Anda di halaman 1dari 7

UTANG PEMERINTAH ; ANTARA HOAX DAN FAKTA

Oleh : Anisa Kurniarahman


(B300160220, Kelas C, Perekonomian Indonesia)

Tidak ada di dunia ini, negara yang tidak berutang. Ya, negara sebesar Amerika
Serikat dan se kaya Jepang pun memiliki banyak utang. Utang menjadi pilihan bagi negara
yang untuk tetap ingin melakukan pembangunan meskipun dengan anggaran negara yang
pas-pasan. Tak ayal, utang yang menumpuk bagi suatu negara terkadang membuat warganya
khawatir jika pemerintah negara tersebut mengalami gagal bayar.

Bahkan ada sebuah kasus menarik di malaysia, karena utang negara tersebut sudah
naik ke angka 3.000 triliun, membuat warganya berinisiatif untuk bersama-sama membayar
utang tersebut. Pun ini yang terjadi di Indonesia, seperti yang diketahui bersama, jika utang
negara Indonesia telah merangkak naik ke angka 4227,8 T (Kemenkeu.go.id) dan di prediksi
akan naik menjadi 5.269 T pada tahun 2019. Jika dibagi dengan jumlah seluruh rakyat
Indonesia, dengan beban utang 5.269 T, tiap kepala orang Indonesia menanggung beban
utang sebanyak Rp 20.000.000,00. Hal ini menjadi alarm merah tersendiri bagi para
warganya. Bayang-bayang kegagalan Yunani dalam membayar utang hingga menyebabkan
negara tersebut mengalami collapse dan kemudian menghilang dari peta, membuat orang
Indonesia dihantui rasa ketakutan yang sama.

Isu tentang utang negara ini kemudian juga turut serta menggoreng panasnya suasana
pemilu beberapa minggu yang lalu. Utang dianggap sebagai biangkerok hadirnya intervensi
negara lain ke urusan pemerintah. Hal yang menggelikan pula menyebutkan jika Menteri
Keuangan kabinet Kerja, daripada dianggap Menteri yang bijak dalam mengatur uang, malah
dianggap sebagai ‘Menteri Pencetak Utang’. Apakah memang begitu adanya ? Apakah
Indonesia tidak lagi bertumpu pada kakinya sendiri ? Apakah Indonesia akan menjadi the
next greek yang selanjutnya ?

Alasan Negara Berutang

Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya


ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional.
Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi
mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.. (Menkeu.go.id)
Gb. 1 Indeks Infrastruktur Indonesia

Sumber : Kemenkeu.go.id

Jika dilihat dari indeks di atas, penyediaan infrastruktur Indonesia masih berada di
bawah rata-rata. Hal ini membuat pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dimana
Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara untuk mendorong perekonomian
tetap tumbuh. Selain alasan ketertinggalan infrastruktur, rendahnya tingkat pembangunan
manusia juga menjadi alasan pemerintah mengambil kebijkan ini. (Kemenkeu.go.id)

Gb.2 Indeks Pembangunan Manusia di Beberapa Negara.

Sumber : UNDP

Selain infrastruktur, pembangunan manusia menjadi alasan untuk berutang. Jika


dilihat dari gambar di atas, nilai IPM Indonesia masih berada di bawah negara-negara lain,
khususnya negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darrusalam, dan Singapura. Kabar
baiknya adalah, tiap tahunnya IPM Indonesia mengalami kenaikan, namun tetap saja masih
dikatakan tertinggal. Dari penjelasan diatas, terdapat kebutuhan masyarakat yang mendesak
dan tidak dapat ditunda. Sedangkan Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi
seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui
pembiayaan/utang. Utang tersebut menjadi aman karena digunakan untuk belanja produktif.

Alasan dibalik Meningkatnya Utang Pemerintah dalam Kurun Waktu 5 Tahun Ini.

