Anda di halaman 1dari 60

PNEUMOTORAKS

Definisi

(1-8)
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam cavum/rongga pleura .
Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru
dalam keadaan berkembang (inflasi) (3). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi - 4 s/d
8 cm H2O dan
dan pada
pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O. Kerusakan pada pleura parietal dan/atau
 pleura viseral dapat menyebabkan
menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga
rongga pleura,
pleura, sehingga
sehingga paru
akan kolaps.

Epidemiologi

Laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20¬30 (4, 14) tahun
Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun sering disebabkan oleh
adanya bronkitis kronik dan empisema (1, 2). Lebih sering pada
orang-orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang
mempunyai kebiasaan merokok (2, 4). Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dan pada
kiri.

Insiden

Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-kasus yang tidak 
didiag
didiagno
nosis
sis sebag
sebagai
ai pneu
pneumo
moto
torak
rakss kare
karena
na berba
berbaga
gaii sebab.
sebab. Johns
Johnsto
ton
n & Dovna
Dovnarsk
rsky
y (4)
(4)
memperk
memperkirak
irakan
an kejadia
kejadian
n pneumo
pneumotor
toraks
aks berkisa
berkisarr antara
antara 2, 4-17,
4-17, 8 per 100.0
100.000
00 per tahun.
tahun.
Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita (4:
1); paling sering pada usia 20¬30 (4, 14) tahun Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur 
lebih dan 40 tahun sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema (1, 2). Lebih
sering
sering pada
pada orang-
orang-ora
orang
ng denga
dengan
n bentuk
bentuk tubuh
tubuh kurus
kurus dan tinggi
tinggi (astenik
(astenikus)
us) terutam
terutamaa pada
pada
mereka yang mempunyai kebiasaan merokok (2, 4). Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi
dan pada kiri.
Klasifikasi

A. Berdasarkan kejadian

1. Pneumo
Pneumotor
toraks
aks spontan:
spontan: Terbagi
Terbagi kepada
kepada dua
dua yaitu
yaitu pneum
pneumoto
otoraks
raks primer
primer dan sekunde
sekunder.
r.
Timbul sobekan subpleura dari bulla sehingga udara dalam rongga pleura melalui suatu
lubang robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan sering menjadi
keadaan yang kronis. Penyebab lain ialah suatu trauma tertutup terhadap dinding dan
fistula bronkopleural akibat neoplasma atau inflamasi.

2. Artifisial-Udara
Artifisial-Udara lingkunga
lingkungan
n luar masuk
masuk ke dalam rongga
rongga pleura
pleura melalui
melalui luka tusuk atau
 pneumotoraks
 pneumotoraks disengaja
disengaja (artificial) dengan
dengan terapi dalam hal pengeluaran
pengeluaran atau
 pengecilan
 pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan
dilakukan lagi. Tujuan
Tujuan
 pneumotoraks
 pneumotoraks sengaja lainnya ialah diagnostik
diagnostik untuk membedakan
membedakan massa apakah
 berasal dari pleura atau jaringan paru. Penyebab-peny
Penyebab-penyebab
ebab lain ialah akibat tindakan
tindakan
 biopsi paru dan
dan pengeluaran
pengeluaran cairan
cairan rongga
rongga pleura.
pleura.

3. Trauma
Trauma-Ma
-Masuk
suknya
nya udara
udara melalui
melalui mediastin
mediastinum
um yang biasanya
biasanya disebabka
disebabkan
n trauma
trauma pada
trakea atau esophagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat (endoskopi) atau
 benda asing tajam yang tertelan. Keganasan
Keganasan dalam mediastinum
mediastinum dapat pula
meng
mengak
akiba
ibatk
tkan
an udara
udara dalam
dalam rong
rongga
ga pleu
pleura
ra melal
melalui
ui fistu
fistula
la antar
antaraa salur
saluran
an nafas
nafas
 proksimal
 proksimal dengan
dengan rongga
rongga pleura.
pleura.

4. Udara
Udara berasal
berasal dari
dari subdiaf
subdiafrag
ragma
ma dengan
dengan robekan
robekan lambung
lambung akibat
akibat suatu
suatu trauma atau
abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.

B.Berdasarkan Jenis Fistel

1. Pneumotoraks Terbuka: Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antara
ruang pleura dan lingkungan atau terbentuk saluran terbuka yang dapat menyebabkan udara
dapat keluar masuk dengan bebas ke rongga pleura selama proses respirasi.

2. Pneumotoraks Tertutup: Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan
nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif.

3. Pneumotoraks
Pneumotoraks Valvular/Ventil:
Valvular/Ventil: Jika udara dapat masuk ke dalam paru pada proses inspirasi
tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi. Akibat hal ini dapat terjadi peningkatan
Klasifikasi

A. Berdasarkan kejadian

1. Pneumo
Pneumotor
toraks
aks spontan:
spontan: Terbagi
Terbagi kepada
kepada dua
dua yaitu
yaitu pneum
pneumoto
otoraks
raks primer
primer dan sekunde
sekunder.
r.
Timbul sobekan subpleura dari bulla sehingga udara dalam rongga pleura melalui suatu
lubang robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan sering menjadi
keadaan yang kronis. Penyebab lain ialah suatu trauma tertutup terhadap dinding dan
fistula bronkopleural akibat neoplasma atau inflamasi.

2. Artifisial-Udara
Artifisial-Udara lingkunga
lingkungan
n luar masuk
masuk ke dalam rongga
rongga pleura
pleura melalui
melalui luka tusuk atau
 pneumotoraks
 pneumotoraks disengaja
disengaja (artificial) dengan
dengan terapi dalam hal pengeluaran
pengeluaran atau
 pengecilan
 pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan
dilakukan lagi. Tujuan
Tujuan
 pneumotoraks
 pneumotoraks sengaja lainnya ialah diagnostik
diagnostik untuk membedakan
membedakan massa apakah
 berasal dari pleura atau jaringan paru. Penyebab-peny
Penyebab-penyebab
ebab lain ialah akibat tindakan
tindakan
 biopsi paru dan
dan pengeluaran
pengeluaran cairan
cairan rongga
rongga pleura.
pleura.

3. Trauma
Trauma-Ma
-Masuk
suknya
nya udara
udara melalui
melalui mediastin
mediastinum
um yang biasanya
biasanya disebabka
disebabkan
n trauma
trauma pada
trakea atau esophagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat (endoskopi) atau
 benda asing tajam yang tertelan. Keganasan
Keganasan dalam mediastinum
mediastinum dapat pula
meng
mengak
akiba
ibatk
tkan
an udara
udara dalam
dalam rong
rongga
ga pleu
pleura
ra melal
melalui
ui fistu
fistula
la antar
antaraa salur
saluran
an nafas
nafas
 proksimal
 proksimal dengan
dengan rongga
rongga pleura.
pleura.

