BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi
perbuatan orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka mucul sebuah permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu
keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui)
dan masyarakat yang hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan
baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah Tasyri’.
Tentunya melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk
menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah
wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah,
Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini, kami hanya memaparkan tentang
penegakan syariat Islam(Tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa berbagai faktor sosial juga menjadi latar belakang turunnya Al-Qur’an. Banyak
hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’ periode Rasulullah ini. Akan tetapi
bukan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan
al-quran juga terlihat disana, akan tetapi bukan berarti Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tradisi orang Arab,
karena diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk seluruh umatnya.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Secara
sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’ yang dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak
kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-
hal yang menyimpang dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima
hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan dalam hati mereka adalah
hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan
mereka menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada masa ini
dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan
Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi Tasyri’.
1. Al-Qur’an dan Hadist pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan Tasyri’, kemudian permasaalahan
yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber Tasyri’ saat
itu. Maka untuk lebih lengkapnya akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan masalah sebagai
berikut:
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembentukan Hukum Islam?
2. Bagaimana pembinaan hukum islam pada masa Rasulullah?
3. Apa saja yang menjadi landasan hukum islam periode Rasulullah?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui sejarah pembentukan hukum islam pada masa Rasulullah.
2. Mengetahui cara pembinaan hukum islam pada masa Rasulullah.
3. Mengetahui apa saja yang menjadi landasan hukum islam pada masa Rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Pada periode Rasulullah pembentukan tasyri’ terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Periode Makkah
Pada periode makiyyah Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan Akidah dan moral
masyarakat makkah yang bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat mekkah pada masa itu. Contohya,
kebiasaan masyarakat mekkah menyembah berhala, berjudi, meminum khamer, membunuh bayi perempuan,
dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad dan berdakwah secara terang-terangan barulah terbentuk
Hukum Islam yang mengajak masyarakat mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan
menyembah kepada Allah SWT.
Ketika Rasulullah mengajak masyarakat makkah untuk menyembah Allah dan meninggalkan
kebiasaan nenek moyang terdahulu, terdapat perlawanan dari masyarakat mekkah yang membenci ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Inti pembentukan Hukum pada periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang sesuai dengan
ajaran Islam, dan menyembah kepada Allah SWT.
b. Periode Madinah
Berbeda dengan periode sebelumnya pada periode madinah sudah banyak masyarakat yang
memeluk Agama Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang tertata dengan rapih. Kemudian mendorong
Tasyri’ sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik
individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat,
perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Setelah pembentukan Hukum maka munculah Pembinaan Hukum Pada Masa Rasulullah terdapat 4
dasar pembentukan Hukum Islam yaitu:
a. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
b. Mengefisienkan Pembuatan Undang-Undang.
c. Memberi Kemudahan dan Keringanan.
d. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif,
guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang
sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.
`
DAFTAR PUSTAKA
Asghar ali engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan IKAPI.
Zuhri, Muhammad Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 1996. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sirri, Mun’in Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, 1995. Risalah Gusti.
Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.
Khallaf, Wahab Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani
erkembangan Hukum Islam Pada Masa Rasulullah SAW
BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang universal dan rahmatal lil alamin, untuk siapa saja , dimana saja
berada dan kapan saja. Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu menyesuaikan diri
dalam kondisi apapun tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar (substansial) dari ajaran Islam yang luhur.
Hal itulah yang menyebabkan kenapa Islam dapat berlaku selama-lamanya dan dimanapun (Al-Islamu
haqqun likulli zaman wa makan), tidak musnah termakan zaman yang senantiasa dinamis dan menuntut
perubahan.
Berbicara Islam pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan
Islam pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam masehi tidak dapat dilepaskan
dari kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang kita kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi
sosial bangsa Arab itulah yang menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan
“tegas” terutama dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan bahwa kondisi
sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap produk hukum yang diberlakukan
dalam masyarakat tersebut.
Untuk lebih lanjutnya makalah kami akan sedikit menguraikan kondisi masyarakat bangsa Arab
pada awal lahirnya agama Islam serta pengaruhnya terhadap hukum Islam pada masa Nabi dan para
sahabatnya. Semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua dalam rangka menambah
khazanah keilmuan kita. Tiada gading yang tak retak, mohon kritik dan sarannya demi perbaikan yang
lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab.Semenajung yang terletak di bagian barat daya
Asia ini. Sebagian besar permukaannya terdiri dari padang pasir. Secara iklim di jazirah Arab amat panas,
bahkan termasuk yang paling panas dan paling kering di muka bumi ini.
Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahl al-badawi dan ahl al-hadlar.
Kaum Badawi adslah penduduk padang pasir .Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, tetapi hidup
secara nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari sumber air dan
padang rumput. Mata penghidupan mereka adalah berternak kambing, biri-biri, kuda dan unta.
Kehidupan masyarakat Badawi yang nomaden tidak banyak memberikan peluang kepada mereka untuk
membangun kebudayaan. Karenanya, sejarah mereka tidak diketahui dengan tepat dan jelas. Ahl al-
hadlar ialah penduduk yang sudah bertempat tinggal tetap di kota-kota atau daerah pemukiman yang
subur. Mereka hidup dari berdagang, bercocok tanam, dan industry. Berbeda dengan masyarakat
Badawi , mereka memiliki peluang yang besr untuk membangun kebudayaan, sehingga sejarah mereka
bias diketahui lebih jalas disbanding dengan kaum Badawi.
Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa semit, yaitu keturunan Sam ibn Nuh, serumpun dengan
bangsa Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia, Aram dan Habsyi. Bangsa Arablah rumpun semit
yang sekarang masih bertahan, sedangkan sebagian besar yang lain sudah leyap dan tidak dikenal lagi.
Dalam bidang ekonomi bangsa Arab memiliki beberapa tempat mereka berkumpul untuk
melakukan taransaksi jual beli dan membaca syair. Pasr-pasar itu terletak di dekat Mekah yang
terpenting di antaranya ialah Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz. Kabilah Quraisy terkenal sebagai
pedagang yang menguasai jalur niaga Yaman-Hijaz- Syria. Mereka juga mendominasi perdagangan lokal
dengan memanftkan kehadiran para peziarah ka’bah, terutama pada musim haji.
Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya. Ia adalah organisasi keluarga
besar yang biasanya hubungan antara anggota-anggotanya terkait oleh pertalian darah. Akan tetapi ,
adakalanya hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan oleh perkawinan, suaka politik atau
karena sumpah setia.
Sistem politik sudah ada sejak lama. Sebelum Islam, ka’bah selalu dikunjungi oleh bangsa Arab
dari seluruh penjuru jazirah untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu di Mekah berdirilah
pemerintahan untuk melindungi jamaah haji dan menjamin keslamatan dan keamanan mereka.
Ditetapkan pula larangan berperangan di kota itu, disamping larangan berperang selama bulan-bulan
tertentu. Beberapa kabilah yang pernah menguasai Mekah antara lain Amaliqah, Jurhum, khuza’ah dan
yang terakhir adalah Quraisy.
Pada masa Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22 tahun
beberapa bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan hasil-hasil yang
gemilang. Periode ini terdiri dari dua fase yang berlainan , yaitu :
Yakni selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai waktu
hijrahnya. Pada fase ini kaum muslimin baru beberapa orang saja jumlahnya sedikit dan masih lemah,
belum merupakan suatu umat dan belum mempunyai pemerintahan. Perhatian rasul pada fase ini
diarahkan kepada penyebaran dakwah ketauhidan (meng-Esakan Allah) dan berusaha memalingkan
umat manusia dari menyembah berhala dan patung, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang
sengaja menghalangi dakwah beliau, orang-orang yang memperdayakan orang-orang yang beriman
kepada ajarannya. Juga Nabi mengajarkan larangan memakan daging hewan yang disembelih atas
nama berhala, melihat undian nasib dengan anak panah, zina dan lain sebagainya. Justru itu ayat-ayat
yang turun di mekkah khusus menyangkut bidang aqidah, akhlak, dan ibadah (suri tauladan) dari sejarah
ummat yang dahulu.
