A. Ginjal
a. Struktur Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki berat
kurang lebih 125 gram, berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi columna
vertebralis, di bawah liver dan limphe. Di bagian superior ginjal terdapat adrenal
gland (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar
vertebra T12 hingga L3. terletak pada posisi di sebelah lateral vertebra torakalis
bawah. Organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang di kenal dengan kapsula
renalis. Di sebelah anterior, ginjal dipisahkan oleh kavum abdomen dan isinya oleh
lapisan peritoneum. Di sebelah posterior, ginjal di lindungi oleh organ toraks bawah
(Syaffudin, 2006).
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis, yang
terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdiri dari lapisan
korteks (subtansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (subtansia
medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal piramid. Puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Masing-masing piramid dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah
(Syafuddin, 2006).
Garis-garis yang terlihat di piramid disebut nefron, nefron adalah satuan
struktural dan fungsional ginjal yang terkecil. Pada setiap ginjal diperkirakan ada
1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri renalis
membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang terdapat pada
piramid renal masing-masing membentuk simpul dari kapiler satu badan malfigi
yang disebut glomerulus. Pembuluh aferen yang bercabang membentuk kapiler
menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior (Evelyn,
2011).
Hati Angiotensin I
ACTH
I. Sistogram
Kateter dimasukkan kedalam kandung kemih, dan kemudian media kontras
disemprotkan untuk mellihat garis besar dinding kandung kemih serta membantu
dalam mengevaluasi refluks vesikouretral. Sistogram juga dilakukan bersama dengan
perekaman tekanan yang dikerjakan secara bersamaan di dalam kandunng kemih. 7.
J. Sistouretrogram
Prosedur yanga menghasilkan visualilsasi uretra dan kandung kemih yang
bisa dilakukan melalui penyuntikan retrograde media kontras ke dalam uretra serta
kandunng kemih atau dengan pemeriksaan sinar X sementara pasien mengekskresikan
media kontras.
K. Angiografi renal.
Prosedur ini memungkinkan visualisasi arteri renalis. Arteri femoralis atau
aksilaris ditusuk dengan jarum khusus dan kemudian sebuah kateter disisipkan
melalui arteri femoralis serta iliaka ke dalam aorta atau arteri renalis. Media kontras
disuntikkan untuk menghasilkan opasitas suplai arteri renalis. Angiografi
memungkinkan evaluasi dinammika aliran darah, memperlihatkan vaskulatur yang
abnormal dan membantu membedakan kista renal dengan tumor renal.
L. Endourologi (prosedur endoskopi urologi)
a. Pemeriksaan sistoskopi
Prosedur untuk melihat lanngsung uretra dan kandung kemih. Alat
sistokop, yang dimasukan melalui uretra ke dalam kandung kemih, memiliki
system lensa optis yang sudah ada pada alat itu sendiri sehingga akan
meemberikan gambar kandung kemih yang diperbesar dan terang. Sistoskop
tersebut dapat dimanipulasi untuk memungkinkan visualisasi uretra dan kandung
kemih secara lengkap selain visualisasi orifisium uretra dan uretra pars prostatika.
Kateter uretra yang halus dapat dimasukan melalui sistoskop sehingga
ureterdan pelvis ginjal dapat dikaji. Sistoskop juga memungkinkanahli urologi
untuk mendapatkan spesimen urin dari setiap ginjal guna mengevaluasi fungsi
ginjal tersebut. Alat forceps dapat dimasukkan melalui sistoskop untuk keperluan
biopsi. Batu dapat dikeluarkan dari uretra, kandung kemih dan ureter melalui
sistoskop.
Alat endoskop dimasukkan dengan melihatnya secara langsung. Uretra
dan kandung kemih diinspeksi. Larutan irigasi steril disemprotkan untuk
menimbulkan distensi kandung kemih dan membilas keluar semua bekuan darah
sehinngga visualisasi menjadi lebih baik.
Penggunaan cahaya denngan intensitas tinggi dan lensa yang bisa
ditukar-tukar memungkinkan visualisasi yang sangat baik serta memudahkan
pembuatan gambar-gambar yang diam dan yang bergerak dari struktur ini.