4. Udara
Udara berasal
berasal dari
dari subdiaf
subdiafrag
ragma
ma dengan
dengan robekan
robekan lambung
lambung akibat
akibat suatu
suatu trauma atau
abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.

B.Berdasarkan Jenis Fistel

1. Pneumotoraks Terbuka: Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antara
ruang pleura dan lingkungan atau terbentuk saluran terbuka yang dapat menyebabkan udara
dapat keluar masuk dengan bebas ke rongga pleura selama proses respirasi.

2. Pneumotoraks Tertutup: Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan
nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif.

3. Pneumotoraks
Pneumotoraks Valvular/Ventil:
Valvular/Ventil: Jika udara dapat masuk ke dalam paru pada proses inspirasi
tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi. Akibat hal ini dapat terjadi peningkatan
tekanan
tekanan intraple
intrapleura
ural.
l. Karena
Karena tekanan
tekanan intraple
intrapleura
urall mening
meningkat
kat maka
maka dapat
dapat terjadi
terjadi tension
tension
 pneumotorak
 pneumotoraks.
s.

C. Berdasarkan Derajat Kolaps

1. Totalis

2. Parsialis

D. Berdasarkan Lokasi

1. Parietalis

2. Medialis

3. Basalis

Tabel 1. Penyebab Pneumotoraks


Pneumotoraks Spontan Sekunder

Penyakit saluran napas

• PPOK 

• Fibrosis kistik 

• Asma bronchial

Penyakit infeksi paru

•  Pneumocystis
 Pneumocystis carinii pneumonia
pneumonia

•  Necrotizing pneumonia
pneumonia (oleh kuman anaerob, gram negatif atau stafilokokus)

Penyakit paru interstisial

• Sarkoidosis

• Fibrosis paru idiopatik 

• Granulomatosis
Granulomatosis sel Langerhans

• Limfangileiomiomatous
• Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan ikat

•  Arthritis rheumatoid 

•  Ankylosing spondylitis

• Poliomyelitis dan dermatomiosis

• Skleroderma

• Sindroma Marfan

• Sindroma Ehler-Danlos

Kanker

• Sarkoma

• Kanker paru

Endometriosis torakis

Patogenesis

Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan negatif disebabkan
karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan dinding dada yang cenderung
mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveol atau ruang udara intrapulmoner lainnya
(kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveol
ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. Serupa
dengan mekanisme di atas, maka bila ada hubungan antara udara luar dengan rongga pleura
melalui dinding dada; udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan
menghilang atau hubungan menutup. Pada pneumotoraks spontan baik primer maupun
sekunder mekanisme yang terdahulu yang terjadi, sedang mekanisme kedua dapat dijumpai
 pada jenis traumatik dan iatrogenik. 1, 2
Salah satu yang berperan dalam proses pernapasan adalah adanya tekanan negatif pada rongga
 pleura selama berlangsungnya siklus respirasi. Apabila terjadi suatu kebocoran akibat pecahnya
alveoli, bula atau bleb sehingga timbul suatu hubungan anara alveoli yang pecah dengan rongga
 pleura, atau terjadi kebocoran dinding dada akibat trauma, maka udara akan pindah ke rongga
 pleura yang bertekanan negatif hingga tercapai tekanan yang sama atau hingga kebocoran
tertutup. Tekanan negatif di rongga pleura tidak sama besar di seluruh pleura, tekanan lebih
negatif pada daerah apeks dibandingkan dengan daerah basal. Mekanisme terjadinya
 pneumothoraks spontan adalah akibat dari lebih negatifnya tekanan di daerah puncak paru
dibandingkan dengan bagian basal dan perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan distensi
lebih besar pada alveoli daerah apeks. Distensi yang berlebihan pada paru normal akan
menyebabkan rupture alveoli subpleural. 1, 2

Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya pneumotoraks spontan adalah pecahnnya bula
atau bleb subpleural. Mekanisme terbentuknya bula masih dipertanyakan. Suatu teori yang
menjelaskan pembentukan bula pada perokok menghubungkan proses degradasi benang elastin
 paru yang diinduksi asap rokok. Proses tersebut kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan
makrofag. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan rasio proteinase-antiproteinase dan
sistem oksidan-antioksidan di dalam paru, menyebabkan obstruksi akibat inflamasi. Hal ini
akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra-alveolar sehingga terjadi kebocoran udara
menuju ruang interstisial paru ke hilus yang menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan di
mediastinum akan meningkat dan pleura mediastinum rupture sehingga menyebabkan
 pneumotoraks.1, 2
Mekanisme terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah akibat peningkatan tekanan
alveolar melebihi tekanan interstisial paru dan menyebabkan udara dari alveolus berpindah ke
rongga interstisial kemudian menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Kemudian
udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura sehingga
menimbulkan pneumotoraks. Peningkatan tekanan alveolus ini terjadi pada penyakit penyerta
 pada pneumotoraks spontan sekunder, antara lain dapat dilihat pada tabel 1. Pneumothoraks
spontan sekunder terjadi akibat komplikasi dari penyakit paru yang mendasarinya atau dapat
 pula sebagai akibat rupturnya bleb. Adanya penyakit paru menyebabkan timbulnya defek atau
kelemahan pada dinding alveoli atau pleura. Jika suatu saat terjadi peningkatan tekanan di jalan
napas seperti pada batuk atau penyakit menahun maka alveolus atau pleura akan pecah
sehingga timbul pneumothoraks. 2, 3

Luka tembus dada merupakan penyebab umum pneumothoraks traumatik. Ketika udara masuk 
ke dalam rongga pleura, dalam keadaan normal bertekanan lebih rendah daripada tekanan
atmosfer, maka paru akan kolaps sampai batas tertentu. Sebagai contoh, jika terbentuk saluran
terbuka (pneumothoraks terbuka) maka kolaps masif akan terjadi sampai tekanan di dalam
rongga pleura sama dengan tekanan atmosfer. Sebaliknya, jika selama inspirasi saluran tetap
terbuka dan menutup saat ekspirasi maka banyak udara yang akan tertimbun dalam rongga
 pleura sehingga tekanannya akan melebihi tekanan atmosfer. Keadaan ini akan akan
menyebabkan paru mengalami kolaps total dan disebut sebagai tension pneumothoraks. 2, 3

Tekanan di dalam rongga pleura, pada keadaan tension pneumothoraks, akan semakin
meningkat karena penderita akan memaksakan diri untuk inspirasi. Inspirasi paksaan ini akan
menambah tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan
memperburuk keadaan umum akibat tertekannya paru yang sehat. Keadaan ini akan
menyebabkan pembuluh darah besar vena terutama v.kava inferior dan v.kava superior 
terdorong sehingga aliran darah balik ke jantung terhambat dan terjadilah syok hipovolemik 
yang akan mengarah pada terjadinya kematian. 2, 3

