Anda di halaman 1dari 18

Suspek Tuberkulosis Paru dan HIV Stadium III

Penulis:
dr. Rufina Rettu

Pendamping

dr Handri Huwae, MMkes

RSUD Saparua

Pulau Saparua-Maluku Tengah

2018
Identitas Pasien

Nama: Ny WS Alamat : Ouw

Tanggal lahir: 22 Juli 1992 Jenis kelamin: Perempuan

Umur: 25 tahun Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan: Ibu rumah tangga Agama : Kristen Protestan

Anamnesis

Diambil dari : Autoanamnesis dan alloanamnesis ibu kandung

Tanggal : 21 Januari 2018 jam 15:50 WIT

Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit

Pasien perempuan umur 25 tahun datang ke IGD RSUD Saparua dengan keluhan
sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan hilang timbul dan semakin memberat
sejak kemarin. Sesak disertai keluhan batuk sejak 2 bulan yang lalu, batuk disertai lendir
berwarna putih kekuningan. Riwayat batuk disertai darah disangkal. Pasien juga
mengeluh sering keringat malam dan ada riwayat penurunan berat badan tetapi pasien
tidak tahu berapa banyak.

Keluhan pasien saat ini juga disertai pusing, lemas dan nyeri uluhati. Buang air besar
cair 2 kali. Sebelumnya pasien mengeluh sering mencret-mencret .

Riwayat asma, hipertensi, diabetes disangkal,riwayat menggunakan obat program 6


bulan juga disangkal. Suami pasien memiliki riwayat sedang menggunakan obat
program bulan keempat.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum tampak sakit sedang , kesadaran compos mentis


Tekanan darah: 90/60 mmHg

Nadi :102 kali per menit

Nafas : 34 kali permenit

Suhu :38,90 celcius

- Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik, pupil isokor kanan dan kiri,
refleks cahaya positif
- Hidung : Septum deviasi -, rhinorea –
- Mulut : Sianosis – , tampak candidiasis oral
- Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang
- Telinga: normotia, otorhrea –
- Leher: jejas -, hematom -, pembesaran KGB –
- Paru-paru

Paru-Paru Depan Belakang


Kanan simetris pada keadaan statis dan dinamis
Inspeksi
Kiri simetris pada keadaan statis dan dinamis
Kanan Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fremitus taktil simetris
Palpasi
Kiri Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fremitus taktil simetris
Kanan Sonor di seluruh lapang paru
Perkusi
Kiri Sonor di seluruh lapang paru
Kanan Wheezing +, Ronkhi +
Auskultasi
Kiri Wheezing + , Ronkhi +
Jantung

Inspeksi Pulsasi ictus cordis tidak terlihat


Palpasi Pulsasi ictus cordis tidak teraba
Batas Atas Sela iga II linea parasternal kiri.
Sela iga V, 1 cm sebelah medial linea midklavikula
Perkusi
Batas Kiri kiri.
Batas Kanan Sela iga V linea sternalis kanan.
Katup Aorta BJ I dan BJ II reguler, gallop - ,murmur –
Katup Pulmonal BJ I dan BJ II reguler, gallop - ,murmur –
Auskultasi
Katup Mitral BJ I dan BJ II reguler, gallop - ,murmur –
Katup Trikuspid BJ I dan BJ II reguler, gallop - ,murmur –

- Abdomen: Supel , nyeri tekan epigastrium positif, nyeri tekan region hipokondrika
kanan dan kiri positif, perkusi timpani di seluruh lapang perut, bising usus positif
- Ektremitas : akral hangat ,CRT<2 detik
- Tonus : Normotonus

Massa : Eutrophy
Sendi : Normal
Kekuatan : 5/5 5/5 Sensori : + +

5/5 5/5 + +

Edema : _ _ Sianosis : _ _

_ _ - -

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan

6,0 g/dL 11,0-16,0


Hemoglobin

21,1 fL 36,0 – 48,0


Hematokrit

2,90 g/dL 3,50-5,50


Eritrosit

4,8/mm3 4000-10000
Leukosit

209/ mm3 100000-300000


Trombosit

8,9 % 20,0 – 40,0


Limfosit

89,5 50,0 – 70,0


Granulosit

72,8% 80.0 – 99,0


MCV

20,6 pg 26,0-32,0
MCH
28,4 g/dL 32.0-36.0
MCHC

O
Golongan darah

Positif
Tes HIV

113 mg/dl <140


Glukosa darah sewaktu

Diagnosis Kerja

Suspek Tuberkulosis Paru kasus baru dan HIV stadium 3

Diagnosis Banding

Pneumonia

PPOK

Asma bronkiale

Tatalaksana

1. Oksigen 4 lpm
2. Nebulizer Farbivent 1 ampul :Nacl 2cc
3. Paracetamol drip 500 mg
4. IVFD RL 20 tpm
5. Rencana transfusi 1 kantong
6. Ranitidin 2 x 1 ampul
7. Ambroxol 3 x 1 tab
8. Rencana pemeriksaan sputum SPS

Follow Up

22/1/2018

S Sesak nafas positif, batuk berdahak, demam positif

O Keadaan umum: Tampak sakit berat Kesadaran : compos mentis


Tekanan darah : 100/70 mmHg Nadi : 96x/menit RR: 32x/menit Suhu: 37,90C
Mata: konjungtiva anemis +/+ , sklera ikterik - / -

Kelenjar getah bening : tidak tampak pembesaran

Thoraks : Bunyi nafas vesikuler +/+ , Rhonki +/+, wheezing +/+

Cor : Bunyi jantung I, II regular , murmur - , gallop –

Abdomen : Bising usus + , nyeri tekan –

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -

A Suspek TB Paru kasus baru, HIV stadium III, Anemia defisiensi besi

P Nebulizer Farbivent 1 ampul dalam NaCl 3 cc 2 kali sehari

IVFD RL 20 tpm

Paracetamol 3 x 500 mg (PO)

Ranitidine 2 x 1 ampul (IV)

Ambroxol 3 x 1 tab

Rencana Transfusi 1 kantong

Rencana pemeriksaan sputum

Rencana Rujuk

Prognosis

Ad Vitam : Ad malam

Ad Functionam : Ad malam

Ad Sanationam : Ad malam
Tinjauan Pustaka

Pendahuluan

TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada orang
dengan HIV dan AIDS (ODHA). Kolaborasi TB-HIV adalah upaya pengendalian kedua
penyakit dengan mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional, baik pada aspek
menajemen kegiatan program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien .1

Tujuan kolaborasi ini untuk mengurangi beban kedua penyakit tersebut secara efektif dan
efisien melalui pembentukan mekanisme kolaborasi program TB dan HIV/AIDS, menurunkan
beban TB pada ODHA (IPT, intensifikasi penemuan kasus TB dan pengobatan, PPI TB di
layanan kesehatan), dan menurunkan beban HIV pada pasien TB (menyediakan tes HIV;
pencegahan HIV; pengobatan preventif dengan kotrimoksasol; dan Perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV).1

Epidemiologi

Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan


ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-
Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia
Tenggara. Meskipun secara nasional terdapat perkiraan prevalensi HIV di antara pasien TB
diperkirakan sebesar 3,3% (WHO TB Global Report 2014), tetapi sampai saat ini belum ada
angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV diantara pasien TB. Lebih dari 25%
kematian pada ODHA disebabkan oleh TB. Berdasarkan laporan tahun 2014 infeksi HIV dan
kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS) menunjukkan bahwa TB merupakan
infeksi oportunistik terbanyak nomor dua setelah kandidiasis . Di Indonesia menurut data
Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS
yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu
sebesar 11.835 kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia diperkirakan
sekitar 3%, di Tanah Papua dan di populasi resiko tinggi termasuk di Lapas/Rutan angkanya
diperkirakan lebih tinggi.2,3
Manifestasi Klinis TB Paru pada ODHA Dewasa

Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10 kg dalam
4 bulan) sedangkan keluhan batuk pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami
terduga TB pada umumnya. Semua ODHA yang berkunjung ke layanan dokter harus dilakukan
skrining gejala dan tanda TB secara rutin dengan menanyakan 5 gejala utama yaitu:3

a. Batuk (berapapun lamanya)


b. Berat badan menurun
c. Demam
d. Keringat malam
e. Gejala TB ekstra paru

Tabel 1. Perbedaan TB Paru pada Stadium Awal dan Lanjutan Infeksi HIV2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Lengkap

Pada pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan terdapatnya infeksi HIV adalah
anemia, leukopenia,atau trombositopenia yang tidak terjelaskan penyebabnya.2

Mikroskopis

Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan
pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya
BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan
mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (sewaktu dan pagi =SP) dan
bila minimal salah satu spesimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosisTB dapat
ditegakkan.2

Pemeriksaan Tes Cepat TB

Oleh karena pemeriksaan mikroskopik dahak pada ODHA sering memberikan hasil
negative maka diperlukan penegakan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat (Xpert
MTB/Rif). Selain ditemukan adanya Mycobacterium Tuberculosis genexpert juga dapat
menentukan apakah M.Tuberculosis tersebut sensitif atau resisten Rifampisin.3

Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Waktu
pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun,
kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan
waktu sekitar 6-8 minggu. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA
negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu penegakan diagnosis TB bila hasil-hasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif.2

Pemeriksaan Radiologis

Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA2,3

a. BTA positif
Foto toraks diperlukan pada pasien sesak nafas (pneumothoraks, efusi perikard atau
efusi pleura), pasien hemoptisis, pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
b. BTA negatif

Pada HIV stadium awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks pada
pasien TB umumnya. Pada ODHA dengan TB tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.3

Tabel 2. Gambaran Foto Toraks “ tipikal” atau “ tidak tipikal”


Diagnosis Banding

a. Pneumonia bakterial
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai
menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh
mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompromais
sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik.Pneumonia bacterial sering menjadi
penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV.Infeksi sekunder yang tidak
ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis.2
b. Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna
biru kehitaman.Sarkoma Kaposi pada membran mukosa saluran nafas menimbulkan
gejala batuk,demam, hemoptisis dan dispnea disertai lesi kulit ditempat lain.Foto toraks
menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi
pleura.Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu penegakan diagnosis
sarkoma Kaposi.2
c. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocyctis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA
dengan stadium klinis 4 (AIDS).Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan
sesak nafas progresif.2
Tabel 3. Manifestasi Klinis dan Gambaran Foto Toraks PCP dan TB Paru

d. Mycobacterium Avium Complex (MAC)


Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam, penurunan berat
badan, lemah/fatique dan nyeri abdomen.Manisfestasi yang terlokalisir berupa gejala-
gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal, pneumonitis, perikarditis, osteomyelitis
dan infeksi SSP. Pada pemeriksaan fisis ditemukan hepatomegali,splenomegali atau
limfadenopati (diparatrakeal,retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia, peningkatan alkali fosfatase.2
e. Infeksi Parasit
Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan Nocardia sp.
Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB paru. Diagnosis
Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora fungi pada apusan dahak.
Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat disertai
darah,demam,mual,malaise,sesak nafas,keringat malam tanpa aktifitas, penurunan
nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi dan nyeri dada.Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan ronki basah ,suara nafas melemah,limfadenopati,skin rash dan
hepatosplenomegali.2
Pengobatan Koinfeksi TB-HIV

Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera
sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik,
dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.2

1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV


Bila pasien belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera dimulai.Jika
pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya sampai dapat
ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV.
2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal
di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan TB
bersama dengan pengobatan ARV(pengobatan ko-infeksi TB-HIV). Karena ada banyak
kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan antara lain interaksi obat
(Rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu
subtitusi obat ARV.
3. Memulai pengobatan ARV pada pasien sedang dalam pengobatan TB
Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa memandang
jumlah CD4. Namun pengobatan TB tetap merupakan prioritas utama untuk pasien dan
tidak boleh terganggu oleh terapi ARV.

Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan
sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak .4
Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus
diberi paduan OAT lini pertama kategori I.3

Tabel 4. Dosis OAT Lini Pertama pada ODHA dengan TB Dewasa


Tabel 5. Paduan OAT pada ODHA dengan TB Paru

Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT untuk Kategori 1((2 RHZE/4RH)3)

Tabel 7. Pilihan Paduan Pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Keterangan

*) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang
mengandung rifampisin, bila tidak ada alternatif lain. Pemberian NVP pada ODHA perempuan
dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati karena dapat menimbulkan gangguan fungsi
hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas. Setelah pengobatan dengan
rifampisin selesai, NVP dapat diberikan kembali. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari
EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in dose (langsung dosis penuh )

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan angka


kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan
penurunan insidens infeksi oportunistik.2

Penyakit oportunistik yang risikonya dapat dicegah dengan PPK:

a. Pneumonia Pneumocyctis
b. Abses otak toksoplasmosis
c. Pneumonia
d. Isospora belli
e. Salmonella sp
f. Malaria

Pengobatan pencegahan kotrimoksasol diberikan sesuai dengan kriteria pada table berikut.
Kotrimoksasol diberikan 1 x 960mg/ hari pada dewasa, sementara pada anak diberikan dengan
dosis trimethoprim 4-6 mg/kgBB/hari. Pemantauan dilakukan melaluipenilaian klinis setiap 3
bulan.3

Tabel 8.Pemberian dan Penghentian PPK3


Efek Samping Pengobatan Koinfeksi TB-HIV

Pada pasien yang menerima pengobatan koinfeksi TB-HIV penanganan efek samping
sebagai berikut:3

Tabel 9. Tatalaksana Efek Samping Obat pada Pasien Koinfeksi TB-HIV

Tanda/Gejala Tatalaksana

Kelelahan Pikirkan anemi terutama bila paduan obat


mengandung ZDV. Periksa hemoglobin. Kelelahan
biasanya berlangsung selama 4-6 minggu setelah ZDV
dimulai. Jika berat atau berlanjut (lebih 4-6 minggu),
pasien dirujuk.
Tegang, mimpi buruk Ini mungkin disebabkan oleh EFV. Lakukan konseling
dan dukungan (biasanya efek samping berakhir kurang
dari 3 minggu)

Gatal atau ruam kulit Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB dan
obat ARV dan pasien dirujuk.

Gangguan pendengaran / Hentikan streptomisin, kalau perlu rujuk ke unit


keseimbangan DOTS

Ikterus dan nyeri perut Hentikan OAT dan obat ARV dan periksa fungsi hati.
Nyeri perut mungkin karena pankreatitis disebabkan
oleh ddI atau d4T

Pucat, anemi Ukur kadar hemoglobin dan singkirkan IO. Bila pucat
sekali atau kadar Hb sangat rendah (<8 gr/dL, <7 gr/dL
pada ibu hamil), pasien dirujuk ( dan stop ZDV/
diganti d4T)

Batuk atau kesulitan Mungkin SPI* atau suatu IO


bernapas

Limfadenopati Mungkin SPI* atau IO

Catatan :

*) SPI adalah singkatan dari Sindroma Pulih Imun (Immune Reconstitution Inflamatory
Syndrom = IRIS) contoh tersering dari manifestasi SPI adalah herpes zoozter atau TB, yang
segera terjadi setelah dimulai obat ARV3
Memantau Kemajuan Pengobatan TB-HIV pada Orang Dewasa

Pemantauan Pengobatan TB pada ODHA

Pemantauan pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara


mikroskopis dan penimbangan berat badan. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan dengan
memeriksa 2 spesimen dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negative bila
ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu specimen positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaa ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Jadwal pemeriksaan ulang dahak
dilakukan pada akhir tahap awal (tahap intensif), pada akhir bulan kelima, pada akhir
pengobatan.3

Monitoring Pasien dalam Terapi Antiretroviral2

a. Monitoring Klinis
Sebagai batasan minimal, monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2,4,8,12 dan
24 minggu sejak memulai ART dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai
keadaan stabil. Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala
efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi ditambah konseling untuk
membantu pasien memahami ART dan dukungan kepatuhan.
b. Monitoring laboratorium
Direkomendasikan untuk melakukan monitoring CD4 secara rutin setiap 6 bulan atau
lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC= total lymphocyte
count) tidak direkomendasikan untuk digunankan memonitor terapi karena perubahan
nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi. Untuk pasien
yang memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar
haemoglobin /Hb sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4,8 dan 12 sejak mulai
terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia. Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia
darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu
yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara
250-350 sel/mm3 maka perlu dilakukan monitoring enzim transaminase pada minggu
2,4,8, dan 12 sejak memulai ART (bila memungkinkan) maka dilanjutkan dengan
monitoring berdasarkan gejala klinis. Evalusi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk
pasien yang mendapat TDF. Keadaan Hiperlaktanemia dan asidosis laktak dapat terjadi
pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI terutama d4T atau ddl. Tidak
direkomendasikan untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, hanya bila pasien
menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat.Pemeriksaan Viral
Load (VL= HIV RNA) sampai sekarag tidak dianjurkan untuk memonitor pasien dalam
ART dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien.
c. Monitoring lain
Enam bukan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis dan penting. Diharapkan
dalam masa tersebut akan terjadi perbaikan klinis dan imunologis, kadang terjadi
toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu SPI. Pada keadaan tersebut, pasien
seolah-olah mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan
pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan). Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah
munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi
infeksinya, penyebab terbnyak adalah TB, munculnya infeksi yang sebelumnya
asimtomatik, penyakit autoimun dan inflamasi.2

Pemantauan Pemulihan Jumlah Sel CD42

Dengan dimulainya ART, sebagian besar pasien akan menunjukkan peningkatan jumlah sel
CD4 dan akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Kadang keadaan tersebut
tidak terjadi terutama pada pasien dengan jumlah sel CD4 yang sangat rendah pada saat
memulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah sel CD4 yang sangat rendah tetap
dapat mencapai pemulihan imun yang bagus tetapi kadang memerlukan waktu yang lebih lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah sel CD4>100 sel/mm3 dan atau pasien yang
pernah mencapai jumlah sel CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif (turun
lebih dari ½ nilai tertinggi atau kembali ke jumlah awal sel CD4) tanpa ada penyakit/kondisi
medis lain maka perlu dicurigai terdapatnya gagal imunologis. Data jumlah CD4 saat memulai
ART dan perkembangan CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk
menentukan terdapatnya kegagalan imunologis.2

Daftar Pustaka

1. TB/HIV. diambil dari www.kncv.or.id, 12 Maret 2018.


2. Kemenkes.Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-
HIV.Jakarta:KEMENKES;2012.
3. Kemenkes.Panduan pelaksanaan program kolaborasi TB-
HIV.Jakarta:KEMENKES;.2015.
4. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia. Diambil dari
www.klikpdpi.com

Anda mungkin juga menyukai