Sebelum melaksanakan prosedur pemeriksaan dapat diberikan preparat sedativ.
Anestesi topical local disemprotkan kedalam uretra sebelum ahli urologi
memasukkan alat sistoskop. Pemberian diazepam (valium) intravena bersama
dengan preparat anestesi topical uretra dapat diberikan. Sebagai alternative lain
dapat dilakukan anestesi spinal atau umum.
Setelah menjalani pemeriksaan sistoskopik, kadang-kadang penderita
kelainan patologik obstruktif mengalami retensi urin sebagai akibat dari edema
yang disebabkan oleh instrumentasi. Penderita hyperplasia prostat harus dipantau
dengan cermat akan adanya kemungkinan retensi urin.
Pasien yang menjalani instrumentasi traktus urinarus (yaitu, sistoskopi)
perlu dipantau untuk mendeteksi tanda-tanda dan gejala infeksi urinarius. Edema
uretra yang terjadi sekunder akibat trauma local dapat menyumbat aliran urin, oleh
karena itu pemantauan akan adanya tanda-tanda dan gejala obstruksi pada pasien
juga perlu dilakukan.
b. Brush biopsy ginjal dan uretra
Teknik brush biopsy akan menghasilkan informasi yang spesifik apabila
hasil pemeriksaan radiologi ureter atau pelvis ginjal yang abnormal tidak dapat
menunjukan apakah kelainan tersebut merupakan tumor, batu, bekuan darah atau
hanya artefak.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan sistoskopik. Kemudian dipasang
kateter uretra yang di ikuti oleh tindakan memasukkan alat sikat khusus (biopsy
brush) melalui kateter tersebut. Kelainan yang dicurigai disikat maju mundur
secara teratur untuk mendapatkan sel-sel dan fragmen jaringan permukaan untuk
pemeriksaan analisis histology.
Setelah prosedur pemeriksaan selesai dilakukan, pemberian cairan infus
dapat dilakukan untuk membersihkan ginjal dan mencegah pembentukan bekuan
darah. Urin dapat mengandung darah (yang biasanya menjadi jernih dalam waktu
24-48 jam) akibat perembesan pada tempat penyikatan.
c. Endoskopi renal (nefroskopi)
Merupakan pemeriksaan dengan cara memasukkan fiberskop kedalam
pelvis ginjal melalui luka insisi (pielotomi) atau secara perkkutan untuk melihat
bagian dalam pelvis ginjal, mengelluarkan batu, melakukan biopsi lesi yang kecil
dan membantu menegakan diagnose hematuria serta tumor renal tertentu. 4.
d. Biopsi ginjal
Bopsi ginjal dilakukan dengan menusukan jarum biopsi melalui kulit
kedalam jaringan renal atau dengan melakukan biopsi terbuka melalui luka insisi
yang kecil didaerah pinggang. Pemeriksaan ini berguna untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit ginjal dan mendapatkan specimen bagi pemeriksaan
mikroskopik electron serta imunofluoresen, khususnya bagi penyakit glomerulus.
Sebelum biopsi dilakukan, pemeriksan koagulasi perlu dilakukan lebih
dahulu untuk mengidentifikasi setiap resiko terjadinya perdarahan pascabiopsi.
Prosedur, pasien dipuasakan selama 6 hingga 8 jam sebelum pemeriksaan. Set
infuse dipasang. Spesimen urin dikumpulkan dan disimpan untuk dibandingkan
dengan specimen pascabiopsi.
Jika akan dilakukan biopsi jarum pasien diberitahukan agar menahan
nafas ketika jarum biopsi ditusukan. Pasien yang sudah dalam keadaan sedasi di
tempatkan dalam posisi berbaring telungkup dengan bantal pasir diletakan
dibawah perut. Kulit pada lokasi biopsy diinfiltrasi denngan preparat anestesi
local. Lokasi jarum dapat dipastikan melalui fluuoroskopi atau ultrasound dengan
menggunakan teknik khusus. Pada biopsi terbuka dilakukan insisi yang kecil
didaerah ginjal dapat dilihat secara langsung.
e. Pemeriksaan radio isotop
Merupakan tindakan noninvasive yang tidak mengganggu
prosesfisiologik normal dan tidak memerlukan persiapan pasien yang khusus.
