Anda di halaman 1dari 58

SISTEM URINARIA (PERKEMIHAN)

1. Review Anatomi Sistem urinaria (Sistem Perkemihan)


Ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra membentuk sistem urinaria. Fungsi
utama ginjal adalah mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam-basa cairan
tubuh, mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam darah, mengatur tekanan darah,
dan berperan untuk menghasilkan hormon seperti: renin-angiotensin, erythropoetin, dan
mengubah provitamin D menjadi bentuk aktif (Evelyn, 2006).

Gambar 1.1 Anatomi Sistem Urinaria

A. Ginjal
a. Struktur Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki berat
kurang lebih 125 gram, berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi columna
vertebralis, di bawah liver dan limphe. Di bagian superior ginjal terdapat adrenal
gland (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar
vertebra T12 hingga L3. terletak pada posisi di sebelah lateral vertebra torakalis
bawah. Organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang di kenal dengan kapsula
renalis. Di sebelah anterior, ginjal dipisahkan oleh kavum abdomen dan isinya oleh
lapisan peritoneum. Di sebelah posterior, ginjal di lindungi oleh organ toraks bawah
(Syaffudin, 2006).
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis, yang
terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdiri dari lapisan
korteks (subtansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (subtansia
medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal piramid. Puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Masing-masing piramid dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah
(Syafuddin, 2006).
Garis-garis yang terlihat di piramid disebut nefron, nefron adalah satuan
struktural dan fungsional ginjal yang terkecil. Pada setiap ginjal diperkirakan ada
1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri renalis
membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang terdapat pada
piramid renal masing-masing membentuk simpul dari kapiler satu badan malfigi
yang disebut glomerulus. Pembuluh aferen yang bercabang membentuk kapiler
menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior (Evelyn,
2011).

Gambar 1.2. Struktur Ginjal


Nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen vaskuler
terdiri atas pembuluh – pembuluh darah yaitu glomerolus dan kapiler peritubuler
yang mengitari tubuli. Dalam komponen tubuler terdapat kapsul Bowman, serta
tubulus – tubulus, yaitu tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal,
tubulus pengumpul dan lengkung Henle yang terdapat pada medula (Smeltzer &
Bare, 2010).

Gambar 1.3. Nefron


Bagian-bagian Nefron :
1) Glomelorus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang
kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi
sebagian air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya.
2) Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk mengumpulkan cairan
yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
3) Tubulus proksimal
Berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan
mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.
4) Lengkung Henle
Lengkung henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars
descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari korteks ke medula, dan
pars ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari
lengkung henle mempunyai dinding yang sangat tipis sehingga disebut segmen
tipis, sedangkan bagian atas yang lebih tebal disebut segmen tebal. Lengkung
henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-
bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme
konsentrasi dan dilusi urin.
5) Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
6) Duktus pengumpul (duktus koleduktus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal (Evelyn, 2011).

Gambar 1.4. Bagian-bagian Nefron


b. Peredaran darah Ginjal
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan
menjadi arteri renalis. Arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis
bercabang menjadi arteria interlobaris kemudian menjadi arteri arkuata. Arteri
interloburalis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk
gumpalan-gumpalan yang disebut glomerulus. Glomerulus ini dikelilingi oleh
alat yang disebut simpai bowman. Di sini terjadi penyaringan pertama dan
kapiler darah yang meninggalkan simpai bowman kemudian menjadi vena
renalis masuk ke vena kava inferior (Price & Wilson, 2005).
B. Ureter
Ureter terdiri dari 2 saluran pipa, masing–masing bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang ± 0,5
cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam
rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari:
1) Dinding luar : jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2) Lapisan tengah : lapisan otot polos
3) Lapisan dalam : lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik tiap 5 menit
sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urine melalui ureter yang diekskresikan
oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk
ke dalam kandung kemih (Syaffudin, 2006)
Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan
dilapisi oleh peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter
meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf dan pembuluh limfe berasal dari
pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik (Paulsen & Waschke, 2013).
Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh
duktus deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis. Selanjutnya ureter berjalan
oblique sepanjang 2 cm di dalam dinding vesika urinaria pada sudut lateral dari
trigonum vesika. Sewaktu menembus vesika urinaria, dinding atas dan dinding
bawah ureter akan tertutup dan pada waktu vesika urinaria penuh akan membentuk
katup (valvula) dan mencegah pengambilan urine dari vesika urinaria (Paulsen &
Waschke, 2013).
Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika urinaria dan berjalan ke
bagian medial dan ke depan bagian lateralis serviks uteri bagian atas, vagina untuk
mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya, ureter didampingi oleh arteri
uterina sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya arteri ini menyilang ureter dan menuju ke
atas di antara lapisan ligamentum. Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri.
Ada tiga tempat yang penting dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu pada
sambungan ureter pelvis diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka diameter 4 mm dan
pada saat masuk ke vesika urinaria yang berdiameter 1-5 cm (Paulsen & Waschke,
2013).
Persarafan ureter merupakan cabang dari pleksus mesenterikus inferior,
pleksus spermatikus, dan pleksu pelvis; seperti dari nervus; rantai eferens dan nervus
vagusrantai eferen dari nervus torakalis ke-11 dan ke-12, nervus lumbalis ke-1, dan
nervus vagus mempunyai rantai aferen untuk ureter.
C. Vesika Urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti
balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk
kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan
dengan ligamentum vesika umbilikalis medius.
Bagian vesika urinaria terdiri dari:
1) Fundus yaitu, bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah, bagian ini
terpisah dari rektum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat
duktus deferen, vesika seminalis dan prostat.
2) Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
3) Verteks, bagian yang mancung ke arah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika
muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian
dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nadi
limfatik iliaka interna dan eksterna.
Lapisan otot vesika urinaria terdiri dari otot polos yang tersusun dan saling
berkaitan dan disebut m. detrusor vesikae. Peredaran darah vesika urinaria berasal
dari arteri vesikalis superior dan inferior yang merupakan cabang dari arteri iliaka
interna. Venanya membentuk pleksus venosus vesikalis yang berhubungan dengan
pleksus prostatikus yang mengalirkan darah ke vena iliaka interna.
Persarafan vesika urinaria berasal dari pleksus hipogastrika inferior. Serabut
ganglion simpatikus berasal dari ganglion lumbalis ke-1 dan ke-2 yang berjalan
turun ke vesika urinaria melalui pleksus hipogastrikus. Serabut preganglion
parasimpatis yang keluar dari nervus splenikus pelvis yang berasal dari nervus
sakralis 2, 3 dan 4 berjalan melalui hipogastrikus inferior mencapai dinding vesika
urinaria. Sebagian besar serabut aferen sensoris yan g keluar dari vesika urinaria
menuju sistem susunan saraf pusat melalui nervus splanikus pelvikus berjalan
bersama saraf simpatis melalui pleksus hipogastrikus masuk kedalam segmen
lumbal ke-1 dan ke-2 medula spinalis (Evelyn, 2011).

Gambar 1.5 Vesika urinaria


D. Uretra
Menurut (Evelyn, 2011) Uretara merupakan saluran sempit yang berpangkal
pada kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar tubuh.
a. Uretra pria
Pada laki-laki uretra berjalan berkelok kelok melalui tengah-tengah
prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis ke
bagian penis panjangnya ± 20 cm. Lapisan uretra laki-laki terdiri lapisan mukosa
(lapisan paling dalam), dan lapisan submukosa. Uretra mulai dari orifisium
uretra interna di dalam vesika urinaria sampai orifisium eksterna. Uretra pada
laki-laki terdiri dari bagian berikut:
1) Uretra pars prostatika
Uretra pars prostatika merupakan saluran terlebar panjangnya 3 cm, berjalan
hampir vertikulum melalui glandula prostat, mulai dari basis sampai ke apaks
dan lebih dekat ke permukaan anterior.
2) Uretra pars membranosa
Uretra pars membranosa ini merupakan saluran yang paling pendek dan
paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah dan ke depan di antara apaks
glandula prostata dan bulbus uretra. Pars membranesea menembus
diagfragma urogenitalis, panjangnya kira-kira 2,5 cm, di belakang simfisis
pubis diliputi oleh jaringan sfingter uretra membranasea. Di depan saluran ini
terdapat vena dorsalis penis yang mencapai pelvis di antara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum arquarta pubis.
3) Uretra pars kevernosa
Uretra pars kavernosq merupakan saluran terpanjang dari uretra dan terdapat
di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari
pars membranasea sampai ke orifisium dari diafragma urogenitalis. Pars
kavernosus uretra berjalan ke depan dan ke atas menuju bagian depan
simfisis pubis. Pada keadaan penis berkontraksi, pars kavernosus akan
membelok ke bawah dan ke depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai
dengan korpus penis 6 mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan
berdilatasi di dalam glans penis yang akan membentuk fossa navikularis
uretra.
4) Oriifisium uretra eksterna
Merupakan bagian erektor yang paling berkontraksi berupa sebuah celah
vertikal ditutupi oleh kedua sisi bibir kecil dan panjangnya 6 mm. glandula
uretralis yang akan bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu
glandula dan lakuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di dalam
korpus kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lakuna bagian dalam
epitelium. Lakuna yang lebih besar dipermukaan atas di sebut lakuna magma
orifisium dan lakuna ini menyebar ke depan sehingga dengan mudah
menghalangi ujung kateter yang dilalui sepanjang saluran.
b. Uretra wanita
Uretra pada wanita terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring
sedikit ke arah atas, panjangnya ± 3-4 cm. lapisan uretra wanita terdiri dari
tunika muskularis (sebelah luar), lapiosan spongeosa merupakan pleksus dari
vena-vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada
wanita terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di
sini hanya sebagai salura ekskresi. Apabila tidak berdilatasi diameternya 6 cm.
uretra ini menembus fasia diagfragma urogenitalis dan orifisium eksterna
langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang glans klitoris.
Glandula uretra bermuara ke uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula
pars uretralis (skene) yang bermuara kedalam orifisium uretra yang hanya
berfungsi sebagai saluran ekskresi.
Diagfragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan
permukaan vagian dan 2,5 cm di belakang glans klitoris. Uretra wanita jauh
lebih pendek daripada pria dan terdiri lapisan otot polos yang diperkuat oleh
sfingter otot rangka pada muaranya penonjolan berupa kelenjar dan jaringan ikat
fibrosa longggar yang ditandai dengan banyak sinus venosus merip jaringan
kavernosus.

