LAPORAN KASUS
DEMAM TIFOID
Pendamping :
dr. Dwi , Sp.Pd
Disusun Oleh :
dr. Fibiaka Algebri Budiarto
RS SUMBERGLAGAH
KABUPATEN MOJOKERTO
PROVINSI JAWA TIMUR
2019
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
V. Abdomen ...................................................................
2
VI. Ekstremitas ................................................................
V. DIAGNOSIS .........................................................................
I. PENDAHULUAN ................................................................
1.1.2 Sero-Imunologi...................................................
1.1.3 Mikrobiologi.......................................................
3
1.2.5 Pola Pemberian Antimikroba .............................
4
8.5 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit ........................
X. CHOLELITIASIS ..................................................................
5
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
DAFTAR GAMBAR
Gambar 9. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di
6
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 18-10-XX-XX
Nama : Tn. WR
Usia : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kambengan
Pekerjaan : Petani
MRS : 28 Februari 2019
II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Demam menggigil
7
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Demam tifoid (+) 2 bulan yll
Hipertensi (-)
Infeksi saluran nafas (+)
DM (-)
Batu ginjal (-)
Trauma (-)
Operasi (-)
E. Riwayat Pengobatan
Paracetamol (beli sendiri) saat panas 1 tablet.
F. Riwayat Alergi
Tidak ada alergi obat maupun makanan
8
II. Kepala
Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), bibir
kering (-), lidah kotor ditengah dengan tepi agak kemerahan (+)
III. Leher
Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-), Peningkatan
jugular venous pressure (-), nyeri tekan (-)
IV. Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, ketinggalan gerak
napas (-), jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus dbn, pengembangan dada
dbn
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) menurun di kiri, rhonki (+/+) halus,
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea axilaris anterior sinistra
SIC V
Perkusi : Batas jantung di linea parasternalis dextra – midline
axilaris sinistra, cardiomegali?.
Auskultasi : Suara S1-S2 normal, bising (-), takikardi (-)
V. Abdomen
Inspeksi : Soepel, jejas (-), distensi (-), massa (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) dalam batas normal
Perkusi : Timpani, organomegali (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
9
VI. Ekstremitas
Hangat (+), Oedem (-), CRT < 2 detik, akral hangat. Hasil
pemeriksaan Uji bendung (-)
VII. Status Lokalis
Ginjal pada Regio Costovertebral
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Ballotement (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Nyeri ketuk (-)
Laboratorium
10
Monosit 16 (2-6%)
Hematokrit 24.8 (37-43%)
Trombosit 141.000 (150-440 ribu)
Widal Test
Salmonela Typhi O 1/320 Negatif
Salmonela Typhi H 1/320 Negatif
Salmonela paratyphi A 1/320 Negatif
Salmonela paratyphi O 1/320 Negatif
Kimia Klinik
Creatinin 0.92 L: 0.67-1.17 mg/dl
SGOT 33 L: 40
SGPT 13 L: 41
Glukosa Sewaktu 144.31 <200mg/dl
11
3. Tanggal pengambilan sampel: 5 Maret 2019
THORAX FOTO
12
BOF
Gambar 2. BOF. Tampak gambaran peningkatan gas usus dan face material
USG ABDOMEN
13
Gambar 3. USG abdomen. Hasil bacaan efusi pleura dextra, batu Gald Bladder
dengan gambaran porcelain GB ukuran terbesar 0,49 cm. Lain-lain tak tampak
kelainan.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Banding
Demam dengue, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis
Diagnosis Kerja
Demam tifoid
14
VI. TATALAKSANA
Rencana Tindakan
Infus Oksitosin 20 tpm
Injeksi Ceftriaxone 2x1g
Injeksi Antrain 3x1 amp
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Injeksi Ondancentron 3x4 mg
Paracetamol 3x500 mg k/p
Po: Sucralfat syrup 3xCI
Diet halus – lunak sesuai kemampuan dan kondisi pasien
KIE makan dan minum cukup
Tirah baring dan pengawasan perawatan rutin
Follow Up
15
2. Sabtu, 2 Maret 2018
16
4. Senin, 4 Maret 2018
S : Pasien merasa sesak. Perut terkadang terasa penuh dan nyeri. Pasien merasa
Susah BAB 4 hari ini.
O : KU Cukup, Kesadaran CM
TD : 115/70mmHg HR : 80x/m RR : 27 x/m t : 36,5 ºC
Kepala/leher : Anemia/icterus/cyanosis/dyspnea : +/-/-/+
Thorax : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
S1S2 tunggal gallop -/- Murmur-/-
Abdomen Inspeksi : Sedikit Distended
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) hipokondriaca kanan
A : Demam Tifoid + Dengue Fever + anemia + Obs Dyspnea
P : O2 nasal 3-4 lpm
Foto thorax, BOF dan lab SE besok
Dulcolax supp ekstra I
Terapi lanjut sesuai advis dr. Dwi Sp.PD
S : Pasien masih merasa sesak. Pasien mengatakan batuk semakin sering dan
dahaknya semakin kental. Perut kembung, dan terasa nyeri.
O : KU Cukup, Kesadaran CM
TD : 115/70mmHg HR : 80x/m RR : 28 x/m t : 36,8 ºC
Kepala/leher : Anemia/icterus/cyanosis/dyspnea : -/-/-/+
Thorax : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
S1S2 tunggal gallop -/- Murmur-/-
Abdomen Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani
17
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) hipokondriaca kanan
Thorax Foto : Cardiomegali dd massa lingual sinistra. Pleuropneumonia pleura
sinistra.
BOF : Tampak gambaran peningkatan gas usus dan face material
Lab SE : Hipokalemia
A : Demam Tifoid + Dengue Fever + Efusi Pleura Dextra + Pneumonia +
Hipokalemia
P : O2 nasal 3-4 lpm
Infus Asering 14 tpm
Injeksi Furosemid 0-0-1
Drip KCL 25 meq dalam PZ 500 cc/12 jam (2x)
Po: KSR 3X1
Besok Pro USG abdomen
Lain-lain lanjut sesuai advis dr. Dwi Sp.PD
S : Masih terasa sesak meski sudah berkurang, nyeri perut sudah berkurang,
BAB (+) BAK (+)
O : KU Cukup, Kesadaran CM
TD : 120/70mmHg HR : 80x/m RR : 25 x/m t : 36,5 ºC
Kepala/leher : Anemia/icterus/cyanosis/dyspnea : -/-/-/+
Thorax : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
S1S2 tunggal gallop-/- Murmur-/-
Abdomen Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Usg Abdomen : Efusi pleura dextra, batu Gald Bladder dengan gambaran porcelain
GB ukuran terbesar 0,49 cm. Lain-lain tak tampak kelainan.
