Anda di halaman 1dari 10

Kaidah Ushul Fiqh

Abdullah Tuasikal

Joko Susilo
3/31/2015
rumaysho.com http://rumaysho.com/ilmu-ushul/apakah-hadits-mursal-bisa-dijadikan-hujjah-1088

Apakah Hadits Mursal Bisa Dijadikan Hujjah?


Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc

Hadits mursal masuk dalam pembahasan hadits-hadits yang terputus sanadnya. Secara istilah, hadits mursal
berarti hadits yang di akhir sanad yaitu di atas tabi’in terputus. Bentuknya adalah seperti tabi’in senior atau
jenior berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian atau melakukan demikian.

Contohnya dapat kita lihat dalam tafsir Al Qu’ran Al ‘Azhim, Ibnu Katsir membawakan perkataan Al Hasan Al
Bashri. Al Hasan mengatakan bahwa ketika turun surat Alam Nasyroh ayat 5-6, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ َﻟْﻦ َﯾْﻐِﻠَﺐ ُﻋْﺴٌﺮ ُﯾْﺴَﺮْﯾِﻦ‬،‫أْﺑِﺸُﺮوا أﺗﺎُﻛُﻢ اﻟُﯿْﺴُﺮ‬

“Kabarkanlah bahwa akan datang pada kalian kemudahan. Karena satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan
dua kemudahan.” Lihatlah dalam riwayat ini Al Hasan Al Bashri langsung mengatakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tanpa beliau membawakan perkataan sahabat.

Inilah contoh hadits mursal menurut ulama pakar hadits. Sedangkan menurut ulama fiqh dan ushul, hadits mursal
itu lebih umum. Pokoknya segala hadits yang terputus sanadnya di posisi mana saja disebut hadits mursal
menurut mereka.

Hukum Asal Hadits Mursal

Asalnya hadits mursal adalah hadits mardud (hadits yang tertolak) dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu
syarat hadits maqbul (yang diterima) yaitu terputusnya sanad. Akibat terputusnya sanad ini, akhirnya perowi yang
terhapus tidak diketahui keadaannya, boleh jadi yang dihapus adalah selain sahabat. Dari sisi ini, kita katakan
bahwa asal hadits mursal adalah dhoi’f (lemah).

Namun sebagian ulama berpandangan bahwa perowi yang biasa dihapus dalam hadits mursal adalah sahabat.
Para ulama sudah menyatakan bahwa seluruh sahabat termasuk ‘adl (sholeh, bukan fasiq). Sehingga tidak
mengapa tidak diketahui keadaan mereka. Dari sinilah lantas terjadi silang pendapat apakah hadits mursal bisa
dijadikan hujjah ataukah tidak.

Apakah Hadits Mursal Bisa Menjadi Hujjah?

Mengenai masalah ini, terjadi silang pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Hadits mursal adalah hadits dho’if dan tertolak.

Yang berpendapat seperti ini adalah mayoritas ulama pakar hadits, serta kebanyakan ulama ushul dan fiqh.
Alasan mereka karena dalam hadits mursal terdapat jahalah perowi (ada perowi yang tidak diketahui
keadaannya), boleh jadi yang terhapus adalah selain sahabat.

Pendapat kedua: Hadits mursal adalah hadits shahih, bisa dijadikan hujjah.

Yang berpendapat seperti ini adalah tiga ulama madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad) dan
juga sekelompok ulama lainnya. Namun mereka memberi syarat, tabi’in yang meriwayatkan hadits mursal harus
tsiqoh (terpercaya), sehingga ia tidak meriwayatkan selain dari yang tsiqoh. Hujjah mereka adalah bahwa tabi’in
yang tsiqoh mustahil ia katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, kecuali ia
mendengarnya dari yang tsiqoh pula.

Pendapat ketiga: Hadits mursal bisa diterima dengan memenuhi syarat.


Inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan ulama lainnya.

Syarat yang harus dipenuhi ada empat. Tiga syarat berkaitan dengan perowi dan satu syarat berkaitan dengan
hadits mursalnya. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Yang meriwayatkan hadits mursal adalah tabi’in senior (bukan junior).


2. Tabi’in tersebut dikatakan tsiqoh oleh orang yang meriwayatkannya.
3. Didukung oleh pakar hadits terpercaya lainnya yang tidak menyelisihinya.
4. Hadits mursal tersebut didukung oleh salah satu dari: (1) hadits musnad, (2) hadits mursal lain, (3)
bersesuaian dengan perkataan sahabat, atau (4) fatwa mayoritas ulama.