Ada dua alasan besar mengapa utang pemerintah dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Pertama, adalah untuk pembangunan. Sebagaimana yang diketahui selama ini
APBN Indonesia menerapkan sistem anggaran defisit. Dimana postur belanja pemerintah
dibuat lebih besar daripada pendapatannya. Defisit anggaran ini kemudian digunakan untuk
pembiayaan pembangunan. Sedangkan untuk menambal defisit anggaran, maka pemerintah
harus melakukan utang. Di sinilah kebijaksanaan pemerintah diuji. Dengan uang hasil utang,
pemerintah harus mampu memilih proyek pembangunan yang berdampak pada peningkatan
produktifitas negara.

Alasan kedua, adalah untuk menutup utang sebelumnya. Sama seperti negara-negara
lain, Indonesia juga membayar utang (refinancing) dengan utang di tahun yang bersangkutan.
Porsi refinancing ini tertuang dalam pembiayan utang tiap tahunnya. Hal ini dilakukan agar
utang tidak jatuh tempo secara bersamaan, untuk itu penutupan pinjaman dengan pinjaman
akan dilakukan ketika mendesak.

Gb. 3. Pembiayaan Utang Tahun 2014-2019 (dalam triliun)

Sumber :Kemenkeu.go.id

Jika dilihat dari kurva di atas, sejak tahun 2017 hingga tahun 2019, pembiayaan utang
melalui APBN terus berkurang. Artinya, ada peningkatan kemampuan APBN agar bisa
mandiri dan tak ketergantungan utang. Pembiayaan utang sendiri, saat ini digunakan untuk
membiayai defisit anggaran, pembiayaan investasi terutama PMN kepada BUMN dan BLU,
serta pemberian pinjaman kepada BUMN dan Pemda.
Profil Utang Pemerintah

Per Juni 2018, Outstanding utang pemerintah menunjukkan angka sebesar 4.227,8 T.
Seperti penjelasan di atas, pada tahun 2019 Outstanding utang pemerintah diprediksi akan
naik hingga 5.269 T, tentu dengan pertimbangan akan dilanjutkannya proyek pembangunan
inftrastruktur sebagai konsekuensi dari Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Nasional.

Nilai utang yang semakin bertambah itu, lantas membuat rakyat menyangsikan
kepercayaannya kepada pemerintah. Bukannya apa, seluruh kasus krisis ekonomi yang terjadi
di dunia baik pada saat The Great Depression tahun 1930, krisis ekonomi tahun 1998, hingga
krisis tahun 2008 semua diawali oleh ketidakmampuan negara/lembaga dalam membayar
utang. Bahkan negara-negara seperti Yunani, Zimbabwe, Chili, Venezuela mengalami
collapse karena gagal bayar utang dan diperparah dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Kekhawatiran rakyat bukanlah hal yang berlebihan mengingat 70% penduduk Indonesia
adalah mereka yang berpengahasilan menengah ke bawah dan tingkat inflasi dari tahun ke
tahun yang kian meningkat.

Sebelum jauh khawatir, sebenarnya ada indikator yang bisa digunakan untuk menilai
kemampuan sebuah negara dalam membayar utang. Yaitu rasio utang pemerintah terhadap
jumlah PDB Nasional. Berikut data rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB :

Gb. 4. Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB Tahun 2005-2018 (dalam persen)

Sumber : Kemenkeu.go.id

Jika dilihat dari gambar di atas, pada tahun 2018 rasio utang pemerintah terhadap
PDB berada pada angka sebesar 29,9%. Artinya berdasarkan Undang-Undang Keuangan
Negara, utang Indonesia masih berada pada batas aman, karena batas maksimal rasio utang
dalam undang-undang adalah sebesar 60%. Selain itu mari dibandingkan dengan rasio utang
negara lain.
Gb. 5. Rasio Utang Beberapa Negara (dalam persen)

Sumber : Kemenkeu.go.id

Terlihat dari grafik di atas, ternyata ada banyak negara yang rasio utangnya jauh lebih
besar daripada Indonesia. Bahkan negara tetangga, Malaysia memiliki rasio yang cukup
tinggi yaitu 55,1 % dan bahkan Thailand juga lebih tinggi yaitu 39,4%. Dari seluruh data
tersebut dapat dikatakan jika, meskipun tiap tahun utang Indonesia bertambah, selama masih
diikuti dengan peningkatan PDB, maka Indonesia dianggap masih mampu untuk membayar
seluruh utang.

Setelah mengetahui itu, ketakutan akan utang justru lahir dari aspek yang berbeda.
Seperti yang kita tahu, saat ini rakyat juga sedang menyangsikan komitmen pemerintah
dalam mempertahankan keberdikarian negara. Pasalnya, diyakini bahwa utang pemerintah
kepada negara lain memicu masalah tersendiri. Sebut saja, isu bahwa karena terjerat utang
yang besar kepada Tiongkok, pemerintah mau tidak mau harus merelakan pasar kerja
domestik diserbu oleh tenaga kerja aseng. Bahkan yang paling ekstrem adalah, pemerintah
dituduh telah didikte oleh negera tertentu sebagai konsekuensi atas utang luar negeri. Apa
benar begitu adanya ? Apakah utang bilateral/multilateral Indonesia sebanyak itu sehingga
mampu membuat negara debitur mendikte pemerintah dalam mengambil kebijkan ? Ada
baiknya melihat komposisi utang pemerintah sebelum jauh menyimpulkan.

Gb. 6. Komposisi Outstanding Utang Pemerintah.


Sumber : Kemenkeu.go.id

Terlihat dalam grafik, ada suatu hal yang menarik. Ternyata komposisi utang
pemerintah terbesar adalah berasal dari Surat Berharga Nasional (SBN) yaitu sebesar 81,4%
dari seluruh total utang. Kemudian diikuti dengan pinjaman luar negeri (bilateral/multilateral)
sebesar 18,4% dan terakhir porsi terkecil pinjaman dalam negeri sebesar 0,1 %. Dari fakta ini
menunjukkan jika ketakutan rakyat terhadap adanya pendiktean/intervensi negara lain
terhadap Indonesia terlalu berlebihan. Nyatanya, langkah pemerintah memilih SBN sebagai
sumber utama pinjaman adalah agar pemerintah tidak diintervensi oleh negara lain dalam
pengambilan kebijakan ekonomi.

Apakah Utang Pemerintah Telah Dikelola dengan Baik ?

Terdapat 3 indikator risiko yang menunjukkan bahwa utang pemerintah dikelola dengan baik,
antara lain:

1. Penurunan porsi kepemilikan asing dalam utang pemerintah. Data menunjukkan


bahwa rasio utang dalam valuta asing, terhadap total utang pemerintah terus menurun
dari 2015 sebesar 44,5% ke38,6% di 2018. Hal ini menunjukkan risiko utang yang
berasal dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing dapat ditekan. Artinya utang
Indonesia tidak terdampak apabila ada pengaruh dari luar negeri/global.
2. Kenaikkan rasio utang dengan tingkat bunga tetap terhadap total utang pemerintah.
Data menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir rasio ini meningkat dari 86,3% ke
89,6%. Hal ini berarti risiko utang pemerintah tidak terlalu terpengaruh oleh situasi
pasar yang tidak stabil (floating).
3. Kenaikan rasio utang yang jatuh tempo lebih dari 3 tahun terhadap total utang
pemerintah. Data menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir rasio ini meningkat dari
21.4% ke 26.5%. Hal ini berarti risiko beban pembayaran utang pemerintah dalam
jangka pendek memiliki tren menurun, artinya alokasi pembayaran utang dalam
APBN akan mengecil, seiring dengan meningkatnya porsi utang yang memiliki jatuh
tempo menengah/panjang, sehingga setiap tahunnya APBN tidak akan terbebani oleh
cicilan utang dan dapat dialokasikan untuk belanja produktif lainnya.
(Kemenkeu.go.id)

Namun demikian, seperti yang diketahui, jika sumber utama Utang pemerintah
adalah dari SBN. Meskipun hal itu menjadi pilihan karena meminimalisir bentuk
intervensi negara lain, pencetakan SBN yang tidak terkendali juga memberikan
bahaya tersendiri.

