Case 1
Case 1
Penulis:
dr. Rufina Rettu
Pendamping
RSUD Saparua
2018
Identitas Pasien
Anamnesis
Keluhan Utama
Riwayat Penyakit
Pasien perempuan umur 25 tahun datang ke IGD RSUD Saparua dengan keluhan
sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan hilang timbul dan semakin memberat
sejak kemarin. Sesak disertai keluhan batuk sejak 2 bulan yang lalu, batuk disertai lendir
berwarna putih kekuningan. Riwayat batuk disertai darah disangkal. Pasien juga
mengeluh sering keringat malam dan ada riwayat penurunan berat badan tetapi pasien
tidak tahu berapa banyak.
Keluhan pasien saat ini juga disertai pusing, lemas dan nyeri uluhati. Buang air besar
cair 2 kali. Sebelumnya pasien mengeluh sering mencret-mencret .
Pemeriksaan Fisik
- Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik, pupil isokor kanan dan kiri,
refleks cahaya positif
- Hidung : Septum deviasi -, rhinorea –
- Mulut : Sianosis – , tampak candidiasis oral
- Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang
- Telinga: normotia, otorhrea –
- Leher: jejas -, hematom -, pembesaran KGB –
- Paru-paru
- Abdomen: Supel , nyeri tekan epigastrium positif, nyeri tekan region hipokondrika
kanan dan kiri positif, perkusi timpani di seluruh lapang perut, bising usus positif
- Ektremitas : akral hangat ,CRT<2 detik
- Tonus : Normotonus
Massa : Eutrophy
Sendi : Normal
Kekuatan : 5/5 5/5 Sensori : + +
5/5 5/5 + +
Edema : _ _ Sianosis : _ _
_ _ - -
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
4,8/mm3 4000-10000
Leukosit
20,6 pg 26,0-32,0
MCH
28,4 g/dL 32.0-36.0
MCHC
O
Golongan darah
Positif
Tes HIV
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Pneumonia
PPOK
Asma bronkiale
Tatalaksana
1. Oksigen 4 lpm
2. Nebulizer Farbivent 1 ampul :Nacl 2cc
3. Paracetamol drip 500 mg
4. IVFD RL 20 tpm
5. Rencana transfusi 1 kantong
6. Ranitidin 2 x 1 ampul
7. Ambroxol 3 x 1 tab
8. Rencana pemeriksaan sputum SPS
Follow Up
22/1/2018
A Suspek TB Paru kasus baru, HIV stadium III, Anemia defisiensi besi
IVFD RL 20 tpm
Ambroxol 3 x 1 tab
Rencana Rujuk
Prognosis
Ad Vitam : Ad malam
Ad Functionam : Ad malam
Ad Sanationam : Ad malam
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada orang
dengan HIV dan AIDS (ODHA). Kolaborasi TB-HIV adalah upaya pengendalian kedua
penyakit dengan mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional, baik pada aspek
menajemen kegiatan program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien .1
Tujuan kolaborasi ini untuk mengurangi beban kedua penyakit tersebut secara efektif dan
efisien melalui pembentukan mekanisme kolaborasi program TB dan HIV/AIDS, menurunkan
beban TB pada ODHA (IPT, intensifikasi penemuan kasus TB dan pengobatan, PPI TB di
layanan kesehatan), dan menurunkan beban HIV pada pasien TB (menyediakan tes HIV;
pencegahan HIV; pengobatan preventif dengan kotrimoksasol; dan Perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV).1
Epidemiologi
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10 kg dalam
4 bulan) sedangkan keluhan batuk pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami
terduga TB pada umumnya. Semua ODHA yang berkunjung ke layanan dokter harus dilakukan
skrining gejala dan tanda TB secara rutin dengan menanyakan 5 gejala utama yaitu:3
Tabel 1. Perbedaan TB Paru pada Stadium Awal dan Lanjutan Infeksi HIV2
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan terdapatnya infeksi HIV adalah
anemia, leukopenia,atau trombositopenia yang tidak terjelaskan penyebabnya.2
Mikroskopis
Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan
pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya
BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan
mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (sewaktu dan pagi =SP) dan
bila minimal salah satu spesimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosisTB dapat
ditegakkan.2
Oleh karena pemeriksaan mikroskopik dahak pada ODHA sering memberikan hasil
negative maka diperlukan penegakan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat (Xpert
MTB/Rif). Selain ditemukan adanya Mycobacterium Tuberculosis genexpert juga dapat
menentukan apakah M.Tuberculosis tersebut sensitif atau resisten Rifampisin.3
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Waktu
pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun,
kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan
waktu sekitar 6-8 minggu. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA
negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu penegakan diagnosis TB bila hasil-hasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif.2
Pemeriksaan Radiologis
a. BTA positif
Foto toraks diperlukan pada pasien sesak nafas (pneumothoraks, efusi perikard atau
efusi pleura), pasien hemoptisis, pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
b. BTA negatif
Pada HIV stadium awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks pada
pasien TB umumnya. Pada ODHA dengan TB tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.3
a. Pneumonia bakterial
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai
menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh
mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompromais
sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik.Pneumonia bacterial sering menjadi
penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV.Infeksi sekunder yang tidak
ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis.2
b. Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna
biru kehitaman.Sarkoma Kaposi pada membran mukosa saluran nafas menimbulkan
gejala batuk,demam, hemoptisis dan dispnea disertai lesi kulit ditempat lain.Foto toraks
menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi
pleura.Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu penegakan diagnosis
sarkoma Kaposi.2
c. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocyctis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA
dengan stadium klinis 4 (AIDS).Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan
sesak nafas progresif.2
Tabel 3. Manifestasi Klinis dan Gambaran Foto Toraks PCP dan TB Paru
Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera
sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik,
dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.2
Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan
sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak .4
Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus
diberi paduan OAT lini pertama kategori I.3
Keterangan
*) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang
mengandung rifampisin, bila tidak ada alternatif lain. Pemberian NVP pada ODHA perempuan
dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati karena dapat menimbulkan gangguan fungsi
hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas. Setelah pengobatan dengan
rifampisin selesai, NVP dapat diberikan kembali. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari
EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in dose (langsung dosis penuh )
a. Pneumonia Pneumocyctis
b. Abses otak toksoplasmosis
c. Pneumonia
d. Isospora belli
e. Salmonella sp
f. Malaria
Pengobatan pencegahan kotrimoksasol diberikan sesuai dengan kriteria pada table berikut.