18
A : Demam Tifoid + Dengue Fever+ Efusi Pleura bilateral Dextra<Sinistra +
Pleuropneumonia + Oedem Pulmo + Hipokalemia + Cholelitiasis
P : Furosemid dinaikkan 3x1
Raber Paru
Ap: Nebul combivent 2x1 dan Nebul Pulmicort 2x1
Lain-lain lanjut sesuai advis dr. Dwi Sp.PD
S : Sudah tidak sesak, sudah tidak nyeri perut, BAB (+) BAK (+). Pasien
meminta pulang.
O : KU Cukup, Kesadaran CM
TD : 120/80mmHg HR : 84x/m RR : 23 x/m t : 36,5 ºC
Kepala/leher : Anemia/icterus/cyanosis/dyspnea : -/-/-/-
Thorax : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
S1S2 tunggal gallop-/- Murmur-/-
Abdomen Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
A : Demam Tifoid + Dengue Fever+ Efusi Pleura bilateral Dextra<Sinistra +
Pleuropneumonia + Oedem Pulmo + Hipokalemia + Cholelitiasis
P : Pasien pulang
KIE pasien dan keluarga: Tentang penyakit dan kontrol poli penyakit dalam
dan paru.
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
19
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
I. PENDAHULUAN
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait 1 dengan
sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
1.1 Demam
1.1.1 Pendahuluan
20
klinik. Tiga abad kemudian baru untuk pertama kali, Traube memperlihatkan sebuah
kurve suhu secara menyeluruh yang dibuat di sebuah klinik di Leipzig. Penggunaan
kurve suhu makin meluas setelah dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun
1868, di mana beliau mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya
dalam rnemakai alat pengukur suhu ini semakin bertambah keyakinannya mengenai
manfaat pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang cukup
akurat dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien. Suhu pasien biasanya diukur
dengan termometer air raksa dan tempat pengambilannya dapat di aksila, oral atau
rektum. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5° - 37,2°C. Suhu sub normal di bawah
36°C. Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2°C.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sarnpai setinggi 41,2°C atau
lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 35°C. Biasanya
terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam
keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,5°C; suhu rektal lebih tinggi daripada
suhu oral.
21
penglepasan asam arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin
E2 yang langsung dapat menyebabkan suatu pireksia.
Demam Septik : Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke
tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila
demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam
hektik.
Demam Remiten : Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap
hari tetapi tidak pemah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat
pada demam septik.
Demam Intermiten : Pada tipe demam intenniten, suhu badan turun ke tingkat
yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam di antara
dua serangan demam disebut kuartana.
Demam Kontinyu : Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari
tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia.
Demam Siklik : Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
22
Suatu tipe demam kadang-kadang dapat dihubungkan dengan suatu penyakit
tertentu, seperti misalnya tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang pasien
dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang
jelas, seperti misalnya: abses, pneumonia, infeksi saluran kencing atau malaria; tetapi
kadang-kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan suatu sebab yang jelas.
Bila demam disertai keadaan seperti sakit otot, rasa lemas, tak nafsu makan dan
mungkin ada pilek, batuk dan tenggorok sakit, biasanya digolongkan sebagai
influenza atau common cold. Dalam praktek, 90% dari para pasien dengan demam
yang baru saja dialami, pada dasamya merupakan suatu penyakit yang self-limiting
seperti influenza atau penyakit virus sejenis lainnya. Namun hal ini tidak berarti
bahwa kita tidak harus tetap waspada terhadap suatu infeksi bakterial.
Kausa demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan toksemia,
karena keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat. Juga gangguan pada pusat
regulasi suhu sentral dapat menyebabkan peninggian temperatur seperti pada heat
stroke, perdarahan otak, koma atau gangguan sentral lainnya. Pada perdarahan
internal pada saat terjadinya reabsorpsi dapat pula menyebabkan peningkatan
temperatur. Dalam praktek perlu sekali diketahui penyakit-penyakit infeksi yang
endemik di linkungan tempat tinggal pasien, dan mengenai kemungkinan infeksi
import dapat dinetralisasi dengan pertanyaan apakah pasien baru pulang dari suatu
perjalanan dari daerah mana dan tempat apa saja yang telah dikunjunginya. Pada
dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan antara
lain, ketelitian pengambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan fisis
yang seteliti mungkin, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan
laboratorium serta penunjang lainnya secara tepat dan holistik.
23
dan keluhan serta gejala lain yang rnenyertai demam. Demam yang tiba-tiba tinggi
lebih sering disebabkan oleh penyakit virus. Waktu yang dikorbankan untuk
menanyakan riwayat penyakit yang terperinci dan akurat dalam kenyataannya adalah
waktu yang digunakan kepentingan pasien yang mencari pertolongan sehingga dapat
terhindar orientasi diagnosis yang salah dan sebagai konsekuensinya mungkin
pemberian obat yang kurang tepat serta permintaan pemeriksaan laboratorium yang
mungkin salah pula, yang kesemuanya merupakan beban yang perlu ditanggung
pasien. Salah orientasi ini dalam konteks yang luas merupakan suatu pemborosan
fasilitas kesehatan yang disediakan dan merupakan pengorbanan finansial pasien yang
sama sekali tidak diinginkan.
Istilah yang digunakan untuk penyakit ini antaralain: febris et causa ignota,
fever of obscure origin, fever of undetermined origin dan fever of undiagnosed origin
(FUO). Penyebab FUO, sesuai golongan penyakitnya antara lain: infeksi (40%),
neoplasma (20%), penyakit kolagen (20%), penyakit lain ( 10%), dan yang tidak
diketahui sebabnya (10%).
24
1.1.2 Sero-Imunologi
1.1.3 Mikrobiologi
25
pengambilan sesteril mungkin. Selain kultur darah, mikroorganisme dalam urin juga
penting; dalam hal ini harus dijaga cara pengambilan sampel yang reprsentatif.
