseran patahan Palu Koro, tetapi dia mengaku tidak
dapat melepaskan dari keyakinannya dalam menafsir ajaran Islam terkait bencana itu.

Dia kemudian merujuk kepada acara yang digelar pemerintah Kota Palu di pinggir pantai tidak lama sebelum
gempa mengguncang wilayah itu, yaitu Festival Nomoni, yang disebutnya ada praktik syirik - menyekutukan
Tuhan - di dalamnya.

Hak atas foto ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH Image caption Umat Islam melaksanakan doa dan
zikir bersama di lokasi terjadinya gempa dan tsunami di anjungan Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat
(12/10). Ini dilakukan untuk memohon pengampunan kepada Allah.

"Karena sudah beberapa kali diadakan (Festival) Palu Nomoni, selalu ada kejadian buruk yang menimpa
warga," ungkapnya.

Apa yang diutarakan Akbar juga diyakini oleh sebagian warga kota Palu, walaupun tak sedikit pula yang
mempertanyakannya.
Apa komentar pegiat dan pendidik asal Sulteng?
Chalid Muhammad, yang berusia 52 tahun, aktivis LSM yang dilahirkan di Parigi, Sulawesi Tengah, mengaku
dirinya juga banyak mendengar asumsi di sebagian masyarakat Kota Palu yang menautkan bencana alam itu
dengan persoalan agama itu.

"Sebagian besar yang saya temui (di Palu dan sekitarnya) menyalahkan ini kaitannya dengan perbuatan
syirik," kata Chalid kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/10).

Hak atas foto ANTARA FOTO/SAHRUL MANDA TIKUPADANG Image caption Sejumlah personil Polisi
membersihkan reruntuhan sekitar masjid pascagempa dan tsunami Palu-Donggala di Masjid Ar Rahmat, Palu,
Sulawesi Tengah, Minggu (14/10).

Namun demikian, sambungnya, sebagian masyarakat Islam di wilayah itu ada pula yang bersikap "moderat"
yaitu tidak menautkannya dengan masalah agama, tetapi murni melihatnya sebagai masalah alam semata.

"Ada yang mencoba melihatnya lebih moderat dengan mengatakan bahwa di Palu sendiri ada beberapa sesar,
salah satunya yang paling aktif adalah Palu Koro," papar mantan Ketua LSM Walhi dan Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam) ini.
Hak atas foto SATELLITE IMAGE ©2018 DIGITALGLOBE, A MAXAR COMPAN Image caption Peta
satelit Kota Palu setelah gempa mengguncang wilayah itu.

Adanya dualisme pandangan di kalangan umat Islam di Palu dan sekitarnya, menurutnya, membuktikan "agak
sulit" untuk menghilangkan salah-satu diantaranya.

"(Karena) sekarang menjadi keyakinan di tingkat masyarakat," ungkap Chalid, yang saat ini terlibat dalam
jaringan relawan Koalisi Sulteng Bergerak untuk membantu pemulihan Palu dan sekitarnya pasca gempa.

Hak atas
foto ANTARA FOTO/YUSRAN UCCANG Image caption Pekerja beraktivitas di salah satu toko variasi
mobil kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (13/10), sepekan setelah gempa meluluhlantakkan sebagai wilayah
di Sulteng.

Dia kemudian mengusulkan agar digelar dialog rutin untuk mempertemukan "sudut pandang" berbeda di
kalangan masyarakat Palu itu agar tidak terjadi "benturan nilai" di antara orang-orang yang menjalani
keyakinan itu.

"Harus ada pendekatan antropologis, ada pendekatan religius, ada dialog-dialog yang harus dibuka dengan
tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat, sehingga persoalan ini lebih jernih," katanya.

Menurutnya, ini bisa dilakukan setelah Palu dan sekitarnya "pulih".

Hak
atas foto Sumber: USGS Image caption Posisi Palu dan kepulauan di Indonesia oleh para ahli dikatakan rentan
gempa.

Sementara, seorang pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Biologi, Universitas
Tadulako, Palu, Sulteng, Nadjamuddin Ramly, mengatakan, dirinya sebagai penganut Islam, meyakini adanya
teks di Alquran dan Sunnah yang menyebutkan "syirik mempercepat datangnya musibah".

"Bagi saya, keyakinan orang Palu (yang Muslim) itu meyakini ada unsur-unsur ritus budaya, khususnya ritus
pengobatan orang sakit yang namanya Balia. Balia ini mengundang roh-roh di luar akal sehat kita,"
ungkapnya memberi contoh.
Hak atas foto ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH Image caption Sejumlah relawan membangun
hunian sementara (huntara) bantuan Pemerintah Daerah Jawa Tengah yang diperuntukkan bagi korban gempa
di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (17/10/2018).