Gambar 1.6. Uretra


2. Review Fisiologi Sistem Urinaria
Fungsi Primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol leh
filtrasi glomelorus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus (Price & Wilson, 2005).
Fungsi Utama Ginjal
A. Fungsi Eksresi
a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285m-osmol dengan mengubah-ubah
ekskresi air.
Pengaturan jumlah air yang di eksresikan adalah funsi penting ginjal. Akibat
asupan air atau cairan yang besar urin yang encer harus di eksresikan dalam
jumlah yang besar, sebaliknya jika asupan cairannya sedikit, urin yang akan di
eksresikan menjadi lebih pekat.
b. Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal
c. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3-
Peran ginjal dalam mempertahankan asam basa adalah mereabsorpsi sebagian
besar HCO3- yang di filtrasi. Selain mereabsorpsi dan penyelamatan sebagian
besar HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Di sepanjang tubulus
H+ di sekresikan ke dalam cairan tubulus.
d. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat, dan kreatinin ((Price & Wilson, 2005).
B. Fungsi Non-eksresi
a. Menghasilkan renin, penting untuk pengaturan tekanan darah
Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah satu fungsi sistem
renal, suatu hormon yang dinamakan renin di sekresikan oleh sel-sel
juktaglomeluler ketika tekanan darah menurun. Suatu enzim akan mengubah renin
menjadi angiotensin I yang kemudian di ubah menjadi angiotensin II, yaitu
senyawa vasokntriktor palinh kuat. Vasokontriksi menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Aldosteron di sekresikan oleh korteks adrenal sebagai reaksi
terhadap stimulasi oleh kelnjat hipofisis dan pelepasan ACTH sebagai reaksi
tehadap perfusi yang jelek atau peningkatan osmolalitas serum (Smeltzer & Bare,
2010).
Tekanan darah menurun

Ginjal Renin (yang disekresikan oleh sel-sel juktaglomelular)

Hati Angiotensin I

Kelenjar Hipofisis Angiotensi II (Vasokontriktor kuat)

ACTH

Kelenjar Adrenal Aldosteron


(yang dilepas dari kelenjar adrenal)

Meningkatkan retensi Natrium dan air

Meningkatkan volume ektrasel

Meningkatkan tekanan darah

Gambar 1.7. Skema pengaturan tekanan darah

b. Menghasilkan eritropoetin, faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah


merah oleh sumsum tulang
c. Metabolisme vit D menjadi bentuk aktifnya
d. Degradasi insulin
e. Menghasilkan prostaglandin
C. Proses Pembentukan Urin
a. Ultrafiltrasi Glomelorus
Pembentukan kemih dimulai dengan proses filtrasi plasma pada glomelorus.
Aliran darah ginjal (RBF=Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah
jantung atau sekitar 1.200 ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka
aliran plasma ginjal (RPF = Renal Plasma Flow) sama dengan 660
ml/menit.Sekitar seperlima plasma atau 125 ml/menit di alirkan melalui
glomelorus ke kapsula bowman. Ini di kenal dengan istilahlaju filtrasi glomelorus
(GFR = Glomelurus Filtrate Rate). Prses filtrasi pada glomelorus dinamakan
dengan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrate primer mempunyai komposisi sama
seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul yang
besar seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori mebrane filtrasi,
sedangkan air dan kristaloid dapat tersaring dengan mudah (Ganong, 2010).
Filtrasi terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih
besar dari permukaan aferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring
ditampung oleh kapsula bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida,
sulfat, bikarbonat, dll yang diteruskan ke tubulus ginjal. Filtrasi terjadi pada
kapiler glomerulus pada kapsul Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel
endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga mempermudah proses
penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses penyaringan adalah
tekanan hidrolik dan permeabilitias yang tinggi pada glomerulus. Selain
penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel darah, keping
darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil terlarut dalam
plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam
lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan.
Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang
komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada filtrat
glomerulus masih dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan
garam-garam lainnya (Guyton & Hall, 2007).
Tiga faktor pada proses filtrasi dalam kapsula bowman menggambarkan
integrasi ketiga faktor tersebut yaitu:
1) Tekanan osmitik (TO). Tekanan yang dikeluarkan oleh air (sebagai pelarut)
pada membrane semipermeabel sebagai usaha untuk menembus membrane
semipermeabel ke dalam area yang mengandung lebih banyak molekul yang
dapat melewati membrane semipermeabel. Pori-pori dalam kapiler glomerulus
membuat membrane semipermeabel memungkinkan untuk melewati yang
lebih kecil dari air tetapi mencegah molekul yang lebih besar misalnya protein
dan plasma.
2) Tekanan hidroststik (TH). Sekitar 15 mmHg dihasilkan oleh adanya filtrasi
dalam kapsula dan berlawanan dengan tekanan hidrostatik darah. Filtrasi juga
mengeluarkan tekanan osmitik 1-3 mmHg yang berlawanan dengan osmotik
darah.
3) Perbedaan tekanan osmitik plasma dengan cairan dalam kapsula bowman
mencerminkan perbedaan kosentrasi protein, perbedaan ini menimbulkan pori-
pori kapiler mencegah protein plasma untuk difiltrasi (Sherwood, 2006).
b. Reabsorpsi dan sekresi Tubulus
Zat-zat yang di filtrasi di ginjal di bagi dalam 3 kelas, yaitu elektrolit, non
elektrolit, dan air. Beberapa jenis elektrolit yang paling penting adalah Natriun,
kalium, kalsium, magnesium, bikarbonat, klorida, dan fosfat. Sedangkan non
elektrolit yang penting antara lain glukosa, asam amino, dan metabolit yang
merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein : asam urat, urea, dan
kreatinin (Price & Wilson, 2005).
Setelah filtrasi langkah kedua dalam proses pembentukan urin adalah
reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah di filtrasi. Kebanyakan dari zat yang di
filtrasi di reabsorpsi melalui “pori-pori” kecil yang t5erdapat dalam tubulus
sehinga akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubular yang
mengelilingi tubulus. Di samping itu beberapa zat disekresi pula dari pembuluh
darah peritubular ke dalam tubulus (Price & Wilson, 2005).
Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung baik melalui mekanisme
transpor aktif maupun pasif. Glukosa dan asam amino di reabsorpsi seluruhnya di
sepanjang tubulus proksimal dengan mekanisme transpor aktif. Kalium dan asam
urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan keduanya di sekresi kedalam
tubulus distal. pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan
natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap kembali ke dalam
tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan
reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papilla renalis. Volume urin
manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus
akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi
penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal.
Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke
darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan
dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g
garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa
kali (Guyton & Hall, 2007).
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder yang
komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-zat
yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat
sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya ureum dari 0,03`,
dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam urin sekunder.
Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam mino meresap
melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Reabsorbsi air
terjadi pada tubulus proksimal dan tubulus distal (Sherwood, 2006).
c. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di
tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah
96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen
empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin. Sisa penyerapan urin
kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya
diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.

Gambar 1.8. Proses Pembentukan urin


D. Proses Berkemih (Mikturisi)
Urin yang terbentuk oleh ginjal di angkut dari pelvis ginjal melalui ureter dan
kedalam kandung kemih. Gerakan ini di fasilitasi oleh gelombang peristaltik yang
terjadi sekitar satu hingga lima kali permenit dan di hasilkan oleh otot polos pada
dinding ureter (Smeltzer & Bare, 2010).
Eliminasi urin di kendalikan oleh kontraksi spingter uretra ekterna, otot ini
berada di bawah kendali volunter dan diinervasi oleh saraf yang berasal dari medula
spinalis daerah sakral. Pengendalian ini merupakan perilaku yang di pelajari dan
bukan bawaan dari lahir. Ketika muncul keinginan untuk buang air kecil , spingter
uretra eksterna akan melemas dan muskulus detrussor ( otot polos kandung kemih)
berkontraksi serta mendorong urin keluar dari dalam kandung kemih melalui uretra.
Kontraksi muskulus detrusor di atur oleh suatu refleks yang mencakup sistem saraf
parasimaptik. Refleks tersebut terintegrasi dalam bagian bagian sakral traktus spinalis.
Sistem saraf simpatik tidak memiliki peranan yang penting dalam mikturisi, tetapi
dapat mencegah masuknya semen (air mani) kedalam kandung kemih saat terjadi
ejakulasi (Smeltzer & Bare, 2010).
Jika terjadi kerusakan saraf pelvis yang menginervasi kandung kemih dan
spingter, maka kendali volunter serta urinasi yang bersifat refleks akan menghilang
dan kandung kemih tersebut mengalami distensi yang belebihan akibat akumulasi
urin. Jika lintasan spinal dari otak ke sistem urinarius terganggu atau rusak, kontraksi
kandung kemih yang reflekstoris tetap di pertahankan tetapi kendali volunter atas
proses tersebut akan menghilang. Pada kedua keadaan ini, otot kandung kemih dapat
berkontraksi dan mendorong urin keluar meskipun kontraksi nya tidak cukup kuat
untuk mengosongkan kandung kemih secara tuntas sehingga di dalamnya akan
terdapat urin sisa (Smeltzer & Bare, 2010).

E. Urine (Air Kemih)


Sifat fisis air kemih terdiri dari :
a. Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1500 cc, tergantung dari intake cairan dan faktor
lainnya
b. Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh
c. Warna kuning tergantung dari kepekatan, diet, obat-obatan dan sebagainya
d. Bau khas air kemih bila dibiarkan akan berbau amoniak
e. Berat jenis 1.015 – 1.020
f. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis juga tergantung dari diet (sayur
menyebabakan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam)

Komposisi air kemih terdiri dari :


a. Air kemih terdiri dari 95% air
b. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam urea, amoniak, dan
kreatinin
c. Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat, dan sulfat
d. Pigmen (urobilin, bilirubin)
e. Toksin
f. Hormon

3. Pemeriksaan penunjang pada sistem urinari


A. Pemeriksaan urinalisis
Urinalisis dapat memberikan informasi klinik yang penting. Urinalisis
merupakan pemeriksaan rutin pada sebagian besar kondisi klinis, pemeriksaan urin
mencakup evaluasi hal-hal berikut:
a. Observasi warna dan kejernihan urin.
b. Pengkajian bau urin
c. Pengukuran keasaman dan berat jenis urin.
d. Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa, dan badan keton dalam urin
(masing-masing untuk proteinuria, glukosuria, da ketonoria)
e. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk mendeteksi sel darah erah (hematuria), sel darah putih,
slinder (silindruria), Kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri (bakteriuria).
Macroscopic or frank haematuria is often a manifestation of
urinary tract malignancy. Exclusion of infection followed by
urological investigation is the most appropriate initial step.
Microscopic haematuria may indicate significant pathology
including infection, malignancy and other forms of kidney
damage. A single positive dipstick test is not sufficient to
indicate pathology as it is a common finding with rates
ranging from 1.7% in a UK student population to 18.1% in a
US study of first order relatives of patients with hypertension,
diabetes or CKD (NICE, 2005).
B. Pemeriksaan darah
a. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap berfokus pada jumlah eritrosit yang pada
proses pembentukannya membutuhkan eritropoetin yang dseksresi di ginjal.
Kondisi anemia dapat ditimbulkan oleh menurunnya eritropoetin dalam darah.
Oleh sebab itu, untuk menklarifikasi jumlah eritropoetin maka akan diperiksa
kadar eritrosit.
Leukosit diperiksa untuk mendeteksi adanya peradangan kronis yang
dapat melibatkkan ginjal. Pada beberapa kasus seperti pada radang saluran kemih
akan meningkatkan jumlah leukosit sebagai respon imunologis tubuh.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Tes fungsi ginjal dilakukan untuk mengevaluasi beratnya penyakit ginjal
dan mengikuti perjalanan klinik. Pemeriksaan ini juga memberikan informasi
tentang efektifitas ginjal dalam melaksanakan fungsi ekskresinya. Fungsi ginjal
dapat dikaji secara lebih akurat jika dilakukan dibeberapa pemeriksaan dan
kemudian asilnya dianalisis bersama. Pemeriksaan fungsi ginjal yang umum
dilakukan adalah kemampuan pemekatan ginjal klirens kreatinin, kadar kreatinin
serum dan nitrogen urea darah (BUN).
c. Pemeriksaan kadar ADH
Anti diuretic hormone atau ADH merupakan hormon yang dihasilkan
oleh hipofisis yang berfungsi menghambat proses diuresis. Jika hormon ini
mengalami penurunan jumlah maka tubuh akan berusaha mengeluarkan cairan
melalui pembentukan urin. Dampaknya adalah ketidakseimbangan cairan terutama
defisit volume cairan yang dapat menyebabkan insufisiensi renal. Pemeriksaan
kadar ADH dapat dilakukan melalui prosedur ELISA (enzym linked
immunoseorbent assay).
d. Pemeriksaan kadar renin
Renin adalah enzim yang diproduksi dan disekresi oleh sel
juxtaglomelural ginjal yang berperan dalam lintasan metabolisme sistem RAA
(Renin-Angiotensin-Aldosteron) yang mengendalikan tekanan darah dan kadar
air dalam tubuh dengan mengatur volume ekstraselular dari plasma darah, cairan
tubuh, cairan limfatik dan vasokonstriksi arteri. Renin akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin.
Jika terjadi kerusakan pada sel juktaglomelorus maka akan menurunkan
sekresi renin. Manifestasinya adalah instabilisasi tekanan darah. Salah satu
kerusakan yang menyebabkan kerusakan bagian juxta glomelorus adalah
insufisiensi ginjal.
e. Pemeriksaan kadar aldosteron
Aldosteron adalah hormon steroid dari golongan mineralokortikoid yang
disekresi dari bagian terluar zona glomerulosa pada bagian korteks kelenjar
adrenal oleh rangsangan dari peningkatan angiotensin II dalam darah. Aldosteron
memodulasi konsentrasi garam darah dengan mengaktivasi pencerap
mineralokortikoid pada tubulus distal di dalam ginjal yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran apisal dari sel yang
membentuk cortical collecting tube, atau collecting ducts. Hal ini menyebabkan
peningkatan volume dan tekanan darah.
Jika terjadi kerusakan pada korteks ginjal maka akan menurunkan
konsentrasi. Manifestasinya adalah instabilisasi tekanan darah. Salah satu
kerusakan yang menyebabkan kerusakan bagian korteks adalah insufisiensi ginjal
f. Pemeriksaan kadar eritropoetin
Eritropoetin dalah hormon glikoprotein yang merupakan stimulan
bagi eritropoiesis, sebuahlintasan metabolisme yang menghasilkan eritrosit.
Sintesis dominan eritropoetin terjadi pada sel di area interstitial peri-tubular di
dalam ginjal. Penurunan kadar eritropoetin menandakan adanya kerusakan pada
ginjal. Anemeia merupakan akibat dari menurunnya kadar eritropoetin dalam
darah.
g. Pemeriksaan gula darah
Kadar gula yang tinggi dapat merusak tubulus. Kerusakan ini terjadi
akibat peningkatan viskositas darah, selain itu dengan meningkatnya kadar gula
maka akan menstimulasi ginjal untuk membuang glukosa melalui urin. Kondisi
tersebut dapat menyebabkkan dehidrasi akibat diuresis osmotik.
Secara simultan, gabungan berbagai kondisi tersebut akan menyebabkan
kerusakan pada ginjal. Oleh sebab itu, penderita Diabetes merupakan orang
dengan faktor resiko kerusakan ginjal.
C. X ray
Pemeriksaan Sinar-X dan Pencitraan lainnya Dalam pemeriksaan ini dibagi
ke dalam beberapa macam, yaitu : 1. Kidney, Ureter and Bladder (KUB) Pemeriksaan
radiologi abdomen yang dikenal dengan istilah KUB dapat dilaksanakan untuk
melihat ukuran, bentuk serta posisi ginjal dan mengidentifikasi semua kelainan seperti
batu dalam ginjal atau traktus urinarius, hidronefrosis (distensi pelvis ginjal), kista,
tumor atau pergeseran ginjal akibat abnormalitas pada jaringan disekitarnya.
D. USG
Ultrasound atau pemeriksaaan USG menggunakan gelombang suara yang
dipancarakan ke dalam tubuh untuk mendeteksi abnormalitas. Organ-organ dalam
system urinarius akan menghasilkan gambar-gambar ultrasound yang khas.
Abnormalitas seperti akumulasi cairan, massa, malformasi, perubahan ukuran organ
ataupun obstruksi dapat diidentifikasi.
Pemeriksaan USG merupakan teknik noninvasif dan tidak memerlukan
persiapan khusus kecuali menjelaskan prosedur serta tujuannya kapada pasien. Karena
sensitivitasnya, pemeriksaan USG telah menggantikan banyak prosedur diagnosis
lainnya sebagai tindakan diagnostic pendahuluan.
E. MRI dan CT scan
Pemindai CT dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan
pemindai CT dan MRI merupakan teknik noninvasive yang akan memberikan gambar
penampang ginjal serta saluran kemih yang sangat jelas. Kedua pemeriksaan ini akan
memberikan informasi tentang luasnya lesi invasive pada ginjal.
F. Urografi Intravena (Ekskretori Urogram atau intravenous pyelogram)
Pemeriksaan urografi intravena yang juga dikenal dengan nama intravenous
pyelogaram(IVP) memungkinkan visualisasi ginjal ureter dan kandung kemih. Media
kontras radiopaque disuntikan secara intravena dan kemudian dibersihkan dari dalam
darah serta dipekatkan oleh ginjal. Tebal nefrotomogram dapat dilaksanakan sebagai
bagian dari pemeriksaan untuk melihat berbagai lapisan ginjal serta struktur difus
dalam setiap lapisan dan untuk membedakan massa atau lesi yang padat dari kista
didalam ginjal atau trakrus urinarius.
Pemeriksaaan IVP dilaksanakan sebagai bagian dari penkajian pendahuluan
terhadap semua masalah urologi yang dicurigai, khususnya dalam menegakan
diagnose lesi pada ginjal dan ureter. Pemeriksaan ini juga memberikan perkiraan
kasar terhadap fungsi ginjal. Sesudah media kontras (sodium diatrisoat atau meglumin
diatrisoat) disuntikan secara intravena, pembuatan foto rontgen yang multiple dan
seril yang dilakukan untuk melihat struktur drainase.
G. Pielografi retrograd.
Dalam pielografi retrograd, kateter uretra dimasukan lewat ureter ke dalam
pelvis ginjal dengan bantuan sistoskopi. Kemudian media kontras dimasukkan dengan
gravitasi atau penyuntikan melalui kateter. Pielografi retrograd biasanya dilakukan
jika pemeriksaan IVP kurang memperlihatkan dengan jelas system pengumpul.
Pemeriksaan pielografi retrograd jarang dilakukan dengan semakin majunya teknik-
teknik yang digunakan dalam urografi ekskretorik.
H. Infusion drip pyelography
Merupakan pemberian lewat infuse larutan encer media kontras dengan
volume yang besar untuk menghasilkan opasitas parenkim ginjal dan mengisi seluruh
traktus urinarius. Metode ini berguna bila teknik urografi yang biasa dikerrjakan tidak
berhasil memperlihatkan struktur drainase.

I. Sistogram
Kateter dimasukkan kedalam kandung kemih, dan kemudian media kontras
disemprotkan untuk mellihat garis besar dinding kandung kemih serta membantu
dalam mengevaluasi refluks vesikouretral. Sistogram juga dilakukan bersama dengan
perekaman tekanan yang dikerjakan secara bersamaan di dalam kandunng kemih. 7.
J. Sistouretrogram
Prosedur yanga menghasilkan visualilsasi uretra dan kandung kemih yang
bisa dilakukan melalui penyuntikan retrograde media kontras ke dalam uretra serta
kandunng kemih atau dengan pemeriksaan sinar X sementara pasien mengekskresikan
media kontras.
K. Angiografi renal.
Prosedur ini memungkinkan visualisasi arteri renalis. Arteri femoralis atau
aksilaris ditusuk dengan jarum khusus dan kemudian sebuah kateter disisipkan
melalui arteri femoralis serta iliaka ke dalam aorta atau arteri renalis. Media kontras
disuntikkan untuk menghasilkan opasitas suplai arteri renalis. Angiografi
memungkinkan evaluasi dinammika aliran darah, memperlihatkan vaskulatur yang
abnormal dan membantu membedakan kista renal dengan tumor renal.
L. Endourologi (prosedur endoskopi urologi)
a. Pemeriksaan sistoskopi
Prosedur untuk melihat lanngsung uretra dan kandung kemih. Alat
sistokop, yang dimasukan melalui uretra ke dalam kandung kemih, memiliki
system lensa optis yang sudah ada pada alat itu sendiri sehingga akan
meemberikan gambar kandung kemih yang diperbesar dan terang. Sistoskop
tersebut dapat dimanipulasi untuk memungkinkan visualisasi uretra dan kandung
kemih secara lengkap selain visualisasi orifisium uretra dan uretra pars prostatika.
Kateter uretra yang halus dapat dimasukan melalui sistoskop sehingga
ureterdan pelvis ginjal dapat dikaji. Sistoskop juga memungkinkanahli urologi
untuk mendapatkan spesimen urin dari setiap ginjal guna mengevaluasi fungsi
ginjal tersebut. Alat forceps dapat dimasukkan melalui sistoskop untuk keperluan
biopsi. Batu dapat dikeluarkan dari uretra, kandung kemih dan ureter melalui
sistoskop.
Alat endoskop dimasukkan dengan melihatnya secara langsung. Uretra
dan kandung kemih diinspeksi. Larutan irigasi steril disemprotkan untuk
menimbulkan distensi kandung kemih dan membilas keluar semua bekuan darah
sehinngga visualisasi menjadi lebih baik.
Penggunaan cahaya denngan intensitas tinggi dan lensa yang bisa
ditukar-tukar memungkinkan visualisasi yang sangat baik serta memudahkan
pembuatan gambar-gambar yang diam dan yang bergerak dari struktur ini.
Sebelum melaksanakan prosedur pemeriksaan dapat diberikan preparat sedativ.
Anestesi topical local disemprotkan kedalam uretra sebelum ahli urologi
memasukkan alat sistoskop. Pemberian diazepam (valium) intravena bersama
dengan preparat anestesi topical uretra dapat diberikan. Sebagai alternative lain
dapat dilakukan anestesi spinal atau umum.
Setelah menjalani pemeriksaan sistoskopik, kadang-kadang penderita
kelainan patologik obstruktif mengalami retensi urin sebagai akibat dari edema
yang disebabkan oleh instrumentasi. Penderita hyperplasia prostat harus dipantau
dengan cermat akan adanya kemungkinan retensi urin.
Pasien yang menjalani instrumentasi traktus urinarus (yaitu, sistoskopi)
perlu dipantau untuk mendeteksi tanda-tanda dan gejala infeksi urinarius. Edema
uretra yang terjadi sekunder akibat trauma local dapat menyumbat aliran urin, oleh
karena itu pemantauan akan adanya tanda-tanda dan gejala obstruksi pada pasien
juga perlu dilakukan.
b. Brush biopsy ginjal dan uretra
Teknik brush biopsy akan menghasilkan informasi yang spesifik apabila
hasil pemeriksaan radiologi ureter atau pelvis ginjal yang abnormal tidak dapat
menunjukan apakah kelainan tersebut merupakan tumor, batu, bekuan darah atau
hanya artefak.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan sistoskopik. Kemudian dipasang
kateter uretra yang di ikuti oleh tindakan memasukkan alat sikat khusus (biopsy
brush) melalui kateter tersebut. Kelainan yang dicurigai disikat maju mundur
secara teratur untuk mendapatkan sel-sel dan fragmen jaringan permukaan untuk
pemeriksaan analisis histology.
Setelah prosedur pemeriksaan selesai dilakukan, pemberian cairan infus
dapat dilakukan untuk membersihkan ginjal dan mencegah pembentukan bekuan
darah. Urin dapat mengandung darah (yang biasanya menjadi jernih dalam waktu
24-48 jam) akibat perembesan pada tempat penyikatan.
c. Endoskopi renal (nefroskopi)
Merupakan pemeriksaan dengan cara memasukkan fiberskop kedalam
pelvis ginjal melalui luka insisi (pielotomi) atau secara perkkutan untuk melihat
bagian dalam pelvis ginjal, mengelluarkan batu, melakukan biopsi lesi yang kecil
dan membantu menegakan diagnose hematuria serta tumor renal tertentu. 4.
d. Biopsi ginjal
Bopsi ginjal dilakukan dengan menusukan jarum biopsi melalui kulit
kedalam jaringan renal atau dengan melakukan biopsi terbuka melalui luka insisi
yang kecil didaerah pinggang. Pemeriksaan ini berguna untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit ginjal dan mendapatkan specimen bagi pemeriksaan
mikroskopik electron serta imunofluoresen, khususnya bagi penyakit glomerulus.
Sebelum biopsi dilakukan, pemeriksan koagulasi perlu dilakukan lebih
dahulu untuk mengidentifikasi setiap resiko terjadinya perdarahan pascabiopsi.
Prosedur, pasien dipuasakan selama 6 hingga 8 jam sebelum pemeriksaan. Set
infuse dipasang. Spesimen urin dikumpulkan dan disimpan untuk dibandingkan
dengan specimen pascabiopsi.
Jika akan dilakukan biopsi jarum pasien diberitahukan agar menahan
nafas ketika jarum biopsi ditusukan. Pasien yang sudah dalam keadaan sedasi di
tempatkan dalam posisi berbaring telungkup dengan bantal pasir diletakan
dibawah perut. Kulit pada lokasi biopsy diinfiltrasi denngan preparat anestesi
local. Lokasi jarum dapat dipastikan melalui fluuoroskopi atau ultrasound dengan
menggunakan teknik khusus. Pada biopsi terbuka dilakukan insisi yang kecil
didaerah ginjal dapat dilihat secara langsung.
e. Pemeriksaan radio isotop
Merupakan tindakan noninvasive yang tidak mengganggu
prosesfisiologik normal dan tidak memerlukan persiapan pasien yang khusus.
Preparat radiofarmaseutikal disuntikan intravena. Pemeriksaan dilakukan dengan
kamera skintilasi yang ditempatkan disebelah posterior ginjal sementara pasien
berada dalam posisi telentang,telungkup atau duduk.
Gambar yang dihasilkan (yang disebut pemindai) menunjukan distribusi
preparat radiofarmaseutikal didalam ginjal. Pemeriksaan pemindai menghasilkan
informasi tentang perfusi ginjal dan sangat berguna untuk menunjukan fungsi
ginjal yang buruk. Pemeriksaan pemindai hippurate memberikan informasi
tentang fungsi ginjal.

f. Pengukuran urodinamik
Pengukuran urodinamik menghasilkan berbagai pemeriksaan fisiologik
dan structural untuk mengevaluasi fungsi kandung kemih serta uretra dengan
mengukur:
1) Kecepatan aliran urin
2) Tekanan kandung kemih pada saat buang air kecil dan saat istirahat
3) Resitensi uretra internal
4) Kontras serta relaksasi kandung kemih Tekanan abdominal , kandung kemih
serta detrusor, aktivitas sfingter, inervasi kandung kemih, tonus otot dan reflex
sacrum dikaji.
5) Uroflometri (kecepatan aliran) merupakan rekaman volume urin yang
mengalir melalui ureter per satuan waktu (ml/s).
6) Sistometrogram merupakan rekaman grafik tekanan dalam kadung kemih
(intra vesikal) pada berbagai fase pengisian dan pengosongan kandung kemih
untukmengkaji fungsinya. Selama prosedur pemeriksaan dilakukan, jumlah
cairan yang dimasukan dan dikeluarkandari kandung kemih disamping rasa
penuh pada kandung kemih dan keinginan untuk buang air kecil harus dicatat.
Kemudian semua hasil ini dibandingkandengan tekanan yang diukur dalam
kandung kemih selama pengisian kandung kemih dan berkemih. Pertama-tama
pasien diminta untuk berkemih, dan dokter mengamati lamanya waktu yang
diperlukan untuk memulai, ukuran, kekuatan serta kontinuitas aliran urin, dan
derajat mengajan serta adanya hesitancy. Kateterretensi dimasukan melalui
uretra kedalam kandung kemih. Volume sisa diukur dan kateter tersebut
dibiarkan pada tempatnya. Kateter uretral dihubungkan dengan manometer air,
dan larutan steril dibiarkan mengalir kedalam kandung kemih dengan
kecepatan biasanya 1 ml/s. pasien memberitahukan dokter pada saat terasa
ingin buang air kecil, dan pada saat kandung kemih terasa penuh. Derajat
pengisian kandung kemih pada kedua situasi ini dicatat. Tekanan diatas
tingkat nol pada simfisis pubis diukur, dan tekanan serta volume dalam
kandung kemih diukur serta dicatat.
7) Profil tekanan uretra mengukur resitensi uretra disepanjang uretra. Gas dan
cairan dimasukkan melalui sebuah kateter yang ditarik keluar sambil
mengukur tekanan disepanjang dinding uretra.
8) Sistouretrogram memungkinkan visualisasi uretra dan kandung kemih yang
dapat dilakukandengn penyntikan retrograd atau dengan mengeliminasi media
kontras.
9) Pada voiding cystourethogram, kandung kemih diisi dengan media kontras dan
pasien berkemih sementara foto-foto spot dibuang dpengn cepat. Ada
tidaknnya refluks vesikouretral atau kelainan congenital pada traktus urinarius
inferior dapat diperlihatkan. Voidingcystourethrogram juga digunakan untuk
menyelidiki kesulitan dalam pengosongan kandung empedu dan inkontinensia.
10) Elektromiografi meliputi penempatan elektroda dalam otot dasar panggul dan
fingter ani untuk mengevaluasi fungsi neuromuskuler traktus urinarius
inferior.
4. Kondisi Patologis Pada Sistem Urinari
Sistem urinari atau perkemihan terdiri atas ureter, bladder, dan uretra yang
memiliki fungsi untuk mengalirkan urin yang diproduksi oleh ginjal keluar tubuh.
Namun begitu, saat terjadi beberapa gangguan pada mekanisme pengeluaran urine,
proses eliminasi tidak berjalan adekuat dan hal ini beresiko mengganggu homeostasis
cairan, elektrolit, produk buangan, dan tekanan darah (Smeltzer & Bare, 2010).
Masalah-masalah pada sistem ini baik yang bersifat akut maupun kronis secara
langsung akan berdampak pada peningkatan biaya perawatan. Lebih dari 20 juta
penduduk di Amerika mengalami infeksi saluran kemih (ISK), sistitis, batu ginjal atau
ureter, atau inkontinensia urin (United States Renal Data System [URSDS], 2010).
Walaupun komplikasi yang mengancam nyawa jarang ditemukan, namun pasien
mungkin saja mengalami permasalahan yang signifikan mencakup aspek fungsi fisik,
psikologis, dan kualitas hidup. Intervensi keperawatan yang diberikan difokuskan pada
tindakan pencegahan, deteksi, dan manajemen terhadap penyakit.
A. Permasalahan Akibat Infeksi
1. Klasifikasi
Infeksi pada saluran kemih (ISK) dan ginjal merupakan permasalahan yang
umum, terutama pada wanita. ISK diklasifikasikan sesuai dengan lokasi pada saluran
kemih. Data pasien akibat ISK tercatat lebih dari 8 juta kunjungan per tahun dan biaya
yang dikeluarkan dalam pengelolaan penyakit ini mencapai $1,8 miliar (Ignatavicius,
& Workman, 2003). Lebih dari 100.000 orang dirawat di rumah sakit setiap tahunnya
karena ISK. Sekitar 15% dari pasien yang mengembangkan bakteremia gram negatif
meninggal, dan 30% dari kasus-kasus ini disebabkan oleh infeksi bakteri yang berasal
dari saluran kemih. Istilah ISK digunakan untuk menunjukkan adanya bakteriurea
patogen dengan CFU (colony forming unit) per ml urin > 103, lekosituria > 10 per
lapang pandang besar, disertai manifestasi klinik berikut (Sukandar, 2013):
a. Infeksi saluran kemih atas (upper urinary tract infection). Infeksi saluran kemih
atas cenderung lebih jarang ditemukan, meliputi:
a) Pielonefritis akut atau kronis (inflamasi pada pelvis ginjal)
b) Interstitial nephritis (inflamasi pada ginjal)
c) Renal abscess
b. Infeksi saluran kemih bawah (lower urinary tract infection), meliputi:
a) Sistitis (inflamasi pada kandung kemih)
b) Bacterial prostatitis dan epididimis (inflamasi pada gland prostat)
c) Bacterial ureteritis (inflamasi pada uretra)
d) Sindrom uretra (ISK bawah yang berhubungan dengan mikroorganisme
anaerobik).

Gambar 4.1 Klasifikasi infeksi saluran kemih atas dan bawah

ISK diklasifikasikan lebih lanjut sebagai ISK dengan komplikasi dan ISK tanpa
komplikasi (sederhana) tergantung dari kondisi pasien (misalnya apakah ISK berulang
dan durasi infeksi). Kebanyakan ISK tanpa komplikasi dijumpai pada populasi
masyarakat umum, sedangkan ISK dengan komplikasi dijumpai pada pasien dengan
kelainan urologi atau atas tindakan katerterisasi di Rumah Sakit.
a. ISK dengan komplikasi (complicated UTI)
ISK dengan komplikasi mayoritas terjadi pada pasien dengan riwayat
obstruksi, batu, atau penggunaan kateter; memiliki riwayat penyakit diabetes atau
gangguan neurologis; kondisi patologis akibat kehamilan; atau infeksi yang
berulang. Pasien ISK dengan komplikasi beresiko mengembangkan pielonefritis,
urosepsis, dan kerusakan ginjal.

Gagal ginjal kronik Faktor predisposisi

Pielonefritis kronik Bakteriuria


asimtomatik

Infeksi saluran kemih


atas (pielonefritis) Infeksi saluran kemih
bawah (sistitis)

Bakterimia

Gambar 4.2. Perjalanan penyakit ISK dengan komplikasi (complicated UTI)

b. ISK tanpa komplikasi (uncomplicated UTI)


ISK tanpa komplikasi terjadi di saluran kemih dan biasanya hanya melibatkan
kandung kemih. ISK ini mayoritas terjadi pada individu yang tidak pernah
memiliki riwayat infeksi sebelumnya. Sebaliknya, ISK berulang merupakan re-
infeksi yang disebabkan oleh patogen pada individu yang mengalami infeksi
sebelumnya yang pernah sembuh. Jika ISK berulang terjadi karena infeksi awal
belum tuntas, maka hal tersebut diklasifikasikan sebagai bakteriuria inkomplit.
Bakteriuria komplit terjadi ketika bakteri resisten terhadap antibiotik yang
digunakan untuk mengobati infeksi, ketika agen antibiotik gagal untuk mencapai
konsentrasi yang memadai dalam urin atau darah untuk membunuh bakteri, atau
ketika obat dihentikan sebelum bakteriuria yang mendasari benar-benar
diberantas.

2. Epidemiologi
Prevalensi covert bacteriuria dan ISK simtomatik berhubungan dengan faktor
umur dan jenis kelamin. Bakteriurea bermakna (significant bacteriuria) tanpa
keluhan dijumpai sejak bayi lahir, baik laki-laki maupun wanita. Angka kejadian
bakteriuria tanpa keluhan pda laki-laki lebih sering dari wanita, mungkin
berhubungan dengan infeksi preputium. Sebaliknya, bakteriuria tanpa keluhan
pada wanita meningkat setelah masa pre-school age. Bakteriuria tanpa keluhan
baru menimbulkan masalah (bakteriuria dengan keluhan ISK) bila terdapat
beberapa faktor predisposisi (Sukandar, 2013).
Lebih lanjut, bakteriuria dan ISK lebih sering terjadi pada pasien dengan usia
lanjut (>65 tahun) dibandingkan pada populasi dewasa muda. Estimasi konservatif
menunjukkan bahwa 20%-25% ISK terjadi pada pasien wanita di unit rawat jalan
dan 10% laki-laki pada populasi mengalami bakteriuria asimtomatik. Insiden
meningkat sampai 50% pada wanita di atas usia 80 tahun (Smeltzer & Bare,
2010).
Menurut Newman (2007) ISK merupakan penyakit akibat bakteri yang paling
umum kedua dan yang paling umum pada wanita, dengan setidaknya 30% wanita
dari populasi mengembangkan ISK sebelum usia 24. Wanita hamil memiliki
peningkatan risiko mengalami ISK.

3. Faktor predisposisi
Setiap ISK pada laki-laki (walaupun pertama kali serangan) dan ISK berulang
(rekuren) pada wanita biasanya meyertai faktor predisposisi, yaitu:
a. Neuropati viseral pada diabetes (laki-laki dan wanita)
b. Prostat hipertrofi (laki-laki)
c. Hidroureter akibat progesteron (kehamilan dan kontrasepsi)
d. Penyakit ginjal polikistik (laki-laki dan wanita)
e. Refluks vesikoureter (laki-laki dan wanita)

4. Patogenesis infeksi
ISK sering disebabkan mikroorganisme saluran cerna (Enterobacteriacae),
kembangbiak (kolonisasi) di daerah introitus vaginae dan uretra anterior dan
masuk ke dalam kandung kemih selama miksi. ISK tanpa komplikasi
(uncomplicated type) lebih sering pada wanita dari laki-laki. Beberapa faktor
predisposisi yang menyebabkan ISK yaitu:
a. Faktor yang meningkatkan stasis urin
a) Obstruksi intrinsik (batu, tumor saluran kemih, striktur uretra, BPH)
b) Obstruksi ekstrinsik (tumor, fibrosis mengompresi saluran kemih)
c) Retensi urin (termasuk gangguan kandung kemih neurogenik)
d) Kerusakan ginjal
b. Benda asing
a) Batu saluran kemih
b) Instrumentasi selama sistiskopi dan kateterisasi
c. Faktor anatomis
a) Defek kongenital yang menignkatkan resiko obstruksi atau stasis urin
b) Fistula (abnormal opening) yang bersinggungan langsung dengan kulit,
vagina, atau bukaan fekal
c) Uretra yang lebih pendek pada wanira dan kolonisasi dario flora normal
d) Obesitas
d. Faktor yang mempengaruhi sistem imun
a) Usia/penuaan
b) Infeksi human immunodeficiency virus
c) Diabetes mellitus
e. Gangguan fungsional
a) Konstipasi
b) Disfungsi untuk berkemih dengan dissinergispincter detrusor
f. Faktor lain
a) Kehamilan
b) Hipoestrogen
c) Pasangan multiple
d) Personal hygiene yang buruk
e) Invasi bakteri E Coli dengan P-fimbriae sangat patogen, Enterococcus,
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas, Staphylococcus, Serratia,
Candida albicans)

INFEKSI SALURAN KEMIH ATAS (UPPER URINARY TRACT INFECTION)


1. Pielonefritis Akut dan Kronis
Pielonefritis akut (PNA) merupakan radang akut ginjal, ditandai primer oleh
radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus, dan akhirnya dapat
mengenai kapiler glomerulus disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa
ditemukan kelainan-kelainan radiologi. Istilah pielonefritis lebih sering dipakai
daripada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak pernah
ditemukan di klinik.
Pielonefritis akut dan kronik merupakan kelainan jaringan interstitial
(tubulointerstitial) ginjal yang sebabnya kompleks. Klasifikasi nefritis interstitial
(tubulointerstitial nephritis):
a. Pielonefritis akut
a) Invasi bakteri
b) Penyakit Legionaire
c) Reaksi sensitif terhadap obat: Fenidion, metsilin, rifampisin, tiazid,
NSAIDs
d) Infiltrasi sel-sel leukemia
e) Idiopati
b. Pielonefritis kronis
a) Invasi bakteri (rekuren atau berulang)
b) Vaskuler: diabetes mellitus, usia lanjut, penyakit sickle cell
c) Imunologik: reaksi penolakan, sarkoidosis, sindrom sjogren, lepas
d) Fesikal: radiasi sinar X, deposit kalsium dan asam urat
e) Metabolisme: hipokalemia kronik
f) Kaongenital: sindrom alport, kista medula
g) Nefropati balkan
h) Idiopati
Patogenesis pielonefritis pada manusia masuih belum jelas, banyak faktor
yang turut memegang peranan. Pada percobaan mikroorganisme mencapai ginjal
melalui proses penyebaran hematogen maupun naik (ascending) melalui saluran
kemih (ureter).
Pengalaman klinik menunjukkan bahwa pielonefritis lebih sering ditemukan
pada pasien-asien dengan obstriksi saluran kemih. Observasi klinik masih belum
dapat membuktikan bahwa infeksi ginjal dapat terjadi dengancara ascending
karena ditemukan juga tanda-tanda bakterimia, ini menunjukkan penyebaran
hematogen.
Pemasangan kateter daur sudah diketahui dapat menyebabkan sistitis disertai
bakteriuria, tetapi masih diragukan dapat menyebabkan infeksi ginjal
(pielonefritis). Data-data klinik lain misalnya pielonefritis sebagai gejala sisa dari
bakteriemi pasca operasi striktur uretra tidak pernah ditemukan di klinik.
Gambar 4.3. Patofisiologi dan manifestasi infeksi kandung kemih akibat
pemasangan kateter

Gangguan katup vesiko-ureter mungkin menyebabkan refluk urin kedalam


pelvis ginjal. refluk ini dapat dibuktikan secara radiologik dengan pemeriksaan
MCU (Micturing Cysto-Uretherogram) pada orang dewasa walaupun kelainan ini
lebih sering dijumpai pada anak-anak. Peranan bakteriuria telah lama diketahui
dan merupakan salah satu faktor yang penting dalam genesis pielonefritis pada
wanita.
INFEKSI SALURAN KEMIH BAWAH (LOWER URINARY TRACT
INFECTION)
1. Sistitis Akut
Sistitis akur merupakan radang selaput mukosa kandung kemih (vesica
urinaria) yang timbulnya mendadak, biasanya ringan san sembuh spontan (self-
limited disease) atau nerat disertai penyulit infeksi saluran kemih atas
(pielonefritis akut). Sistitis akut spontan (self-limited disease) termasuk infeksi
saluran kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut
yang sering kambuh (recurrent UTI) termasuk ISK tipe berkomplikasi
(complicated type), memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaannya.
Beberapa faktor predisposisi sistitis: (1) descending infection; (2) invasi
mikroorganisme dari organ sekitarnya misalnya divertikulitis; (3) trauma akibat
pembedahan atau kecelakaan; (4) batu atau benda asing lainnya; (5) sisa urin; (6)
neoplasma; (7) ascending urethritis; (8) instrumentasi misalnya sistoskopi,
kateterisasi; (9) lain-lain penyakit diluar saluran kemihdan ginjal seperti diabetes
mellitus.
Sistitis akut pada wanita biasanya terbatas pada daerah trigonum, paling
sering akibat ascending urethritis. Sistitis akut sering terjadi setelah melakukan
coitus, dinamakan honeymoon cystitis. Sistitis akut jarang berat sehingga
menimbulkan komplikasi gangren (ganrenous cystitis). Perjalanan sistitis akut ini
ringan tanpa penyulit-penyulit dan memperlihatkan respon baik terhadap
antibiotika.
Mikroorganisme sebagai penyebab sistitis akut terutama mikroorganisme
saluran cerna yaitu gram negatif batang, tetapi dapat juga mikroorganisme
lainnya seperti stafilokok, N. Gonorrhoeae, troponema palidum dan trikhomonas
vaginalis.

2. Sistitis kronis
Sistitis kronik merupakan radang kandung kemih yang menyerang berulang-
ulang (recurrent attack of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau
penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan ISK
bawah tipe berkomplikasi, memerluka pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor
predisposisi.
Infeksi kronik kandung kemih dapat sebagai akibat dari infeksi kronik saluran
kemih bagian atas (ginjal), sisa urin (residual urine), refluks uretra, dan terutama
akibat lanjut dari:
a. Infeksi saluran kemih (ISK) atas (pielonefritis/tipe komplikasi)
b. Sisa urin (residual urin) dengan covert bacteriurine
c. Refluks atau stenosis uretra
d. Terapi sistitis akut tidak adekuat

Gejala-gejala yang mungkin muncul


Gejala Aliran urin yang lemah
pengosongan 1. Hesitancy
urine Kesulitan memulai miksi yang mengakibatkan penundaan
antara inisiasi miksi dengan relaksasi sfingter uretra dan
ketika aliran urine akan keluar.
2. Intermittency
Interupsi aliran urine saat miksi
3. Postvoid dribbling
Urin keluar saat proses miksi selesai
4. Disuria
Nyeri saat miksi
Gejala 1. Urinary frequency
penyimpanan Frekuensi miksi yang abnormal (biasanya lebih dari
urine jangka waktu 24 jam), perasaan ingin miksi, sering,
namun dengan jumlah kecil (misalnya, kurang dari 200
ml).
2. Urgency
Keinginan miksi yang tiba-tiba, kuat atau intens untuk
segera miksi, biasanya disertai dengan urinary frequency
3. Incontinence
Proses miksi yang terjadi secara involunter atau
kebocoran miksi
4. Nocturia
Terbangun ≥ 2 kali pada malam hari karena keinginan
untuk miksi
5. Nocturnal enuresis
Kebocoran urin saat tidur

Gejala-gejala ini termasuk disuria, sering buang air kecil (lebih dari setiap 2
jam), urgensi, dan ketidaknyamanan suprapubik. Urin mungkin mengandung
darah yang jelas terlihat (hematuria) atau sedimen, memberikan tampilan yang
samar. Nyeri pinggang, menggigil, dan adanya demam menunjukkan infeksi yang
melibatkan saluran kemih bagian atas (pielonefritis). Hal yang penting untuk
diingat bahwa gejala-gejala tersebut, sering tidak muncul pada pasien lanjut usia.
Pasien lansia cenderung mengalami ketidaknyamanan abdomen yang tidak
terlokalisasi dariipada disuria dan nyeri suprapubik. Selain itu, pasien lansia dapat
hadir dengan gangguan kognitif atau gangguan klinis umum. Karena pasien lansi
cenderung tidak mengalami demam saat ISK, nilai suhu tubuh sebagai indikator
ISK tidak dapat diandalkan. Pasien di atas usia 80 tahun mungkin mengalami
sedikit penurunan suhu. Pasien dengan bakteriuria signifikan mungkin tidak
memiliki gejala atau mungkin memiliki gejala non-spesifik seperti kelelahan atau
anoreksia.

B. PERMASALAHAN AKIBAT OBSTRUKSI


1. Obstruktif Uropati
Obstruksi pada saluran kemih mengacu pada kondisi anatomi atau fungsional
yang menghalangi atau menghambat aliran urin. Hal ini bisa terjadi akibat
kelainan kongenitall maupun diperoleh. Obstruksi yang terjadi di satu bagian
saluran kemih akan mempengaruhi fungsi sistem diatasnya. Tingkat keparahan
obstruksi ini tergantung pada lokasi, durasi obstruksi, jumlah tekanan atau
pelebaran, ada atau tidaknya stasis urin, dan ada tidaknya infeksi yang
meningkatkan risiko kerusakan permanen.
Meskipun obstruksi distal pada prostat (pria) atau leher kandung kemih
(wanita) menyebabkan jaringan parut mukosa yang melambatkan aliran urin, hal
ini jarang mengakibatkan terjadinya uropati obstruktif mayor karena tekanan
dinding uretra lebih rendah dari leher kandung kemih dan kandung kemih.
Obstruksi uretra dapat berkontribusi terhadap resistensi saluran keluar dan
menyebabkan kerusakan saluran kemih bawah atau atas ketika faktor-faktor
obstruktif atau disfungsional lainnya juga menyertai. Misalnya, terdapat
peningkatan risiko yang membahayakan fungsi ginjal pada pasien yang
mengalami spinal injury dengan disinergis vesicosphincter.
Ketika obstruksi terjadi pada leher kandung kemih atau prostat, perubahan
signifikan dapat terjadi pada kandung kemih. Otot detrusor akan mengalami
hipertrofi sebagai kompensasi upaya mendorong urin keluar pada jalur yang lebih
sempit. Dalam jangka panjang, otot detrusor akan kehilangan kemampuannya
untuk mengkompensasi resistensi tersebut yang menyebabkan terpisahnya bundle
otot sehingga terjadi penurunan fungsi. Pemisahan ini disebut trabeculation.
Trabeculation disebabkan oleh deposisi kolagen di dinding kandung kemih yang
memisahkan fasikula otot polos. Trabeculation dapat mempercepat dekompensasi
detrusor. Daerah antara bundle otot ini disebut cellules. Karena daerah ini tidak
memiliki dukungan otot, mukosa kandung kemih dapat mengalami herniasi antara
bundle otot detrusor, membentuk kantung yang disebut diverticula.

Gambar 4.4. Lokasi batu pada saluran kemih

Tekanan akan meningkat selama pengisian atau penyimpanan kandung kemih dan
dapat terjadi pula pada ureter ketika terjadi obstruksi. Tekanan ini melawan tekanan
peristaltik normal dan mengarah kepada terjadinya refluks (aliran balik urin), dilatasi
ureter, kekakuan, hidroureter (pelebaran pelvis ginjal), refluks vesicoureteral (aliran
balik atau gerakan mundur urin dari saluran kemih bawah ke atas), hidronefrosis
(dilatasi pelvis ginjal dan calyces) dan pielonefritis kronis akibat dan atrofi ginjal. Jika
hanya satu ginjal terhambat, ginjal lain mungkin dapat mengkompensasi dengan cara
hipertrofi, tetapi ureter tidak akan melebar di sisi kontralateral ini.
Obstruksi parsial dapat terjadi pada ureter atau ureteropelvic junction (UPJ). Jika
tekanan yang terjadi masih rendah atau sedang, ginjal dapat terus berdilatasi tanpa
kehilangan fungsi yang nyata. Selain itu, terdapat peningkatan risiko pielonefritis
karena stasis urin dan refluks. Jika hanya satu ginjal yang terkena dan ginjal lainnya
berfungsi, gejala yang terjadi mungkin asimptomatik. Jika kedua ginjal yang terkena
(atau jika pasien hanya memiliki satu ginjal), mungkin ditemukan perubahan fungsi
ginjal (misalnya, peningkatan BUN atau kadar kreatinin serum).
Jika obstruksi berlangsung lebih lama, maka oliguria atau anuria mungkin terjadi.
Seringkali episode oliguria diikuti oleh poliuria jika obstruksi merupakan batu yang
kemudian keluar bersama urin.

Gambar 4.5. Lokasi obstruksi pada saluran kemih

a. Etiologi
1) Proses metabolik
Kelainan yang mengakibatkan peningkatan kadar kalsium urin, asam
oxaluric, asam urat, atau asam sitrat.
2) Iklim
Iklim hangat/panas menyebabkan kehilangan cairan meningkat, volume urin
yang rendah, dan peningkatan konsentrasi zat terlarut dalam urin.
3) Diet
Asupan protein dalam jumlah besar yang meningkatkan ekskresi asam urat
berlebihan, seperti teh atau jus buah yang meningkatkan oksalat urin, asupan
oksalat dalam umlah besar, serta intake cairan yang sedikit.
4) Faktor genetik
Riwayat keluarga adanya batu ginjal, sistinuria, gout, atau asidosis renal
5) Pola hidup
Pola hidup sedentary, imobilisasi.

b. Tipe dan Komposisi Batu Ginjal


1) Batu kalsium
Tersusun atas kalsium, kalsium oksalat, dan phospate, dan kadang-kadang
ditemukan kalsium dan asam urat. Etiopatogenesis batu kalsium karena
komposisinya. Batu kalsium lebih sering dijumpai pada laki-laki dewasa lebih
dari 30 tahun dengan riwayat penyakit keluarga.

Metabolic Factor: Intestinal Age And Sex (L > P)


Absorption (Ca2+, Ox2-) Occupation
 Tubular Reabsorption (Ca2+, Hco3-) Social Class
 Bone Resorption (Ca2+) Diet And Fluid Intake
Genetic And Acquired Disorders Climate

Calcium Oxalate PH Volume GAG  Uric Acid

 Ca P And/Or Cap Inhibition Of


Supersaturation

Abnormal Caox And/Or


Cap Crystalization

Capox And/Or
Cap Stone
Gambar 4.6 Mekanisme pembentukan batu kalsium

2) Batu sturvite
Batu sturvite sebagai akibat lanjut dari ISK berulang dengan angka
kajadian hanya 10%. Batu struvite terdiri atas magnesium ammonium
phosphate dan kalsium phosphate. Pada ginjal, pertumbuhan batu ini sangat
cepat sehingga dapat mengisi rongga pelvis. Kenaikan Ph urin dan
konsentrasi ammonium merupakan faktor utama untuk pembentukan batu.
Urea-splitting organism terutama pada kelompok pasien yang disertai
kelainan saluran kemih dapat menyebabkan pembentukan carbondioxide.
3) Batu Asam Urat
Angka kejadian batu asam urat hanya 3-5% dari seluruh populasi penyakit
batu saluran kemih. Banyak keadaan atau kondisi yang menyertai oenyakit
batu asam urat. Penyakit idiopatik baik gout diabetes dan gout primer paling
seing menyertai batu asam urat ini.

Obesity Insulin Myelo Proliferative Disorder Uricosuric


Resistance Medication

Primary GOUT Congenital Disorder

Diarrheal States High Animal Protein


Diet

Low Urine Low Urinary pH Hyperuricosuria


Volume

Uric Acid
Nephrolithiasis

Gambar 4.7. Patofisiologi pembentukan batu asam urat


4) Batu Sistin
Angka kejadian bat usisntin hanya 2% dari seluruh populasi batu saluran
kemih. Penyakit batu sistin hanya ditemukan pada kelompok homozygous
untuk autosomal recessive disease, ditandai dengan defek tubular reabsorption
of cystine, ornithine, arginine, dan lysine. Cystine merupakan pelarut untuk
amino acid dan bila konsentrasinya melebihi 1250 mol/L maka akan terjadi
kristaluria diikuti pembentukan batu. Kelompok heterozygot jarang terjadi
batu sistin walaupun konsentrasi urinary cystine meningkat.

2. Renal artery stenosis


Stenosis arteri ginjal merupakan oklusi parsial pada salah satu atau kedua
arteri ginjal dan cabang utamanya. Hal ini dapat disebabkan karena penyempitan
aterosklerotik atau hiperplasia fibromuskular. Stenosis arteri ginjal menyumbang
1% sampai 2% dari semua kasus hipertensi. Ketika hipertensi berkembang secara
tiba-tiba, stenosis arteri ginjal harus dianggap sebagai penyebab yang mungkin,
terutama pada pasien di bawah 30 tahun atau diatas 50 tahun dan pada pasien yang
tidak memiliki riwayat keluarga hipertensi. Hal ini berbeda dengan hipertensi
esensial, yang mayoritas terjadi pada usia 30-50 tahun. Arteriogram ginjal adalah
alat diagnostik terbaik untuk mengidentifikasi stenosis arteri ginjal.
Tujuan terapi adalah kontrol BP dan pemulihan perfusi ke ginjal. Perkutan
angioplasti transluminal ginjal adalah prosedur pilihan pertama, terutama pada
pasien lanjut usia dengan risiko prognosis bedah yang buruk. Revaskularisasi
bedah ginjal dilakukan apabila terjadi penurunan aliran darah yang signifikan
untuk menyebabkan iskemia ginjal.

3. Renal vein thrombosis


Trombosis vena ginjal dapat terjadi pada salah satu atau secara bilateral.
Trauma, kompresi ekstrinsik (misalnya, tumor, aneurisma aorta), karsinoma sel
ginjal, kehamilan, penggunaan kontrasepsi, dan sindrom nefrotik merupakan
faktor yang berkontribusi terhadap berkembangnya trombosis vena ginjal.
Pasien mungkin memiliki gejala seperti nyeri pinggang, hematuria, atau
demam atau memiliki sindrom nefrotik. Pemberian antikoagulan (misalnya
heparin, warfarin [Coumadin]) penting dalam pengobatan ini karena terdapat
insidensi tinggi terhadap terjadinya emboli paru. Kortikosteroid dapat digunakan
untuk pasien dengan sindrom nefrotik. Thrombectomy bedah dapat dilakukan
sebagai pengganti atau diberikan bersamaan dengan antikoagulan.

4. Tumor dan karsinoma


Sachdeva (2014) menyatakan bahwa Renal Cell Carcinoma (RCC)
menyumbang sekitar 3% dari kasus keganasan pasien dewasa dan 90-95% dari
neoplasma yang timbul pada ginjal. The American Cancer Society memperkirakan
bahwa pada 2014 akan ada 63.920 kasus (39.140 pada laki-laki dan 24.780 pada
wanita) terhadap kasus tumor ganas ginjal, dengan 13.860 kematian (8900 pada
pria dan 4.960 pada wanita).

Gambar 4.8. Kanker pada ginjal

Selain RCC, kasus keganasan pada sistem perkemihan adalah kanker bladder.
Sekitar 61.000 kasus baru pasien didiagnosis kanker bladder setiap tahunnya, dan
sekitar 13.000 kematian terkait penyakit ini terjadi setiap tahun. Jenis tumor ganas
yang paling sering pada saluran kemih adalah karsinoma sel transisional dari
kandung kemih. Kebanyakan tumor bladder ditandai dengan pertumbuhan
papillomatous dalam kandung kemih. Kanker bladder paling umum terjadi antara
usia 60 dan 70 tahun dan setidaknya tiga kali lipat lebih banyak ditemukan pada
laki-laki daripada perempuan. Faktor risiko untuk kanker bladder meliputi
merokok, paparan pewarna yang digunakan dalam industri karet dan kabel, dan
penyalahgunaan phenacetin mengandung analgesik dalam jangka panjang.

C. PERMASALAHAN AKIBAT GANGGUAN IMUNOLOGI


Proses imunologi yang terjadi saluran kemih terutama mempengaruhi glomerulus
ginjal. Dampak kerusakan akibat glomerulonefritis (radang glomerulus) yang
mempengaruhi kedua ginjal merupakan penyebab utama ketiga dari gagal ginjal di
Amerika Serikat. Meskipun glomerulus adalah lokasi mayor dari peradangan yang
terjadi, namun peradangan tersebut juga mempengaruhi tubular, interstitial, dan
vaskular (Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2007). Glomerulonefritis dibagi
menjadi beberapa klasifikasi, yang menjelaskan: (1) tingkat kerusakan (difus atau
fokal); (2) penyebab awal gangguan (lupus eritematosus sistemik, sclerosis sistemik
[scleroderma], infeksi streptokokus); atau (3) sejauh mana perubahan terjadi (minimal
atau luas).
1. Glomerulonefitis
Survey epidemiologi klinik di beberapa negara maju (antara lain Ameruka
Serikat dan Eropa) melaporkan glomerulonefritis primer masih merupakan
kontributor utama peningkatan populasi pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir
dengan program terapi pengganti ginjal, baik dialisis maupun transplantasi ginjal.
tidak mengherankan saat ini banyak dilaporkan hasil penelitian dasar (misal anti
sitokin dan anti komplemen) sebagai upaya intervensi perubahan-perubahan
patogenesis kerusakan akut dan progresif glomerulus pada glumerulonefritis
primer.
Proteinuria klinik tidak hanya merupakan marka atau pertanda indeks
kerusakan glomerulus tetapi juga sebagai faktor resiko kerusakan glomerulus
lebih lanjut (glomerulosklerosis dan fibrosis tubulo-interstitial) yang berakhir
dengan penyakit ginjal kronik tahap akhir.
Para peneliti sependapat bahwa mediator memiliki peranan penting pada
imunopatogensis kerusakan glomerulus penyakit ginjal otoimun. Patogenesis
kerusakan akut dan progresif pada glomerulonefrosis primer/idiopati melalui dua
alur utama, yaitu mekanisme non-inflamasi kerusakan glomerulus dan mekanisme
inflamasi kerusakan glomerulus.

Deposit Antibodi Glomerulus Sensitisasi sel

Aktivasi sistem
komplemen

C5b-9 C5a

GEC PmnS/Trombosi Makrofag Sel mesangial


s

Oksidan dan protease

Kerusakan dinding kapiler Proteinuria

Non- Fibrin
Inflamasi PCA Inflamasi

Kresent

Gambar 4.9. Mekanisme deposit imun sebagai perantara kerusakan glumerulus

Proteinuria disebabkan komponen komplemen C5b-9 (sebagai membrane


attack complex/MAC) dengan melibatkan juga Glomerular epithelial cell (GCE)
sebagai target kerusakan disertai produksi oksidan, protease dan TGF β.
Komponen komplemen C5b-9 (MAC) berperan juga sebagai perantara
glomerulonefritis mesengiokapiler dan thrombotic microangiopathy. Pada semua
lesi histopatologi yang disebabkan induksi antigen terhadap sel glomerulus, cell-
bound complement regulatory proteins mempunyai peranan penting untuk
modulasi kerusakan lebih utuh.
Gambar 4.10. Glomerulonefritis

2. Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) merupakan gambaran klinik dengan etiologi ganda
disertaiciri khusus proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas
permukaan tubuh per hari disertai dengan hipoalbiminuria kurang dari 3,0 gram
per mililiter (McCance & Huether, 2006). Sebagian besar peneliti sependapat
bahwa proteinuria dan hipoalbuminuria merupakan kriteria dasar dari sindrom
nefrotik. Beberapa pendapat lain menyatakan panambahan kriteria lain seperti: (1)
Lipiduria yang terihat sebagai ovale fat bodies atau maltese crossatau doubly-
refractille bodies dengan sinar polarisasi; (2) Kenaikan serum lipid, lipoprotein,
globulin, kolestero total, dan trigliserid; (3) Sembab
a. Proteinuria
Proteinuria pada sindrom nefrotik terutama terdiri atas proteinuria glomerular,
sedangkan proteinuria tubulus tidak memegang peranan penting, hanya turut
memperberat derajat proteinuria. Pada sinrom nefrotik, terdapat peningkatan
permeabilitas membran basalis kapiler-kapiler glomeruli disertai peningkatan
filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria (albuminuria). Mekanisme
peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler glomerlui tidak diketahui secara jelas.

b. Albuminuria
Plasma mengandungmacam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskuler (EV). Plasma protein terutama terdiri dari albumin,
mempunyai berat molekul 69.000 dalton. Hepar memegang peranan penting
untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun
non-renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis
albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan
ekstra vaskuler (EV) dan intravaskuler (IV).
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor, yaitu: (1) kehilangan sejumlah besar
protein dari tubuh melalui urin (proteinuria) dan usus (protein losing
enteropathy); (2) katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena
terdapat penurunan nafsu makan dan mual; (3) utilisasi asam amino yang
menyertai penurunan faal ginjal.

c. Sembab
Hipoalbiminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan ke jaringan interstitial,
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia dapat menyebabkan retensi
natrium dan air. Proteinuria masif menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Altered glomerular permeability and
loss of negative charge

Increased filtration of plasma protective

Proteinuria

Hypoalbuminemia

Loss of transport Decreased


Edema Hepatic synthesis
protein immunoglobins
of lipoproteins

Decreased vit. D Decreased


thyroxine Hyperlipoproteinemia

Lipiduria

Gambar 4.11. Patofisiologi sindrom nefrotik

3. Penyakit ginjal dan Aicquired Immunodeficiency Disorder (AIDS)


Pasien dengan infeksi HIV dapat memiliki berbagai manifestasi pada ginjal,
mulai dari kelainan cairan dan elektrolit ringan sampai kerusakan ginjal yang
progresif hingga penyakit ginjal stadium akhir (End-stage renal disease). Insiden
penyakit ginjal yang berkaitan dengan infeksi HIV adalah sekitar 10% dan
tertinggi di antara pengguna narkoba intravena (IV). Sindrom ginjal terkait HIV
dijelaskan sebagai berikut:
a. Proteinuria dan sindrom nefrotik, yang terjadi pada sekitar 10% pasien
dengan infeksi HIV. Hal ini mungkin merupakan tanda awal infeksi HIV
pada beberapa individu.
b. Nefropati yang berkaitan dengan HIV, ditandai dengan adanya proteinuria,
azotemia progresif, tanpa hipertensi, dilatasi ginjal pada pemeriksaan
pencitraan ginjal, dan perkembangan yang progresif terhadap penyakit ginjal
stadium akhir.
c. Gagal ginjal akut, yang paling sering terlihat pada pasien dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) dengan kondisi kritis seperti pada
infeksi atau keganasan terkait HIV. Penyebab alami gagal ginjal akut
sekunder akibat AIDS mirip dengan gagal ginjal akut berhubungan dengan
penyakit akut lainnya. Kelangsungan hidup dan pemulihan biasanya
tergantung pada pengobatan penyebab utama dan dukungan fungsi ginjal
dengan dialisis.

D. PERMASALAHAN AKIBAT KELAINAN KONGENITAL


Kebanyakan kasus abnormalitas ginjal dan ureter terjadi pada 3%-4% infant ,
dimana kelainan yang biasanya terjadi berupa kelainan pada bentuk dan posisi dari
ginjal maupun ureter. Kasus yang jarang terjadi yaitu gangguan berupa menurunnya
massa ginjal (misal pada penyakit agenesis dan hipogenesis) dan perubahan struktur
ginjal (misal kista renal). Umumnya kelainan pada fetus dapat dideteksi dengan USG
yang biasanya ginjal akan tervisualisasi pada minggu ke-12 kehamilan. Berikut
beberapa gangguan kongenital yang terjadi pada sistem perkemihan:
a) Agenesis dan hipoplasia
Ginjal berkembang pertama kali pada minggu ke-5 usia gestasi dan
berfungsi 3 minggu setelahnya. Pembentukan urine dimulai pada minggu ke-9
hingga 12 gestasi, dimana pada minggu ke-32 produksi urine fetus sekitar
28mL/jam. Kelainan ginjal pada fetus terjadi akibat oligohidramnion yang
menekan perkembangan janin dan berhubungan dengan gangguan perkembangan
struktur janin. Agenesis merupakan kegagalan organ unttuk berkembang secara
komplet selama masa gestasi. Bayi yang lahir dengan agenesis ginjal bilateral
biasanya memiliki karakteristik yang disebut dengan Potter’s syndrome, yaitu
berkaitan dengan anomali wajah dan patofisiologi paru (Porth, 2004). Biasanya
bayi yang lahir dengan sindrom Potter akan meninggal, baik di dalam rahim atau
segera setelah lahir. Sementara agenesis ginjal unilateral akan dapat bertahan
hidup dan biasanya ginjal yang ada akan tumbuh hingga 2x lebih besar dari
ukuran normal sebagai kompensasi (Corwin, 2009). Hipoplasia ginjal merupakan
gangguan dimana ginjal tidak dapat berkembang ke ukuran normal. Sama halnya
denggan agenesis, hipoplasia ginjal hanya terjadi pada salah satu ginjal saja.
b) Gangguan posisi dan bentuk ginjal
Gangguan ini meliputi berubahnya posisi ginjal di atas pelvis atau di
dalam pelvis. Akibatnya dapat terjadi gangguan pada ureter berupa mengkerutnya
ureter dan obstruksi urine. Salah satu kelainan yang paling banyak ditemukan
adalah horseshoe kidney. Keabnormalan ini terjadi pada sekitar 1 dari 500-1000
orang. Pada horseshoe kidney, bagian atas atau bawah ginjal akan menyatu dan
membentuk pola seperti tapal kuda yang akan menyatu ke midline anterior ginjal
hingga ke pembuluh darah besar. Akan tetapi kondisi ini tidak menimbulkan
masalah kecuali terjadi defek pada pelvis ginjal atau struktur urinari lainnya
sehingga timbul obstruksi aliran urine (Porth, 2004).

Gambar 4.11. Horseshoe kidney. Bagian bawah ginjal menyatu.

c) Penyakit Ginjal Polikistik/Polycystic Kidney Disease (PKD)


Polycystic Kidney Disease (PKD) adalah gangguan berupa kantong-kantong
yang berisi cairan atau dilatasi segmen pada nefron. Kista pada ginjal dapat
muncul satu atau multiple dengan variasi ukuran yang berbeda-beda, mulai
dari mikroskopik hingga dengan diameter beberapa cm. PKD terjadinya akibat
addanya kelainan pada kromosom autosom dimana jika orang tua
teridentifikasi mengalami PKD, maka ada kemungkinan sebesar 50% penyakit
ini akan diwariskan ke anaknya. Ada empat jenis penyakit kista pada ginjal,
yaitu penyakit polikistik ginjal, medullary sponge kidney, penyakit kista
didapat, dan simple renal cyst (Porth, 2004).
PKD sering terjadi pada usia 30-40 tahun dan tidak mengenal perbedaan
gender. Prevalensi PKD 1 dari 1000 orang dan lebih sering terjadi pada kulit
putih dibandingkan kulit hitam. Penyakit ini mencaup 4-10% pasien dengan
gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi atau dialisis. Ketika seseorang
terkena PKD, maka bagian korteks dan medula ginjalnya akan mengalami
pembesaran oleh kista multipel. Kista timbul dari segmen pada nefron atau
duktus kolektivus. Kista dapat timbul akibat sel epitel tubulus kehilangan
polarisasi normalnya. Sel tubulus ginjal normal akan berhenti berproliferasi
sebelum lahir, tetapi pada pasien dengan PKD dengan dominan autosom sel
epitel akan terus berproliferasi. Kadar faktor pertumbuhan epidermal
(epidermal growth factor, EGF) yang tinggi pada kista meningkatkan
proliferasi sel epitel pada kista (O’Callaghan, 2009).
Kista renal juga dapat terjadi karena adanya obstruksi tubular yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intratubular atau akibat perubahan
membran pada tubulus ginjal yang memicu terjadinya dilatasi kistik. Ketika
terbentuk kista akan menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang terus
menerus yang akan menekan pembuluh darah ginjal, mengakibatkan
degeneratif fungsional jaringan ginjal dan mengobstruksi aliran tubular (Lewis,
Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2007; Porth, 2004). Walaupun manifestasi
penyakit dapat asimtomatik, namun gejala dapat muncul akibat adanya kista
ataupun efek penyakit terhadap fungsi ginjal. Kista dapat menimbulkan nyeri
secara langsung atau timbul akibat perdarahan dalam kista, infeksi, batu ginjal
(O’Callaghan, 2009)..
Gambar 4.12. Perbandingan ginjal normal dan PKD

Gambar 4.13. Penyakit polikistik ginjal. Tampak ginjal membesar dan jaringan
parenkim hampir tertutupi oleh kista dengan berbagai ukuran.
Pada tahap awal penyakit biasanya tidak ada gejala yang muncul. Keluhan
akan timbul ketika kista mulai membesar. Manifestasi yang akan muncul pada
penderita PKD antara lain hipertensi, hematuria (akibat ruptur pada kista),
merasa berat pada punggung, samping dan abdomen, kadang-kadang muncul
gejala infeksi saluran urinaria atas atau batu urinaria. Pasien dengan PKD akan
mengeluhkan nyeri hebat yang menetap.