Melihat situasi seperti ini, maka pembinaan dan pembentukan hukum langsung ditangani oleh
Rasulullah SAW sendiri berdasarkan wahyu, maupun ijtihad (pendapat) beliau sendiri yang disebut
hadits. Tapi walaupun demikian, beliau masih memberi kesempatan ijtihad kepada para sahabatnya,
sekalipun wahyu masih ada dan masih hidup. Hal ini dikarenakan ada kejadian yang khusus untuk
mengadakan hubungan dengan beliau sukar karena jauh ataupun waktunya sangat mendesak. Peristiwa
pernah terjadi pada waktu Rasulullah SAW mengutus sahabatnya Mu’adz ibnu Jabal menjadi duta Islam
(hakim) di Yaman. Dia direstui oleh Rasulullah SAW untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menjatuhkan
vonis suatu kasus hukum, andaikan pidananya tidak terdapat dalan Al-Quran dan Hadits.
Perlu diketahui, bahwa keputusan-keputusan dan fatwa-fatwa dari ijtihad para sahabat hanya
bersifatkan penerapan hukum dan bukan bersifat pembentukan hukum (tasyri’). Dengan pengertian
bahwa semua ijtihad para sahabat tersebut bukanlah menjadi undang-undang yang mengikat bagi kaum
muslimin, kecuali kalau sudah mendapatkan ikrar (legalisasi) dari Rasulullah SAW sendiri. Ini secara
tidak langsung berarti Rasululloh SAW juga menetapkan hukum syari’at, semasa beliau masih hidup.
Terjadinya ijtihad pada masa Rasul mempunyai segi-segi hikmat yang besar karena beliau
merupakan petunjuk bagi sahabat-sahabatnya dan fuqaha-fuqaha yang datang sesudahnya untuk
mengambil hukum-hukum dari aturan-aturan syari’at yang umum dan mengembalikan peristiwa-peristiwa
kecil kepadanya, karena adanya persamaan sebab. Apalagi kalau diingat bahwa nash-nash syaria’at
tidak mencakup semua hukum yang timbul. Oleh karena itu Rasul SAW berkata kepada sahabat-
sahabatnya : “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, dimana kamu tida akan sesat selama kamu
berpegang dengan keduanya, yaiui kitab Tuhan dan Sunnah Nabi-Nya”
Periode Rasululloh SAW ini sumber-sumber dalam penetapan atau pembinaan hukum ada dua yakni
wahyu dan ijtihad Rasulullah SAW sedangkan ijtihad para sahabat pada waktu itu tidak dapat dijadikan
dasar yang mutlak kecuali ada pengakuan dari Rasulullah SAW sendiri.
Adapun Al-Quran sebagai sumber (dasar) pokok dalam penetapan hukum, karena berdasarkan
pernyataan dalam Al-Quran itu diantaranya sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S.
An-Nisa’ :105).
Kemudian sebagai kelajutan dari ketetapan Al-Quran surat An-Nisa’:105 tersebut Allah akan
mengancam kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini yang tidak mempergunakan Al-Quran sebagai
pedoman hukum dengan sanksi sebagai berikut:
1. Kafir adalah vonis pidana yang diberikannya itu merugikan orang lain dan dia sendiri benci kepada
keputusan hokum Al-Quran
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-
ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
2. Zalim adalah vonis pidana yang diberikannya itu menurut hawa nafsu, berakibatkan merugikan orang
lain dia sendiri masih mengakui Al-Quran, tapi pada prakteknya dia tidak menjatuhkan vonis pidana
terhadap Al-Quran.
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
3. Fasiq adalah vonis pidana yang dijatuhkannya kepada seseorang pidana tidak merugikan orang yang
bersangkutan dan keputusan itu tidak berdasarkan Al-Quran. Dia secara pribadi mengakui Al-Quran.
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Adapun cara atau metode pembentukan hukum periode ini adalah berdasarkan suatu problem
untuk ditentukan hukumnya. Untuk itu Rasululloh terpaksa menunggu dalam beberapa waktu
menjelang wahyu dari Allah sebagai jawaban problem yang dimaksud. Tapi kalau ternyata wahyu yang
diharapkan itu tidak kunjung datang, maka Rasulullah berijtihad sendiri ataupun bermusyawarah dengan
para sahabat, dengan berorientasi kepada kemaslahatan umum (masyarakat).
BAB III
KESIMPULAN
Secara umum kondisi bangsa Arab pada masa Rasul dan sahabat adalah terdiri dari berbagai
kabilah-kabilah dan suku. Kabilah-kabilah tersebut ada yang menetap di perkotaan dan ada pula yang
hidup di pedesaan dengan mengembara. Masyarakat kota mayoritas mata pencahariannya dengan
berdagang ke luar kota dan menjualnya di daerahnya. Sedangkan masyarakat desa hidup dengan
berladang dan berternak hewan. Biasanya masyarakat kota lebih maju dan kuat dibandingkan pedesaan
baik dari segi kekuasaan (politik), kesejahteraan, maupun peradaban.
Pada masa Rasulullah hukum Islam belum mengalami perkembangan yang signifikan. Sumber
hukum yang menjadi titik acuan adalah al-Quran. Apabila terdapat persoalan yang tidak memiliki dasar
hukum dalam al-Quran (wayu), beliau berijtihad sendiri secara langsung dan ijtihad beliau dijadikan
sebagi landasan hukum bagi umat Islam pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Fajr Al Islam, (Singapura-Kota Baru-Penang: Sulaimanmar’I), 1965.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1971.
Bik, Hudhari. Tarjamah Tarikh Tasyrik: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Semarang: Darul Ikhya),
1980.
Farrukh. Al-Arab Wa Al-Islam Fi Al-Haudl Alsyarqiy Al- Bahr Al-Abyad Al-Mutawassith, (Beirut: Dar al
kutub), 1966.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.
Wahhab, Khalaf Abdul. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam, cet. Pertama, (Yogyakarta: Dua Dimensi), 1985.
Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul sampai beliau hijrah ke
Madinah. Periode ini berlangsung selama tiga belas tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini lebih fokus pada upaya mempersiapkan
masyarakay agar menerima hukum-hukum agama, membersihkan akidah dari menyembah
berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan
jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada
manusia kepada dua perkara utama:
1. Mengokohkan akidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah dan bukan
untuk atas dasar iman kepada Allah dan bukan kepada yang lain, beriman kepada malaikat,
kitab-kitab, rasul, dan hari akhir. Semua ini bersumber dari Alquran yang kemudian dijelaskan
dalam beberapa ayat.
2. Membentuk akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat tercela.
Alquran memerintahkan mereka agar berkata jujur, amanah, menepati janji, adil, saling tolong-
menilong atas dasar kebajikan, memuliakan tetangga, mengasihi fakir miskin, menolong yang
lemah dan orang yang terdzalimi. Selain itu Alquran juga melarang merekadari aklhlak tercela
seprti berdusta, menipu, curang dalam timbangan, mengingkari janji atau tidak amanah, berbuat
dzalim dan aniaya serta perilaku lain yang dianggap melampaui batas dan menyimpang dari adat
kebiasaan.
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari Mekah hingga beliau wafat. Perioe ini
berjalan selama sepuluh tahun.
Perundang-undangan hukum islam pada periode ini menitikberatkan pada aspek hukum-hukum
pratikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh sebab
itu, perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari setiap
aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan
perkembangan.
Artinya:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku dan telah Ku-Ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (QS. Al.Maidah (5):3)
Secara umum hukum baik yang berupa perintah atau larangan kepda mukallaf turun pada fase ini
kecuali hanya sedikit, seperti hukum shalat yang diturunkan pada malam Isra’ dan Mi’raj satu
tahun sebelum baginda berhijrah ke Madinah, selain yang ini berupa ibadah, muamalah, jinayah,
hudud, warisan, wasiat, pernikahan, dan talak semuanya turun pada fase ini.[2]
b. As Sunnah , kami maksudkan dengan sunnah Raulullah adalah kumpulan perkataan, perbuatan
atau ketetapan yang keluar dari beliau.Rasulullah selalu menjelaskan apa yang dikehendaki oleh
Alquran, kadang-kadang dengan perkataan saja, kadang-kadang dengan perbuatan saja, kadang-
kadang dengan keduanya bersama-sama.