Kotrimoksasol diberikan 1 x 960mg/ hari pada dewasa, sementara pada anak diberikan dengan
dosis trimethoprim 4-6 mg/kgBB/hari. Pemantauan dilakukan melaluipenilaian klinis setiap 3
bulan.3
Pada pasien yang menerima pengobatan koinfeksi TB-HIV penanganan efek samping
sebagai berikut:3
Tanda/Gejala Tatalaksana
Gatal atau ruam kulit Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB dan
obat ARV dan pasien dirujuk.
Ikterus dan nyeri perut Hentikan OAT dan obat ARV dan periksa fungsi hati.
Nyeri perut mungkin karena pankreatitis disebabkan
oleh ddI atau d4T
Pucat, anemi Ukur kadar hemoglobin dan singkirkan IO. Bila pucat
sekali atau kadar Hb sangat rendah (<8 gr/dL, <7 gr/dL
pada ibu hamil), pasien dirujuk ( dan stop ZDV/
diganti d4T)
Catatan :
*) SPI adalah singkatan dari Sindroma Pulih Imun (Immune Reconstitution Inflamatory
Syndrom = IRIS) contoh tersering dari manifestasi SPI adalah herpes zoozter atau TB, yang
segera terjadi setelah dimulai obat ARV3
Memantau Kemajuan Pengobatan TB-HIV pada Orang Dewasa
a. Monitoring Klinis
Sebagai batasan minimal, monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2,4,8,12 dan
24 minggu sejak memulai ART dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai
keadaan stabil. Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala
efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi ditambah konseling untuk
membantu pasien memahami ART dan dukungan kepatuhan.
b. Monitoring laboratorium
Direkomendasikan untuk melakukan monitoring CD4 secara rutin setiap 6 bulan atau
lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC= total lymphocyte
count) tidak direkomendasikan untuk digunankan memonitor terapi karena perubahan
nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi. Untuk pasien
yang memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar
haemoglobin /Hb sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4,8 dan 12 sejak mulai
terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia. Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia
darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu
yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara
250-350 sel/mm3 maka perlu dilakukan monitoring enzim transaminase pada minggu
2,4,8, dan 12 sejak memulai ART (bila memungkinkan) maka dilanjutkan dengan
monitoring berdasarkan gejala klinis. Evalusi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk
pasien yang mendapat TDF. Keadaan Hiperlaktanemia dan asidosis laktak dapat terjadi
pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI terutama d4T atau ddl. Tidak
direkomendasikan untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, hanya bila pasien
menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat.Pemeriksaan Viral
Load (VL= HIV RNA) sampai sekarag tidak dianjurkan untuk memonitor pasien dalam
ART dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien.
c. Monitoring lain
Enam bukan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis dan penting. Diharapkan
dalam masa tersebut akan terjadi perbaikan klinis dan imunologis, kadang terjadi
toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu SPI. Pada keadaan tersebut, pasien
seolah-olah mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan
pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan). Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah
munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi
infeksinya, penyebab terbnyak adalah TB, munculnya infeksi yang sebelumnya
asimtomatik, penyakit autoimun dan inflamasi.2
Dengan dimulainya ART, sebagian besar pasien akan menunjukkan peningkatan jumlah sel
CD4 dan akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Kadang keadaan tersebut
tidak terjadi terutama pada pasien dengan jumlah sel CD4 yang sangat rendah pada saat
memulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah sel CD4 yang sangat rendah tetap
dapat mencapai pemulihan imun yang bagus tetapi kadang memerlukan waktu yang lebih lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah sel CD4>100 sel/mm3 dan atau pasien yang
pernah mencapai jumlah sel CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif (turun
lebih dari ½ nilai tertinggi atau kembali ke jumlah awal sel CD4) tanpa ada penyakit/kondisi
medis lain maka perlu dicurigai terdapatnya gagal imunologis. Data jumlah CD4 saat memulai
ART dan perkembangan CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk
menentukan terdapatnya kegagalan imunologis.2
Daftar Pustaka