Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan
atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan
efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian
materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Penyakit Akibat Kerja
(PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di
Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi.
Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga
tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang
nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus
melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga,
masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang
yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan
lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja
dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan
bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja,
khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau
mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah
bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang
dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS,
tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS
menerapkan upaya-upaya K3 di RS.

Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang
mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang
berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia
yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di
atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para
pengunjung yang ada di lingkungan RS.

B. Bahaya Yang Dihadapi Dalam Rumah Sakit Atau Instansi Kesehatan

Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya tertentu, misalnya
bahaya infeksius, reagensia yang toksik , peralatan listrik maupun peralatan kesehatan. Secara garis besar
bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit atau instansi kesehatan dapat digolongkan dalam :

1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan).

2. Bahan beracun, korosif dan kaustik .

3. Bahaya radiasi .

4. Luka bakar .

5. Syok akibat aliran listrik .

6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .

7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.

Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan
penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan.

Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS
41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit
pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan
mendapatkan kompensasi pada pekerja RS, yaitu sprains, strains : 52%;contussion, crushing, bruising :
11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%;fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%;thermal burns: 2%;
scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4% (US Department of
Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).

Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan
jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan dengan
bahaya-bahaya yang ada di RS.

Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas RS, yakni
hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita),
dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae.
Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih besar
1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran
cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran
anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai
potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin
meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih
efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola
maupun karyawan RS.

C. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan

Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan mempergunakan
bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak kelalaian atau kesalahan
( malprektek) serta mengurangi penyebaran langsung dampak dari kesalahan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen tesebut menjadi :

A. /Planning /(perencanaan)

B. /Organizing/ (organisasi)

C. /Actuating /(pelaksanaan)

D. /Controlling /(pengawasan)

a) Planning/ (Perencanaan)

Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan dilakukan di masa mendatang
guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di
rumah sakit dan instansi kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan
pacsa perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter, serta masyarakat
umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan meliputi:

a. Hal apa yang dikerjakan

b. Bagaiman cara mengerjakannya

c. Mengapa mengerjakan

d. Siapa yang mengerjakan

e. Kapan harus dikerjakan


f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan

g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)

Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi hanya di bidang pelayanan,
tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan dan penelitian, juga metode-metode
yang dipakai makin banyak ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam
( rumah sakit / instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan kerja di
rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh organisasi keselamatan kerja rumah
sakit / instansi kesehatan.

b) Organizing/ (Organisasi)

Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan dapat dibentuk dalam
beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat
pusat atau nasional. Keterlibatan pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak
langsung sangat diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di
tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan Undang-Undang
Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk Komisi
Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan wewenangnya dapat berupa :

1. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .

2. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan .

3. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .

4. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah sakit / instansi
kesehatan.

5. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit / instansi kesehatan.

6. Dan lain-lain.

c). Actuating/ (Pelaksanaan)

Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat kerja, mengerahkan
aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan menjadi aktivitas yang kompak (sinkron),
sehingga semua aktivitas sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan
program kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat
kerja yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah
sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang diperkirakan akan dapat
menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit / instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan
dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja
tersebut. Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen
reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan, keragu-
raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.

d) Controlling/ (Pengawasan)

Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai
dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan,
perlu diperhatikan 2 prinsip pokok, yaitu :

a. Adanya rencana

b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang perlunya disiplin, mematuhi
segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu
dilakukan terus menerus, karena usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila
peraturan diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan rumah sakit /
instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :

1. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit / instansi kesehatan yang
baik, benar dan aman.

2. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara- cara menghindari risiko
bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.

3. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau kecelakaan.

4. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan .

5. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah meluasnya bahaya
tersebut.

6. Dan lain-lain.

D. Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit (K3RS) dan Peran Dinas
Kesehatan

Peraturan Kesehatan Kerja

UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja menyatakan bahwa setiap tenaga
kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.05/Men. 2006 juga mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100
orang atau lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem manajemen K3
(Bab III Pasal 3).
Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan sarana kesehatan, kondisi
fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga, serta pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit
tidak terhindar dari kebakaran, bencana, atau dampak buruk pada kesehatan.

Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di bawah ini bisa dijadikan kasus bagaimana lemahnya
komitmen rumahsakit dalam hal ini.

K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu, paling banyak adalah
peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan daerah. Dinas Kesehatan Propinsi
Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua dokumen peraturan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah. Dinas kesehatan bahkan tidak memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim
khusus K3RS. Penjabaran dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah
belum ada sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah mempunyai legalitas dalam mengatur regulasi
K3RS. Kenyataan ini barang kali bisa mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah
melaksanakan apa yang menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat itu pula,
regulasi K3RS ini lemah.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai Pilihan Rasional Rumahsakit

Penelitian Bambang mengukur sembilan aspek yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa rumahsakit itu
memberikan komitmen pelaksanaan K3RS. Seluruh rumahsakit menyediakan sejumlah dana untuk
keperluan K3RS. Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini, 6 dari 7 rumahsakit belum memiliki sistem
keamanan dan tenaga khusus bidang K3RS. Lima rumahsakit belum memiliki sarana IPAL dan sistem
pengawasan yang memadai. Selain itu, observasi di lapangan, rumahsakit-rumahsakit ini tidak memiliki
sistem pelaporan tentang kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.

E. Alat Keselamatan Kerja K3 di Rumah Sakit

Dasar penggunaan alat keselamatan kerja K3 di rumah sakit adalah Undang-Undang Nomor 23 Th. 2003
mengenai Kesehatan. Pada pasal 23 dinyatakan kalau usaha Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus
diadakan di semua tempat kerja, terutama tempat kerja yang memiliki resiko bahaya kesehatan, mudah
terjangkit penyakit atau memiliki karyawan paling sedikit 10 orang. Jelaslah bahwa rumah sakit
merupakan tempat yang memiliki ancaman keamanan dan kesehatan sehingga diperlukan alat
keselamatan kerja K3 juga.

Potensi bahaya di rumah sakit selain penyakit infeksi juga bahaya lain seperti ledakan, kebakaran, radiasi,
gas berbahaya atau bahan kimia, juga bencana lain yang harus segera ditangani. Penggunaan alat
keselamatan kerja K3 di rumah sakit, disediakan bukan hanya untuk pekerjanya saja tetapi jika
diperlukan juga untuk para pengunjung. Beberapa alat keselamatan K3 penting yang antara lain:
Hand sanitizer : Adalah antiseptic untuk membersihkan tangan dan mencegah penyebaran infeksi ke
pengunjung rumah sakit. Hand sanitizer ini umumnya disediakan di setiap tempat dan setiap orang
bebas menggunakannya.

Sarung tangan : Pelindung tangan ini merupakan alat keselamatan kerja K3 untuk menghindari
penyebaran infeksi. Jenisnya beberapa macam harus disesuaikan dengan kebutuhan.

Ada 3 jenis sarung tangan :

Sarung tangan bedah

Dipakai sewaktu melakukan tindakan invasif atau pembedahan

Sarung tangan pemeriksaan

Dipakai untuk melindungi petugas kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin

Sarung tangan rumah tangga

Diapakai sewaktu memproses peralatan, menangani bahan – bahan terkontaminasi, dan sewaktu
membersihkan permukaan yang terkontaminasi

Sarung tangan bedah yang baik terbuat dari bahan lateks, karena elastis, sensitive dan tahan lama, dan
dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Karena meningkatnya masalah alergi lateks, sedang
dikembangkan bahan serupa, yang disebut “ nitril “ yang merupakan bahan sintetik seperti lateks.

Bahan ini tidak menimbulkan reaksi alergi. Di beberapa negara jenis sarung tangan pemeriksaan yang
tersedia adalah dari vinil, suatu bahan sintetik yang lebih murah daripada lateks. Namun, vinil tidak
elastis, sehingga kurang pas dan mudah robek. Sarung tangan pemeriksaan yang berkualitas baik yang
terbuat dari kabel tebal, kurang fleksibel dan sensitive, dan dapat memberi perlindungan maksimum
sebagai pelindung pembatas.

Masker : digunakan sebagai penutup hidung dan mulut untuk pelindungi cipratan yang keluar atau
masuk saluran nafas baik dari petugas, bahan kimia, atau dari pasien.
Respirator : adalah masker jenis khusus yang dianjurkan untuk memfilter udara lebih baik lagi. Biasanya
digunakan petugas untuk penanganan pasien TBC paru.