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah yang merinci sebagaimana pendapat ketiga yang dipilih
oleh Imam Asy Syafi’i. Inilah yang rojih menurut penulis.

Mengenai Mursal Sahabat

Hadits mursal shohabi (sahabat) adalah hadits yang sahabat mengatakan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda demikian atau melakukan demikian. Namun sahabat ini tidak mendengarnya atau
menyaksikannya langsung dikarenakan usianya yang masih belia, terakhir masuk Islam atau ia tidak ada ketika
hadits tersebut diucapkan. Contoh hadits mursal shohabi adalah perkataan sahabat junior yang mengatakan
bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, misalnya dari Ibnu ‘Abbas atau Ibnuz Zubair.

Hadits mursal shohabi sendiri bisa dijadikan hujjah menurut mayoritas ulama. Jadi, mursal shohabi adalah
hadits yang shahih. Karena yang biasa terjadi pada mursal sahabat adalah sahabat junior menerimanya dari
sahabat lainnya yang mungkin lebih senior dan jarang sekali ia menerimanya dari tabi’in. Jika ia menerimanya
dari tabi’in, pasti ia akan menjelaskannya. Namun jika tidak ia sebutkan hukum asalnya adalah mursal sahabat
berasal dari sahabat lainnya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan mursal sahabat tidak bisa dijadikan hujjah adalah pendapat yang begitu
lemah. Yang benar adalah pendapat pertama di atas.

Semoga yang singkat ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Referensi: Taisir Mustholah Al Hadits, Dr. Mahmud Thohan, hal. 57-58, Markaz Al Huda Lid Dirosaat, cet. Tahun
1415 H

Artikel www.rumaysho.com

Muhammad Abduh Tuasikal

Faedah dari Kajian Taisir Mustholah Al Hadits, 4 Rajab 1431 H, wisma MTI
rumaysho.com http://rumaysho.com/ilmu-ushul/cerdas-dalam-memilih-maslahat-dan-mudarat-7195

Cerdas dalam Memilih Maslahat dan Mudarat


Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc

Tidak selamanya seseorang mengambil yang semuanya baik, kadang ia harus menaruh pilihan pada yang
terbaik di antara dua pilihan. Suatu waktu bisa pula dihadapkan dengan dua mudarat sehingga ia harus
mengambil yang mudaratnya lebih ringan.

Jika seseorang bisa mengambil yang terbaik di antara dua pilihan dan bisa mengambil yang lebih ringan dari dua
pilihan, itulah seseorang yang disebut cerdas.

Demikianlah kesimpulan dari Ibnu Taimiyah di mana beliau pernah berkata,

‫َﻟْﯿَﺲ اﻟَْﻌﺎِﻗُﻞ اﻟﱠِﺬي َﯾْﻌَﻠُﻢ اﻟَْﺨْﯿَﺮ ِﻣْﻦ اﻟﱠﺸﱢﺮ َوِإﻧﱠَﻤﺎ اﻟَْﻌﺎِﻗُﻞ اﻟﱠِﺬي َﯾْﻌَﻠُﻢ َﺧْﯿَﺮ اﻟَْﺨْﯿَﺮْﯾِﻦ َوَﺷﱠﺮ اﻟﱠﺸﱠﺮْﯾِﻦ‬

“Orang yang cerdas bukanlah orang yang tahu mana yang baik dari yang buruk. Akan tetapi, orang yg cerdas
adalah orang yang tahu mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan.

Ia pun bersyair,
َ
‫إﱠن اﻟﱠﻠِﺒﯿَﺐ إَذا َﺑَﺪا ِﻣْﻦ ِﺟْﺴِﻤِﻪ َﻣَﺮَﺿﺎِن ُﻣْﺨَﺘِﻠَﻔﺎِن َداَوى اْﻷْﺧَﻄَﺮا‬

“Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.”
(Majmu’ Al Fatawa, 20: 54).

Jadi ada pilihan yang sama buruk dan baiknya, namun beda kelas. Jadi ada yang baik dan ada yang lebih baik,
juga ada yang buruk dan ada yang lebih buruk lagi.

Syaikh As Sa’di melantunkan syair dalam pelajaran kaedah fikih beliau,

‫ﻓﺈ ن ﺗ ﺰ ا ﺣ ﻢ ﻋ ﺪ د ا ﻟ ﻤ ﺼﺎ ﻟ ﺢ‬
‫ﯾ ﻘ ﺪ م ا ﻷ ﻋ ﻠ ﻰ ﻣ ﻦ ا ﻟ ﻤ ﺼﺎ ﻟ ﺢ‬

Apabila bertabrakan beberapa maslahat


Maslahat yang lebih utama itulah yang lebih didahulukan

‫َوِﺿُّﺪ َﺗَﺰاُﺣُﻢ اﻟﻤَﻔﺎِﺳِﺪ‬


‫ُﯾْﺮَﺗَﻜُﺐ اَﻷْدَﻧﻰ ِﻣَﻦ اﻟﻤَﻔﺎِﺳِﺪ‬

Lawannya, jika bertabakan dua mafsadat (kerusakan),


Pilihlah mafsadat yang paling ringan

Contoh cerdas dalam memilih:

1- Jika seseorang yang terluka dan ketika sujud pasti akan keluar darah dan itu bisa membahayakannya. Ketika
itu ia memilih untuk shalat dalam keadaan duduk dan memberi isyarat untuk sujud. Meninggalkan sujud ketika itu
lebih ringan daripada keluarnya darah -bagi yang menganggap darah itu najis-.

2- Bolehnya membelah perut ibu yang telah mati dan masih mengandung janin, di mana masih ada harapan
hidup untuk bayi tersebut.

3- Ketika ada kapal yang hendak tenggelam, maka pilihan yang cerdas adalah membuang barang-barang yang
berat biar kapal bisa selamat.
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, tahun 1420 H.

Al Wajiz fii Iidhohi Qowa’id Al Fiqhi Al Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu Abul
Harits Al Ghozzi, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kelima, tahun 1422 H.

Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan ke-4, tahun
1432 H, jilid ke-12.

Disusun @ Pesantren Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, pagi hari 10 Jumadats Tsaniyah 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


rumaysho.com http://rumaysho.com/ilmu-ushul/dahulu-melakukan-keharaman-sekarang-tahu-haramnya-3045

Dahulu Melakukan Keharaman, Sekarang Tahu Haramnya


Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc

Kewajiban itu ada setelah datang ilmu . Karena Allah tidaklah menyiksa hamba sampai diutus seorang Rasul atau
sampai hujjah datang pada dirinya. Jika ada yang melakukan suatu keharaman dan baru mengetahui kalau itu
haram, maka ia tidak terkena hukuman. Begitu pula jika ada yang meninggalkan suatu kewajiban dan baru
mengetahui kalau itu wajib, maka ia tidak punya kewajiban mengqodho’ (mengulang). Inilah kaedah fikih yang
disampaikan Ibnu Taimiyah rahimahullah yang bisa menjawab berbagai polemik sampai pun polemik mengenai
pekerjaan haram dan sekarang sudah bertaubat.

Kewajiban Datang Setelah Adanya Ilmu

Ini adalah suatu kaedah yang disampaikan oleh Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
‫ﱠ ﱢ‬ ّ
‫َأ َّن اﻟُْﺤْﻜَﻢ َﻻ َﯾﺜُْﺒُﺖ إَﻻ َﻣَﻊ اﻟَﺘﻤُﻜﻦ ِﻣْﻦ اﻟِْﻌﻠِْﻢ‬

“Hukum tidaklah ditetapkan kecuali setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 226) .

Beliau juga mengatakan yang maksudnya sama,


ّ
‫َوَﻻ َﯾﺜُْﺒُﺖ اﻟِْﺨَﻄﺎُب إَﻻ َﺑْﻌَﺪ اﻟَْﺒَﻼِغ‬

“Tidaklah ditetapkan hukum melainkan setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).

Maksud Kaedah

Pembebanan syari’ah berupa ibadah dan muamalah ada setelah sampainya ilmu akan wajibnya pada seorang
hamba. Jika tidak sampai ilmu tersebut, maka tidaklah wajib. Kewajiban yang ditinggalkan atau perbuatan haram
yang dilakukan sebelum sampainya ilmu wajibnya atau bahkan meyakini halalnya dari hasil ijtihad atau taklid
(hanya sekedar ikut-ikutan), maka tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ kewajiban yang telah ditinggalkan. Ia
pun tidak punya kewajiban mengembalikan harta yang sebenarnya haram tapi ia yakini halal. Begitu pula ia tidak
dihukum karena telah menerjang yang haram.

Yang terkena kewajiban berarti yang telah mengetahuinya. Adapun bagi yang tidak mampu memperoleh ilmu
tersebut karena tidak mampu untuk menunut ilmu atau karena ijtihadnya yang keliru atau karena taklid, maka ia
tidak dituntut ketika telah nampak kebenaran atau telah mengetahui hukum.

Akan tetapi, bisa saja mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkan sebagian kewajiban walau ia tidak sampai
ilmu pada dirinya sebelumnya. Di sini tujuannya supaya ia tidak melampaui batas lagi di masa mendatang.
Semacam orang yang memberontak (bughot), maka ia boleh ditumpas supaya tidak lagi berbuat onar di masa
mendatang. Lihat bahasan dalam Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalah Al Maliyah ‘inda Ibnu
Taimiyyah, 1: 495-496.

Perselisihan Ulama

Kaedah ini sebenarnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Ibnu Taimiyah menjelaskan,

“Ada tiga pendapat dalam masalah apakah dikenai kewajiban bagi seseorang sebelum sampainya ilmu. Ada tiga
pendapat dalam madzhab Imam Ahmad dan ulama lainnya. Ada yang mengatakan bahwa tetap ada kewajiban,
artinya ibadahnya harus diulangi (diqodho’) [namun tidak terkena dosa, -pen]. Ada yang mengatakan bahwa tidak
ada kewajiban. Ada pula yang berpendapat bahwa tetap ada kewajiban walau belum mengetahui di awal; namun
jika dalam masalah hukum nasikh, maka ia masih terkena kewajiban sampai datang hukum yang menghapus[1].
Pendapat yang tepat adalah tidak ada kewajiban mengqodho’ dalam masalah ini.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).
Ibnu Taimiyah merojihkan (menguatkan) pendapat dalam perkataan beliau lainnya,
‫ﱠ ﱢ‬ ‫َ ﱡ‬ ّ ‫ﱢ‬
‫ َأ َّن اﻟِْﺨَﻄﺎَب َﻻ َﯾﺜُْﺒُﺖ ِﻓﻲ َﺣ ِّﻖ َأَﺣٍﺪ َﻗﺒَْﻞ اﻟَﺘﻤُﻜﻦ ِﻣْﻦ َﺳَﻤﺎِﻋِﻪ‬: ‫ﺼﺤﯿُﺢ اَﻟﺬي َﺗُﺪُل َﻋَﻠﯿِْﻪ اْﻷِدَﻟﺔ اﻟ َّﺸْﺮِﻋَﯿﱡﺔ‬
‫َواﻟ َﱢ‬

“Yang tepat dan didukung dalil syar’i bahwasanya tidak ada kewajiban pada seseorang sebelum sampai ilmu
padanya” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 407).

Dalil Kaedah

Kaedah di atas berdasarkan dalil-dalil berikut ini,

‫ُِﻷْﻧِﺬَرُﻛْﻢ ِﺑِﻪ َوَﻣْﻦ َﺑَﻠَﻎ‬

“Supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran
(kepadanya).” (QS. Al An’am: 19).
ّ
‫َوَﻣﺎ ُﻛَﻨّﺎ ُﻣَﻌِﱢﺬﺑﯿَﻦ َﺣَﺘﻰ َﻧْﺒَﻌَﺚ َرُﺳﻮًﻻ‬

“Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul .” (QS. Al Isra’: 15).
‫ﱢ‬ ّ
‫ِﻟَﺌَﻼ َﯾُﻜﻮَن ِﻟﻠَﻨﱢﺎس َﻋَﻠﻰ اَﷲ ُﺣ َﱞﺠﺔ َﺑْﻌَﺪ اﻟ ُﱡﺮﺳِﻞ‬

“Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu .” (QS. An Nisa’: 165).
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa pembebanan kewajiban itu ada setelah adanya ilmu. Dalil-dalil tersebut
disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 22: 41.

Penerapan Kaedah

1- Barangsiapa meninggalkan kewajiban yang sebelumnya ia tidak tahu akan wajibnya atau ia melakukan
larangan yang juga ia belum tahu akan terlarangnya, seperti meninggalkan thuma’ninah dalam shalat. Ia baru
tahu akan hal ini saat ini, sedangkan shalat-shalat selama bertahun-tahun tidak ia lakukan dengan thuma’ninah,
padahal thuma’ninah itu termasuk rukun shalat, maka shalat-shalat yang terdahulu tidak perlu diulangi. Kaji lebih
jauh mengenai rukun shalat di sini.

2- Jika ada yang baru mengetahui bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu, maka ia tidak perlu
mengulangi shalatnya terdahulu karena baru mengetahui akan hukum tersebut saat ini. Baca ulasan lebih
lengkap bahwa makan daging unta membatalkan wudhu di sini.

3- Bagi yang baru mengetahui masuknya bulan Ramadhan di siang hari, maka ia punya kewajiban imsak
(menahan diri tidak makan dan minum). Namun ia tidak punya kewajiban qodho’ walau di pagi harinya ia telah
makan dan minun. Karena taklif yattabi’u al ‘ilma, kewajiban itu ada setelah mengetahui. Ia tidak tahu akan
wajibnya sebelumnya, maka ia tidak diperintahkan untuk mengqodho’. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Al Fatawa, 29: 105.

4- Barangsiapa yang memiliki pekerjaan di tempat riba dan sebelumnya ia mengetahui akan bolehnya. Lalu ia
mendapat penerangan bahwa bekerja di tempat tersebut haram. Atau mungkin dahulu pekerjaan tersebut masih
dipertentangkan keharamannya, lalu ia tahu haram, maka harta yang telah ia miliki dari pekerjaan haram tersebut
sebelum datang ilmu padanya, boleh ia manfaatkan. Demikian pendapat yang tepat dan dipilih oleh Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 29: 267 .[2]

Semoga pelajaran kaedah fikih ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Catatan:

1- Bedakan antara orang yang tidak tahu hukum karena sudah berusaha mencari ilmu atau karena berijtihad
dengan orang yang tidak peduli untuk belajar ilmu padahal ia mampu untuk belajar.
2- Jika suatu ilmu di mana setiap orang sudah mengetahui wajibnya atau haramnya atau masuk dalam perkara
ma’lum minad diini bid doruroh, berarti sudah dianggap setiap orang telah memiliki ilmu akan hal tersebut.
Misalnya, terlarangnya makan babi, ini sudah maklum di tengah-tengah kita bahwa babi itu haram.

Referensi:

Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalah Al Maliyah ‘inda Ibnu Taimiyyah , ‘Abdus Salam bin Ibrahim
bin Muhammad Al Hushain, terbitan Darut Ta’shil, cetakan pertama, 1422 H.

Majmu’ Al Fatawa , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 5 Shafar 1434 H

www.rumaysho.com

[1] Contoh dalam masalah dipindahkannya arah kiblat di masa dahulu.

[2] Kaedah ini bermanfaat bagi para pekerja bank yang saat ini telah resign. Bbagaimanakah dengan uang yang
ia miliki dari pekerjaan riba tersebut? Kaedah ini sudah menjawabnya. Penghasilan yang bermasalah adalah jika
telah datang ilmu bahwa bekerja di bank (lembaga ribawi) itu haram, lalu ia masih meneruskan bekerja di situ.
Wallahu a’lam. Baca artikel
rumaysho.com http://rumaysho.com/ilmu-ushul/faedah-fikih-dari-hadits-niat-3372

Faedah Fikih dari Hadits Niat


Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc

Sudah sangat ma’ruf hadits mengenai niat yaitu hadits dari sahabat Umar bin Khottob bahwasanya setiap amalan
tergantung pada niatnya. Ada beberapa pelajaran fikih yang bisa kita tarik secara ringkas dari hadits tersebut
sebagaimana disebutkan oleh Syaikh As Sa’di ketika membahas hadits pertama dari kitab ‘Umdatul Ahkam
berikut ini.

Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ﱢ‬ ‫ﱢ‬
، ‫ َوَﻣْﻦ َﻛﺎَﻧْﺖ ِﻫْﺠَﺮُﺗُﻪ ِإَﻟﻰ ُدْﻧَﯿﺎ ُﯾِﺼﯿُﺒَﻬﺎ َأِو اْﻣَﺮَأٍة َﯾَﺘَﺰ َﱡوﺟَﻬﺎ‬، ‫ َﻓَﻤْﻦ َﻛﺎَﻧْﺖ ِﻫْﺠَﺮُﺗُﻪ ِإَﻟﻰ اَﷲ َوَرُﺳﻮِﻟِﻪ َﻓِﻬْﺠَﺮُﺗُﻪ ِإَﻟﻰ اَﷲ َوَرُﺳﻮِﻟِﻪ‬، ‫ َوِإَﻧﱠﻤﺎ ِﻻْﻣِﺮٍئ َﻣﺎ َﻧَﻮى‬، ‫ِإَﻧﱠﻤﺎ اَﻷْﻋَﻤﺎُل ِﺑﺎﻟِﻨﱠﱢﯿﺔ‬
‫َﻓِﻬْﺠَﺮُﺗُﻪ ِإَﻟﻰ َﻣﺎ َﻫﺎَﺟَﺮ ِإَﻟْﯿِﻪ‬

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, mkaa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa
yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
(HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Beberapa faedah fikih yang bisa ditarik:

1- Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat,
maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang berakal
tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Oleh karenanya, Al Muwaffaq Ibnu Qudamah
mengatakan,
ّ
‫ﻟﻮ ﻛَﻠﻔﻨﺎ اﷲ ﻋﻤًﻼ ﺑﻼ ﻧَﯿّﺔ ﻟﻜﺎن ﻣﻦ ﺗﻜﻠﯿﻒ ﻣﺎ ﻻ ُﯾﻄﺎق‬

“Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak
dimampui.” (Dzammul Muwaswisin karya Ibnu Qudamah, hal. 15).

2- “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan
memperoleh pahala sesuai kadar niatnya. Jika niatannya baik, maka diganjar dengan kebaikan. Sebaliknya, jika
niatannya jelek, diganjar pula dengan kejelekan.

3- Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Niat tidak perlu dilafazhkan untuk
amalan apa pun berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’). Sebagian ulama Syafi’iyah belakangan
menganjurkan melafazhkan niat. Namun yang lebih tepat, seperti itu tidak dituntunkan. Baca artikel “Keanehan
Anjuran Melafazhkan Niat“.

4- Niat ada dua macam: (1) niat amalan, (2) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut.

Niat amalan ada dua fungsi: (1) membedakan ibadah dan non-ibadah, (2) membedakan ibadah yang satu dan
ibadah lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan niat jenis kedua adalah niat tersebut ditujukan untuk mengharap wajah Allah
dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas.

5- Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya.

6- Jika manusia dalam keadaan uzur untuk beramal, ia akan tetap diganjar. Karena seandainya ia tidak ada uzur
atau halangan, tentu ia akan beramal. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ ُﻛِﺘَﺐ َﻟُﻪ ِﻣﺜُْﻞ َﻣﺎ َﻛﺎَن َﯾْﻌَﻤُﻞ ُﻣِﻘﯿًﻤﺎ َﺻِﺤﯿًﺤﺎ‬، ‫ض اﻟَْﻌْﺒُﺪ َأْو َﺳﺎَﻓَﺮ‬
َ ‫ِإَذا َﻣِﺮ‬
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya amalan seperti ia dalam keadaan mukim dan
sehat” (HR. Bukhari no. 2996).

7- Jika berbeda antara yang diucap dengan yang diniatkan dalam hati, maka yang jadi patokan adalah niatan di
hati.

8- Masalah niat pada masuk dalam setiap bab fikih karena niat adalah syarat untuk setiap amalan. Sehingga
sebagian ulama berkata,

‫ ﻟﺠﻌﻠُﺖ ﺣﺪﯾَﺚ ﻋﻤَﺮ ﻓﻲ اﻷﻋﻤﺎِل ﺑﺎﻟِﻨﱠﱢﯿﺔ ﻓﻲ ﻛّﻞ ﺑﺎٍب‬، ‫ﻟﻮ ﺻَﻨﱡﻔﺖ اﻷﺑﻮاَب‬

“Seandainya aku menulis berbagai bab, maka aku akan jadikan hadits ‘Umar ini di awal setiap bab.” Inilah
perkataan ‘Abdurrahman bin Mahdi sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jaami’ul wal
Hikam.

Semoga yang sedikit ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

Referensi:

At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam , Syaikh Al ‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Dar ‘Alamil Fawaid,
cetakan pertama, 1431 H, hal. 23-24.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, selepas Zhuhur, 13 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

Anda mungkin juga menyukai