Semua sampel harus segera dibawa ke laboratorium dan harus segera dikultur.
Isolasi virus biasanya diambil dari sekret hidung, usap tenggorok atau
sekresibronkial. Untuk TBC diperlukan pemeriksaan sputum minimal 3 hari berturut-
turut. Untuk infeksi saluran cerna pemeriksaan mikroorganisrne dati feses diperlukan
untuk memantau spektrum kuman penyebab.
Dengan meluasnya spektrum penyakit virus dewasa kini dan karena pengaruh
urbanisasi, globalisasi maupun lingkungan yang kurang memadai lebih
memungkinkan pasien mengalami demam karena terjangkit infeksi virus. Pada saat
ini diperlukan patokan yang dapat membedakan pasien terjangkit virus atau bakteri
yang penatalaksanaannya berbeda total. Salah satu pengukuran yang dapat
dilaksanakan dalam tahap awal adalah pemeriksaan hematologis yang pada infeksi
bakteri akut dapat menunjukkan pergeseran hitung jenis ke kiri dengan atau tanpa
leukositosis.
Bila keadaan ini tidak dijumpai dan kita tetap ingin membedakan antara
infeksi virus dan bakteri dapat dilakukan pemeriksaan C-reaktif protein (CRP) yang
dapat, meningkat lebih dari 10 kali pada infeksi bakteri akut. Kenaikan ini masih
perlu dibedakan dengan artritis di mana keluhan pada sendi lebih dominan.
26
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang medis sangat vital terutama
dalam membantu diagnosis kelainan paru dan ginjal. Sumsum tulang belakang dan
persendian juga merupakan bagian-bagian yang ideal untuk diperiksa dengan sinar
tembus. Juga masih relatif mudah dikerjakan adalah pemeriksaan saluran pencemaan,
baik yang meliputi bagian atas, tengah atau bawah. Kolangiografi dapat membantu
diagnosis bila diduga kemungkinan terdapat suatu kelainan di kuadran kanan atas
abdomen sebagai penyebab demam.
27
Immuno - Anti HIV – AIDS
Westen Blot
Deficiency - Anti HIV – Agli AIDS
Partikel
Virus - Anti HIV DEI AIDS
(HIV) Anti HIV Line AIDS
Imun As
Endoskopi
Indikasi untuk melakukan pemeriksaan ini terutama berhubungan dengan
penyakit demam lama yang disertai diare dan nyeri perut. Pasien serupa ini mungkin
menderita kolitis ulserativa dan dapat didiagnosis secara pasti dengan sigmoidoskopi
atau kolonoskopi.
28
mengenai kandung empedu, saluran empedu dan pankreas dengan cara memasukkan
cairan kontras dalam ampul Vateri.
Elektrokaidiografi
Biopsi
Ultrasonografi (USG)
29
abdominal dengan jenis pemeriksaan ini makin lama makin berkembang dan makin
banyak dilakukan. Pemeriksaan ini secara khusus akan berguna untuk kelainan seperti
miksoma di atrium atau vegetasi di katub-katub jantung.
Pencitraan
Laparatomi
Di satu pihak konklusi dapat dicapai sangat cepat, karena pasien dapat segera
mengetahui sebab penyakitnya dan terhindar dari biaya- biaya pemeriksaan yang
30
sangat mahal, tetapi di lain pihak cara pendekatan diagnosis seperti ini tidak tanpa
bahaya, khususnya pada mereka yang sudah menurun keadaan umurnya. Tindakan
yang lebih sederhana seperti peritoneoskopi akan dapat rnembantu untuk mencapai
diagnosis seperti misalnya peritonitis tuberkulosa, karsinomatosis peritoneal,
kolesistitis dan infeksi rongga pelvis. Laparatomi telah bermanfaat sekali pada
penyakit-penyakit yang masih dapat diobati, seperti abses lokal, limfoma dan
penyakit autoimun.
31
menghilang bila pengobatan dihentikan dan merupakan sebuah tanda patognomonis
untuk jenis demam ini. Melalui berbagi mekanisme dapat terjadi deman obat ini yang
paling umum adalah karena teljadi suatu reaksi imunologis.
Pasien serupa ini mungkin memerlukan bantuan dokter ahli jiwa dan keadaan
seperti ini memang perlu disingkirkan dahulu karena sia-sia saja dicari penyebab
demamnya melalui pemeriksaan penunjang yang ada.
32
Sebelum pemberian antimikroba dimulai, selalu harus dipertanyakan lebih
dahulu apakah ada pembenaran pemakaian antimikroba. Pertanyaan berikut
menyangkut obat yang akan digunakan, dosis, cara dan lama pemberian, serta apakah
perlu tindakan tambahan seperti insisi dan sebagainya. Selanjutnya perlu untuk selalu
diingat agar obat yang akan digunakan efektif untuk hampir semua pasien dengan
penyakit sejenis.
Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi berat, diperlukan lebih
dari satu jenis antimikroba. Sebaliknya suatu keadaan yang tidak gawat dan baru
mulai serta tidak jelas etiologinya tidak memerlukan antimikroba kecuali bilamana
dapat ditunjukkan dengan jelas melalui pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang
dihadapi adalah suatu infeksi bakterial.
Usia Pasien
Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel dan perlu diingat bahwa
kelompok pasien ini lebih peka terhadap pemberian obat. Juga distribusi dan
konsentrasi obat dapat berbeda mengingat penurunan konsentrasi albumin darah dan
fungsi ginjal.
lnsufisiensi Ginjal
33
Antimikroba yang nefrotoksik seperti amfoterisin B (untuk jamur sistemik)
tidak boleh diberikan pada insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosid potensial
nefrotoksik dan bila terjadi akumulasi dapat juga bersifat neurotoksik. Mengukur
konsentrasi obat dalam darah dapat memandu pengobatan.
Pada anuria beberapa antimikroba yang tidak berbahaya yang dapat diberikan
tanpa mengurangi dosis antara lain kloramfenikol, eritromisin, rifampisin dan
kelompok penisilin (kecuali tikarsilin). Pada pasien dengan dialisis perlu diingat
bahwa beberapa antimikroba seperti : amfoterisin B, klindamisin, Iinkomisin dan
teicoplanin tidak dapat dibersihkan melalui dialisis. Penisilin yang stabil terhadap
penisilinase hanya sebagian dapat dibersihkan melalui dialisis.
34
Gangguan Granulositopenia
Dalam trimester kedua dan kefiga, obat antimikroba seperti tetrasiklin dan
kelompok amimoglikosid perlu dihindari terkecuali pada keadaan di mana jiwa
pasien terancam.
b. Parameter Mikrobiologis
35
Tiga hal yang perlu dikuasai dari segi mikrobiologis adalah 1. Pengertian
kepekaan, 2. Relevansi hasil pemeriksaan laboratorium, 3. Bagaimana cara untuk
membatasi dan menghindari penyebaran galur-galur yang resisten.
Pengertian Kepekaan
36
berdasarkan hasil-hasil uji klinis yang telah dilaksanakan sesuai GCRP (good clinical
research practice).
c. Parameter Farmakologis
Farmakodinamik Antimikroba
Ciri antibiotika yang ideal adalah bebas dari efek pada sistem atau organ
pasien. Terjadinya depresi sistem hemopoetik pada penggunaan kloramfenikol dan
gangguan vestibular pada kelompok obat arninoglikosid sebenarnya sangat tidak ideal
sehingga untung rugi pemakaian obat iniperlu selalu diperhitungkan atau digunakan
obat alternatif lainnya yangtidak menyebabkan efek samping tersebut.
37
memiliki mekanisme kerja yang berlainan. Tetapi segala sesuatu dengan sendirinya
hams melalui proses pengujian dalam klinik.
Untuk antibiotika yang diberikan secara oral perlu dipastikan agar absorpsi
berlangsung dengan baik sehingga konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan kuman dapat tercapai.
Pada umumnya dianggap bahwa hanya bagian antibiotika yang tidak terikat
protein darah memberikan efek antimikrobial. Tetapi sebenarnya yang harus diingat
adalah bahwa keadaan ini berupa suatu ekuilibrium. Dalam jaringan yang mengalami
radang dapat terkumpul banyak protein sehingga konsentrasi antibiotika yang aktif
bekerja pada tempat-tempat tersebut lebih besar.
38
empedu. Konsentrasi intraluminal antimikroba tersebut dalam saluran cerna dapat
meningkat terutama bila diekskresi secara utuh.
Biasanya digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas
kuman atau kuman-kuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian kombinasi
antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin.
Selain itu kombinasi digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga
untuk menghambat timbulnya resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang
digunakan.
Efek samping dapat berupa efek toksis, alergis atau biologis. Efek samping
seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomisin, gentamisin,
tobramisin, streptomisin atau amikin secara intraperitoneal atau intrapleural.
Eritromisin estolat sering menyebabkan kolestasisl hepatitis. Perlu juga diingat bahwa
antimikroba yang bekerja pada metabolisme kuman seperti rifampisin, kotrimoksasol
dan isoniasid potensial hemato dan hepatotoksik. Yang dapat menekan fungsi
sumsum tulang adalah pemakaian kloramfenikol yang melampaui batas keamanan
dan menyebabkan anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit
merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasien setelah
pemakaian kloramfenikol.
39
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman
Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan
yang memerlukan pengobatan intensifdapat juga disebabkan oleh penggunaan
antibiotika seperti klindamisin, tetrasiklin dan obat antibiotika berspektrum lebar
lainnya.
Pada terapi antimikroba direktif kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan
kepekaan terhadap antimikroba sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat
antimikroba efektif dengan spektrum sempit, misalnya infeksi saluran napas dengan
penyebabnya Streptococcus pneumoniae yang sensitif terhadap penisilin diberikan
penisilin saja. Jelas bahwa kesulitan yang dihadapi dalam hal ini terletak pada
tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat.
Pada terapi antimikroba kalkulatif, obat diberikan secara best guess. Dalam
hal ini pemilihan harus didasarkan pada antimikroba yang diduga akan ampuh
terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada organ/jaringan yang
dikeluhkan. Misalnya infeksi kulit yang sering disebabkan stafilokok berbeda
pemilihan antimikroba dengan infeksi saluran kemih yang sering disebabkan
enterobakteri. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab
sangat penting dalam penerapan terapi antimikroba kalkulatif.
40
Misalnya protokol penggunaan obat antimikroba pada infeksi pasien keganasan yang
mengalami granulositopenia. Cara pengobatan ini juga dikenal sebagai terapi
antimikrobial interventif bertahap.
Keinginan dari segi individual pasien perlu kita hormati yakni pemberian obat
yang akan menyebabkan dirinya cepat sembuh dari infeksi dalam jangka waktu
sependek mungkin dan tanpa menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan. Sisi
lain dari keinginan ini bermakna global. Dari segi pengertian global perlu dirumuakan
apa yang diartikan dengan pemberian obat rasional. Sesuai perumusan yang telah
disepakati dalam jajaran organisasi kesehatan sedunia pengertian ini meliputi
pemilihan tepat jenis, dosis, cara pembcrian dan penghentian obat yang berkualitas
baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya
oleh pasien.
41
II. PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
42
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
III. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
43
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Rutin
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji
Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
44
tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan
c). Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan dini
dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endernik atau non-endemik,
5). Riwayat vaksinasi , 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7).
Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonefla yang digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat- berbeda di
berbagai laboratorium setempat.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sebagai berikut : 1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
45
terhambat dan hasil mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan
kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa
negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi.
Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi
(aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4). Saat
pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
IV. TATALAKSANA
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Di rnasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasardan akhirnya diberikan nasi yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan
46
lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
c. Pemberian Antimikroba
47
Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya :
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari
ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin
yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
48
V. KOMPLIKASI DAN TATALAKSANA KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuhdapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
a. Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadapsumbu usus. Bila
luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi pendarahan.
Selanjutnya bula tukak menembus dinding usus maka peforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami pendarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Pendarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis pendarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat pendarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan
faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup
tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang
diberikan tidak dapat mengimbangi pendarahan yang terjadi, maka tindakan bedah
perlu dipertimbangkan.
49
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum
demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar keseluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada 50% penderita pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
Bila gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada
rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang
cukup menentukan terdapat perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi umur (biasanya berumur 20-30 tahun),
lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
a. Komplikasi Hematologi
50
sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial. Obat- obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengakliflean beberapa sistem biologik, koagulasi,
dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya
mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik
b. Hepatitis Tifosa
c. Pankreatitis Tifosa
51
d. Miokarditis
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom} klinis berupa gangguan
atau penurunan kesadaran akfit (kesadaran berkabut, apatis,delirium, somnolen,
sopor, atau koma) dengan atau tanpa diserfai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan caitan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya
menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam
tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras,kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan
(adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan
akibatnya meningkatkan angka kematian.
52
VI. TATALAKSANA TIFOID KARIER
Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai
gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S. typhi masih dapat ditemukan di feses atau
min selama 2-3 bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Pada penelitian di Jakarta
dilaporkan bahwa l6,18% (N= 68) kasus demam tifoid masih didapatkan kuman S.
typhi pada kultur fesesnya.
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik) dan 25% kasus
menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian
dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta
terdapat peningkatan risiko teljadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma
kolorelctal, karsinoma pankreas, karsinoma paru dan keganasan di bagian organ atau
jaringan lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan
populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor infeksi
kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.
53
diduga punya peran sangat panting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle
cell disease dan sistemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila
terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakteremia yang berat. Pada pemeriksaan
inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan respons reaktivitas
selular terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas
selular dan humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna pada sistem imunitas humoral dan selular sorta respons limfosit terhadap
Salmonella typhi antara pengidap tifoid dengan kontrol. Pemeriksaan respons imun
berdasarkan serologi antibodi IgG dan IgM terhadap S. typhi antara tifoid karier
dibanding tifoid akut tidak berbeda makna.
54
faktor tersebut di atas. Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada
tidaknya penyulit yang dapat dilihat pada tabel 1.
VII. PENCEGAHAN
55
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus
luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman
Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor
lingkungan.
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu I. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.
typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di
daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya
endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat
hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko,
yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
56
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
- Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
- Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman
- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi tifoid
- Pencarian dan eliminasi sumber penularan
- Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
- Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Daerah endemic
- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi, dan klorinisasi)
- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah)
- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun Pengunjung
7.2 Vaksinasi
Vaksin pertama kali ditemukani tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas
vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar
67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu proteksi
bila terpapar 107 bakteri.
57
- Vaksin parenteral: - ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul
polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty2la diberikan 3 kali secara bermakna
menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak >
10 tahun sedangkan anak usia 5-9 th insidens turun 17%.
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang
berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:
Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama dengananak
usia lebih besar.
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang
alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena
sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin,
meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24jam pemberian obat baru dilakukan
vaksinasi. Dianjurkan tidakmemberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamid
atau antimikroba lainnya.
58
7.2.5 Efek Samping vaksinasi
Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,
sakit kepala(0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%;
malaise 0,5%, sakit kepala l,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal 17%). Efek samping
terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,7-
24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri dan edema 3-3 5% bahkan reaksi
berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun
sporadis dan sangat jarang terjadi.
8.1 Pendahuluan
Demam dengue / DF dan demam berdarah dengue / DBD (dengue
haemorrhagie fever / DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.
8.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan
59
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkandemam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.
Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yeliow
fever, Japanese encehphalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemilogi pada
hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan
babi. Penelitian pada artropodamenunjukkan virus dengue dapat bereplikasi
padanyarnuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.
8.3 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pemah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga meneapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue teljadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk
betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat
penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan trasmisi virus dengue
yaitu: 1). vektor 1 perkembang baikan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor
di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). pejamu :
terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
60
nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3). lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan
kepadatan penduduk.
8.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah: a).
respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berparan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE); b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu THI akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, LL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis
virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi
komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya terbentuknya C3a dan C5
a.
61
Gambar 6. Hipotesis secondary heterologous infection (Sumber: Suvatt 1977-
dikutip dari Sumarmo 1953)
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi anamnestik
antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehinga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyababkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflarnasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-
6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a teljadi melalui aktivasi oleh kompleks
virus- antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi
sumsum tulang, dan 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3 g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit.
62
Gambar 7. Imunopatogenesis demam berdarah dengue (Sumber: Gubler DJ,
1997)
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik jugaberperan melalui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).
63
Gambar 8. Manifestasi klinis infeksi virus dengue (sumber : Monograph on
dengue/dengue haemorrahgic fever, WHO 1993)
64
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
- Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3" dapat ditemui
limfositosis relatif (>45 '% dari total leukosit) disertai adanya limfositplasma bim
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fasesyok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
- Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit 3 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-
3 demam.
- hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer,atau FDP pada keadaan yang dicurigai teljadi perdarahan atau
kelainanpembekuan darah.
- protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
- SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
- ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
- elektrolit: Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
- golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan
diberikantransfusi darah atau komponen darah.
- imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeksi hari ke-2.
- Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama saat pulang
dari perawatan,uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
65
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi pemrembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral delcubitus
kanan ( pasien itidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat
pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
8.7 Diagnosis
Masa inkubasi. dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodorinal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang
dan perasaan lelah.
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
- Nyeri kepala.
- Nyeri retro-orbital.
- Mialgia/artralgia.
- Ruam kulit.
- Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif).
- Leukopenia.
dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD
yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis
DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi :
- demam atau riwayat demam akut, antara 2-7hari, biasanya bifasik.
- Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau pndarahan gusi) atau perdarahan
dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
66
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
- Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma. leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan. nilai hematokrit sebelumnya
- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.
Sindrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD
disertaikegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan
darah turun (≤20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin
dan lembab serta gelisah.
67
mialgia,
artralgia
DBD I Gejala di atas - Trombositopenia
ditambah uji (<100.000/? 1) bukti ada
bendung kebocoran plasma
positif
DBD II Gejala di atas - Trombositopenia
ditambah (<100.000/? 1) bukti ada
pendarahan kebocoran plasma
spontan
DBD III Gejala di atas - Trombositopenia
ditambah (<100.000/? 1) bukti ada
kegagalan kebocoran plasma
sirkulasi (kulit
dingin dan
lembab serta
gelisah)
DBD IV Syok berat - Trombositopenia
disertai (<100.000/? 1) bukti ada
dengan kebocoran plasma
tekanan darah
dan nadi tidak
terukur
* DBD derajat II dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
8.9 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapin suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien
68
harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik Infeksi dan Devisi Hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan
DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:
- penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat
sesuai atas indikasi.
- praktis dalam pelaksanaannya.
- mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hernatokrit > 20 %
Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewas
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
- Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 -
150.000,pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalanke
69
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke-
Instansi Gawat Darurat.
- Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
- Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk dirawat.
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang
Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + {20 X (BB dalam kg + 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x(5s-20)}= 2200 ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
- Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000
jumlahpemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb,Ht trombo
dilakukan tiap 12 jam.
- Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000
makapemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBDdengan
peningkatan Ht > 20%.
Pratokol 3 Penatalaksanaan DBD den an Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
70
Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan
jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan makajumlah eairan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan
makajumlah caira infus dinaikan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan awal.
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah:
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon
hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia),
perdarahan saluran kencing (hematunla), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan
seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa
syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang
dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
71
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau
tanpa KID.
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DBD tampa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureurn dan
krreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi
kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan
kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah teljadi, ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
72
Gambar 9. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa
renjatan di Unit Gawat Darurat
73
dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik,
serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit.
74
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematokrit menurun,berarti terjadi perdarah (internal bleeding) maka pada
penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-
sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi make untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.
IX. PNEUMONIA
75
9.1 Diagnosis
Diagnosis pneumonia didapatkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gambaran klinik pada pneumonia biasanya ditandai dengan :
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertaidarah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
Sedangkan hasil pemeriksaan fisik terutama pada pemeriksaan status lokalis
dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada pemeriksaan inspeksi dapat terlihat bagian
yang sakit tertinggal waktu bernapas. Pada pemeriksaan palpasi dada didapatkan
fremitus yang mengeras pada bagian yang sakit. Saat dilakukan perkusi dada akan
didapatkan suara redup di bagian yang sakit. Sedangkan saat auskultasi akan
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian menjacli ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung diagnosis
pneumonia dapat meliputi:
1. Pewarnaan gram
2. Pemeriksaan lekosit
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas tersedia
4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
5. Kultur darah jika fasilitas tersedia
Penegakan Diagnosis (Assessment) klinis didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
1. Batuk-batuk bertarnbah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-Landa konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
76
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
9.2 Komplikasi
Komplikasi dari pneumonia dapat berupa Efusi pleura, Empiema, Abses panl,
Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.
9.3 Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik.
1. Pengobatan suportif / simptomatik
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dari ekspektoran
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan kurang dari
8 jam.
Pada pasien yang dilakukan Rawat Jalan dapat diberikan terapi antibiotic
sebagai berikut:
a. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat ;
- Makrolid: azitromisin, klaritromisin atau eritrornisin (rekomendasi kuat)
- Doksisiklin (rekomendasi lemah)
b. Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati atau penyakit
ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, kondisi imunosupresif atau
penggunaan obat imunosupresif, antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor risiko lain
infeksi pneumonia :
- Florokuinolon respirasi : moksifloksasisn, atau levofloksasin (750 mg) (rekomendasi
kuat)
- B-lactam + makrolid : Amoksisilin dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari)atau amoksisilin-
klavulanat (2 gram, 2x1 /hari) (rekomendasi kuat)
77
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan cefuroxime (500 mg,
2x1/hari), doksisiklin
Sedangkan pada pasien pneumonia yang menjalani perawatan (rawat inap,
tanpa rawat ICU) dapat diberikan antibiotic sebagai berikut:
1. Florokuinolon respirasi (rekornendasi kuat)
2. B-laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Agen B-laktam termasuk sefotaksim, seftriakson, dan ampisilin; ertapenem
untuk pasien tertentu; dengan doksisiklin sebagai alternatif untuk makrolid.
Florokuinolon respirasi sebaiknya digunakan untuk pasien alergi penisilin.
Selain terapi suportif dan definitive, pada pasien pneumonia juga diperlukan
terapi Konseling dan Edukasi. Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga
mengenai pencegahan infeksi berulang, pola hidup sehat termasuk tidak merokok dan
sanitasi lingkungan.
Pencegahan pneumonia melalui vaksinasi influenza dan pneumokokal dapat
dilakukan, terutama bagi golongan risiko tinggi (orang usia lanjut atau penderita
penyakit kronis).
9.4 Kriteria Rujukan
1. Kriteria CURB
(Conciousness, kadar Ureum, Respiratory rate> 30 x/menit, tekanan darah:
sistolik<9O mmHg dan diastolik <60 mmHg; masing-masing bila ada kelainan
bernilai 1).
Dirujuk bila total nilai 2.
2. Kriteria PORT (patient outcome research team)
Penilaian Derajat Keparahan Penyakit. Penilaian derajat keparahan penyakit
pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil
penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).
78
Faktor demografi
Usia : Laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun) – 10
Perawatan di rumah +10
Penyakit penyerta
- Keganasan +30
- Penyakit hati +20
- Gagal jantung kongestif +10
- Penyakit serebrovaskuler +10
- Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisik
- Perubahan status mental +20
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah
1. Skor PORT > 70
79
2. Bila skor PORT < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satudari kriteria dibawah ini :
a. Frekuensi napas > 30/menit
b. Pa02 / FiO2 kurang dari 250 mmHg
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
e. Tekanan diastolik < 60 mmHg
f. Tekanan sistolik < 90 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
4. Menurut ATS (American Thoracic Society) kriteria pneumonia berat bila
dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini.
a. Kriteria minor:
- Frekuensi napas > 30 / menit
- Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
- Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
- Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg
80
2. Dua dari tiga gejala minor tertentu (PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto
toraks parumenunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan
Ruang Rawat Intensif.
X. CHOLELITIASIS
BAB 3
PEMBAHASAN
I. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1.1 Demam Tifoid
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.
81
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Pada saat pasien
MRS, pasien berada pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit. Pasien merasa
badannya sakit semua terutama otot disertai nyeri kepala. Pasien tidak mengeluh
diare. BAB (+) sedikit. Perut terasa tidak enak, terutama perut kanan atas. Mual (+)
kadang, muntah (-). Tidak nafsu makan dan sedikit minum. Hal ini sesuai dengan
gejala-gejala klinis Demam Tifoid yang timbul pada minggu pertama sesuai literature
yaitu serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk, dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik Tanda-Tanda Vital (TTV) didapatkan peningkatan
suhu badan yaitu 380C (pyrexia), namun nadi hanya 78 x/menit (normal). Fenomena
ini dapat di-interpretasikan sebagai bradikardia relatif. Bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit. Pada
status lokalis Kepala Leher, ditemukan lidah kotor ditengah dengan tepi agak
kemerahan (+). Gambaran ini khas pada demam tifoid yaitu lidah yang berselaput
(kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor). Pada pasien tidak ditemukan
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,
koma, delirium, atau psikosis.
Pada pemeriksaan penunjang “Darah Lengkap” diperloleh hasil Hb = 8,1; LED = 25;
Leukosit = 7600; Hematokrit 24.8; dan Trombosit 141.000. Jika kita lihat leukosit normal,
namun terjadi peningkatan monosit dan segmen neutrofil (shift to the left) hal ini
mengindikasikan adanya infeksi bakteri. Selain itu kadar limfosit juga menurun
(limfositopenia) serta anemia dan trombositopenia sesuai dengan literatur bahwa pada
demam tifoid walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. SGOT dan SGPT pada pasien dengan demam tifoid
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Pada pasien ini
tidak terjadi kenaikan SGOT SGPT (SGOT = 33 dan SGPT = 13). Jika terjadi kenaikan
SGOT dan SGPT pada demam tifoid,maka tidak memerlukan penanganan khusus.
82
Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis demam tifoid pada pasien
ini adalah “Uji Widal”. Pada pasien ini didapatkan hasil Uji Widal Salmonela Typhi
O = 1/320, Salmonela Typhi O = 1/320, Salmonela Paratyphi A = 1/320, Salmonela
Paratyphi O = 1/320. Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.
typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal
adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu Aglutinin O (dari tubuh kuman) dan Aglutinin H
(flagela kuman) yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
83
Demam Berdarah Dengue (DBD). Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan
kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi :
- demam atau riwayat demam akut, antara 2-7hari, biasanya bifasik.
- Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau pndarahan gusi) atau perdarahan
dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
- Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma. leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan. nilai hematokrit sebelumnya
- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan trombositopenia yaitu 144.000 dan turun
lagi menjadi 133.000. Pada awal MRS, sudah terjadi trombositopenia ringan, namun pada
demam tifoid juga dapat terjadi trombositopenia sesuai dengan penjelasan sebelumnya.
Namun ketika dilakukan pengecekan ulang laborat darah lengkap, didapatkan penurunan
kadar trombosit menjadi 133.000. Hal ini semakin menguatkan adanya mixed infection
dengan virus dengue (diagnosis dengue fever lebih dapat ditegakkan). Pemeriksaan
selanjutnya utuk lebih menegakkan diagnosis dengue fever, adalah dengan pemeriksaan IgM
dan IgG Dengue. IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeksi hari ke-2.
1.3 Pneumonia
Pada anamnesa pasien juga mengeluh batuk sejak 1 minggu yll. Batuk kadang
disertai dengan dahak encer. Terkadang merasa sesak dan tidak enak di dada. Pada
84
hari ke 4 MRS pasien merasa sesak disertai batuk yang semakin sering dengan dahak
yang lebih kental dari pada sebelumnya. Gambaran klinik pada pneumonia biasanya
ditandai dengan Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C,
batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas
dan nyeri dada.
Pada pemeriksaan fisik auskultasi status lokalis thorax didapatkan Vesikuler
(+/+) menurun di kiri, rhonki (+/+) halus, wheezing (-/-). Terjadi peningkatan
frekuensi pernafasan pada H4 MRS yaitu 27-28 x/menit. Hal ini berlangsung sampai
2 hari setelahnya. Sesuai dengan literature hasil pemeriksaan fisik pada pneumonia
tergantung dari luas lesi di paru. Pada pemeriksaan inspeksi dapat terlihat bagian
yang sakit tertinggal waktu bernapas. Pada pemeriksaan palpasi dada didapatkan
fremitus yang mengeras pada bagian yang sakit. Saat dilakukan perkusi dada akan
didapatkan suara redup di bagian yang sakit. Sedangkan saat auskultasi akan
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian menjacli ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Pada H4 MRS, pasien menyatakan batu-batuk dan sesak, sehingga diputuskan
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Thorax Foto. Pada pemeriksaan
penunjang foto thorax ditemukan Cardiomegali dd massa lingual sinistra dan
pleuropneumonia pleura sinistra. Hal ini menunjang penegakan diagnosis pneumonia.
Penegakan Diagnosis (Assessment) klinis didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
1. Batuk-batuk bertarnbah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-Landa konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
85
Untuk selanjutnya, pasien diperlukan pemeriksaan lebih mendalam untuk
menindaklanjuti kecurigaan adanya massa di lingual sisnistra, mungkin dapat
dilakukan USG Thorax atau biopsy pada fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
1.4 Cholelitiasis
Pada anamnesa awal MRS pasien mengeluh perut terasa tidak enak, terutama
perut kanan atas. Mual (+) kadang, muntah (-). Keluhan ini terus berlangsung hingga
H6 dengan keluhan berkembang menjadi konstipasi (perut terasa kembung danpenuh
serta tidak bisa BAB). Namun setelah diberikan pencahar (ketorolac supp ekstra)
keluhan tidak kunjung hilang. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan (+)
hipokondriaca kanan. Hingga akhirnya pada H6 MRS dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa USG Abdomen dan BOF dengan kecurigaan obstruksi usus dan
kelainan pada hepar. Hasil USG tampak adanya efusi pleura dextra, batu Gald
Bladder dengan gambaran porcelain GB ukuran terbesar 0,49 cm. Lain-lain tak
tampak kelainan. Sedangkan hasil BOF tampak gambaran peningkatan gas usus dan
face material. Sehingga disimpulkan adanya Cholelitiasis (Batu Gald Bladder).
Pasien dilakukan perawatan rutin dan tirah baring. Hal ini cukup penting
diperhatikan dalam penanganan demam tifoid karena tirah baring dan perawatan
profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan
sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil buang air besar
akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
86
Pasien diberikan diet halus-lunak sesuai kemampuan dan keadaan pasien. Diet
merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di rnasa
lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasardan akhirnya diberikan nasi yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
ditujukan untuk menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa
peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid.
c. Pemberian Antimikroba
Pada pasien ini diberikan antimikroba berupa injeksi Ceftriaxone 2x1 gr.
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.
87
suportif yang diberikan berupa injeksi Antrain 3x1, injeksi Ranitidin 2x1 dan
Sucralfat syr 3 x CI PO.
88
89
DAFTAR PUSTAKA
90
Hendarwanto. Dengue. In : Noer HMS, Waspadji S. Rachman M, et al. Buku ajar
llmu Penyakit Dalam edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996. p.417-
26.
Hornick RB. Typhoid fever. In: Hoeprick P, Jordan MC, Ronald AR, edi-tors.
Infectious diseases. a treatise of infectious processes 5th ed. Phila-delphia: JB
Lippincott Co; 1994. p. 747-53.
Handoyo I. Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik Indonesia
1996;7(3):117-22.
Hardi S, Soeharyo, Karnadi E. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever
patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnosis and treatment in the 1990. s. lst
ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesiana 1992: 1 88-95.
Hoffman SL. Typhoid fever. In: Strickland GT,editor. Hunter ’s tropical medicine. 7
th ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1991. p. 344-59.
Khosla SN. Severe Typhoid fever an appraisal of its profile. In: Nelwan RHH, editor.
Typhoid fever. Profile, diagnosis and treatment in the 1990 ’s. lst ed. Jakarta:
FKUI Press; 1992. p. 51-82.
Lanata CF, Levine MM, Ristori C, Black RE, Jimenez L, Salcedo M ct al. Vi
serology in detection of chronic Salmonella Typhi carriers in an en- demic
area. Lancet 1983;2(8347):441-3.
Lin FY, Becke JM, Groves C, Lim BP,lsrael E, Becker EF. Et al. Restaurant-
associated outbreak of typhoid fever in Maryland: identification of carrier
facilitated by measurement of serum V1 antibodies. J Clin Microbiol
1988;26(6):1194-7.
Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon RT. 2008. Lecture Notes Penyakit
Infeksi. Jakarta: Erlangga Press.
Mathai E, John TJ, Rani M, et al. Significance of salmonella typhi bacteriuria. J Clin
Mirobiol 1995;33(7):1791-2.
Misra S, Diaz PS, Rowley AH. Characteristics of typhoid fever in children and
adolescents in a major metropolitan area in the United States. Clin Infect Dis
1997:924-98
Nazir H. Demam Tifoid, pola klinis dan pengidap pascapengobatan di RS
Persahabatan, Jakarta. Naskah lengkap laporan hasil penelitian akhir PPDS
Bagian Ilmu Penyakit Dalarn, FKUI-RSCM.1989.
Nelwan RI-IH. Sistemik menegakkan penyebab demam. Dalam : Suharti dan Iwan
Darmansjah (eds), Naskah Lengkap Simposium Penatalaksanaan Demam,
l981.p.33-S2.
91
Nelwan RHH. Usaha ke arah penggunaan antibiotika secara rasional di Jakarta.
Dalam : Naskah lengkap Lokakarya Nasional Penggunaan Antibiotika Sacara
Rasional II, Surabaya, Januari 1992.
Nelwan RHH. Sebuah studi deskriptif klinik mengenai diagnosis dini demam Tifoid.
Acta Medica Indonesia 1993;15:13-8.
Nimmannitya S. Dengue and dengue hemorrhagic fever. In: Cook GC. Manson’s
Tropical Diseases. London: WB Saunders Co. 1996. p.721-9.
Nirnmannitya S. Dengue hemorrhagic fever: disorders of hemostasis. Pro- ceeding
International Congrees of Hematology, Asia-Pacific Division; 1999 Oct 24-
28; Bangkok, Thailand.
Nolan CM, White PC, Feeley JC, et al. Vi serology in the detection of typhoid
carriers. Lancet 1981;1(8220 Pt 1):583-S.
Pohan HT, Suhendro. Gambaran klinis dan laboratoris demam tifoid di Rumah Sakit
Persahabatan Jakarta. In: Zulkarnain I, editor. Demam tifoid peran mediator,
diagnosis, dan terapi. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit. Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. p. 8-21.
Pusponegoro AD, Syamsuhidayat. Relationship between biliary stones andsalmonella
typhi carriage. In: Nelwan'RHH, editor. Typhoid fever. Profile, diagnosis and
treatment in the 1990 s. lst ed. Jakarta: FKUI Press; 1992. p. 113-7.
Simon C, Stlle W, Wilkens PJ. Antibiotic Therapy in Clinical Practice 24"‘ Edition,
Schattauen-Stutgart. 1993
Sudarmono. Features of typhoid fever in Indonesia. In : Pang T, Koch CL,
Puthuchaery. Typhoid fever: strategies for the 90 S.selected papers from the
first Asia-Pacific Symposium on Typhoid Fever. Singapore; world
scientific;l992. pl 1-16.
Simanjutak CH, Hofrnan SI, Punjabi NH, et al. Epidemiologi dernam tifoid di suatu
daerah pedesaan di Paseh, Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran 1987;
45:16-8.
Survei Kesehatan Rurnah Tangga (SKRT) 1995. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1997. p.104-5.
Suharti C. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia: role of cytokine in plasma
leakeage, coagulation and fibrinolysis. Nejmegen: Nejmegen University Press
2001.
Sundoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,DKK. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I dan II. Jakarta: Pusat Penelitian Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.
92
Takeuchi A. Electron microscope studies of experimental Salmonella infection. I.
Penetration into the intestinal epithelium by Salmonella typhimurium. Am J
Pathol. 1967;50:109-36.
Thonghcharoen P. Monograph on dengue/dengue haemorrhagic fever. New Delhi:
World Heath Organization-Regional Oflice South East Asia. 1993.
Widodo D. Sindrom renjatan dengue pada orang dewasa. In: Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Inforrnasi dan
Penerbitan Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.
p. 51-8.
Zulkarnain I. Penatalksanaan demam berdarah dengue pada dewasa di RSCM. In :
Hadinegoro SR, Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai PenerbitFakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1999.p. 150-66.
93