Pelindung mata : digunakan untuk melindungi mata dari cipratan yang berpotensi menyebabkan sakit
pada mata. Bentuknya dapat berupa plastic bening.

Kaca Mata Biasa ( Spectacle Gogles )

Kaca mata terutama pelindung mata dapat dengan mudah atau tanpa pelindung samping. Kaca mata
dengan pelindung samping lebih banyak memberikan perlindungan.

Gogles

Mirip kacamata, tetapi lebih protektif dan lebih kuat terikat karena memakai ikat kepala. Dipakai untuk
pekerjaan yang amat membahayakan bagi mata.

Gaun : baju yang digunakan untuk menutupi baju rumah yang digunakan pengunjung, atau digunakan
untuk melindungi pasien dari mikroorganisme sewaktu pembedahan.

Penutup kepala /Kap: Umumnya digunakan petugas dan pasien pada saat pembedahan, agar mencegah
adanya kotoran rambut atau rambut masuk ke dalam luka bedah.

Alas kaki : melindungi kaki dari kotoran yang dapat menjadi sumber infeksi.

APRON

Apron yang terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air untuk sepanjang bagian
depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus mengenakan apron di bawah gaun penutup
ketika melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien, atau melakukan prosedur
dimana ada resiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting jika gaun pelindung tidak
tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh pasien mengenai baju dan kulit petugas kesehatan

PELINDUNG KAKI
Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat yang
mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Oleh karena itu, sandal. “ sandal jepit “ aau sepatu yang
terbuat dari bahan lunak ( kain ) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup
memberikan lebih banyak perlindungan., tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah
atau tumpahan cairan tubuh lain.

PERANAN DUK

Di banyak negara duk biasanya dibuat dari linen persegi yang dijahit dari berbagai ukuran. Dipakai untuk
menciptakan medan operasi di seputar suatu sayatan, membungkus instrumen dan barang – barang
lainnya untuk sterilisasi, penutup meja di ruang operasi dan membuat hangat pasien selama prosedur
bedah ( OR Manager 1990a ). Jenis utama duk ialah :

DUK KECIL / LAP

Dipakai untuk mengeringkan tangan, membuat medan operasi segi – empat ( untuk ini diperlukan
beberapa duk kecil ), dan membungkus instrumen kecil serta semprit. Biasanya dibuat dari kain katun
lebih tebal dari pada linen lainnya, yang menjadikannya lebih tahan air.

DUK SEPRAI

Dipakai untuk membatasi medan operasi dan menciptakan ruang kerja, maupun untuk membungkus
perangkat instrumen. Biasanya dibuat dari katun ringan dan hanya memberikan sedikit perlindungan.

DUK BOLONG

Mempunyai lobang yang bundar di tengahnya yang ditempatkan pada medan operasi yang dipersiapkan.
Duk ini terutama digunakan untuk prosedur – prosedur bedah minor ( sayatan kecil ).

DUK PEMBUNGKUS

Duk luas yang menjadi penutup meja sewaktu bungkus instrumen dibuka. Duk penutup ini harus cukup
luas untuk menampung isi suatu bungkusan sewaktu di buka, dan dapat menutupi seluruh permukaan
meja.
Disamping berbagai alat keselamatan kerja K3 yang harus disediakan untuk digunakan secara
perorangan, alat safety seperti tabung pemadam kebakaran ringan, menerapkan sop terjadinya bahaya
juga penting disiapkan. Bilamana sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan dapat segera ditangani.

penggunaan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat sudah

dilaksanakan tetapi belum maksimal atau kurang disiplin digunakan pada

waktu melakukan pekerjaan. Ketidakdisiplinan petugas Instalasi Gawat

Darurat terhadap penggunaan alat pelindung diri disebabkan karena faktor

kebiasaan petugasnya masing-masing. Di Instalasi Gawat Darurat sendiri

penggunaan alat pelindung diri seharusnya digunakan pada waktu melakukan

tindakan atau pada pemeriksaan darurat tetapi hal ini selalu diabaikan oleh

para petugas (faktor kebiasaan). Hal ini nantinya akan menyebabkan

kemungkinan terjadinya bahaya penyakit akibat kerja atau kecelakaan kerja.

Anda mungkin juga menyukai