Preparat radiofarmaseutikal disuntikan intravena. Pemeriksaan dilakukan dengan
kamera skintilasi yang ditempatkan disebelah posterior ginjal sementara pasien
berada dalam posisi telentang,telungkup atau duduk.
Gambar yang dihasilkan (yang disebut pemindai) menunjukan distribusi
preparat radiofarmaseutikal didalam ginjal. Pemeriksaan pemindai menghasilkan
informasi tentang perfusi ginjal dan sangat berguna untuk menunjukan fungsi
ginjal yang buruk. Pemeriksaan pemindai hippurate memberikan informasi
tentang fungsi ginjal.
f. Pengukuran urodinamik
Pengukuran urodinamik menghasilkan berbagai pemeriksaan fisiologik
dan structural untuk mengevaluasi fungsi kandung kemih serta uretra dengan
mengukur:
1) Kecepatan aliran urin
2) Tekanan kandung kemih pada saat buang air kecil dan saat istirahat
3) Resitensi uretra internal
4) Kontras serta relaksasi kandung kemih Tekanan abdominal , kandung kemih
serta detrusor, aktivitas sfingter, inervasi kandung kemih, tonus otot dan reflex
sacrum dikaji.
5) Uroflometri (kecepatan aliran) merupakan rekaman volume urin yang
mengalir melalui ureter per satuan waktu (ml/s).
6) Sistometrogram merupakan rekaman grafik tekanan dalam kadung kemih
(intra vesikal) pada berbagai fase pengisian dan pengosongan kandung kemih
untukmengkaji fungsinya. Selama prosedur pemeriksaan dilakukan, jumlah
cairan yang dimasukan dan dikeluarkandari kandung kemih disamping rasa
penuh pada kandung kemih dan keinginan untuk buang air kecil harus dicatat.
Kemudian semua hasil ini dibandingkandengan tekanan yang diukur dalam
kandung kemih selama pengisian kandung kemih dan berkemih. Pertama-tama
pasien diminta untuk berkemih, dan dokter mengamati lamanya waktu yang
diperlukan untuk memulai, ukuran, kekuatan serta kontinuitas aliran urin, dan
derajat mengajan serta adanya hesitancy. Kateterretensi dimasukan melalui
uretra kedalam kandung kemih. Volume sisa diukur dan kateter tersebut
dibiarkan pada tempatnya. Kateter uretral dihubungkan dengan manometer air,
dan larutan steril dibiarkan mengalir kedalam kandung kemih dengan
kecepatan biasanya 1 ml/s. pasien memberitahukan dokter pada saat terasa
ingin buang air kecil, dan pada saat kandung kemih terasa penuh. Derajat
pengisian kandung kemih pada kedua situasi ini dicatat. Tekanan diatas
tingkat nol pada simfisis pubis diukur, dan tekanan serta volume dalam
kandung kemih diukur serta dicatat.
7) Profil tekanan uretra mengukur resitensi uretra disepanjang uretra. Gas dan
cairan dimasukkan melalui sebuah kateter yang ditarik keluar sambil
mengukur tekanan disepanjang dinding uretra.
8) Sistouretrogram memungkinkan visualisasi uretra dan kandung kemih yang
dapat dilakukandengn penyntikan retrograd atau dengan mengeliminasi media
kontras.
9) Pada voiding cystourethogram, kandung kemih diisi dengan media kontras dan
pasien berkemih sementara foto-foto spot dibuang dpengn cepat. Ada
tidaknnya refluks vesikouretral atau kelainan congenital pada traktus urinarius
inferior dapat diperlihatkan. Voidingcystourethrogram juga digunakan untuk
menyelidiki kesulitan dalam pengosongan kandung empedu dan inkontinensia.
10) Elektromiografi meliputi penempatan elektroda dalam otot dasar panggul dan
fingter ani untuk mengevaluasi fungsi neuromuskuler traktus urinarius
inferior.
4. Kondisi Patologis Pada Sistem Urinari
Sistem urinari atau perkemihan terdiri atas ureter, bladder, dan uretra yang
memiliki fungsi untuk mengalirkan urin yang diproduksi oleh ginjal keluar tubuh.