Menteri Keuangan Kabinet Kerja, Sri Mulyani, dianggap sebagai menteri


pencetak utang sebagai konsekuensi atas meningkatnya pencetakan SBN demi
menambal defisit anggaran. Akan baik jika bunga SBN yang dicetak tidak terlalu
tinggi, dan pemilik SBN 90 % adalah peduduk lokal. Namun kenyatannya, SBN yang
dicetak oleh Menkeu kali ini 30%nya dimiliki oleh orang asing dan memiliki yield
(imbal hasil) yang sangat tinggi yaitu, 26,92% pada tahun 2018. Itu artinya, untuk
SBN berjangka 10 tahun, maka dalam 10 tahun nanti pemerintah harus
mengembalikan pokok SBN ditambah jumlah yield yang begitu tinggi. Dan
bayangkan, ketika dalam 10 tahun kedepan tiba-tiba terjadi resesi ekonomi seperti ;
inflasi besar-besaran, mata uang dalam negeri tertekan, investasi menurun, maka akan
membuat pemilik SBN melepaskan kepemilikannya. Otomatis permintaan dollar akan
naik, lalu semakin menekan mata uang dalam negeri, kemudian utang yang harus
dibayar mendadak membengkak karena penurunan mata uang, dan kemungkinan
terburuk negara akan mengalami gagal bayar dan collapse. Ya sebuah skenario yang
tidak lebih baik daripada adanya intervensi dari negara lain.

Setelah membaca uraian di atas, mari menengok fakta lapangan yang ada.
Memang, hasil pembangunan pemerintah saat ini sudah mulai terlihat. Namun
demikian, bayang-bayang serbuan tenaga kerja asing sangat menghantui proses
pembangunan di Indonesia. Jika kita melihat fenomena banyaknya serbuan tenaga
kerja asing ini sebenarnya bukanlah akibat dari keterikatan Indonesia terhadap negara
lain karena utang, melainkan karena ikatan dalam investasi. Jadi salah kaprah ketika
seseorang menyangkut-pautkan serbuan tenaga asing dengan banyaknya utang
pemerintah. Faktanya pembangunan MRT di DKI Jakarta sebagai contoh, yang kita
saksikan secara kasat mata setiap hari, yang dimenangkan perusahaan dari Jepang,
mayoritas pekerja konstruksi dari bangsa Indonesia. Pekerja asing dari Jepang, hanya
dalam jumlah yang terbatas dan mereka pada umumnya sebagai supervisor dan tenaga
ahli. Hal ini mengindikasikan pemerintah masih waras dalam mengelola
pembangunan hasil utang.

Namun berbeda ceritanya dengan keputusan pemerintah yang meneken proyek


One Belt One Road Tiongkok (OBOR) April lalu. Proyek yang didanai dengan utang
dari Tiongkok ini memiliki beberapa kondisi, yaitu bahan material pembangunan dan
pekerja konstruksi haruslah dari Tiongkok itu sendiri. Tentu saja itu sangat tidak
menguntungkan bagi Indonesia. Alih-alih proses pembangunan dapat meningkatkan
produktifitas kerja dan sumber daya, hal itu malah membuat Indonesia dirugikan
karena hanya dijadikan inang oleh Tiongkok.

Lagi-lagi meskipun pemerintah telah cukup baik dalam pengelolaan utang,


namun masih saja ada kebijakan yang dirasa tidak cukup bijaksana. Selain melakukan
branding pada kinerja pemerintah atas pengelolaan utang, pemerintah juga harus
memperhatikan keadaan Indonesia mendatang. Utang itu kebijakan, dan jangan
sampai dijadikan kebiasaan. Ketika dirasa negara tidak terlalu membutuhkan maka
jangan memaksa untuk berutang. Bahkan ketika kebijakan utang diambil, itu tidaklah
boleh hanya menjadi kepentingan kabinet yang menjabat, melainkan bagaimana itu
mampu menjadi pondasi pembangunan untuk masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai