Anda di halaman 1dari 5

1. Diagnosis berdasarkan skenario?

Jawab:
Anamnesis:
Seorang anak berumur 12 tahun dibawa orang tuannya dengan keluhan utama
sesak nafas yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Anak tersebut juga
mengalami batuk berdahak warna kekuningan disertai demam tinggi sejak 3 hari yang
lalu.
Pemeriksaan fisis:
Pada pemeriksaan fisis ditemukan TD: 100/80 mmHg, nadi 125 x/menit, nafas
35 x/menit, suhu 38,5oC, sianosis, retraksi otot-otot nafas tambahan, dan ronki basah
kasar di kedua paru.
Pemeriksaan penunjang:
Saturasi oksigen (SpO2) 90% dilakukan pada pasien dengan pemberian
oksigen NRM 10 liter per menit. pada foto toraks ditemukan infiltrat kedua paru.
Dokter juga menilai berlin’s score dikarenakan kondisinya yang semakin menurun.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang


ada dalam skenario, dapat dicurigai bahwa anak ini menderita Acute Respiratory
Distress Sydrome (ARDS). Acute Respiratory Distress Sydrome merupakan suatu
kondisi kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya
akumulasi cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas
sehingga distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Definisi ARDS
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Adult Respiratory Distress Syndrome
didefinisikan pertama kali tahun 1967 oleh Asbaugh. Menurut Asbaugh dkk, ARDS
didefinisikan sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang
difus pada foto toraks dan penurunan komplians atau daya regang paru (Bayu, 2017).
Di Amerika Serikat insidens ARDS pada orang dewasa tahun 2005
diperkirakan 200.000 kasus per tahun dengan angka mortalitas 40%. Acute
Respiratory Distress Sindrome dapat terjadi pada semua kelompok umur, dari anak-
anak sampai dewasa. Insidens ARDS meningkat dengan pertambahan usia, berkisar
16 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 15-19 tahun dan meningkat menjadi
306 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 75-84 tahun (Bayu, 2017).
Diagnosis banding ARDS adalah gagal napas akut hipoksemik, gagal jantung
kiri, penyakit akut parenkim paru seperti pneumonia akut eosinofilik, bronchitis
obliterans organizing pneumonia (BOOP), pneumonia akut intersisial, karsinoma sel
bronkoalveolar, proteinosis alveolar pulmonal, perdarahan alveolar pada penyakit
Goodpasture’s, granulomatosis Wegener’s, dan Lupus eritematosus sistemik (Tim
Editor, 2016).

Sumber:
Bayu, T., Martuti, S., and Pudjiastuti. 2017. Perbandingan Mortalitas Pasien Anak
dengan Acute Respiratory Distress Syndrome yang Menggunakan Delta
Pressure Tinggi dan Rendah. Sari Pediatri. Vol 19(3). Viewed on 22 October
2019. From https://sari.pediatri.org
Tim Editor. 2016. Acute Respiratory Distress Syndrome. Ina J CHEST Crit and
Emerg Med. Vol 3(2). Viewed on 22 October 2019. From
www.indonesiajournalchest.com

2. Tatalaksana dari skenario?


Jawab:
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati
penyebab presipitasi, menyediakan perawatan suportif yang baik, dan mencegah
komplikasi lanjut. Ventilasi volume tidal rendah (6 mL/kg BB ideal) sebaiknya
diberikan pada semua pasien dengan ARDS. Hal ini dapat menurunkan ventilasi per
menit lalu meningkatkan PaCO₂. Positive end expiratory pressure (PEEP) biasanya
diperlukan untuk menjaga oksigenasi dalam level yang adekuat. Posisi pronasi juga
dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi namun tidak berkaitan dengan
penurunan mortalitas (Tim Editor, 2016).
Tidak ada terapi spesifik yang efektif untuk pasien dengan ARDS. Penerapan
strategi pemberian cairan, menjaga tekanan vena sentral serendah mungkin akan
mempersingkat masa pemakaian ventilasi mekanik. Berdasarkan beberapa penelitian,
penggunaan kortikosteroid dan nitric oxide tidak direkomendasikan pada ARDS.
Terapi non-konvensional seperti memposisikan pasien dalam posisi tengkurap (prone
position), memberikan efek dalam meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan
menurunkan mortalitas (Tim Editor, 2016).

Sumber:
Tim Editor. 2016. Acute Respiratory Distress Syndrome. Ina J CHEST Crit and
Emerg Med. Vol 3(2). Viewed on 22 October 2019. From
www.indonesiajournalchest.com

3. Indikasi pasien dirawat di ICU?


Jawab:
Definisi ARDS menurut American European Consensus Conference (AECC)
adalah sindrom akut, infiltrat difus pada kedua paru konsisten dengan edema paru,
dan oksigenasi sistemik yang buruk, tanpa disertai adanya hipertensi arterial kiri.
Sindrom ini disebut ALI jika rasio PaO2 dan FiO2 kurang dari 300, sedangkan jika
kurang dari 200 disebut ARDS. Diagnosis klinis dengan adanya foto toraks yang
khas, infiltrat pada kedua paru dengan edema paru, analisis gas darah memperlihatkan
perbandingan PaO2 dan FiO2 kurang dari 200 dan juga dengan menggali faktor
pencetus ARDS. Terapi pada ARDS terutama mengidentifikasi faktor pencetus dan
mengobati faktor pencetus, dan keadaan yang mengancam jiwa. Pada pasien yang
didiagnosis ARDS atau pasien yang telah memenuhi kriteria berlin untuk ARDS,
maka segera dilakukan intubasi dan pemberian ventilasi mekanik. Setelah stabilisasi
di IRD pasien dirawat di ICU (Nurrasyidah, 2015).
Indikasi seseorang pasien dirawat di ICU berdasarkan Kepmenkes (2010),
pada dasarnya adalah pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan reversibel
(pulih kembali). Pasien yang layak dirawat di ICU adalah:
a. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care;
b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan, terus menerus, dan metode terapi titrasi;
c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pantauan kontiyu dan tindakan segera untuk
mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Namun, karena terdapat adanya
keterbatasan dalam hal fasilitas ICU, maka berlakulah 3 asas perioritas. dalam
keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (perioritas satu)
lebih didahulukan dibandingkan dengan pasien yang hanya memerlukan
pemantauan intensif (prioritas tiga). Perlu diperhatikan bahwa dalam menentukan
perioritas pasien masuk ICU sebaiknya ditentukan berdasarkan penilaian objektif
terhadap berat dan prognosis penyakitnya (Kepmenkes, 2010).

Sumber:
Nurrasyidah, I., and Koesoemoprodjo, W. 2015. Seorang Laki-laki Usia 16 Tahun
yang mengalami Drowning dan Pneumotoraks Paska Pemasangan Ventilator
Mekanik. JR. Vol 1(1). Viewed on 22 October 2019. From https://e-
journal.unair.ac.id
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1778/MENKES/SK/XII/2010.
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah
Sakit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Viewed on 23
October 2019. From http://badanmutu.or.id

4. Patogenesis berdasarkan skenario?


Jawab:
Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel kapiler paru dan
sel epitel alveolus karena produksi mediator proinflamasi lokal maupun yang
terdistribusi melalui arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas
barrier alveolar-kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein
(Bruce, 2015).
1. Kerusakan endotel kapiler paru
Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya ARDS. Kerusakan
endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi
akumulasi cairan yang kaya akan protein. Kerusakan endotel ini dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang utama adalah terjadinya
kerusakan paru melalui keterlibatan netrofil. Pada ARDS (baik akibat infeksi
maupun non-infeksi) menyebabkan neutrofil terakumulasi di mikrovaskuler paru.
Neutrofil yang teraktivasi akan berdegranulasi dan melepaskan beberapa mediator
toksik yaitu protease, reactive oxygen species, sitokin proinflamasi, dan molekul
pro-koagulan. Mediator-mediator inflamasi tersebut menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan hilangnya fungsi endotel yang normal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di interstitial dan
alveoli. Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga mempunyai peran
yang penting. Studi yang ada membuktikan efek sinergisme antara platelet dengan
neutrofil yang menyebabkan kerusakan paru (Bruce, 2015).
2. Kerusakan epitel alveoli
Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup menyebabkan
ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan faktor yang penting.
Neutrophil berperan dalam meningkatkan permeabilitas paraselular pada ARDS.
Dalam keadaan normal neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup
kembali intercellular junction sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal
alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis neutrofil dalam jumlah besar dapat
merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi yang dapat merusak
intercellular junction dan melalui mekanisme apoptosis atau nekrosis sel epitel.
Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel alveoli) merupakan jenis sel yang
paling mudah rusak. Kerusakan sel tersebut menyebabkan masuknya cairan ke
dalam alveoli dan menurunnya bersihan cairan dari rongga alveoli. Sel tipe II
bersifat tidak mudah rusak dan memiliki fungsi yang penting dalam memproduksi
surfaktan, transport ion, dan lebih lanjut dapat berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel alveoli tipe I. Kerusakan pada kedua sel tersebut menyebabkan
penurunan produksi surfaktan dan penurunan elastisitas paru (Bruce, 2015).
3. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli
Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan cairan edema
dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan direabsorpsi ke sistem limfatik
paru, mikrosirkulasi paru dan rongga pleura. Pembersihan cairan edema dari
rongga alveoli membutuhkan transport aktif sodium dan klorida yang akan
membuat gradient osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS,
pembuangan cairan edema dari alveoli terjadi lebih lambat karena epitel alveoli
mengalami kerusakan (Bruce, 2015).

Sumber:
Bruce D. Levy, Augustine M. K. Choi. Acute Respiratory Distress Syndrome. In:
Kasper, Fauci, Longo, Hauser, Jameson, Loscalzo, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 19ed. New York: Mc-Graw Hill; 2015.

5. Hubungan sleep apnea pada kasus?


Jawab:
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah gangguan bernafas yang dialami pada
saat tidur dengan penyebab yang masih tidak jelas. Pada saat penderita OSA tertidur,
otot-otot daerah ini mengalami relaksasi ke tingkat dimana saluran nafas ini menjadi
kolaps dan terjadi obstruksi. Ketika saluran nafas tertutup, penderita berhenti
bernafas, dan penderita akan berusaha terbangun dari tidurnya supaya saluran nafas
dapat kembali terbuka. Proses terbangun dari tidur ini biasanya hanya berlangsung
beberapa detik, tetapi dapat menganggu irama tidur yang berkesinambungan. Tidak
dapatnya seseorang masuk ke tingkat tidur yang dalam dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup seseorang, seperti mengantuk sepanjang hari, penurunan daya ingat,
erectile dysfunction (impotensi), depresi, dan perubahan kepribadian. Sleep Apnea
didefinisikan sebagai timbulnya episode abnormal pada frekuensi napas yang
berhubungan dengan penyempitan saluran napas atas pada keadaan tidur, dapat
berupa henti napas/apnea atau menurunnya ventilasi/hypoapnea (Kadarullah, 2016).
OSA dan ARDS memiliki hubungan yang sangat erat karena Obstructive sleep
apnea (OSA) dapat meningkatkan risiko komplikasi pernafasan dan sidrom gangguan
penafasan akut (ARDS) diantara pasien bedah. Tetapi, berdasarkan penelitian belum
didapatkan secara pasti apakah OSA secara independen berkontribusi terhadap risiko
ARDS diantara semua pasien yang dirawat di rumah sakit. OSA telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko untuk pengembangan ARDS di antara pasien yang
menjalani operasi. Pasien dengan OSA yang membutuhkan pembedahan terbukti
memiliki tingkat komplikasi paru yang lebih tinggi dengan hipoksemia yang paling
umum (Karnatovskaia, 2015).

Sumber:
Kadarullah, O., and Annisa, Y. 2016. Pengaruh Obstructive Sleep Apnea (OSA)
terhadap Terjadinya Hipertensi di Poli Saraf RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo. SAINTEKS. Viewed on 23 October 2019. From
www.jurnalnasional.ump.ac.id
Karnatovskaia, L.V., et all. 2015. Obstructive Sleep Apnea Obesity, and The
Development of Acute Respiratory Distress Syndrome. Journal of Clinical
Sleep Medicine. Vol 10(6) . Viewed on 23 October 2019. From
www.ncbi.nlm.niv.gov

Anda mungkin juga menyukai