Namun demikian, Nadjamuddin mengaku, dirinya juga meyakini fenomena pergeseran sesar Palu Koro yang
disebutnya menjadi penyebab gempa di Sulteng. Dia menekannya adanya "kompabilitas" dua faktor tersebut.

"Secara saintifik rasional, dipercepat dengan perbuatan-perbuatan yang memang mengundang murka Allah
SWT," ungkap Nadjamudin yang juga Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud.

Sementara, mantan anggota Komnas HAM yang dilahirkan dan tumbuh besar di Kota Palu, Sulteng, Ridha
Saleh, mengatakan, sebagian besar masyarakat Muslim di Palu tidak bisa melepaskan persoalan gempa
dengan "kekuasaan Tuhan".
Hak atas foto ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH Image caption Seorang warga Sulteng berdoa di
anjungan Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (12/10) untuk memohon pengampunan dan meminta
kekuatan kepada Allah SWT.

"Walaupun secara sainstifik ada faktor Palu Koro, tapi secara subnatural, ada kelaziman lain yang oleh
masyarakat dibenarkan," kata Ridha.

"Saya kira antara faktor sainstifik dan kelaziman masyarakat menganggap bencana itu datang kepercayaan
agama, itu tidak perlu dipertentangkan, karena dua-duanya fakta. Ada fakta sainstifik dan fakta sosiologi yang
mereka percayai, yaitu dari Tuhan," jelasnya.

Pengamat keislaman: 'Harus di-counter, karena berbahaya sekali'

Pendapat berbeda ditunjukkan pemikir masalah keislaman, Budhy Munawar Rachman, yang menganggap cara
berpikir yang menautkan gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu dan sekitarnya, dengan apa yang disebut
sebagai "hukuman Allah" sangat "berbahaya".

"Kalau ada pendapat-pendapat seperti itu, saya kira pendapat itu harus di-counter, karena itu berbahaya
sekali," kata Budhy Munawar, pendiri Nurcholish Madjid Society, kepada BBC News Indonesia, Kamis
(17/10) malam.
Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Sejumlah warga Palu menggelar doa bersama untuk
memohon ampunan dan kekuatan, Jumat (12/10), setelah gempa mengguncang wilayah Palu dan sekitarnya.

Dia mengkhawatirkan, apabila cara berpikir seperti itu dibiarkan, akan dijadikan alasan untuk menyerang
kelompok-kelompok yang mempraktikkan "tradisi-tradisi lokal".

Menurutnya, siapapun tidak bisa menghubungkan antara gempa bumi dengan hukuman atau peringatan dari
Tuhan karena umat Islam dianggap sudah mempraktikkan syirik.
"Saya kira itu narasi itu harus ditolak, karena kita sudah mengerti lewat ilmu pengetahuan bahwa gempa bumi
dan tsunami itu ada penyebab alaminya," jelas pendiri dan pimpinan Project on Pluralism and Religious
Tolerance, Center for Spirituality and Leadership (CSL) ini.

Budhy menjelaskan, di dalam Alquran memang ada narasi tentang peringatan atau hukuman Tuhan di balik
bencana yang menimpa manusia, tetapi semuanya ada konteks atau latar kejadiannya.

"Memahami kitab suci atau memahami narasi agama tentang hukuman Allah itu selalu ada konteksnya. Dan
yang penting itu adalah pesannya, yaitu apa yang ingin disampaikan narasi keagamaan itu," jelas Budhy.

Lebih lanjut dia mengatakan: "Beragama itu tidak cuma dengan narasi, atau teologi keagaamaan, tapi juga
memerlukan ilmu pengetahuan."
Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Seorang warga Sulteng terlihat berdoa di anjungan
Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (12/10) untuk memohon pengampunan dan meminta kekuatan
kepada Allah SWT.

Agama memerlukan pemahaman, dan agama yang tanpa pemahaman sebenarnya dia bukan agama yang sejati,
kata Budhy.

"Agama yang sejati itu harus dimengerti. Tidak ada agama tanpa akal, begitu bunyi sebuah hadis," tandasnya.

Dalam konteks inilah, menurutnya, masyarakat muslim perlu diberi pemahaman agar lebih mengkorelasikan
semua gejala alam itu dengan ilmu pengetahuan yang bisa "dimengerti".

"Di sini tempatnya pendidikan di mana orang dalam beragama itu memerlukan pengertian, memerlukan ilmu
pengetahuan.

"Jadi pendidikan agama itu, saya kira, harus memberi perhatian tentang pentingnya ilmu pengetahuan, dalam
mengerti persoalan bencana," tandasnya.

Anda mungkin juga menyukai