Pada tension pneumothoraks juga dapat terjadi emfisema. Hal ini terjadi akibat tekanan tinggi
di rongga pleura yang kemudian mendorong udara untuk masuk ke dalam jaringan lunak 
melalui luka dan naik ke wajah. Di Indonesia, TB paru menjadi penyebab terbanyak dan perlu
dipikirkan bila terjadi pada penderita usia muda. Perubahan fisiologis yang terjadi akibat
 pneumotoraks adalah gangguan ventilasi, penurunan nilai kapasitas vital paru, dan tekanan
oksigen darah (PO2) sehingga terjadi hipoventilasi dan menimbulkan asidosis respiratorik.
Evakuasi udara dari rongga pleura sesegera mungkin akan memperbaiki gangguan ventilasi dan
kapasitas vital paru, sehingga akan membantu peningkatan PO 2. 2, 3

MANIFESTASI KLINIS

Pneumothoraks sekunder biasanya terjadi dengan sesak atau insufisiensi respiratori yang
kemudian akan membahayakan pasien oleh karena buruknya pernafasan pasien. Hal ini
membuat pneumothoraks menjadi salah satu dari kasus kegawatdaruratan. Pneumothoraks
 biasa diikuti dengan nyeri dada ipsilateral, hipoksemia atau hipotensi atau bahkan hiperkapnia.
Patofisologi pneumothoraks sekunder melibatkan banyak faktor dan masih kurang dipahami.
Seperti yang telah diyakini, udara masuk ke rongga pleura melalui alveoli yang ruptur sebagai
akibat dari nekrosis pada bagian perifer paru seperti pada pneumonia P.carinii. TB paru juga
meningkatkan resiko pneumothoraks pada pasien AIDS. Pasien dengan pneumothoraks
minimal (melibatkan <15% dari hemithoraks) mungkin akan mempunyai pemeriksaan fisik 
yang normal. Takikardi merupakan pemeriksaan fisik yang paling sering didapati. Pada pasien
dengan pneumothoraks yang besar, mungkin akan dijumpai pengurangan gerakan dada,
dijumpai suara hiperresonan atau timpani pada perkusi dinding dada, suara fremitus yang
menghilang atau melemah, dan hilangnya atau melemahnya suara pernafasan pada bagian dada
yang mengalami pneumothoraks. Takikardi yang menlebihi 135 kali per menit, hipotensi atau
sianosis mungkin harus diduga sebagai suatu pneumothoraks tension.

DIAGNOSA & PEMERIKSAAN

Kemungkinan terjadinya pneumotoraks pada penderita PPOK harus dicurigai bila ada
 peningkatan sesak napas terlebih lagi bila disertai dengan nyeri dada. Pemeriksaan fisik pada
 penderita PPOK kurang membantu menegakkan diagnosis pneumotoraks spontan sekunder 
karena pada penderita tersebut telah ada paru yang hiperekspansi. Diagnosis ditegakkan dengan
tampaknya pleural line pada foto torak. Kadang-kadang sangat sulit untuk melihat garis pleural
ini pada penderita PPOK karena paru hiperlusen dan sangat sedikit perbedaan radiodensitas
antara pneumotoraks dan paru yang emfisematous. Dalam beberapa keadaan penting
membedakan pneumotoraks dengan bulla yang besar dan berdinding tipis pada penderita
PPOK. Garis pleura pada bulla yang besar konkaf terhadap dinding dada, sedangkan pada
 pneumotoraks konveks. Pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan tomogram atau CT Scan
untuk membedakan keduanya. Pada pemeriksaan analisa gas darah /AGDA akan dijumpai hasil
yang abnormal seperti tekanan oksigen arteri (PaO 2) kurang dari 80 mmHg dan PaCO 2 lebih
dari 50 mmHg. Adanya kelainan paru bersamaan dengan besarnya pneumothoraks yang terjadi
akan menentukan derajat hipoksia pasien.

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksaan pneumotoraks spontan adalah evakuasi udaradi dalam rongga
 pleura, memfasilitasi penyembuhan pleura dan mencegahterjadinya rekurensi secara
efektif.Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi, aspirasi sederhanadengan kateter 
vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi single port, VAST dan torakotomi. Pemilihan
 penatalaksanaan tergantung pada:

-tipe pneumotoraks spontan primer atau sekunder 

-luas pneumotoraks

-gejala klinis, terjadinya kebocoran udara yang menetap (persistent airleak)

-faktor risiko lain : jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan merokok, dll

Terapi oksigen

Suplemen oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga torakssebanyak 4 x


dibandingkan dengan tanpa suplementasi oksigen.

Oksigen akan mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler darahsekitar rongga pleura
dan akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan nitrogen
ke dalam kapiler pembuluhdarah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh gas lain.
Suplementasi oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus
 pneumotoraks.Observasi (tanpa tindakan invasif)Bila hubungan antara alveoli dan rongga
 pleura dihilangkan, maka udara didalam rongga pleura akan diabsorbsi secara betahap.
Kecepatan absorpsiantara berkisar 1,25 % dari volume hemitoraks setiap 24 jam.

ACCP membagi klinispenderita atas penderita dalam kondisi stabil, jika :

-laju napas < 24 x/menit

-denyut jantung 60-120 x/menit

-tekanan darah normal

-saturasi oksigen > 90 % (tanpa asupan oksigen)setelah observasi penderita dapa dipulangkan
dan datang kembali ke rumahsakit bila terdapat gejala klinik yang memberat. Observasi tidak 
dilakukanpada penderita denagan pekerjaan atau kondisi yang mengandungresiotinggi
terjadinya rekurensi.

(American College of Chest Physicians.Management of spontaneous pneumothorax: An


American College of Chest Physicians Delphi Consensus Ststement. Chest 2001; 119:590-602)

Tindakan fisioterapi denagn pemberian penyinaran gelombang pendek 


 padapneumotoraks spontan kurang dari 30 %, secara bemakna meningkatkanabsorbsi udara
dibandingkan dengan hanya observasi saja.

Aspirasi sederhana dengan kateter venaAspirasi sederhana terutama direkomendasiksan pada


terapi awal penderitaPSP pertama, karena memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi (70 %)
dibandingkan bila dilakukan pada penderita PSS. Prosedur ini memilikikeuntungan antara lain
morbidity yang minimal dan dapat dilakukan padapasien rawat jalan sehingga penderita dapat
 bekerja kembali serta relatif mudah dan murah. Kelemahan prosedur ini apabila gagal maka
 perludilakukan pemasngan tube thoracostomy dan tidak mungkin
mengurangirekurensi.Pemasangan WSD Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih
merupakan tindakanpertama sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih
invasif seperti torakoskopi atau torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada
 pneumotoraks teutama ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengantindakan aspirasi dan
 penderita PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi. Pada penderita PSP
angka keberhasilan pemasangan tubethoracostomy lebih tinggi dibandingkan dengan PSS.

Penggunaan suction pada sistem drinase tidak banyak memberikankeuntungan dalam


mempercepat pengemabnagan paru, sehingga pada awal pemasangan biasanya dihubungkan
dengan katup satu arah atau denganperangkat WSD tanpa suction, namun bila terjadi
kebocoran udara tubethoracostomy dihubungkan dengan suction.Komplikasi pemasangan tube
thoracostomy:

- malposisi ke fisura interlobar, organ lain seperti esophagus, pembuluh darah sentral dan
 jaringan subkutis

- pneomototaks berulang atau pembentukan cairan

- pneumotoraks kontralateral

- shok kardigenik karena kompresi ventrikel kanan

- kerusakan saraf seperti saraf interkostal, saraf diafragma

- edema paru reekspansi unilateral

- fistula bronkopleura

- perlengketan pleura dengan paru yang tidak mengembang

- perdarahan

- infeksi

Pleurodesis

Dilakukan terutama untuk mencegah rekurensi terutama penderita dengan risiko tinggi untuk 
terjadinya rekurensi. Zat sklerosan yang ideal harusmemenuhi beberapa kriteria :

- murah

- mudah didapat

- mudah dimanipulasi

- mudah disterilisasi

- mudah dipakai (pada saat tindakan torakosentesis)

- aman
Bahan yang biasanya digunakan adalah tetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau talk. Bahan
terbaik dalam mengurangi rekurensi adalah talk.

Torakoskopi Tindakan torakoskopi untuk episode petama PSP yang masih tertangani dengan
aspirasi masih menjadi perdebatan, karena pada dasarnya sekitar 64% PSP tidak terjadi
rekurensi pada pemasangan. Tindakan yang dilakukanadalah reseksi bula dan pleurodesis.
Torakoskopi pada PSS harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam. Pada
PSS komplikasi VATS lebih tinggi dibandingkan pada PSP. Torakotomi Merupakan tindakan
akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini memiliki angka rekurensi terendah yaitu
kurang dari 1 % bila dilakukanpleurektomi dan 2-5 % bila dilakukan pleurodesis dengan abrasi
mekanik 

Komplikasi

Komplikasi dari pneumotoraks yang berhubungan cedera atau penyakit-terkait meliputi:

• Kambuh Banyak orang yang memiliki satu pneumotoraks telah lain, biasanya dalam
waktu tiga tahun pertama.

• Kebocoran udara persisten. Udara terkadang dapat terus bocor jika pembukaan di paru-
 paru tidak akan menutup. Bedah akhirnya mungkin diperlukan untuk menutup
kebocoran udara.

Komplikasi dari pneumotoraks yang parah dapat mencakup:

• Tingkat oksigen darah yang rendah (hipoksemia)

• Perhentian jantung

• Kegagalan pernafasan

• Syok 

Prognosis

Jika pneumotoraks adalah suatu peristiwa terisolasi dan pengobatan dimulai dini, prognosis
sangat baikTingkat kekambuhan pneumotoraks spontan sederhana dapat setinggi 30% dan 10%
ipsilateral kontralateral. Sebuah insiden tinggi kambuh dicatat setelah episode pertama dari
 pneumotoraks sekunder dan pada pasien yang berpartisipasi dalam kegiatan seperti menyelam
laut dalam. Pasien dengan fibrosis kistik memiliki tingkat kekambuhan sangat tinggi.
Jika trauma lainnya didukung pada waktu yang sama atau tension pneumothorax terjadi dengan
kejutan berikutnya dan hipoperfusi, prognosis memburuk.

Jika pasien diizinkan untuk menjadi hipoksia untuk waktu yang lama, cedera otak adalah
mungkin.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK 

Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran
udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap
derajat berat penyakit.. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena
 bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan diagnosis
 patologi.4

Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai
 berikut :5

a) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan.

b) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat.

c) Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan dan tempat

kerja).

d) Sesak pada saat melakukan aktivitas.

e) Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).

Bronkitis kronik adalah keadaan pengeluaran mukus secara berlebihan ke batang


 bronchial secara kronik atau berulang dengan disertai batuk, yang terjadi hampir setiap hari
selama sekurangnya tiga bulan dalam 1 tahun selama 2 tahun berturut-turut. 5

Emfisema kelainan paru-paru yang ditandai dengan pembesaran jalan nafas yang
sifatnya permanen mulai dari terminal bronchial sampai bagian distal (alveoli : saluran,
kantong udara dan dinding alveoli). 5
Epidemiologi

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6
sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah penyakit
5
kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002).
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan RumahTangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
 peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor 
yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut : 4
• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %).
• Pertambahan penduduk.
• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an.
• Industrialisasi.

• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 
54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari perokok 
menyatakan kebiasaannya merokok didalam rumah ketka bersama anggota keluarga lainnya,
dengan demikian sebagian besar anggota keluarga merupakan perokok pasif. 4

Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak 
terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, klasifikasi) yang
minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel.
Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi
Pascatuberkulosis (SOPT).5
Faktor Risiko

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih

 penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :4,5
a) Riwayat merokok 

− Perokok aktif 

− Perokok pasif 

− Bekas perokok 
 b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
 batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

− Ringan : 0-200

− Sedang : 200-600

− Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
6. Sosial ekonomi
Klasifikasi

Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1. 4

Derajat Klinis Faal Paru


Gejala klinis (batuk, produksi  Normal
sputum)
Derajat 1 : PPOK Ringan Gejala batuk kronik dan produksi VEP1)/KVP < 70%
sputum ada tetapi tidak sering. VEP1 > 80% prediksi
Pada derajat ini pasien sring tidak 
menyedari bahawa faal paru
mulai menurun.
Dearajat II : PPOK Sedang Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1)/KVP < 70%
aktivitas dan kadang ditemukan 50% < VEP1 < 80%
gejala batuk dan produksi  prediksi
sputum. Pada derajat ini biasanya
 pasien mulai memeriksakan
kesehatannya.
Derajat III : PPOK Berat Gejala sesak lebih berat, VEP1)/KVP < 70%
 penurunan aktivitas, rasa lelah 30% < VEP1 < 50%
dan serangan eksaserbasi  prediksi
semakin sering dan berdampak 
 pada kualitas hidup pasien.
Derajat IV : PPOK Sangat Gejala di atas ditambah tanda- VEP1)/KVP < 70%
Berat tanda gagal napasatau gagal VEP1 < 30% prediksi atau
 jantung kanan dan VEP1 < 50% prediksi
ketergantungan oksigen. Pada disertai gagal napas kronik 
derajat ini kualitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa.
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / GOLD 2010

Patogenesis dan patologi


Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet,
inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh
 pelebaran
 pelebaran rongga
rongga udara
udara distal bronkio
bronkiolus
lus terminal,
terminal, disertai
disertai kerusakan
kerusakan dinding
dinding alveoli.
alveoli. Secara
Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema1:

- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama
mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak 
 pada paru
paru bagian
bagian bawah.
bawah.

- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan
Sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan Struktural
 pada saluran
saluran napas
napas kecil yaitu:
yaitu: inflamasi
inflamasi fibrosis,
fibrosis, metaplasi
metaplasi sel goblet
goblet dan
dan hipertropi
hipertropi otot
 polos penyebab
penyebab utama obstruk
obstruksi
si jalan napas.
napas.

Konsep patogenesis PPOK 1


Perbedaan patogenesis asma dan PPOK 1

Mekanisme Inflamasi pada PPOK 2


Merokok (dan bahan iritan lain) mengaktivasi makrofag pada salauran respiratori yang
menyebabkan pelepasan faktor-faktor kemotaktik neutrofil seperti IL-8 dan TB4. Faktor-faktor 
ini kemudiannya melepaskan protease yang melisis tisu penghubung pada parenkim paru yang
menyebabkan terjadinya emfisema dan juga menstimulasi hipersekresi mucus. Enzim-enzim ini
terdiri dari protease inhibitor seperti 1-antitrypsin, SLPI, dan TIMP. Sel-sel T sitotoksik (CD 8)
 juga mungkin
mungkin direkruit
direkruit dan terlibat
terlibat dalam
dalam dekstruksi
dekstruksi dinding
dinding alveolar.
alveolar. Fibroblas
Fibroblas juga dapat
dapat
diaktivasi oleh faktor-faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh makrofag dan sel-sel epitel. 2
*CTG; connective tissue growth factor; COB; chronic obstructive bronchiolitis.

DIAGNOSIS1
Pada pasien dengan PPOK, gejala dan tanda sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda
dan gejala seperti:

Gejala Keterangan

Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring


waktu)

Bertambah berat dengan aktivitas

Persisten (menetap sepanjang hari)

Pasien mengeluh berupa, “Perlu usaha untuk 


 bernafas”

Berat, sukar bernafas, terengah-engah

Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak  

Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat


mengindikasikan PPOK 

Riwayat terpajan faktor resiko Asap PPOK  

PPOK rokok 

Debu

Bahan kimia di tempat kerja

Asap dapur 

Untuk menegakkan diagnosis PPOK diuraikan sebagai berikut:

Gambaran Klinis
1. Anamnesis

• Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan

• Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir 
rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang dengan atau tanpa dahak,
lingkungan asap rokok dan polusi udara

• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak 

• Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2. Pemeriksaan dini umumnya tidak ada kelainan

• Inspeksi

o Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)

o Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)

o Penggunaan otot bantu nafas

o Hipertrofi otot bantu nafas

o Pelebaran sela iga

o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai

o Penampilan  pink puffer  (gambaran yang khas pada emfisema, pasien


kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips breathing) atau blue
blotter  (gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer)

• Palpasi
o Pada emfisema - fremitus melemah, sela iga melebar 

• Perkusi

o Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma


rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi

o Suara nafas vesikuler normal, atau melemah

o Terdapat ronki atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa

o Ekspirasi memanjang

o Bunyi jantung terdengar jauh

Pemeriksaan Rutin

1. Faal Paru

• Spirometri (VEPi, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%)

o Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP pred) < 80% VEP1% (VEP/KVP <75%

o VEP1% merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai


 beratnya penyakit PPOK dan memantau perjalanan penyakit

o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE


(arus puncak ekspirasi) meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternative dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%.

• Uji Bronkodilator 
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
menggunakan APE meter 

o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20


menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1/APE. Pada PPOK,
 perubahan nilai VEP1/APE<20% dan <200ml dari nilai awal.

o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

2. Laboratorium darah

• Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), trombosit, leukosit, analisis gas darah

3. Radiologi

• Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

• Pada emfisema terlihat

o Hiperinflasi

o Hiperlusen

o Ruang retrosternal melebar 

o Diafragma mendatar 

o Jantung menggantung (jantung pendulum)

• Pada bronkitis kronik:

o  Normal

o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

1. Faal paru lengkap

• Volume Residu (VR), kapasitas residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total
(KPT), VR/KPT meningkat
• Kapasitas difusi (Dlco) menurun pada emfisema

• Tahanan jalan nafas (Raw) meningkat pada bronkitis kronik 

• Tahanan jalan nafas (Sgaw) meningkat

• Variabilitas harian APE kurang dari 20%

2. Uji latih kardiopulmoner 

• Sepeda statis (ergocycle)

• Jentera (treadmill )

• Uji jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

• Untuk menilai derajat hiperaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK 


terdapat hiperaktivitas bronkus derajat ringan

4. Analisis gas darah

• Terutama untuk menilai:

i. Gagal nafas kronik stabil

ii. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik 

5. Radiologi

• CT-scan resolusi tinggi

• Mendeteksi emfisema dini atau menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

• Scan ventilasi perfusi – untuk mengetahui fungsi respirasi paru

6. Elektrokardiografi (EKG)

• Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan


hipertrofi ventrikel kanan
7. Ekokardiografi

• Menilai fungsi jantung kanan

8. Bakteriologi

• Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi


diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran nafas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada pasien PPOK di Indonesia.

9. Kadar α-1 antitripsin

• Kadar α-1 antitripsin rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitrypsin α-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Diagnosis Banding1

• Asma

• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)


Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
 pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

• Pneumotoraks

• Gagal jantung kronik 


• Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia,
karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

Perbedaan asma, PPOK dan SOPT 1


Asma PPOK SOPT

Timbul pada usia muda ++ - +

Sakit mendadak ++ - -

Riwayat merokok  +/- +++ -

Riwayat atopi ++ + -

Sesak dan mengi berulang +++ + +

Batuk kronik berdahak  + ++ +

Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-

Reversibiliti obstruksi ++ - -

Variabiliti harian ++ + -

Eosinofil sputum + - ?

 Neutrofil sputum - + ?

Makrofag sputum + - ?

PENATALAKSANAAN1

A. Penatalaksanaan umum PPOK 

Tujuan penatalaksanaan :
i. Mengurangi gejala
ii. Mencegah eksaserbasi berulang
iii. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
iv. Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik 
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan
PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada
eksaserbasi akut.

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi
 pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
 pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :


i. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
ii. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
iii. Mencapai aktiviti optimal
iv. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di
 poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat
mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk 
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus
disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat bpendidikan, lingkungan sosial, kultural dan
kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

i. Pengetahuan dasar tentang PPOK 

ii. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

iii. Cara pencegahan perburukan penyakit

iv. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

v. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
 bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok 

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan,

2. Pengunaan obat - obatan

a. Macam obat dan jenisnya

 b. Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

c. Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )
d. Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

a. Kapan oksigen harus digunakan

 b. Berapa dosisnya

c. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok 
 permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
 berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK 
merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok 

- Segera berobat bila timbul gejala


Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat

- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

- Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat – obatan

a. Bronkodilator 

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long 
acting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik 

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi
sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
 bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),
 bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

 b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk 
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : amoksisilin, makrolid

- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit :

dapat dipilih

i. Amoksilin dan klavulanat

ii. Sefalosporin generasi II & III injeksi

iii. Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas


i. Aminoglikose per injeksi

ii. Kuinolon per injeksi

iii. Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.


Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
 pemberian yang rutin.

e. Mukolitik 

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f. Antitusif 

Diberikan dengan hati – hati

Gejala Golongan obat Obat & Kemasan Dosis


Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis β2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
(pada waktu aktiviti)
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 2 - 4 semprot  3- 4
20 µgr  x/hari
Inhalasi agonis β2 Fenoterol 100 2 - 4 semprot  3- 4
kerja cepat µgr/semprot x/hari
Salbutamol 100 2 - 4 semprot  3- 4
µgr/semprot x/hari
Terbutalin 0,5 2 - 4 semprot  3- 4
µgr/semprot x/hari
Prokaterol 10 2 - 4 semprot  3
µgr/semprot x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot  3- 4
20 µgr + salbutamol x/hari
100 µgr  
 persemprot
Pasien memakai Inhalasi agonis β2 Formoterol 6 µgr, 12 1 – 2 semprot 
inhalasi agonis β2 kerja lambat (tidak  µgr/semprot 2x/hari tidak melebihi
kerja dipakai untuk  2x/hari
eksaserbasi)
Atau
Timbul gejala pada Salmeterol 25 1 -2 hari semprot 
waktu malam atau µgr/semprot 2x/hari tidak melebihi
 pagi hari 2x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat 400 – 800 mg/hari 3-
Teofilin/aminofilin 4 x/hari
150 mg 3-4 x/hari
Anti oksidan N asetil sistein 600 mg/hari
Pasien tetap Kortikosteroid oral Prednison 30 – 40 mg/hari
mempunyai gejala (uji kortikosteroid) Metil Prednisolon selama 2 mg
dan atau terbatas
dalam aktiviti harian
meskipun mendapat
 pengobatan
 bronkodilator 
maksimal
Uji kortikosteroid Inhalasi Beklometason 50 µgr, 1 – 2 semprot  2 – 
memberikan respon kortikosteroid 250 µgr/semprot 4 x/hari
 positf 
Budesonid 100 µgr, 200 – 400 µgr 2
250 µgr, 400 x/hari maksimal 2400
µgr/semprot µgr/hari
Sebaiknya pemberian Flutikason 125 120 – 250 µgr   2
kortikosteroid µgr/semprot x/hari maksimal 1000
inhalasi dicoba bila µgr/hari
mungkin untuk 
memperkecil efek 
samping

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel
dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk 
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ
-organ lainnya.

Manfaat oksigen

- Mengurangi sesak 

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi

- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
 pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen

- Pemberian oksigen jangka panjang

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak 

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak 

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur 
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul
1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering
terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen

- Nasal kanul

- Sungkup venturi

- Sungkup rebreathing 

- Sungkup nonrebreathing 

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas
darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik 

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik.
Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi
mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi

- ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat
digunakan selama di rumah.

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure


(NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).

 NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :

- Volume control 

- Pressure control 

- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)

- Continous positive airway pressure (CPAP)

 NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern
Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :

- Analisis gas darah

- Kualiti dan kuantiti tidur 

- Kualiti hidup

- Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV

- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal
 paradoksal

- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35

- Frekuensi napas > 25 kali per menit


 NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping
harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila
ditemukan keadaan sebagai berikut :

- Gagal napas yang pertama kali

- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
misalnya pneumonia

- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif 

- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan
abdominal paradoksal

- Frekuensi napas > 35 permenit

- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)

- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)

- Henti napas

- Samnolen, gangguan kesadaran

- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)

- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi
 pleura masif)

- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut
:

- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya

- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan


- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik 

- VAP (ventilator acquired pneumonia)

- Barotrauma

- Kesukaran weaning 

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan

- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi

- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat

- Nutrisi seimbang

- Dibantu dengan NIPPV

5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi
akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK 
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

- Penurunan berat badan

- Kadar albumin darah

- Antropometri

- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)


Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah,
karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat
metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori
yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal 
 feedings)dengan pipa nasogaster.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
 protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen
comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK 
dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus
respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi
adalah :

- Hipofosfatemi

- Hiperkalemi

- Hipokalsemi

- Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

6. Rehabilitasi PPOK 

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti
hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah
mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

- Simptom pernapasan berat

- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat

- Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang
terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikologi. Program rehabilitiasi terdiri dari 3
komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis
yang baik akan menghasilkan :

- Peningkatan VO2 max

- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik 

- Peningkatan cardiac output dan stroke volume

- Peningkatan efisiensi distribusi darah

- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan

a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan

 b. Endurance exercise

Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan

Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
 pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk 
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan
mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan
mengurangi sesak napas.

Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini
akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh
 penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK 
 bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot
 pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

 Endurance exercise

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya
cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena
meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya
 pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satu-
satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOK menghentikan latihannya, faktor lain
yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki
mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.

Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal.
Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat
otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka
waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.

Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :

• Di rumah

- Latihan dinamik 

- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda

• Rumah sakit

- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan diubah
setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan
keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan subyektif atau
obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi
yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.

- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging . Ergometri lebih baik daripada walkingjogging . Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan
denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut
 jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu.
Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.
walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal, dalam
 bentuk aritmia atau iskemi jantung. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :

- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan

- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan

- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau pusing
latihan segera dihentikan

- Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial

Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat

3. Latihan Pernapasan

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan
kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat
otot ekstrimiti.

B. Penatalaksanaan PPOK stabil

Kriteria PPOK stabil adalah :

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik 

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan
PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

- Dahak jernih tidak berwarna

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan


Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :

- Mempertahankan fungsi paru

- Meningkatkan kualiti hidup

- Mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah
untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.

Penatalaksanaan di rumah

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal
yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan
oksigen atau ventilasi mekanik.

Tujuan penatalaksanaan di rumah :

a. Menjaga PPOK tetap stabil

 b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan

c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan

e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik 

f. Meningkatkan kualiti hidup

Penatalaksanaan di rumah meliputi :

1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.

Obat-obatan sesuai klasifikasi (tabel 2). Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau
tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan
otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya
tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul
eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2. Terapi oksigen

Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya
digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat
yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama
 pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter 

3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita PPOK dapat
menggunakan mesin bantu napas di rumah

4. Rehabilitasi

- Penyesuaian aktiviti

- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)

- "Pursed-lips breathing" 

- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas

5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :

- Tanda eksaserbasi

- Efek samping obat

- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

ALGORITME PENANGANAN PPOK 1


C. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi.

Gejala eksaserbasi :

- Sesak bertambah

- Produksi sputum meningkat

- Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :

a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas

 b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
 peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

Penyebab eksaserbasi akut

Primer :

- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)

Sekunder :

- Pnemonia

- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia

- Emboli paru

- Pneumotoraks spontan

- Penggunaan oksigen yang tidak tepat

- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat

- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)


- Nutrisi buruk 

- Lingkunagn memburuk/polusi udara

- Aspirasi berulang

- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau
di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat) Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan
dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :

- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang


digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser 

- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur 

- Menambahkan mukolitik 

- Menambahkan ekspektoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat
inap dan dilakukan di :

1. Poliklinik rawat jalan

2. Unit gawat darurat

3. Ruang rawat

4. Ruang ICU

Penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan

Indikasi :

- Eksaserbasi ringan sampai sedang

- Gagal napas kronik 

- Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik 


- Sebagai evaluasi rutin meliputi :

i. Pemberian obat-obatan yang optimal

ii. Evaluasi progresifiti penyakit

iii. Edukasi

Penatalaksanaan rawat inap

Indikasi rawat :

i. Eksaserbasi sedang dan berat

ii. Terdapat komplikasi

iii. infeksi saluran napas berat

iv. gagal napas akut pada gagal napas kronik 

v. gagal jantung kanan

Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :

i. Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara evaluasi
klinis yang tepat dan terapi adekuat

ii. Terapi oksigen dengan cara yang tepat

iii. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan nebuliser 

iv. Perhatikan keseimbangan asam basa

v. Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang

vi. Rehabilitasi awal

vii. Edukasi untuk pasca rawat

Penanganan di gawat darurat


1. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya

- Infeksi saluran napas

- Gangguan keseimbangan asam basa

- Gawat napas

2. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU

Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum memerlukan ventilasi
mekanik) :

1. Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser 

2. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask 

3. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas

4. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik 

Indikasi perawatan ICU

1. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat

2. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi

3. Setelah pemberian osigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan

4. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

Tujuan perawatan ICU

1. Pengawasan dan terapi intemsif 

2. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat

3. Mencegah kematian

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang
terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk 
mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :

1. Diagnosis beratnya eksaerbasi


- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal

- Kesadaran

- Tanda vital

- Analisis gas darah

- Pneumonia

2. Terapi oksigen adekuat

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk 
memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di
ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau
Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah
ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau
nonrebreathing , tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai
kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak 
 berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal

Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut

a. Antibiotik 

- Peningkatan jumlah sputum

- Sputum berubah menjadi purulen

- Peningkatan sesak 

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi
antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan
makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.

 b. Bronkodilator 
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis.
Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan
agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen
sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator 
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit,
 bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu
monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

c. Kortikosteroid

Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang
dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.

4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan,


dan menghindari kelelahan otot bantu napas

5. Ventilasi mekanik 

Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan
morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
 penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi

6. Kondisi lain yang berkiatan

- Monitor balans cairan elektrolit

- Pengeluaran sputum

- Gagal jantung atau aritmia

7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit


Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan kematian.
Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan
menghindari penggunaan ventilasi mekanik. Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi :

- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit

- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal

- Kesadaran menurun

- Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg

- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg

- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi

- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura dan
emboli masif 

- Penggunaan NIPPV yang gagal

Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan


primer / Puskesmas1

D. Terapi Pembedahan

Bertujuan untuk :

i. Memperbaiki fungsi paru

ii. Memperbaiki mekanik paru

iii. Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi

iv. Memperbaiki kualiti hidup

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :


i. Bulektomi

ii. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS)

iii. Transplantasi paru

KOMPLIKASI1

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :

1. Gagal napas

a. Gagal napas kronik 

 b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik 

2. Kor pulmonal

Gagal napas kronik 

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
 penatalaksanaan :

a. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

 b. Bronkodilator adekuat

c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur 

d. Antioksidan

e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing 

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

 b. Sputum bertambah dan purulen

c. Demam

d. Kesadaran menurun

Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

Kor pulmonal

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan

Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala
klinis waktu berobat. Pasien dengan penyakit emfisema paru yang lebih dominan, akan lebih
 baik dari pada pasien dengan penyakit bronkitis kronik yang lebih dominan. Pada pasien yang
 berumur kurang dari 50 tahun dan datang dengan sesak ringan 5 tahun kemudian akan terlihat
ada perbaikan, tetapi bila pasien itu datang dengan sesak sedang, maka 5 tahun kemudian 42%
 pasien akan sesak lebih berat dan meninggal. Pada pasien yang sudah berumur lebih dari 50
tahun dengan sesak ringan, 5 tahun kemudian pasien akan lebih berat atau meninggal. Apalagi
 pasien dengan blue bloater .3
PNEUMOTORAKS SPONTAN SEKUNDER DAN PENYAKIT OBSTRUKTIF PARU
KRONIS

EPIDEMIOLOGI

Pneumotoraks adalah suaru kondisi dimana terjadinya akumulasi udara di ruang pleura
akibat kolaps paru. Pneumotoraks dapat diklasifikasi berdasarkan etiologi dan presentasi klinis
antaranya adalah Pneumotoraks Spontan, Trauma dan Iatrogenik. Pneumotoraks Spontan terdiri
dari Pneumothoraks Spontan Primer; terjadi pada individu yang sehat tanpa didasari penyakit
 paru dan Pneumothoraks Spontan Sekunder (SSP) merupakan komplikasi dari penyakit paru
terutamanya pada PPOK. (Bauhman MH,2001)

Terjadinya penurunan fungsi paru pada pasien SSP ditambah dengan penyakit paru
yang mendasarinya menimbulkan suatu keadaan yang gawat dan menyulitkan penangganan.
SSP sering terjadi pada pasien berusia 60-65 tahun dengan insidens SSP pada laki-laki adalah
6,3 kasus per 100,000 orang dan 2,0 kasus per 100,000 orang wanita. Merokok meningkatkan
resiko terjadinya pneumotoraks spontan mahupun reakurans secara porportional dengan batang
rokok yang dikonsumsi seseorang. PPOK adalah penyebab tersering dari terjadinya SSP
dengan insidens 26 kasus per 100,000 orang. Pada laki-laki resiko terjadinya SSP adalah 102
kali lebih tinggi pada perokok berat dibanding yang tidak merokok. (Sahn SA, 2000)

PATOGENESIS

Salah satu yang berperan dalam proses pernapasan adalah adanya tekanan negatif pada
rongga pleura selama berlangsungnya siklus respirasi. Apabila terjadi suatu kebocoran akibat
 pecahnya alveoli, bula atau bleb sehingga timbul suatu hubungan anara alveoli yang pecah
dengan rongga pleura, atau terjadi kebocoran dinding dada akibat trauma, maka udara akan
 pindah ke rongga pleura yang bertekanan negatif hingga tercapai tekanan yang sama atau
hingga kebocoran tertutup.

Tekanan negatif di rongga pleura tidak sama besar di seluruh pleura, tekanan lebih
negatif pada daerah apeks dibandingkan dengan daerah basal. Mekanisme terjadinya
 pneumothoraks spontan adalah akibat dari lebih negatifnya tekanan di daerah puncak paru
dibandingkan dengan bagian basal dan perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan distensi
lebih besar pada alveoli daerah apeks. Distensi yang berlebihan pada paru normal akan
menyebabkan rupture alveoli subpleural. Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya
 pneumotoraks spontan adalah pecahnnya bula atau bleb subpleura

Probabilitas terjadinya pneumothorax meningkat dengan derajat keparahan PPOK 


terutamanya pada pasien dengan volume expirasi paksa (FEV) dalam satu detik < 1 liter atau
ratio FEV kepada kapasitas vital paksa (FVC) < 40 % berada pada resiko tinggi. Mekanisme
terjadinya pneumotoraks spontan sekunder pada pasien PPOK adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar melebihi tekanan interstisial paru setelah batuk, udara dari alveolus yang
ruptur bergerak ke dalam interstisial dan kearah belakang menuju bronkovaskular seterusnya ke
hilum paru ipsilateral dan akhirnya menyebabkan terjadinya pneumomediastinum. Sekiranya
ruptur terjadi pada hilum, udara akan bergerak melalui mediastinal pleura parietal kedalam
ruang pleura sehingga terjadinya Pneumothoraks. (Sahn SA, 2000)

MANISFESTASI KLINIS

Menurut suatu penelitian pada pasien 54 pasien dengan PPOK dan SSP , dilaporkan semua
 pasien mengalami sesak nafas dan 42 (74%)orang pasien mengalami nyeri dada pada lokasi
 pneumothoraks. Selain itu, 5 pasien dilaporkan mengalami sianosis dan 4 orang pasien
mengalami hipotensi.(Light, 2007)

DIAGNOSIS

Diagnosis Pneumothoraks spontan sekunder dilakukan berdasarkan foto thoraks. Pasa pasien
PPOK , gambaran pneumothoraks dipengaruhi oleh udara dan kehilangan fungsi elastic paru.
Bagian paru yang normal kolaps sepenuhnya dibandingkan dengan area paru dengan
emphysema kronis atau giant bula pada keadaan tanpa adhesi. Penggunaan ultrasound untuk 
mendiagnosis pneumothoraks pada PPOK. Diagnosis SSP ditegakkan dengan adanya garis
 pleura viseral. Garis pleural viseral harus dibedakan dengan bulla besar berisi udara dan
dinding tipis. Garis pleura pada pneumothoraks sering dalam bentuk convex kearah dinding
dada lateral sedangkan garis pleura dengan bula besar berbentuk concave kearah dinding dada
lateral. Sekiranya terdapat keraguan dalam mendiffrensiasi bula atau pneumothoraks, CT-Scan
harus dilakukan, ini adalah karena hanya Pneumothoraks ditanggani dengan tube thoracostomy.
( Light,2007)

PENATALAKSANAAN

Penanganan pneumothorax spontan sekunder pada PPOK meliputi penanganan keduanya.


Penanganan pneumothorax mengutamakan pengeluaran udara dari rongga pleura dan
mencegah terjadi reakurans. Terapinya meliputi observasi setelah aspirasi mengunakan kateter ,
 pleurodesis, thoracoskopi, operasi menggunakan video- assissted torakoskopi dan torakstomy
setiap methode yang dilakukan harus dipertimbangan keadaan pasien (Sahn SA, 2000).
Menurut suatu penelitian oleh Biswas et el, Pleurodesis kimia dengan tetracycline hydroklorida
merupakan pilihan yang baik untuk mengurangi terjadinya pneumothorax reakuran tanpa
morbilitas yang nyata dan ekonomik (Biswas,2007) .
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 1973-2003; Penyakit Paru Obstruksi Kronis (


PPOK ) : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanan di Indonesia.
Diunduh dari : http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf .
[ Diakses : 11 Oktober 2011 ].

2. Zulliesikawati,2001, Penyakitt Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ) / Chronic Obctructive


Pulmonary Disease (COPD).staff Universitas Gajah Mada, Yogjakarta , Indonesia.
Diunduh dari : http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/copd.pdf .
[ Diakses : 11 Oktober 2011 ].

3. H. M. S. Noer, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: PPOK . Jakarta. Balai Penerbit
FKUI: 2001

4. Antariksa, B., Djajalaksana, S., Pradjnaparamita, Riyadi, J., Yunus, F., Suradi, dkk.
Penyakit Paru obstruktif Kronik. Diagnosis dan Penatalaksanaan. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Jakarta, Juli 2011.

5. Antariksa, B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Departemen Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan Jakarta, 2009.

6. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74
7. Chang AK. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and Pneumomediastinum. 2007.
8. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM (diunduh pada
11 oktober 2011)
9. Sylvia A. Price. Pneumotoraks. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. 2005.
10. https://somelus.wordpress.com/2009/11/22/pneumothorax/
11. Swidarmoko B., Penatalaksanaan Konservatif Pneumotoraks Spontan in Cermin

Dunia Kedokteran, Grup PT Kalbe Farma, Jakarta, 2001. Hal : 15

12. http://www.scribd.com/doc/64265321/Penatalaksanaan-Pneumotoraks
13. http://www.mayoclinic.com/health/pneumothorax/DS00943/DSECTION=complications
14. http://emedicine.medscape.com/article/1003552-overview

Anda mungkin juga menyukai