As Sunnah menempati urutan kedua setelah Alquran karena ia menjadi penguat, penjelas,
penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam Alquran. Karena rasulullah
sebagai pengatur segala urusan kaum muslimin selain sebagai seorang Nabi yang mendapatkan
perintah untuk menyampaikan syariat Allah kepada seluruh manusia, maka baginda juga
mendapat mandat untuk menjelaskan syariat secara umum yang akan mengatur kehidupan umat
pada setiap waktu dan tempat.
As Sunnah juga datang sebagai penegas terhadap hukum yang ada dalam Alquran seperti
haramnya mencuri, riba dan memakan harta orang lain dengan cara batil.[3]
D. Ijtihad Nabi
Yang dimaksudkan dengan ijtihad Nabi adalah mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada
ada nashnya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya Rasullah berijtihad ke dalam
dua kelompok besar:
Pertama, kalangan Asy’ariyah dari ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah. Mereka berpegang
teguh teguh bahwa Nabi tidak boleh berijtihad sendiri.di antara dalil yang mereka gunakan
adalah firman Allah surat An Najm 9 (53): 3-4.
Ayat ini menafikan bahwa baginda Rasulullah menetapkan sebuah hukum bedasarkan
pendapat pribadi yang tidak ada wahyu tentang itu karena setiap permasalahan yang muncul,
baginda selalu berharap ada wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun
maka itu pasti benar tidak ada salah, dan jika baginda berijtihad dengan pendapatnya sendiri
maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah, dan jika ia memang benar atau lebih
dekat kepada kebenaran maka tidak bolehditinggalkan lalu mengamalkan yang masih belum
pasti selama yang pertama masih bisa diamalkan.
Dalil ini disanggah karena hujjag (alasan) yang disebutkan tidak dapar diterima. Sebab kata
ganti “huwa” dalam ayat “in huwa illa wahyun yuha”(ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan) kembali kepada Alquran, karena ayat ini turun sebagai jawaban terhadap
ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Alquran adalah rekayasa Muhammad. Ayat ini turun
dengan sebab khusus, sehingga makna yang sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca oleh
muhammad bukan keluar dari hawa nafsu melainkan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, ayat
tersebut hanya khusus untuk kasus Alquran, dan tidak dapat degeralisie pada keseluruhan ucapan
Nabi.
Seandainya kita sepakat ada makna umum maka, maka ijtihadnya Nabi tidak sama dengan
ijtihadnya orang lain karena ia juga akan berakhir dengan wahyu dari Allah karena jika baginda
tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan mengakuinya dan ika ia salah maka wahyu akan
selalu mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap
urusan, baginda boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nashnya, dalil berkata:
Nabi Muhammad diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah: “ Maka
carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”. Artinya bandingkan antara kejadian yang
tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya, jika kemiripan antara kedua
dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk ijtihad.
Nabi muhammad sangat mengetahui illat-illat (sebab) setiap nash dan hikmah dari pensyariatan,
dan setiap orang yang mengetahui hal ini seharusnya menerapkan untuk masalah untuk masalah
furu’ yang ada kemiripan alasan, dan pekerjaan ini adalah menetapkan hukum pada masalah
dasar untuk masalah cabang dan inilah yang dinamakan qiyas dan ini juga adalah ijtihad dan
dengan begitu maka boleh baginda Rasulullag untuk berijtihad.
Fakta juga membuktikan bahwa Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam banyak kejadian,
diantaranya bahwa ada seorang lelaki dari kabilah ju’tsum datang kepada baginda dan berkata, “
Ayah saya masuk islam, namun ia sudah sangat tua, tidak bisa menaiki kendaraan dan
melaksanakan haji yang diwajibkan kepaadanya, apakah saya boleg menghajikannya?” Baginda
menjawab, “ Apakah kamu anaknya yang paling besar?” Ia menjawab, “ Ya.” Baginda
menjawab. “ Apakah yang akan kamu lakukan juka ayahmu ada utang, lalu kamu membayarnya
apakah itu boleh?” Ia menjawab. “ Tentu. “ Nabi bersabda,” Hajikan ayahmu.” Rasululah disini
juga mengqiyaskan haju dengan utang untuk diwakilkan dalam pelaksanannya.
Contoh ijtihad Rasulullah anatara lain ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang
munafik yang meminta izin untuk tidak turut perang tabuk, maka turunlah surat At Taubah (9):
43.
Artinya: semoga Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin kepada mereka, sebelum
jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?
Dari sinilah jelaslah bahwa ijtihadnya Nabi memang telah terjadi dalam perkara yang tidak ada
nashnya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika baginda salah dalam
salah satu ijtihadnya mka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja tetapi akan
meluruskannya sebab semua yang dibawa Rasulullah adalah syariat bagi umatnya, maka perlu
ada peringatan dari wahyu terhadap kesalahan tersebut dan menjelaskan yang benar agar menjadi
sebuah syariat yang bisa mereka amalkan.
KESIMPULAN
Masa tasyri’ pada masa Rasulullah dimulai ketika Allah mengutus Nabi Muhammad
membawa wahyu berupa Alquran saat beliau digua hira pada hari jumat 17 ramadhan tahun 13
sebelum hijrah (661).
Tasyri’ pada masa nabi disebut masa pembentukan tasyri’ karena pada masa inilah
terbentuknya hukum islam.selanjutnya, beliau hijrah ke madinah dan ayat-ayat ahkam turun
beserta hadis-hadisyang berkenaan dengannya.
Bedasarkan periode turunnya , ayat-ayat Alquran dibedakan menjadi dua macam:
1. Periode mekkah, yaitu sebelum Rasulullah hijrah kemadinah. Ayat-ayat yang turun dimekkah
adalah masalah akidah untuk meluruskan keyakinan umat dimasa jahiliyah dan menanamkan
ajaran tauhid.
2. Periode madinah, yaitu setelah rasulullah hijrah kemadinah. Ayat-ayat yang diturunkan dikota
ini adalah masalah hukum dan berbagai aspeknya.
Masa Rasulullah terdapat 4 dasar pembentukan hukum islam yaitu:
a. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
b. Mengefisienkan pembuatan undang-undang.
c. Memberikan kemudahan dan keringan
Makalah Tasawuf
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Al-Qur`an dan hadis bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi ruang gerak manusia. Al-
Qur`an dan hadis adalah panduan hidup yang menggiring manusia menuju ketentraman, kedamaian
dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu
dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat dirasakan dengan jiwa yang tentram.
Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi dengan Allah.
Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai ilmu, sebelumnya dipelajari sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan
yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang
mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf. Tasawuf merupakan suatu
ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan
Allah melalui jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya
akan mencoba memaparkan beberapa persoalan yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu pengertian
tasawuf, sejarah perkembangan tasawuf, dalil Al-Quran dan Hadits tentang perlunya tasawuf, manfaat
tasawuf, serta istilah-istilah dalam tasawuf.
B.Rumusan masalah
1.Apa itu pengertian tasawuf?
2.Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf itu?
3.Apa saja dalil Al-Quran dan hadits yang berkenaan tentang perlunya tasawuf?
4.Apa manfaat dari tasawuf itu?
5.Jelaskan istilah-istilah dalam tasawuf: fana, baqa, ittihad dan hulul!
BAB II
PEMBAHASAN
I.Pengertian Tasawuf
Terdapat beragam pendapat mengenai akar kata tasawuf . Ada yang mengatakan bahwa kata
tasawuf berasal dari kata shufah (kain dari bulu), karena kepasrahan seorang sufi kepada Allah ibarat
kain wol yang dibentangkan. Ada yang berpendapat shifah (sifat) sebab, seorang sufi adalah orang
yang menghiasi diri dengan segala sifat terpuji dan meninggalkan setiap sifat tercela.
Pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuffah (sufah) sebab, seorang sufi
mengikuti ahli sufah dalam sifat yang telah ditetapkan Allah bagi mereka. Al-Qusyari berpendapat
bahwa tasawuf berasal dari shafwah (orang pilihan atau suci). shaf (saf), seolah para sufi berada di
saf pertama dalam menghadapkan diri kepada Allah dan berlomba-lomba untuk melakukan ketaatan.
Sebagian kalangan mengatakan, kata tasawuf dinisbatkan pada kain wol yang kasar (shuf khasyin).
Sebab, para sufi gemar memakainya sebagai simbol zuhud dan kehidupan yang keras.
Jadi Tasawuf adalah usaha untuk membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan mencapai maqam
ihsan. Dengan kata lain yaitu usaha menaklukan dimensi jasmani manusia agar tunduk dimensi
rohani.
Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme dipakai untuk mistisisme Islam dan
tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain. Orang yang pertama kali memakai kata sufi adalah
Abu Hasyim al-kufi di Irak (150 H).
Hadits
1. “Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta, jika dia
mendekat sehasta, maka Aku mendekat sedepa, jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan maka
Aku datang kepadanya berlari (H.R.Bukhari)”.
2. “Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal nawafil sehingga Aku mencintainya,
apabila Aku mencintainya jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya
yang dipergunakan untuk melihat, lidahnya yang digunakan untuk berbicara, tangannya yang
digunakan untuk menggenggam, kakinya yang digunakan untuk berjalan, dengan Aku dia mendengar,
berpikir, menggengam, dan berjalan (H.R. Bukhari)”.
Hadits juga menggambarkan Tuhan itu dekat. Nabi itu sudah dekat dengan Tuhan, dan praktek Sufi
juga tergambar dalam sunah nabi.
Jadi terlepas dari kemungkinan adanya atau tidak adanya pengaruh dari luar, ayat-ayat serta hadits-
hadits di atas dapat membawa kepada timbulnya aliran sufisme atau tasawuf dalam Islam, yaitu
ajaran-ajaran tentang berada sedekat mungkin pada Tuhan.
IV.Manfaat Tasawuf
Tasawuf memiliki banyak manfaat dalam kehidupan, di bawah ini adalah beberapa manfaat tasawuf
yaitu:
1.Dalam bidang kecerdasan emosional
Apabila dapat mengamalkan tasawuf dengan baik maka dapat mengendalikan emosionalnya dengan
baik pula
2.Dalam bidang kecerdasan spiritual
Tasawuf mengingatkan manusia tentang kemaitian, agar umat manusia selalu beribadah, beramal
shaleh, serta menjauhi perbuatan maksiat dan kejahatan.
3.Dalam bidang Agama
Tasawuf diperlukan untuk mengamalkan Islam secara kaffah serta untuk mengembangkan kerukunan
hidup beragama dan integrasi sosial
4.Dalam bidang etos kerja
Tasawuf dapat memperkuat etos kerja karena dalam ajaran Islam bekerja itu wajib untuk memenuhi
keperluan diri sendiri, keluarga dan umat.
5.Dalam bidang Pendidikan
Tasawuf merupakan salah satu mata pelajaran yang perlu diajarkan di Madrasah dan mata kuliah di
Perguruan Islam untuk mengembangkan kehidupan agama yang komprehensif dan utuh serta untuk
mengembangkan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan maju.
6.Dalam bidang Ilmu Pengetahuan
Tasawuf mendidik anggota masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional serta
mendidik untuk memiliki tanggung jawab sosial.
B.Saran
Agar kita dapat mengetahui dan mengenal Allah lebih dekat lagi, maka sangat diperlukan ilmu yang
mempelajari hal tersebut yang dikenal dengan Tasawuf.
Dosen: semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang telah diberikan kepada saya.
Mahasiswa: Semoga makalah ini dapat membantu dalam memahami permasalah tentang Tasawuf
Masyarakat: semoga dapat menambah dan mempertajam pengertian dan pembahasan Tasawuf di
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. (2011). Hakekat Tasawuf. Jakarta: Qisthi Press, cetakan ke-13.
Nasution, Harun. (1973). Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahiem, Husni. (1986). Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam. Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI.
Tebba, Sudirman . (2008). Tasawuf Positif: Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari.
Tangerang: Pustaka irVan.
Zahri, Mustafa. (1976). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Categories: Makalah agama, Makalah Fakultas Tarbiyah, Makalah Ilmu Tasawuf, Makalah
keagamaan, Makalah Pendidikan, Makalah Syariah
Pengertian Tasawwuf
1. Pengertian Etimologi
Istilah tasawuf, menurut Amin Syukur adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut
belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri
tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an. Tasawuf adalah sebutan untuk mistisisme Islam. Dalam
pandangan etimologi kata sufi mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Haidar Bagir,
kata sufi berasal bahasa Arab yang merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah:
1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama.
2. Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi.
3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni parazahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya
rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran
ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah
bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki
gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. Dan yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari
kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun
aspek kesejarahan.
2. Pengertian Terminologi
a. Imam Junaid dari Baghdad (w. 910) mendefinisikan tasawuf sebagai mengambil setiap sifat
mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah. Atau keluar dari budi perangai yang tercela dan
b. Syekh Abul Hasan Asy Syadzili (w.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan
tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
c. Ibn Khaldun mendifinisaikan tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian
dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain
Allah, hanya menghadap kepada Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan.
d. Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong
(diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam
f. Amin syukur mendefinisikan tasawuf sebagai sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah
rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepada
Nya.
Jafi, tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Dari definisi
tentang tasawuf di atas diperhatikan dan dipahami secara utuh, maka akan tampak selain
berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi moral. Dan dapat disimpulkan bahwa basis
tasawuf ialah penyucian hati dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirnya
ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Allah.
Dengan demikian, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan hati dan
menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang
benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad SAW SAW.
B. Dasar-dasar Tasawwuf
Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi
jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya
berharap kepada-Nya dan berusaha mensucikan jiwa (QS. As Sajadah [32]: 16, QS. Asy Syams
[91]: 7-10), ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa
bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya
cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan. (QS. At Thalaq [65]: 2-3). ayat
yang berkenaan dengan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia (QS. Asy Syuraa [42]: 20)
dan ayat-ayat yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk
akhirat
penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS.
jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS. Asy Syams [91]: 7-
10)
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. 3. dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.
baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS.
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-
Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid
[57]: 20)
1. Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen
(yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia
Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah
2. Sufisme yaitu ajaran mistik yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan
India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali
(als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk
3. Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara
orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru
yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya
paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran
Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit
4. Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian
yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan Sufi. Soal hakikat Tasawuf,
ia itu bukanlah ajaran Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib ra.
Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau
pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda
dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini
di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para
shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini.
Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi
lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari
pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan
Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan
tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi
pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus
dapat dipenuhi. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang
dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.
Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan
mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara
mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal, Abd
Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn
Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
Abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. pada permulaan abad ketiga hijriyah
mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-
mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan
tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta
Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana
fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-
ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang
shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana
seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan
kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan
konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 H. ) yang lebih
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli
yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang
sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi
terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau
Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal
dengan al-Ghzali. Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-
Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.), al-
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa
(dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani.
Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian
diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang
sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar
Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu
Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada
tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Tokoh lain adalah al-
Syuhrawardi (549-587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan
telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi.
Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan
1. Tasawuf Ahlaki
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral) atau taswuf
yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Ajaran tasawuf akhlaki membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-
upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi
untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk
adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam QS. As-
Tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
a. Takhalli
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak
tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang
b. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,
perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa
dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal
(luar) seperti sholat, puasa, haji, maupun internal (dalam) seperti keimanan, ketaatan dan
c. Tajalli
Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa yang telah
membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur, maka rasa ketuhanan perlu dihayati
lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-
Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul
Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu
2. Tasawuf Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar
diperoleh penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah. Keseluruhan rangkaian amalan
lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu
dengan melakukan macam-macam amalan yang terbaik serta cara-cara beramal yang paling
sempurna. Tasawuf Amali berkonotasi dengan tarekat. Tokoh tasawuf ini antara lain, Rabiah Al
a. Syari’at
Syari’at adalah hukum-hukum formal yang dijadikan sandaran amalan lahir yang ditetapkan
dalam ajaran agama melalui Alqur’an dan Sunnah. Sehingga seorang pengamal sufi tidak
mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan lahiriahnya.
b. Thariqot
Kalangan sufi mengartikan thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan
c. Hakikat
Dalam dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek bathin yang paling dalam dari setiap amal atau
inti dan rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan menuju Allah.
d. Ma’rifat
langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu
hakikat.