Namun begitu, saat terjadi beberapa gangguan pada mekanisme pengeluaran urine,
proses eliminasi tidak berjalan adekuat dan hal ini beresiko mengganggu homeostasis
cairan, elektrolit, produk buangan, dan tekanan darah (Smeltzer & Bare, 2010).
Masalah-masalah pada sistem ini baik yang bersifat akut maupun kronis secara
langsung akan berdampak pada peningkatan biaya perawatan. Lebih dari 20 juta
penduduk di Amerika mengalami infeksi saluran kemih (ISK), sistitis, batu ginjal atau
ureter, atau inkontinensia urin (United States Renal Data System [URSDS], 2010).
Walaupun komplikasi yang mengancam nyawa jarang ditemukan, namun pasien
mungkin saja mengalami permasalahan yang signifikan mencakup aspek fungsi fisik,
psikologis, dan kualitas hidup. Intervensi keperawatan yang diberikan difokuskan pada
tindakan pencegahan, deteksi, dan manajemen terhadap penyakit.
A. Permasalahan Akibat Infeksi
1. Klasifikasi
Infeksi pada saluran kemih (ISK) dan ginjal merupakan permasalahan yang
umum, terutama pada wanita. ISK diklasifikasikan sesuai dengan lokasi pada saluran
kemih. Data pasien akibat ISK tercatat lebih dari 8 juta kunjungan per tahun dan biaya
yang dikeluarkan dalam pengelolaan penyakit ini mencapai $1,8 miliar (Ignatavicius,
& Workman, 2003). Lebih dari 100.000 orang dirawat di rumah sakit setiap tahunnya
karena ISK. Sekitar 15% dari pasien yang mengembangkan bakteremia gram negatif
meninggal, dan 30% dari kasus-kasus ini disebabkan oleh infeksi bakteri yang berasal
dari saluran kemih. Istilah ISK digunakan untuk menunjukkan adanya bakteriurea
patogen dengan CFU (colony forming unit) per ml urin > 103, lekosituria > 10 per
lapang pandang besar, disertai manifestasi klinik berikut (Sukandar, 2013):
a. Infeksi saluran kemih atas (upper urinary tract infection). Infeksi saluran kemih
atas cenderung lebih jarang ditemukan, meliputi:
a) Pielonefritis akut atau kronis (inflamasi pada pelvis ginjal)
b) Interstitial nephritis (inflamasi pada ginjal)
c) Renal abscess
b. Infeksi saluran kemih bawah (lower urinary tract infection), meliputi:
a) Sistitis (inflamasi pada kandung kemih)
b) Bacterial prostatitis dan epididimis (inflamasi pada gland prostat)
c) Bacterial ureteritis (inflamasi pada uretra)
d) Sindrom uretra (ISK bawah yang berhubungan dengan mikroorganisme
anaerobik).
ISK diklasifikasikan lebih lanjut sebagai ISK dengan komplikasi dan ISK tanpa
komplikasi (sederhana) tergantung dari kondisi pasien (misalnya apakah ISK berulang
dan durasi infeksi). Kebanyakan ISK tanpa komplikasi dijumpai pada populasi
masyarakat umum, sedangkan ISK dengan komplikasi dijumpai pada pasien dengan
kelainan urologi atau atas tindakan katerterisasi di Rumah Sakit.
a. ISK dengan komplikasi (complicated UTI)
ISK dengan komplikasi mayoritas terjadi pada pasien dengan riwayat
obstruksi, batu, atau penggunaan kateter; memiliki riwayat penyakit diabetes atau
gangguan neurologis; kondisi patologis akibat kehamilan; atau infeksi yang
berulang. Pasien ISK dengan komplikasi beresiko mengembangkan pielonefritis,
urosepsis, dan kerusakan ginjal.
Bakterimia
2. Epidemiologi
Prevalensi covert bacteriuria dan ISK simtomatik berhubungan dengan faktor
umur dan jenis kelamin. Bakteriurea bermakna (significant bacteriuria) tanpa
keluhan dijumpai sejak bayi lahir, baik laki-laki maupun wanita. Angka kejadian
bakteriuria tanpa keluhan pda laki-laki lebih sering dari wanita, mungkin
berhubungan dengan infeksi preputium. Sebaliknya, bakteriuria tanpa keluhan
pada wanita meningkat setelah masa pre-school age. Bakteriuria tanpa keluhan
baru menimbulkan masalah (bakteriuria dengan keluhan ISK) bila terdapat
beberapa faktor predisposisi (Sukandar, 2013).
Lebih lanjut, bakteriuria dan ISK lebih sering terjadi pada pasien dengan usia
lanjut (>65 tahun) dibandingkan pada populasi dewasa muda. Estimasi konservatif
menunjukkan bahwa 20%-25% ISK terjadi pada pasien wanita di unit rawat jalan
dan 10% laki-laki pada populasi mengalami bakteriuria asimtomatik. Insiden
meningkat sampai 50% pada wanita di atas usia 80 tahun (Smeltzer & Bare,
2010).
Menurut Newman (2007) ISK merupakan penyakit akibat bakteri yang paling
umum kedua dan yang paling umum pada wanita, dengan setidaknya 30% wanita
dari populasi mengembangkan ISK sebelum usia 24. Wanita hamil memiliki
peningkatan risiko mengalami ISK.
3. Faktor predisposisi
Setiap ISK pada laki-laki (walaupun pertama kali serangan) dan ISK berulang
(rekuren) pada wanita biasanya meyertai faktor predisposisi, yaitu:
a. Neuropati viseral pada diabetes (laki-laki dan wanita)
b. Prostat hipertrofi (laki-laki)
c. Hidroureter akibat progesteron (kehamilan dan kontrasepsi)
d. Penyakit ginjal polikistik (laki-laki dan wanita)
e. Refluks vesikoureter (laki-laki dan wanita)
4. Patogenesis infeksi
ISK sering disebabkan mikroorganisme saluran cerna (Enterobacteriacae),
kembangbiak (kolonisasi) di daerah introitus vaginae dan uretra anterior dan
masuk ke dalam kandung kemih selama miksi. ISK tanpa komplikasi
(uncomplicated type) lebih sering pada wanita dari laki-laki. Beberapa faktor
predisposisi yang menyebabkan ISK yaitu:
a. Faktor yang meningkatkan stasis urin
a) Obstruksi intrinsik (batu, tumor saluran kemih, striktur uretra, BPH)
b) Obstruksi ekstrinsik (tumor, fibrosis mengompresi saluran kemih)
c) Retensi urin (termasuk gangguan kandung kemih neurogenik)
d) Kerusakan ginjal
b. Benda asing
a) Batu saluran kemih
b) Instrumentasi selama sistiskopi dan kateterisasi
c. Faktor anatomis
a) Defek kongenital yang menignkatkan resiko obstruksi atau stasis urin
b) Fistula (abnormal opening) yang bersinggungan langsung dengan kulit,
vagina, atau bukaan fekal
c) Uretra yang lebih pendek pada wanira dan kolonisasi dario flora normal
d) Obesitas
d. Faktor yang mempengaruhi sistem imun
a) Usia/penuaan
b) Infeksi human immunodeficiency virus
c) Diabetes mellitus
e. Gangguan fungsional
a) Konstipasi
b) Disfungsi untuk berkemih dengan dissinergispincter detrusor
f. Faktor lain
a) Kehamilan
b) Hipoestrogen
c) Pasangan multiple
d) Personal hygiene yang buruk
e) Invasi bakteri E Coli dengan P-fimbriae sangat patogen, Enterococcus,
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas, Staphylococcus, Serratia,
Candida albicans)
2. Sistitis kronis
Sistitis kronik merupakan radang kandung kemih yang menyerang berulang-
ulang (recurrent attack of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau
penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan ISK
bawah tipe berkomplikasi, memerluka pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor
predisposisi.
Infeksi kronik kandung kemih dapat sebagai akibat dari infeksi kronik saluran
kemih bagian atas (ginjal), sisa urin (residual urine), refluks uretra, dan terutama
akibat lanjut dari:
a. Infeksi saluran kemih (ISK) atas (pielonefritis/tipe komplikasi)
b. Sisa urin (residual urin) dengan covert bacteriurine
c. Refluks atau stenosis uretra
d. Terapi sistitis akut tidak adekuat
Gejala-gejala ini termasuk disuria, sering buang air kecil (lebih dari setiap 2
jam), urgensi, dan ketidaknyamanan suprapubik. Urin mungkin mengandung
darah yang jelas terlihat (hematuria) atau sedimen, memberikan tampilan yang
samar. Nyeri pinggang, menggigil, dan adanya demam menunjukkan infeksi yang
melibatkan saluran kemih bagian atas (pielonefritis). Hal yang penting untuk
diingat bahwa gejala-gejala tersebut, sering tidak muncul pada pasien lanjut usia.
Pasien lansia cenderung mengalami ketidaknyamanan abdomen yang tidak
terlokalisasi dariipada disuria dan nyeri suprapubik. Selain itu, pasien lansia dapat
hadir dengan gangguan kognitif atau gangguan klinis umum. Karena pasien lansi
cenderung tidak mengalami demam saat ISK, nilai suhu tubuh sebagai indikator
ISK tidak dapat diandalkan. Pasien di atas usia 80 tahun mungkin mengalami
sedikit penurunan suhu. Pasien dengan bakteriuria signifikan mungkin tidak
memiliki gejala atau mungkin memiliki gejala non-spesifik seperti kelelahan atau
anoreksia.
Tekanan akan meningkat selama pengisian atau penyimpanan kandung kemih dan
dapat terjadi pula pada ureter ketika terjadi obstruksi. Tekanan ini melawan tekanan
peristaltik normal dan mengarah kepada terjadinya refluks (aliran balik urin), dilatasi
ureter, kekakuan, hidroureter (pelebaran pelvis ginjal), refluks vesicoureteral (aliran
balik atau gerakan mundur urin dari saluran kemih bawah ke atas), hidronefrosis
(dilatasi pelvis ginjal dan calyces) dan pielonefritis kronis akibat dan atrofi ginjal. Jika
hanya satu ginjal terhambat, ginjal lain mungkin dapat mengkompensasi dengan cara
hipertrofi, tetapi ureter tidak akan melebar di sisi kontralateral ini.
Obstruksi parsial dapat terjadi pada ureter atau ureteropelvic junction (UPJ). Jika
tekanan yang terjadi masih rendah atau sedang, ginjal dapat terus berdilatasi tanpa
kehilangan fungsi yang nyata. Selain itu, terdapat peningkatan risiko pielonefritis
karena stasis urin dan refluks. Jika hanya satu ginjal yang terkena dan ginjal lainnya
berfungsi, gejala yang terjadi mungkin asimptomatik. Jika kedua ginjal yang terkena
(atau jika pasien hanya memiliki satu ginjal), mungkin ditemukan perubahan fungsi
ginjal (misalnya, peningkatan BUN atau kadar kreatinin serum).
Jika obstruksi berlangsung lebih lama, maka oliguria atau anuria mungkin terjadi.
Seringkali episode oliguria diikuti oleh poliuria jika obstruksi merupakan batu yang
kemudian keluar bersama urin.
a. Etiologi
1) Proses metabolik
Kelainan yang mengakibatkan peningkatan kadar kalsium urin, asam
oxaluric, asam urat, atau asam sitrat.
2) Iklim
Iklim hangat/panas menyebabkan kehilangan cairan meningkat, volume urin
yang rendah, dan peningkatan konsentrasi zat terlarut dalam urin.
3) Diet
Asupan protein dalam jumlah besar yang meningkatkan ekskresi asam urat
berlebihan, seperti teh atau jus buah yang meningkatkan oksalat urin, asupan
oksalat dalam umlah besar, serta intake cairan yang sedikit.
4) Faktor genetik
Riwayat keluarga adanya batu ginjal, sistinuria, gout, atau asidosis renal
5) Pola hidup
Pola hidup sedentary, imobilisasi.
Capox And/Or
Cap Stone
Gambar 4.6 Mekanisme pembentukan batu kalsium
2) Batu sturvite
Batu sturvite sebagai akibat lanjut dari ISK berulang dengan angka
kajadian hanya 10%. Batu struvite terdiri atas magnesium ammonium
phosphate dan kalsium phosphate. Pada ginjal, pertumbuhan batu ini sangat
cepat sehingga dapat mengisi rongga pelvis. Kenaikan Ph urin dan
konsentrasi ammonium merupakan faktor utama untuk pembentukan batu.
Urea-splitting organism terutama pada kelompok pasien yang disertai
kelainan saluran kemih dapat menyebabkan pembentukan carbondioxide.
3) Batu Asam Urat
Angka kejadian batu asam urat hanya 3-5% dari seluruh populasi penyakit
batu saluran kemih. Banyak keadaan atau kondisi yang menyertai oenyakit
batu asam urat. Penyakit idiopatik baik gout diabetes dan gout primer paling
seing menyertai batu asam urat ini.
Uric Acid
Nephrolithiasis
Selain RCC, kasus keganasan pada sistem perkemihan adalah kanker bladder.
Sekitar 61.000 kasus baru pasien didiagnosis kanker bladder setiap tahunnya, dan
sekitar 13.000 kematian terkait penyakit ini terjadi setiap tahun. Jenis tumor ganas
yang paling sering pada saluran kemih adalah karsinoma sel transisional dari
kandung kemih. Kebanyakan tumor bladder ditandai dengan pertumbuhan
papillomatous dalam kandung kemih. Kanker bladder paling umum terjadi antara
usia 60 dan 70 tahun dan setidaknya tiga kali lipat lebih banyak ditemukan pada
laki-laki daripada perempuan. Faktor risiko untuk kanker bladder meliputi
merokok, paparan pewarna yang digunakan dalam industri karet dan kabel, dan
penyalahgunaan phenacetin mengandung analgesik dalam jangka panjang.
Aktivasi sistem
komplemen
C5b-9 C5a
Non- Fibrin
Inflamasi PCA Inflamasi
Kresent
2. Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) merupakan gambaran klinik dengan etiologi ganda
disertaiciri khusus proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas
permukaan tubuh per hari disertai dengan hipoalbiminuria kurang dari 3,0 gram
per mililiter (McCance & Huether, 2006). Sebagian besar peneliti sependapat
bahwa proteinuria dan hipoalbuminuria merupakan kriteria dasar dari sindrom
nefrotik. Beberapa pendapat lain menyatakan panambahan kriteria lain seperti: (1)
Lipiduria yang terihat sebagai ovale fat bodies atau maltese crossatau doubly-
refractille bodies dengan sinar polarisasi; (2) Kenaikan serum lipid, lipoprotein,
globulin, kolestero total, dan trigliserid; (3) Sembab
a. Proteinuria
Proteinuria pada sindrom nefrotik terutama terdiri atas proteinuria glomerular,
sedangkan proteinuria tubulus tidak memegang peranan penting, hanya turut
memperberat derajat proteinuria. Pada sinrom nefrotik, terdapat peningkatan
permeabilitas membran basalis kapiler-kapiler glomeruli disertai peningkatan
filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria (albuminuria). Mekanisme
peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler glomerlui tidak diketahui secara jelas.
b. Albuminuria
Plasma mengandungmacam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskuler (EV). Plasma protein terutama terdiri dari albumin,
mempunyai berat molekul 69.000 dalton. Hepar memegang peranan penting
untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun
non-renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis
albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan
ekstra vaskuler (EV) dan intravaskuler (IV).
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor, yaitu: (1) kehilangan sejumlah besar
protein dari tubuh melalui urin (proteinuria) dan usus (protein losing
enteropathy); (2) katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena
terdapat penurunan nafsu makan dan mual; (3) utilisasi asam amino yang
menyertai penurunan faal ginjal.
c. Sembab
Hipoalbiminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan ke jaringan interstitial,
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia dapat menyebabkan retensi
natrium dan air. Proteinuria masif menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Altered glomerular permeability and
loss of negative charge
Proteinuria
Hypoalbuminemia
Lipiduria
Gambar 4.13. Penyakit polikistik ginjal. Tampak ginjal membesar dan jaringan
parenkim hampir tertutupi oleh kista dengan berbagai ukuran.