E. PERMASALAHAN AKIBAT INKONTINENSIA DAN RETENSI


1. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan mengontrol urine.
prevalensinya meningkat pada wanita dan pria yang berusia lebih tua, tetapi
bukan konsekuensi dari penuaan. Inkontinensia berkaitan dengan kehilangan
kemampuan dalam mengontrol spingter uretra atau bladder yang dapat
disebabkan oleh infeksi, depresi atau konfusi, vaginitis atropik, retensi urine,
keterbatasan mobilitas, impaksi fekal, atau obat-obatan tubular (Lewis, Dirksen,
Heitkemper, & Bucher, 2007). Ada beberapa jenis inkontinensia urine, antara lain
sebagai berikut:
a. Stress incontinence
Inkontinensia akibat stress menyebabkan peningkatan tekanan intrabdomen
secara tiba-tiba melebihi tekanan penutupan spingter uretra yang
mengakibatkan urine keluar tanpa disadari. Keadaan ini dapat terjadi saat
batuk, tertawa, bersin, atau aktivitas fisik seperti mengangkat benda berat
atau latihan fisik. Biasanya urine keluar (kebocoran) dalam jumlah yang
sedikit dan tidak berlangsung setiap hari. Stres inkontinesia banyak terjadi
pada wanita dengan atrofi uretra akibat penurunan estrogen, pembedahan
prostat pada BPH atau kanker prostat, dan kondisi lain yang berkaitan
dengan perubahan anatomis pelvis.
b. Urge incontinence
Inkontinensia mendesak (urge) merupakan ketidakmampuan menunda
buang air kecil dan didahului oleh dorongan kuat untuk berkemih dan sulit
untuk ditahan. Kebocoran terjadi secara periodik tetapi sering dan biasanya
urine keluar dalam jumlah yang banyak. Contoh yang paling sering adalah
inkontinensia dan frequency nokturnal. Keadaan ini disebabkan oleh tidak
terkontrolnya kontraksi atau aktivitas kontraksi yang berlebihan dari otot
detrusor. Selain itu juga berkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat
(seperti penyakit serebrovaskular), alzheimer, parkinson, gangguan pada
bladder (seperti kanker, efek radiasi, sistisis intertitial).
c. Overflow incontinence
Inkontinensia ini ditandai dengan keluarnya urine yang tidak terkontrol
dimana kondisi kandung kemih sangat penuh melebihi tahanan spingter.
Pada keadaan ini tekanan itravesikeal lebih besar dibanginkan tekanan
penutupan spingter dan tidak ada kontraksi otot detrusor. Urine keluar
biasanya sedikit (menetes) tetapi terus menerus pada siang dan malam dari.
Gangguan ini disebabkan oleh obstruksi saluran kemih, gangguan
persyarafan, kelemahan otot detrusor.
2. Retensi Urine
Retensi urine adalah ketidakmampuan mengosongkan bladder walaupun
mengalami mikturisi atau akumulasi urine dalam bladder akibat ketidakmampuan
untuk urinasi. Retensi urine dibedakan atas 2 jenis disfungsi sistem urinaria, yaitu
obstruksi saluran kemih dan lemahnya kekuatan kontraksi otot detrusor. Obtruksi
saluran kemih menyebabkan retensi ketika sumbatan mengakibatkan bladder
tidak dapat mengeluarkan urine walaupun dengan dorongan kontraksi otot
detrusor. Penyebab tersering kondisi ini adalah pembesaran prostat. Sementara
itu, kelemahan otot detrusor dapat menyebabkan retensi jika otot tidak lagi dapat
melakukan kontraksi yang cukup untuk mengosongkan bladder. Penyebab
tersering terjadinya kelemahan otot ini adalah penyakit neurologis yang
mempersyarafi segmen sakrum 2, 3, dan 4, overdistensi, alkoholik kronik,
diabetes melitus dan efek obat (seperti obat antikolinergik).

F. PERMASALAHAN AKIBAT KANKER


1. Tumor Wilms
Tumor wilms adalah kanker pada bagian manapun di ginjal yang terjadi pada
anak usia kurang dari 4 tahun. Tumor ini cenderung terjadi setelah satu kali atau
lebih mutasi gen pada gen-gen supresor tumor yang penting, yaitu pada gen WT-1
pada kromosom 11 (O’Callaghan, 2009). Tumor Wilms merupakan tumor padat
yang dapat tumbuh hingga berukuran besar dan mungkin terbungkus (terdapat di
dalam kapsul ginjal). Stadium dan prognosis penyakit bergantung pada
penyelubungan dan penyebaran tumor. Penyelubungan berkaitan dengan
prognosis yang baik, sedangkan penyebaran tumor di luar daerah abdomen ke
paru memiliki prognosis yang kurang baik. Akan tetapi secara umum, prognosis
tumor ini baik dan memiliki angka bertahan hidup 90% (Porth, 2004; Corwin,
2009).
2. Kidney Cancer
Kanker pada ginjal umumnya terjadi di bagian kortek atau pelvis dan kalik
ginjal. Tumor pada area tersebut dapat berupa benigna atau malignan (kasus yang
sering muncul). Jenis tumor yang paling sering terjadi adalah Renal cell
carcinoma (adenocarcinoma). Angka kejadian adenocarcinoma pada laki-laki 2x
lebih tinggi dibanding wanita pada usia 50-70 tahun. Salah satu faktor risiko yang
paling signifikan terhadap kejadian adenocarcinoma adalah kebiasaan merokok,
sedangkan faktor lain yaitu obesitas, hipertensi dan keterpaparan terhadap
asbestos, cadmium, dan gasoline. Risiko juga akan meningkat jika pasien
menderita penyakit kista renal dan penyakit ginjal tahap akhir (O’Callaghan,
2009).
Manifestasi yang muncul antara lain hematuria, nyeri panggul, dan saat
dipalpasi terdapat massa pada panggul atau abdomen. Tanda dan gejala klinis lain
yang muncul yaitu penurunan berat badan, demam, hipertensi, dan anemia.
Metastasis kanker biasanya terjadi ke paru, hati, dan tulang dan sebanyak 30%
pasien saat didiagnosis sudah mengalami metastasis. Penyebaran lokal yang
biasanya terjadi adalah di vena renalis dan vena cava (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010; Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2007).

Gambar 4.14. Renal cell carcinoma


3. Bladder Cancer
Kanker pada kandung kemih merupakan tumor malignant yang paling sering
terjadi pada saluran urinaria. Biasanya terjadi pada rentang usia 60 dan 70 tahun,
dimana angka kejadiannya 3x lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Faktor
risiko terjadinya kanker kandung kemih yaitu merokok, industri cat, karet dan
kabel serta penyalahgunaan phenacetin yang mengandung analgesik secara kronis.
Selain itu, pasien dengan batu ginjal dan infeksi saluran urinaria atas kronik, serta
pasien dengan indwelling kateter pada jangka waktu yang lama juga akan
meningkatkan risiko kanker pada kandung kemih (Isselbacher, Braunwald,
Wilson, Martin, Fauci, & Kasper, 2000).
Proses terjadinya kanker dimulai dari pertumbuhan beningna pada dinding
bladder. Kebanyakan kanker bladder berawal dari lapisan terdalam dari bladder
yang disebut urothelium. Kemudian kanker berkembang menjadi berbagai macam
bentuk dan tidak tumbuh secara terkontrol. Ada yang tumbuh di dalam bladder
dan ada yang tumbuh ke dinding otot bladder dan diperlukan tindakan
pembedahan untuk mengangkatnya. Jika kanker bladder hanya berdampak pada
lapisan dalam bladder dikenal dengan kanker superfisial. Jika kanker menyebar ke
dinding otot disebut dengan kanker yang invasif. Area yang menjadi target
metastase adalah hati, tulang, dan paru (Williams & Hopper, 2007). Manifestasi
yang paling sering muncul adalah hematuria baik mikroskopik ataupun
makroskopis tanpa adanya nyeri. Keluhan lain yaitu disuria, frequency, dan
urgency (Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2007).

Gambar 4.15. Kanker kandung kemih yang menunjukkan adanya papillaru transitional cell
carcinoma. Area yang berwarna kuning menunjukkan ulserasi dan nekrosis
5. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul Pada Gangguan Sistem Urinari
1) Impaired urinary elimination
Definisi: Disfungsi eliminasi urin
Batasan karakteristik:
a. Disuria
b. Peningkatan frekuensi berkemih
c. Hesitansi (kesulitan memulai miksi)
d. Nokturia
e. Inkontinensia urin
f. Retensi urin
g. Urgensi dalam berkemih
Faktor yang berhubungan:
a. Obstruksi anatomis
b. Penyebab multiple
c. Kerusakan sensori motor
d. Infeksi saluran kemih

2) Overflow urinary incontinence


Definisi: Kebocoran urin yang tidak disadari akibat overdistensi kandung kemih
Batasan karakteristik:
a. Distensi kandung kemih
b. Tingginya volume residual setelah berkemih
c. Kebocoran urin dalam jumlah kecil yang tidak disadari
d. Nokturia
Faktor yang berhubungan:
a. Obstruksi kandung kemih
b. Disinergi otot eksternal detrusor
c. Obstruksi uretra

3) Urinary retention
Definisi: Sensasi tidak komplit dalam pengosongan kendung kemih
Batasan karakteristik:
a. Tidak adanya output urin
b. Distensi kandung kemih
c. Disuria
d. Peningkatan frekuensi berkemih
e. Inkontinensia overflow
f. Residu urin
g. Sensasi kandung kemih yang penuh
Faktor yang berhubungan:
a. Sumbatan pada saluran kemih
b. Tingginya tekanan uretra

4) Acute pain
Definisi: Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul
dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. atau gambaran adanya kerusakan.
Hal ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat.
Secara konstan atau hilang timbul, tanpa prediksi waktu kesembuhan, dan lebih dari 3
bulan.
Batasan karakteristik:
a. Perubahan nasfu makan
b. Perubahan fisiologis (misal: BP, RR, Nadi, Saturasi O2)
c. Diaphoresis
d. Perilaku distraktif
e. Temuan bukti nyeri menggunakan instrumen skala nyeri yang terstandarisasi
f. Perilaku ekspresif
g. Klien melaporkan adanya nyeri
Faktor yang berhubungan:
a. Injuri biologis (misal infeksi, iskemia, neoplasma)

5) Excess fluid volume


Definisi: peningkatan retensi cairan isotonis
Batasan karakteristik:
a. Anasarka
b. Azotemia
c. Penurunan Hb
d. Edema
e. Dyspnea
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Oliguria
Faktor yang berhubungan:
a. Perubahan mekanisme regulasi

6) Risk for ineffective renal perfusion


Definisi: kerentanan individu untuk mengalami penurunan sirkulasi ginjal yang
mungkin mempengaruhi kesehatan
Faktor resiko:
a. Glomerulonefritis
b. Infeksi
c. Nterstitial nefritis
d. Pyelonefritis
e. Penyakit ginjal (polycystic ginjal, stenosis srteri ginjal, gagal ginjal)
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E., J. (2009). Buku saku: Patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: EGC.

Evelyn C. Pears. (2011). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis – Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama

Ganong, W.F. (2010). Review of Medical Physiology,Ganong’s. 23rd edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.Inc

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2004). Medical Surgical Nursing: Patient-centered


collaborative care. 7th ed. Philadelphia: Saunders.

Isselbacher, K. J., Braunwald, E., Wilson, J. D., Martin, J. B., fauci, A. S., & Kasper, D. L.
(2000). Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol. 3. Jakarta: EGC.

Lewis, S. M., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2007). Medical-Surgical
Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. 7th ed. St. Louis:
Mosby.

McCance, K. L., & Huether, S. E. (2006). Pathophysiology: The biologic basis for disease in
adult and children. 5th ed. St. Louis: Elsevier MOSBY.

McPhee, S. J., Lingappa, V. R., & Ganong, W. F. (2003). Pathophysiology of disease: An


introduction to clinical medicine. 4th ed. United States of America; The McGraw-Hill
Companies.

Nice. (2005). Referral for suspected cancer. London; National Institute for Health and
Clinical Excellence (NICE). NICE Guideline. url:
http://www.nice.org.uk/nicemedia/pdf/ cg027niceguideline.pdf

O’Callaghan, C. (2009). At a glance: Sistem ginjal. Ed. 2. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Paulsen F.& J. Waschke. (2013). Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum.
Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.

Porth, C., M. (2004). Pathophysiology: Concepts of altered health states. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6 Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC

Sachdeva, K., & Harris, J. E (ed). (2014). Renal Cell Carcinoma. Retrieved from:
http://emedicine.medscape.com/article/281340-overview#a2

Sherwood, Lauree.(2006). Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Ed.2. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth's
Textbook of Medical-Surgical Nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.

Sukandar, E. (2013). Nefrologi Klinik. Edisi 4. Bandung: Ilmu Kedokteran UNPAD.

Syafuddin. (2006). Anatomi fisiologi untuk mahasiswa perawat edisi 3 – Jakarta : EGC

United States Renal Data System (URSDS). Atlas of Chronic Kideny Disease in the United
States. (2010). Retrieved from: http://www.usrds.org/2010/pdf/v1_00a_intros.PDF

William, L. S., & Hopper, P. D. (2007). Understanding medical surgical nursing. 3rd ed.
Philadelphia: F. A Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai