Kontrol Infeksi Dalam Praktek Dermatology
Kontrol Infeksi Dalam Praktek Dermatology
PENDAHULUAN
Pencegahan infeksi merupakan permasalahan kuno dengan penekanan pada
praktek kebersihan tangan dan pemisahan pasien dan isolasi. Pada
pertengahan tahun 1880an, Ignaz Semmelweis (1818-1865), seorang dokter
hungarian di Venna, mengadakan hipotesa tentang demam ditularkan
melalui tangan pada petuga kesehatan berdasarkan onbervasi pada wanita
yang melahirkan diluar rumah sakit memiliki kecil kemungkinan untuk
mengalami demam. Dia menemukan mahasiswa kedokteran yang
bertanggungjawab pada penularan biasanya ditunjukkan pembedahan
membantu penularan. Demikian, disinfeksi pada tangan mungkin ankan
mencegah penularan infeksi dari cadavers kepada wanita hamil. Setelah
pelaksanaan cuci tangan dengan disinfeksi lemon sebelum membantu dalam
penularan, angka kematian menurun secara signifikan. Florence nightingale
(1820-1910), seorang perawat inggris,mengusulkan bahawa bentuk rumah
sakit berkaitan erat dengan penularan infeksi. Dia menolak konsep rumah
sakit yang lama dengan pencahayaan yang kurang dan ventilasi natural, dan
percaya bahwa pasien sakit seharusnya tidak diasingkan/ isolasi dengan
pertimbangan sekresi saluran napas berpotensi berbahaya. 1
Meskipun sejarah praktek pencegahan infeksi sudah berdiri lama dengan
jarak yang dimodifikasi (tabel 1), hal ini tetap seringkali terlupakan atau
terlalaikan di bagian profesi kesehatan.
Penularan dari sindroma respirasi akut (SARS) di Hongkon pada tahun 2003
dengan kematian dari 8 petugas kesehatan sangat mengejutkan
menyadarkan dari pentingnya pencegahan infeksi antara petugas dibagian
depan / pertamauntuk dilanjutkan secara berkala. 2
Pemenuhan dengan praktek pencegahan infeksi untuk ditentukan oleh
tanggapan daru petugan kita dalam mempertahankan keselamatan sendiri
telah mengancam.3. zaman sekarang direkomendasikan dari standar dan
tindakan bebasis pencegahan di rumahsakit juga dapat dilaksanakan di
klinik dermatology.
Apa yang akan kita pikirkan dengan tindakan pencegahan ?
Standar pencegahan harusnya tidak iterapkan pada semua pasien dengan
potensi menularkan melalui kontak dengan darah dana cairan tubuh lainnya,
dan termasuk kebersihan tangan, dan tepat dalam menggunakan alat
perlindungan dri (PPE) ( seperti sarung tangan dan pakaian, masker, kaca
mata, dan pelindung wajah) dalam kasus yang berhubungan dengan darah,
cairan tubuh, secresi, eksresi kecuali keringat, kelainan kulit, dan lendir.
Dalam pengaturan dermatology, sarung tangan tidak harus digunakan
selama kontak dengan potensi infeksi kulit pada pemotongan kuku untuk
pemeriksaan jamur ato penerapan cryoterapi. Setelah prosedu, sarung
tangan harus dilepas segera dan dilanjutkan dengan mencuci tangan dengan
menggosok tangan menggunakan alkohol tanpa air atau mencuci dengan
sabun dan air.
Penanganan hati – hati juga penting ketika mengumpulkan sample darah
untuk serologi sipilis atau antibodi HIV. Risiko penularan virus melalui
darah 33 % pada hepatitis B, 3 % hepatitis C, dan 0,3% HIV, jika sumber
pasien dari luka jarum yang telah diketahui HbeAg, HCVRNA dan HIV Ab
respectively. Meskipun dalam keadaan keracuan toksin injeksi untuk otot
wajah dengan potensi kontaminasi melalui darah kapiler kecil sekali,
penyebaran virus melalui darah terutama hepatitis B dan C dapat ditularkan.
Oleh karena itu reccaping jarum menjadi kontraindikasi absolut. Selain itu
penggunaan jarum dapat secara langsung kedalam penusukan dengan
mudah dalam pengaturan klinis saat ini.