Pada tahap awal penyakit biasanya tidak ada gejala yang muncul. Keluhan
akan timbul ketika kista mulai membesar. Manifestasi yang akan muncul pada
penderita PKD antara lain hipertensi, hematuria (akibat ruptur pada kista),
merasa berat pada punggung, samping dan abdomen, kadang-kadang muncul
gejala infeksi saluran urinaria atas atau batu urinaria. Pasien dengan PKD akan
mengeluhkan nyeri hebat yang menetap.
Gambar 4.15. Kanker kandung kemih yang menunjukkan adanya papillaru transitional cell
carcinoma. Area yang berwarna kuning menunjukkan ulserasi dan nekrosis
5. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul Pada Gangguan Sistem Urinari
1) Impaired urinary elimination
Definisi: Disfungsi eliminasi urin
Batasan karakteristik:
a. Disuria
b. Peningkatan frekuensi berkemih
c. Hesitansi (kesulitan memulai miksi)
d. Nokturia
e. Inkontinensia urin
f. Retensi urin
g. Urgensi dalam berkemih
Faktor yang berhubungan:
a. Obstruksi anatomis
b. Penyebab multiple
c. Kerusakan sensori motor
d. Infeksi saluran kemih
3) Urinary retention
Definisi: Sensasi tidak komplit dalam pengosongan kendung kemih
Batasan karakteristik:
a. Tidak adanya output urin
b. Distensi kandung kemih
c. Disuria
d. Peningkatan frekuensi berkemih
e. Inkontinensia overflow
f. Residu urin
g. Sensasi kandung kemih yang penuh
Faktor yang berhubungan:
a. Sumbatan pada saluran kemih
b. Tingginya tekanan uretra
4) Acute pain
Definisi: Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul
dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. atau gambaran adanya kerusakan.
Hal ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat.
Secara konstan atau hilang timbul, tanpa prediksi waktu kesembuhan, dan lebih dari 3
bulan.
Batasan karakteristik:
a. Perubahan nasfu makan
b. Perubahan fisiologis (misal: BP, RR, Nadi, Saturasi O2)
c. Diaphoresis
d. Perilaku distraktif
e. Temuan bukti nyeri menggunakan instrumen skala nyeri yang terstandarisasi
f. Perilaku ekspresif
g. Klien melaporkan adanya nyeri
Faktor yang berhubungan:
a. Injuri biologis (misal infeksi, iskemia, neoplasma)
Evelyn C. Pears. (2011). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis – Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
Ganong, W.F. (2010). Review of Medical Physiology,Ganong’s. 23rd edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.Inc
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC
Isselbacher, K. J., Braunwald, E., Wilson, J. D., Martin, J. B., fauci, A. S., & Kasper, D. L.
(2000). Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol. 3. Jakarta: EGC.
Lewis, S. M., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2007). Medical-Surgical
Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. 7th ed. St. Louis:
Mosby.
McCance, K. L., & Huether, S. E. (2006). Pathophysiology: The biologic basis for disease in
adult and children. 5th ed. St. Louis: Elsevier MOSBY.
Nice. (2005). Referral for suspected cancer. London; National Institute for Health and
Clinical Excellence (NICE). NICE Guideline. url:
http://www.nice.org.uk/nicemedia/pdf/ cg027niceguideline.pdf
O’Callaghan, C. (2009). At a glance: Sistem ginjal. Ed. 2. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Paulsen F.& J. Waschke. (2013). Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum.
Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.
Porth, C., M. (2004). Pathophysiology: Concepts of altered health states. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sachdeva, K., & Harris, J. E (ed). (2014). Renal Cell Carcinoma. Retrieved from:
http://emedicine.medscape.com/article/281340-overview#a2
Sherwood, Lauree.(2006). Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Ed.2. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth's
Textbook of Medical-Surgical Nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Syafuddin. (2006). Anatomi fisiologi untuk mahasiswa perawat edisi 3 – Jakarta : EGC
United States Renal Data System (URSDS). Atlas of Chronic Kideny Disease in the United
States. (2010). Retrieved from: http://www.usrds.org/2010/pdf/v1_00a_intros.PDF
William, L. S., & Hopper, P. D. (2007). Understanding medical surgical nursing. 3rd ed.
Philadelphia: F. A Davis Company.