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah pemikiran mendalam/
metafisik. Dalam upaya mengungkapkan penglaman rohaninya, para para sufi falsafi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang dikenal dengan syathahat yaitu suatu
ungkapan yang sulit di pahami, yang sering mengakibatkan kesalhpahaman. Tokoh tasawuf ini
beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah al~wujud, insan
a. Hulul
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya kesatuan
Kata hulul berimplikasi kepada bahwa tuhan akan menempati dan memilih tubuh manusia untuk
ditempati, bila manusia dapat menghilangkan sifat nasut( kemanusiaannya) dengan cara fana
ketuhanan).
b. Wahdah Al-Wujud
Istilah wahdah Al-wujud adalah paham yang mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu
dengan tuhan, akan tetapi tuhan disini bukanlah tapi yang dimkasud tuahn bersatu padu disini
bukanalh Dzat yang tuhan yang sesungguhnya, melainkan sifat-sifat tuhan yang memancar pada
c. Ittihad
Pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran
Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka padadasarnya ia
telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahiatau dengan kata lain ia menyatu
dengan Tuhan.
F. Sumber-sumber Tasawwuf
Sebagaimana layaknya ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlaq, ilmu kalam, ulumul qur’an,
ulumul hadits dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang penamaannya baru muncul setelah Rasul
wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, exixtensi namanya baru dikenal jauh setelah Rasul
wafat. Namun esensi ilmu tasawuf sesungguhnya bersumber dari Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad
1. Allah
Allah merupakan Zat sumber ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan
ilmu tasawuf dari selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmuNya kepada para
sufi lewat hidayah (ilham) baik langsung maupun dengan perantaraan lain selain Allah yang
Allah kehendaki.
Ada kalanya lewat Al Qur’an dengan metode iqro’ul Qur’an (membaca, menyimak, menganalisa
isi kandungan Al Qur’an), ada pula melalui alam dengan cara perenungan sufi dan lain
sebagainya yang pada intinya merupakan hidayah dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide
tercerahkan dalam nuansa pemikiran dan keyaqinan terunjam di hati untuk dimanifestasikan
dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri kepada Allah.
2. Rasulullah SAW
Rasul merupakan sumber kedua setelah Allah bagi para sufi dalam mendalami dan
pengambangkan ilmunya, karena hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyuNya,
tentulah Rasul pula yang lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat
dalam Al Qur’an. Semua keterangan tersebut hanya ada di hadits Rasulullah, maka sumber yang
3. Pengalaman Sahabat
Setelah merujuk pada referensi Al Qur’an dan Hadis, referensi selanjutnya bagi aktivitas tasawuf
adalah pengetahuan dan tindakan para pengikut setia Rasulullah Muhammad SAW SAW.
4. Ijma’ Sufi
Ijma’ Sufi (kesepakatan para ‘ulama tasawuf) merupakan esensi yang sangat penting dalam ilmu
tasawuf, karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf setelah Al
5. Ijtihad Sufi
Dalam kesendiriannya, para sufi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu
merupakan guru terbaik, namun Allah memberi aqal untuk berfikir semaksimal mungkin sebagai
6. Qiyas Sufi
Qiyas merupakan penghantar sufi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari
jama’ahnya.
7. Nurani Sufi
Setiap sufi positif, memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah
firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap kaum sufi, bias dari
keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah kepada Allah tanpa kenal lelah.
8. Amalan Sufi
Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia (menyembunyikan) nurani dan amalinya, karena jika
dua hal tersebut diketahui umum dapat menimbulkan kesalah fahaman, hal ini disebabkan
dimensi tariqat (perjalanan) sufi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi
tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang mampu menjalaninya, namun para sufi amat
G. Istilah-istilah Tasawuf
1. Al Maqamat
a. Pengertian
rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan
atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian
hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat,
1) Taubah
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian.
Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali
kepada Allah.
Menurut Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-
orang yang berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli
haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa
mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir
kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu
ä— !$tBur
8ou‘$¨BV{ }§øÿ¨Z9$# ¨bÎ) 4 ûÓŤøÿtR Ìh•t/é&
’În1u‘ ¨bÎ) 4 þ’În1u‘ zOÏmu‘ $tB žwÎ) Ïäþq•¡9$$Î/
×LìÏm§‘ Ö‘qàÿxî
“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53)
2) Wara’
Kata wara’ secara etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif
tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan
(syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang
b) Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh pada
3) Zuhud
awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam
kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud
akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat
ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah.
a) Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta
b) Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan
sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di
dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
c) Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi
mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak
atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9)
4) Al Sabr
Al Sabr secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis Al Lughah disebutkan
bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis
bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu
berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf Al
sabr berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala
peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena
iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu
ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Sabr menurut ahli sufi pada dasarnya
a) Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau kesusahan.
Adapun contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau ditinggalkan oleh istri dan anak-
anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta bendanya yang
Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji kesabaran
Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi
terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati
ujian ini dengan selamat. Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi Ibrahim dan anaknya
Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas perintah Allah, meskipun saat itu sang
ayah akan menyembelih anaknya sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas
perintah-Nya.
5) Syukur
Syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, syakara yang
berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran dalam benak tetang nikmat
dan menampakkannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas
nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan
yang diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal
perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi
nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.
Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan,
yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan
anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur
dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk
öNä3¯Ry‰ƒÎ— óOè?ö•x6x©
¨bÎ) ÷Länö•xÿŸ2 ûÈõs9ur ( V{
Ó‰ƒÏ‰t±s9 ’Î1#x‹tã
Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk
memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan
keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia
bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah.
Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan
Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah
ditentukan Allah.
È,- `tBur
%[`t•øƒxC ¼ã&©! @yèøgs† ©!$# Gtƒ
çmø%ã— ÇËÈ
4 Ü=Å¡tFøts† Ÿw ß]ø‹ym ô`ÏB ö•tƒur
uqßgsù «!$# ’n?tã ö@©.uqtGtƒ `tBur
à÷Î=»t/ ©!$# ¨bÎ) 4 ÿ¼çmç7ó¡ym
ª!$# Ÿ@yèy_ ô‰s% 4 ¾ÍnÌ•øBr&
ÇÌÈ #Y‘ô‰s% &äóÓx« Èe@ä3Ï9
“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
“ Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman
7) Ridha
Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan
Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak.
Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
Imam Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan
sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas
kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan
menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang
terbaik bagi dirinya.
ßìxÿZtƒ ãPöqtƒ #x‹»yd ª!$# tA$s%
öNçlm; 4 öNßgè%ô‰Ï¹ tûüÏ%ω»¢Á9$#
$ygÏFøtrB `ÏB “Ì•øgrB ×M»¨Yy_
!$pkŽÏù tûïÏ$Î#»yz ã•»yg÷RF{$#
öNåk÷]tã ª!$# zÓÅ̧‘ 4 #Y‰t/r&
ã— y7Ï9ºsŒ 4 çm÷Ztã (#qàÊu‘ur
ÇÊÊÒÈ ãLìÏàyèø9$# öqxÿø9$#
“ Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal
Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita sebagai manusia hanyalah
kepada qadha dan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan menyakitkan. Sikap ridha adalah
2. Al Ahwal
a. Pengertian Al Ahwal
Al ahwal bentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (menthal states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi
menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada
waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia
akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat
dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan
ungkapan kata.
b. Tingkatan Al Ahwal
2. Agama dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi kesukaran-kesukaran
dalam hidup. Seperti pada saat menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang dapat
menggelisahkan bathin dan dapat membuat orang putus asa. Disini agama berperan
3. Agama sebagai pengendali moral, terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika
2. Memahami tentang aspek asoteris islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non
Muslim.
3. Menegaskan kembali bahwa aspek asoteris islam (tasawuf) adalah jantung ajaran islam.
secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa
dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa
nafsu mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada dalam
koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan,
kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka
kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-
Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30). Orang-orang yang diundang
oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah
sampai ketingkat (maqam) insan kamil (manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah
Tujuan akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah
dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri
menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju
mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah
silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan solusi
yang terbaik bagi umatnya. Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang Barat, karena
disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah menyatakan adanya
pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus saling
bersinergi. Tasauf Islam tidak menafikan sains, bahkan tasauf Islam banyak menyumbangkan
pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren. Dalam
konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita
keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang Maha Wujud dan
Maha Absolut.
Dalam sejarah Islam, Muhammad SAW SAW dikenal sebagai pioner yang memiliki peran
terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi
ke generasi yang lain. Kaum zuhâd atau kaum sufi sejak masa permulaan Islam dalam menjalani
aktivitas sufistik mereka selalu merujuk pada Muhammad SAW sebagai mursyid tertinggi dalam
Islam. Bahkan, kaum sufi sendiri menganggap Nabi SAW. sebagai sosok manusia sempurna (al-
insân al-kâmil) sekaligus mursyid tertinggi yang harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam
perjalanan sufistik mereka menuju kepada Yang Haq (Allah). Itulah sebabnya, dalam tulisan ini
penulis tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman sufistik Muhammad SAW SAW dengan
Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan
Pertama, kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn
Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan
Kedua, sifat dan akhlaknya yang terpuji; seperti sifat kasih sayang, sabar, rendah hati, dan jujur.
Ketiga, tanda-tanda kenabian dan pengalaman sufistik tertinggi yang telah dialirkan oleh Allah
SWT kepadanya, seperti benda-benda padat bisa berbicara kepadanya, dapat menambah
makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan abadi adalah memperoleh
wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah SWT.
Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.
Mendekati usia 40 tahun, mulailah tumbuh pada diri Muhammad SAW SAW kecenderungan
untuk melakukan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan
Muhammad SAW SAW menjelang dinobatkan sebagai rasul ini memiliki makna dan
mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan yakni merasakan pengawasan Tuhan
dan merenungkan fenomena-fenomena atau gejala alam semesta yang menjadi bukti keagungan-
Nya.
Dari aktivitas uzlah ini, dapat diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa manusia memiliki
sejumlah penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub,
hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang dapat menguasai jiwa, merusak hati
nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melakukan amal-amal saleh. Di samping itu,
dengan khalwah seseorang dapat sampai pada mahabbah (mencintai) kepada Allah SWT.
melalui cara khalwah. Khalwah ini sekaligus menjadi sarana untuk menciptakan dorongan-
dorongan spiritual di dalam hati; seperti rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang bisa menjadi
motivasi kuat dalam keimanan maupun keislaman seseorang. Tetapi khalwah di sini bukan
dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama manusia dengan hidup
secara terasing. Karena khalwah yang dilakukan Muhammad SAW bersifat temporer, menurut
Mimpi yang benar juga dipandang oleh Nabi SAW sebagai suatu peristiwa yang dapat terjadi
pada manusia muslim pada umumnya. Bahkan, Muhammad SAW SAW sendiri memandang
mimpi yang benar merupakan bagian dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat
dari Allah SWT kepada orang muslim yang menerimanya dan juga pengganti dari sifat kenabian
Pengalaman sufistik ini sama halnya dengan pengalaman mimpi yang dialami Nabi Ibrahim
ketika ia mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengorbankan putranya, Ismail. Pengalaman
sufistik ini merupakan fenomena umum yang terjadi di kalangan para nabi terdahulu agar hatinya
tenang sebagai persiapan mental untuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada pamannya.
Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin kepadamu
memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga aku merasakan hawa dinginnya”. Ibn Umar
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bercerita, “Suatu saat saya sedang tidur,
tiba-tiba saya diberi satu gelas air susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya
berikan kepada Umar ibn Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah yang kamu tafsirkan
Nabi Muhammad SAW, SAW., dalam konteks ini, telah mengalami pengalaman pewahyuan dari
Allah SWT melalui dua bentuk; langsung dari Allah SWT dan melalui perantara malaikat Jibril.
Pada cara yang pertama, Nabi SAW memperoleh pengalaman pewahyuan itu dari Tuhan secara
langsung, tidak melalui malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur. Bentuk
lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah SWT yang diterima dari
balik hijab tanpa melalui perantara dan dalam keadaan terjaga. Wahyu model ini, menurut ulama
Contoh wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi
sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu Al Qur’an yang pertama kali. Dalam
pengalaman sufistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala.
Pengalaman sufistik ini dapat dilihat dan didengar. Malaikat itu memerintahkan Muhammad
SAW untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab adalah bentuk kalimat perintah dari kata
kerja qara’a yang artinya “membaca” (untuk meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari
Selama dua puluh tiga tahun sampai meninggal, kapan saja wahyu datang Nabi selalu merasakan
tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat hebat dan andaikan beliau sedang naik unta atau
naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan firman yang turun dari
atas. Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Aku tidak pernah menerima wahyu dalam
Pengalaman spiritual penting itu adalah perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk
menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW secara mukjizat dibawa dari Mekkah ke
Jerussalem dan dari sana melakukan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat sampai mencapai jagat
yang paling ujung (sidrat-ul muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah
SWT, yang digambarkan sebagai lingkungan “berjarak dua busur panah”. Dalam perjalanan itu,
ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al Qur’an
mengungkapkan perjalanan malam ini dengan mengatakan “Maha suci Allah SWT, yang
membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang
Kami berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami.
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad SAW yang demikian penting dan terpusat pada
kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman
Qur’an juga diwahyukan pada bagian penghujung akhir bulan suci Ramadhan. Pengalaman isrâ’
mi’râj itu, secara sufistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan
terpilihnya Muhammad SAW oleh Allah untuk mushâhadah dengan-Nya. Bagi para sufi,
pengalaman itu merupakan pengalaman mistik paling agung dari Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar r.a adalah salah seorang ahli syuga, Nabi sendiri pernah memberi berita gembira
kepada beliau tentang kedudukan beliau di dalam syurga. Bahkan diberitahu bahawa beliau akan
menjadi ketua kepada satu kumpulan ahli syurga. Semua pintu syurga akan menyeru dan
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia
jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi
melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang
sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang
begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya
lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan. Dengan
begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: mencintai
kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya,
terutama masalah hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir
pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh pada prinsip ini seperti pada yang pertama.
Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang
deras mengalir.
Rabi'ah Aslami r.a menceritakan, "Pernah sekali berlaku pertengkaran antara saya dengan Hazrat
Abu Bakar r.a kerana sesuatu perkara. Beliau telah mengatakan sesuatu yang kasar terhadap saya
yang saya tidak suka. Beliau segera menyedari keadaan itu dan berkata kepada saya, "Engkau
pun katakanlah perkataan itu kepada saya supaya menjadi balasan terhadap saya.
Demikian itulah sifat ketakutan Hazrat Abu Bakar r.a kepada Allah. Beliau begitu risau dan
mengambil berat tentang satu perkataan yang remeh sehingga pada mulanya beliau sendiri yang
meminta supaya dibalasi dan kemudian dengan perantaraan Rasulullah s.a.w, beliau ingin supaya
Suatu hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang
banyak. Beliau memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya.
“Ambillah harta ini dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu
berikan uang tersebut. Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk
melihat apa yang ia lakukan dengan harta tersebut,” begitu perintah Umar
kepadanya.
Rupanya Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan
hartanya. Ketika pembantu Umar sampai di rumah Abu Ubadah, ia berkata,
“Amirul Mukminin mengirimkan harta ini untuk Anda, dan beliau juga
berpesan kepada Anda, ‘Silakan pergunakan harta ini untuk memenuhi
kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki’.”
Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah mengaruniainya keselamatan dan
kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang
berlipat.” Kemudian ia berdiri dan memanggil hamba sahaya
wanitanya. “Kemarilah. Bantu aku membagi-bagikan harta ini!.” Lalu
mereka mulai membagi-bagikan harta pemberian Umar itu kepada para fakir
miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin, sampai
seluruh harta ini habis diinfakkan.
Pembantu Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar
empat ratus dirham seraya berkata, “Berikan harta ini kepada Muadz bin
Jabal!” Umar ingin melihat apa yang dilakukan Muadz dengan harta itu.
Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Muadz bin Jabal dan berhenti
sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Muadz terhadap harta
tersebut.
Muadz memanggil hamba sahayanya. “Kemarilah, bantu aku membagi-
bagikan harta ini!” Lalu Muadz pun membagi-bagikan hartanya kepada fakir
miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin hingga
harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri Muadz melihat
dari dalam rumah, lalu berkata, “Demi Allah, aku juga miskin.” Muadz
berkata, “Ambillah dua dirham saja.”
Pembantu Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu
dirham, lalu berkata, “Pergilah ke tempat Saad bin Abi Waqqash!” Ternyata
Saad pun melakukan apa yang dilakukan oleh dua sahabat sebelumnya.
Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan
berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”
c. Usman Bin Affan
Dalam kitab Al Thabaqat, Taj-ul Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-
laki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan
seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. Utsman
berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu." Laki-
laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah Saw
wafat?" Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang
mukmin." Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur
laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj-ul Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih,
maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah
yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-
beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak
mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui
sebab kotornya, seperti Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang
kepadanya, Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan
mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar
kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon
ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat
menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki
mata batin yang tajam seperti Utsman bin Affan, sehingga ia bisa mengetahui
kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan
merupakan dosa yang paling ringan, Utsman dapat melihat kotoran hati itu
dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-
maqam lainnya.
d. Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib ra, selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana
dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting
dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat
perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-
orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.”
Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima
dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali!
Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi
contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’,
menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan
tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin
mencontohnya.
J. Kesimpulan
1. Tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa pada kesungguhan amal untuk
menjauhkan keduniaan/ zuhud untuk melakukan pendekatan dari pada Allah SWT.
2. Posisi Tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf
merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan Syari’ah; bahkan ia merupakan
3. Perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua hijriyah disebut sebagai fase kezuhudan.
Baru pada abad ketiga dan keempat hujriyah disebut sebagai fase tasawuf kemudian pada abad
kelima hijriyah dikenal sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya
yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni
tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Dan pada abad keenam
hijriyah muncultasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan rasio
4. Tasawuf menurut para ahli terbagi dalam tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf Falsafi
a. Tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak yakni takhalli, tajalli dan tahalli
b. Pengalaman tasawuf amali dibagi kedalam empat bidang yakni syari’at, thariqot, hakikat,
dan ma’rifat
c. Pengalaman tasawuf falsafi diantaranya dilakukan dengan hulul, wahdah Al-wujud dan ittihad
SHARE
MAKALAH PENGERTIAN TASAWUF
SECARA ETIMOLOGI
DAN TERMINOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungan mistisme universal yang ada sejak
dahulu kala, berdasarkan sikap zuhud terhadap keduniaan (asketisme). Dan bertujuan
membangun hubungan (ittishal) dengan al-mala’al-a’la yang merupakan sumber kebaikan
,emanasi dan iluminasi.
Maksudnya adalah ,tasawuf bukan monopoli umat tertentu , kebudayaan tertentu, agama tertentu,
maupun aliran filsafat tertentu.ia hadir ditengah masyarakat yunani kuno dalam filsafat
phytagoras. Di kalangan bangsa Persia, ia mewujud dalam filsafat mani dan zaroaster,
Sedangkan di india mistisme terkandung dalam ajaran budhisme, brahma dan
kitab weda.Namun di dalan Islam tasawuf mengandung banyak pengertian dan pendapat dari
kalangan para ahli dan sarjana sarjana.
Diharapkan dari penulisan makalah ini, dapat menambah pengetahuan khususnya tentang
pengertian akhlak tasawuf secara etimologi dan terminologi.
1. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
REPORT THIS AD
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian tasawwuf secara etimologis
Kata tasawuf sebelumnya belum dikenal pada massa nabi dan sahabat. akar kata tasawuf
tersendiri tidak ditemukan dalam bahasa arab. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa
kata maupun definisi tasawuf tidak ditemukan dalam al qur’an, namun ada juga yang
berpendapat bahwa tasawuf bersumber dari al quran dan hadis.
Tasawuf yang merupakan ajaran mistik dalam islam memang mengutamakan pemakaian hati
,dzauqi (perasaan) dalam menghayati dan mengamalkan syariat . Para pengamal tasawuf
meyakini bahwa hanya dengan hatilah manusia dapat mencapai kepada hakikat ilahi ,karena
kemuliaan dan keutamaan manusia yang melebihi dari makhluk makhluk lainnya adalah
kemampuan untuk ma’rifat kepada Allah swt.[1]
Oleh imam al Gazali yang diungkapkannya dalam kuitab masterpiece-nya ,kitab ihya ulumuddin
pada bab keajaiban hati sebagai berikut
Artinya :
“Manusia apabila telah mengenal hatinya berarti dia telah mengenal dirinya sendiri dan
selanjutnya dia akan mengenal tuhannya”.
Seluruh sendi kehidupan rasulullah dapat dikatakan sebagai peletak dasar praktek tasawuf, tidak
hanya didasarkan pada pola pikirnya saja tetapi juga tindakan yang bersumberkan kebenaran.
Tasawuf barasal dari kata shuff yang berarti woll kasar karena orang orang suffi selalu memakai
pakain tersebut sebagai lambing kesedarhanaan. Seseorang disebut shuffi bukan sekedarkarena
dia memakai kain woll saja , tetapi karena kesucian dan kebersihan hatinya yang merupakan
karunia dari allah swt menurut al ghanimi.
Menurut harun nasution ,tasawuf berasal dari akar kata shafa yang berarti bersih atau suci
.disebut shuffi karena hatinya tulus dan bersih dihadapan tuhannya.Harun Nasution juga
mengatan tasawuf berasal dari kata shuff yang berarti wol kasar, karena orang orang suffi selalu
memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan. Hal ini merupakan reaksi terhadap
kehidupan mewah yang dinikmati oleh golongan pemerintah.
Menurut ibid kata tasawuf berasal dari kota shophos .kata tersebut berasal dari kata yunani yang
berarti hikmah
Menurut Ibrahim basuni,kata tasawuf berkaitan dengan kata arab asshifat karena para shuffi
sangat mementingkan sifat sifat terpuji dan berusaha keras meninggalkan sifat sifat tercela.
Menurut Ibrahim basuni, berasal dari ahlal shufah yaitu orang orang yang tinggal di suatu kamar
disamping masjid nabi di madinah. Mereka tidur diatas batu dengan pelana sebagai bentang.
Dari beberapa teori yang telah ditemukan para ahli umumnya cenderung memandang teori yang
disebut pada pendapat Al Ghanimi dan Harun Nasution adalah yang paling tepat menurut teori
kebahasaan.[2] Al sarraj, tokoh shuffi akhir abad ke-4 secara tegas menyutujui teori ini dan
mendukungnya dengan ungkapan bawha woll adalah pakaian para nabi dan simbol para wali dan
shuffi. Dengan demikian kata tasawuf merupakan bentuk master dari fi’il tasawuf yang berarti
mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan bulu domba atau wol kasar. Sebagai mana telah
diketengahkan pada awal perkembangannya, ciri khas dari para shuffi, disamping kesholehan
dan sifat zuhud mereka, adalah pakaian mereka yang berupa woll kasar, yang merupakan
lambing kesederhanaan yang menjadi salah satu sifat utama para shuffi tersebut.
Selain dari tokoh tokoh diatas ,Banyak para pakar yang memberikan definisi terhadap istilah
tasawuf.definisi satu dengan yang lainnya berbeda beda, tergantung dari sisi mana pakar tadi
meninjaunya. Ada yang melihat dari sisi sejarah kemunculannya, ada yang melihat dari sisi
fenomena sosisal diabad klasik dan pertengahan ,juga ada yang melihatnya dari sisi substansi
ajarannya. Disamping itu, ada juga yang melihatnya dari sisi tujuannya.
Teori pertama, Menyatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “sifat” dengan alasan bahwa para
sufi suka membahas sifat sifat allah sekaligus mengaplikasikan sifat sifat Allah tersebut dalam
perilaku mereka sehari-hari, sehingga sifat sifat itu menjadi kepribadiannya.
Teori kedua menyatakan bahwa tasafut diambil dari akar kata “shuffah” artinya selembar bulu,
sebab para shuffi dihadapan tuhannya merasa bagaikan selembar bulu yang terpisah dari
kesatuannya yang tidak mempunyai nilai apa-apa.
Teori ketiga, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-busti seorang pakar tasawuf dari al-azhar
mesir, menyatakan bahwa tasawuf berasal dari akar kata “as-safa” yang artinya suci, bersih, dan
murni, sebab para shuffi membersihkan jiwanya hingga berada dalam satu kondisi suci dan
bersih.
REPORT THIS AD
Diantara berbagai pendapat tentang asal usul tasawuf. menurut ahmad as-sirbasi, pendapat al-
gustilah yang paling kuat dan rajin, sebab kenyataannya tasawuf itu adalah upanya penyucian
hati supaya bias dekat dengan allah. Berbeda dengan as-sirbasi, ibnu khaldun berpendapat bahwa
tasawuf yang berasal dari kata “suff” yang artinya wool kasar adalah lebih rajin dan kuat, sebab
kenyataanny waktu pada waktu itu para sufi biasa memakai wol kasar sebagai tanda
kesederhanaan.
Dilihat dari tujuannya, seperti yang telah disinggung diatas, tasawuf adalah proses pendekatan
diri kepada allah dengan cara mensucikan hati (tasfiat al-qolbi). Allah yang maha suci tidak
dapat didekati kecuali oleh manusia yang suci. Manusia yang suci bukan hanya bias dekat
dengan tuhan, malah dapat melihat tuhan (al-ma’rifat) .
1. Basyir al-haris, mendefinisikan orang sufi adalah orang telah bersih hatinya, hatinya semata mata
hanya untuk allah.
2. Abu Muhammad al junrairi berkata tasawuf itu iyalah masuk kedalam budi menurut contoh yang
ditinggalkan oleh nabi dan keluar dari budi yang rendah.
3. Abu ali al-ruzbari berpendapat bahwa seorang sufi iyalah orang yang memakai kain shuf untuk
membersihkan jiwanya, menekan dan menyiksa nafsunya, meletakkan dunia dibawah tempat
duduk dan berjalan menurut contoh rasul Mustafa.
4. Abu bakar al kalabadzi berpendapat bahwa kata sufi memiliki semua arti penting seperti
penarikan diri dari dunia, menjauhkan jiwa dari keduniawian, meninggalkan semua tempat
tinggal yang telah mapan, secara tetap dan terus menerus mengadakan perjalanan (safar),
mengingkari kesenangan dunia(jasmani) bagi jiwanya, menyucikan tinggkah laku,
membersihkan batin, melapangkan dada dan mutu kepemimpinan.
5. Menurut makruf al-karakhi mengartikan tasawuf, seseorang disebut sufi jika mengambil hakikat
dan putus asa dari apa yang ada ditangani sesame makhluk. Ma’ruf al-kharakhi berkata:
Artinya:
“tasawuf adalah hanya menerima kebenaran dan tif=dak mengharapkan apa yang ada ditangan
para makhluk , barang siapa yang tidak sanggup menerima kefakiran berarti tidak berhasil
mencapai derajat tasawuf.
6. Abu husein an-nuri berkata tasawuf itu bukan suatu bentuk atau ilmu tetapi moral, berakhlak
dengan akhlak allah. Jadi tasawuf merupakan kesempurnaan moral yang semata mata hanya
untuk mencapai allah.
7. Imam junaid al Baghdadi mendefinisikan tasawuf dengan bahasa lain yaitu tasawuf adalah jika
engkau dilalaikan dari dirimu sendiri dan dihidupkan oleh Nya. Seorang sufi akan meninggalkan
segala miliknya dan dengan gigih berusaha mencapai segala yang menjadi miliknya, bila ia mati
dalam hal hal yang berhubungan dengan dirinya sendiri, mak ia akan hidup dalam hal hal yang
berhubungan dengan allah. Imam al junaid al Baghdadi mengatakan:
Arinya:
“tasawuf adalah engkau ada bersama allah tanpa alaqoh (tanpa perantara)
8. Menurut Muhammad bin ali al-qasab, tasawuf adalah akhlak mulia yang Nampak di zaman yang
mulia dari seorang manusia mulia bersama kaum yang mulia.
9. Menurut usman al-makki menyatakan bahwa tasawuf adalah keadaan dimana seorang hamba
setiap waktu melakukan sesuatu perbuatan(amal) yang lebih baik dari waktu yang sebelumnya.
10. Syekh abdul qodhir berpendapat bahwa tasawuf adalah mansucikan hati dan melepaskan nafsu
dari pangkalnya dengan khalwat, riyadho, dan terus menerus berdzikir dengan dilandasi dengan
iman yang benar, mahabah, taubat, dan ikhlas.
11. Sirri Assaqoti (W.251H) berkata:
Artinya: “Tasawuf adalah suatu nama bagi 3 makna: yakini (1)Nur Makrifatnya tidak
memadamkan cahaya kewaraannya, (2)Tidak berbicara tentang ilmu batin yang bertentangan
dengan makna zahir Al kitab atau sunah, dan (3)Tidak terbawa oleh karomahnya untuk
melanggar larangan Allah.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
2. Pengertian tasawuf secara etimologi adalah pengertian Tasawuf secara bahasa..Banyak sekali
pendapat-pendapat dari para ahli mengenai pengertian tasawwuf secara etimologi.dari pendapat-
pendapat tersebut,dapat ditarik Kesimpulan bahwa tasawwuf berasal dari kata shuf,shafa,ahlus
shuffah dan lain sebagainya.yang maknanya dikaitkan dengan benda dan artefak-artefak
bersejarah yang mengandung makna kesucian dan kebersihan jiwa yang pada dasarnya memiliki
arti yang sama yaitu untuk lebih menekan hawa nafsu duniawi agar dapat meningkatkan iman
dan akhlak menjadi lebih baik dan pada akhirnya dapat lebih dekat dengan Allah SWT.
2.Pengertian tasawuf secara terminologi adalah pembahasan tasawuf secara istilah yang
didefinisikan oleh para ahli,suffi,dan para kalangan sarjana yang mengartikan tasawuf dengan
keadaan dimana seseorang meninggalkan urusan dunia dan lebih mementingkan kehidupan di
akhirat kelak.
1. Saran
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan.Penulis berharap dengan adanya makalah ini
dapat menambah wawasan dan memperdalam keimanan kepada Allah swt.Penulis menyadari
bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dalam penyajian.Oleh karena itu,sudilah kiranya
pembaca memberi kritik untuk menyempurnakan makalah ini.Akhir kata,semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Khalim,Samidi.Islam dan spiritualitas jawa.Semarang;Rasail Media Group,2008
Rusli,Ris’an.Tasawwuf dan tarekat.Jakarta;Rajawali pers,2013
Alba,Cecep.Tasawuf dan Tarekat.Bandung: Re
[1] Samidi khalim, islam & spiritualitas jawa, RaSAIL Media Group, semarang, 2008 hlm 13
[2] Ris’an rusli,tasawuf dan tarekat, rajawi pers, Jakarta, 2012, hlm 6.
REPORT THIS AD
REPORT THIS AD