Anda di halaman 1dari 18

ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN

DOKTER DI INDONESIA 1
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep profesionalisme dan perilaku profesional (PP) mendapatkan perhatian

lebih dalam literatur pendidikan profesi kesehatan termasuk isu unprofessional

behavior tenaga kesehatan sama seperti isu komersialisme dalam praktik pelayanan

kesehatan (Aguilar, 2011). Profesionalisme kedokteran merupakan dasar untuk

kontrak sosial antara profesi dokter dengan masyarakat, sehingga profesionalisme

termasuk perilaku profesional sangat penting untuk dimasukkan dalam kurikulum

kedokteran tahap sarjana (Passi et al., 2010; Whitcomb, 2007). Berdasarkan evaluasi

tentang kondisi mahasiswa yang dalam proses pendidikan terpapar dalam kondisi

yang tidak semestinya (advers climate) serta pemikiran bahwa bidang kedokteran

sudah menjadi bisnis, sehingga menurunkan harga diri profesi dokter di mata

masyarakat, maka Brater (2007) melakukan perubahan budaya institusinya secara

menyeluruh dengan menentukan core value institusi sebagai langkah pertama. Core

value dituangkan dalam dokumen panduan menyebutkan bahwa setiap anggota

civitas akademik intitusi mempunyai kewajiban untuk menerapkan nilai-nilai

tersebut. Nilai-nilai tersebut selain masuk dalam kurikulum formal, juga diterapkan

dalam pelayanan kesehatan bahkan pada seleksi mahasiswa baru (student admission).

Isu komersialisme berkaitan dengan salah satu klaster (entrepreneurial

professionalism) dari tujuh klaster perkembangan profesi dokter dan bidang

pekerjaannya ditinjau dari aspek sosial (Castellani, 2006). Tujuh klaster tersebut
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 2
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

muncul sebagai respon langsung terhadap kekuatan desentralisasi organisasi

kedokteran yang berkembang dua dekade terakhir. Adapun tujuh klaster tersebut,

adalah: 1) nostalgic professionalism and the ruling class; 2) academic

professionalism; 3) entrepreneurial professionalism; 4) lifesyle professionalism;

5) empirical professionalism; 6) unreflective professionalism; dan 7) activist

professionalism. Berkembangnya tujuh klaster bidang profesi dokter ini tentunya

membawa implikasi pada teaching dan evaluation profesionalisme pendidikan dokter,

termasuk kurikulum, literatur, dosen dan mahasiswa serta residen. Pendidikan perlu

melakukan rekonseptualisasi dan peninjauan kembali instrumen penilaian

profesionalisme sesuai dengan berkembangnya tujuh klaster tersebut dan isu

komersialisme.

Dalam good medical practice tentang tomorrow doctor, disebutkan bahwa

perilaku profesional harus dikembangkan oleh dokter sebagai tanggung jawab kepada

pasien, sejawat dan masyarakat. Teaching learning profesionalisme lebih ke arah

formal dan eksplisit daripada hidden curriculum, dengan alasan antara lain, yaitu:

proses seleksi mahasiswa kedokteran lebih banyak menggunakan tes akademik,

sedangkan PP yang dibutuhkan bagi profesi dokter tidak termasuk dalam proses

seleksi tersebut; proses pendidikan dokter yang cenderung mengarah ke orientasi

bisnis; reward system yang dikembangkan pada institusi kedokteran lebih

memperhatikan pada hal ilmiah seperti publikasi hasil penelitian dibandingkan

dengan etika dan profesionalisme. Pengelompokan pasien sesuai dengan strata dapat

membatasi interaksi dengan senior, sehingga supervisi atau mentoring menjadi


ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 3
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

berkurang dan semua ini berakibat menurunnya standar profesionalisme (Sivalingan,

2004).

Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa kejadian medical error di rumah

sakit yang disebabkan oleh faktor manusia semakin bertambah. Hal ini berhubungan

dengan perilaku profesional dokter atau tidak, memang belum ada studi yang

membuktikannya. Menurut Cohen (2001), unprofessional behavior merupakan

masalah yang lebih sering dijumpai dibandingkan dengan masalah keterampilan

klinis terhadap dokter praktik yang terkena sanksi disiplin. Residen mempunyai risiko

tinggi terkait dengan hal ini dengan akar permasalahan dalam hal interpersonal,

perilaku profesional, dan atau masalah etik.

Data-data yang berkaitan dengan masalah unprofessional behavior profesi

dokter di Indonesia sebagai berikut. Menurut Yayasan Pemberdayaan Konsumen

Kesehatan Indonesia (YPKKI), kejadian malpraktik di Indonesia sebesar 60% hingga

65% dan bersumber dari dokter (Kompas, 2009). Kasus malpraktik, menurut

YPKKI, sampai dengan tahun 2004 sebanyak 255 kasus dan naik menjadi 296 kasus

pada tahun 2006. Kasus yang dapat diselesaikan sampai dengan tahun 2004 sangat

sedikit, yaitu hanya 18 kasus dan 35 kasus yang dapat diselesaikan di pengadilan

pada tahun 2006, sedangkan 37 kasus sedang dalam proses di pengadilan (Hatta,

2008).

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) telah

menangani 127 kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter

gigi. Pelanggaran disiplin yang oleh masyarakat disebut dengan malpraktik, tiga
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 4
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

terbanyak berturut-turut dilakukan oleh dokter umum, yaitu 48 kasus, dokter ahli

bedah, yaitu 33 kasus, dokter ahli kandungan dan kebidanan, yaitu 20 kasus. Untuk

dokter gigi sebanyak sepuluh kasus (Kemkes, 2011). Gagalnya komunikasi antara

dokter dengan pasien merupakan 80% penyebab kasus pelanggaran disiplin yang

paling banyak (119) dilaporkan oleh masyarakat. Pada kejadian medication error,

profesi dokter memberikan kontribusi yang paling tinggi di antara profesi kesehatan

lain, yaitu sebesar 39%, sedangkan profesi perawat 38% dan apoteker 13% (Prahasto,

2012).

Menurut Sjamsuhidayat (2012), perilaku yang merupakan perilaku profesional

tercela (professional misconduct) adalah kolusi dengan industri farmasi secara

berlebihan, menetapkan honorarium terlalu tinggi, tidak mengindahkan etika

berkonsultasi, tidak mampu berkomunikasi secara profesional, tidak menepati janji

dengan pasien/keluarganya, memiliki profesionalisme tanpa dasar altruisme (skin-

deep professionalism, Cohen, 2007). ketidakjujuran dalam berpraktik, membuat

laporan medis yang tidak benar, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan

pasien/keluarga, bekerja tidak sesuai dengan standar asuhan medis, merupakan bagian

dari pelanggaran disiplin kedokteran (KKI, 2011).

Salah satu tugas dokter adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat. Pelayanan pasien yang baik tidak hanya tergantung pada kompetensi

kognitif dan psikomotor saja, tetapi juga membutuhkan kompetensi afektif atau

perilaku profesional (Luijk, 2005). Sementara, kebanyakan komplain terhadap dokter

dinyatakan berhubungan dengan adanya isu tidak kompeten. Hal ini disebabkan
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 5
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

antara lain oleh kurangnya kompetensi dokter dalam domain afektif atau perilaku

profesional, karena pendidikan dokter selama ini lebih menekankan pada

pembelajaran kognitif dan psikomotor. Kompetensi afektif, meskipun penting, belum

diajarkan secara eksplisit dan dinilai secara sistematis (Korszun et al., 2005).

Pengembangan kompetensi domain afektif, yaitu karakter, sikap dan perilaku yang

berhubungan dengan profesionalisme menjadi area penting dalam pendidikan dokter

untuk melengkapi kompetensi kognitif dan psikomotor sesuai dengan tujuan yang

diharapkan (Wagner, 2007 & Hays, 2006). Teaching dan assessment profesionalisme

secara formal menjadi hal penting untuk menyampaikan nilai-nilai institusi dan

menyiapkan mahasiswa kedokteran untuk kontrak sosial mereka nantinya (AAMC,

2002).

Menurut Jha et al. (2007), mahasiswa perlu mengembangkan sikap

profesionalismenya selama proses pendidikan, bahkan mulai awal masuk pendidikan

dokter. Perilaku profesional mahasiswa selama proses pendidikan dapat

menginformasikan perilaku profesional mereka pada waktu praktik nantinya. Dengan

menilai perilaku profesional mahasiswa selama proses pendidikan, dapat menjamin

lulusan yang dihasilkan akan menunjukkan karakter profesionalisme yang tepat.

Perilaku profesional merupakan perilaku yang dapat diamati dari seorang

dokter dalam menangani masalah kesehatan pasien dan mencerminkan nilai-nilai

profesional sebagai dasar munculnya kepercayaan pasien kepada dokter (Luijk,

2005). Dalam pengertian PP tersebut terdapat unsur-unsur standar, nilai dan profesi.

Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara PP dengan standar
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 6
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kompetensi dokter tahun 2006, yaitu pada area tujuh kompetensi etika, moral,

medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien (KKI, 2006) dan standar

kompetensi dokter tahun 2012, yaitu area pertama, profesionalitas yang luhur (KKI,

2012). Mengingat profesionalisme dan PP ini menjadi salah satu aspek penting dalam

standar kompetensi dokter, maka hal ini perlu dikembangkan dalam arti perlu

diajarkan dan dinilai secara formal dalam kurikulum pendidikan dokter. Menyikapi

hal ini, institusi kedokteran perlu menyesuaikan atau merevisi kurikulumnya agar

lebih menekankan pada pentingnya profesionalisme, karena pendidikan dokter di

masa lampau dengan metode konvensional lebih bersifat teacher centered dan

discipline based. Pada metode konvensional, profesionalisme dan perilaku belum

diajarkan secara eksplisit, terintegrasi dengan ilmu-ilmu kedokteran, belum dinilai

secara sistematis dan terus menerus.

Dalam World Federation Medical Education atau WFME (2003) disebutkan

bahwa kurikulum inti dalam pendidikan dokter meliputi prinsip teori dan praktik

kedokteran, biomedik, sosial perilaku dan ilmu klinis, komunikasi dan etika

kedokteran. Penyusunan standar pendidikan profesi dokter yang ditetapkan oleh KKI

juga dikembangkan dari WFME tersebut. Kurikulum pendidikan pada institusi

kedokteran di Indonesia dikembangkan berdasarkan standar pendidikan profesi

dokter dan standar kompetensi dokter. Dalam standar kompetensi dokter edisi

pertama tahun 2006 terdapat kompetensi inti yang harus dikuasai oleh lulusan dokter

Indonesia dan disebut dengan tujuh area kompetensi. Tujuh area kompetensi tersebut

meliputi: 1) komunikasi efektif; 2) keterampilan klinis; 3) landasan ilmiah ilmu


ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 7
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kedokteran; 4) pengelolaan masalah kesehatan; 5) pengelolaan informasi; 6) mawas

diri dan pengembangan diri; dan 7) etika, moral, medikolegal dan profesionalisme

serta keselamatan pasien. Standar kompetensi dokter yang telah diterapkan selama

lima tahun ini telah direvisi dan ditetapkan oleh KKI pada akhir tahun 2012. Pada

edisi ke-2 standar kompetensi dokter terdapat perubahan area kompetensi, yaitu: area

1) profesionalitas yang luhur; 2) mawas diri dan pengembangan diri; 3) komunikasi

efektif; 4) pengelolaan informasi; 5) landasan ilmiah ilmu kedokteran;

6) keterampilan klinis; dan 7) pengelolaan masalah kesehatan. Di sini nampak bahwa

kompetensi profesionalitas yang luhur yang erat berkaitan dengan domain afektif

menempati area pertama, bersama-sama dengan kompetensi mawas diri dan

pengembangan diri serta kompetensi komunikasi efektif menjadi landasan

kompetensi yang mencerminkan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia.

Kondisi pembelajaran PP secara formal atau eksplisit pada institusi

kedokteran di Indonesia masih belum lama berkembang. Ditetapkannya standar

kompetensi dokter dan standar pendidikan profesi dokter edisi ke-2 oleh KKI pada

akhir tahun 2012 menjadi landasan penting untuk lebih memantapkan pengembangan

isu profesionalisme dan PP yang erat kaitannya dengan area pertama, yaitu

profesionalitas yang luhur. Pembelajaran PP merupakan bagian yang tidak bisa

dipisahkan dari etika, sehingga etika atau dalam hal ini etika kedokteran menjadi

panduan dalam pembelajaran PP ini.

Pembelajaran etika dan bioetika yang berkaitan dengan area pertama standar

kompetensi dokter yang baru pada institusi kedokteran di Indonesia sebetulnya sudah
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 8
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dimulai sebelum ditetapkannya standar kompetensi dokter ini. Profesionalisme dan

isu etika menjadi penting dan dominan bagi institusi kedokteran agar menghasilkan

lulusan yang kompeten dalam domain afektif atau PP untuk melengkapi kompetensi

kognitif dan psikomotor sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Pertemuan di tingkat nasional tentang pembelajaran bioetika pada setiap

tahapan pendidikan dokter termasuk profesi dokter berupa seminar dan workshop

sudah dilakukan secara regular setiap dua tahun sekali mulai tahun 2000 oleh jaringan

bioetika dan humaniora (Sastrowijoto, 2009). Pertemuan-pertemuan tersebut pada

prinsipnya mengarah pada konsensus di antara semua institusi kedokteran di

Indonesia dalam mengajarkan sekaligus menilai bioetika untuk mahasiswa

kedokteran. Seminar dan workshop terakhir tentang bioetik dilaksanakan pada 13 –

15 Agustus 2009 dengan tema teaching bioethics in clinical setting in Indonesia.

Bioetika yang mempelajari isu-isu etika dan pembuatan keputusan tentang organisme

hidup menunjukkan keterkaitan yang erat dalam tujuannya dengan domain afektif

atau PP, yaitu personal moral development (Macer, 2008). Dari pengalaman yang

disampaikan oleh beberapa institusi kedokteran yang sudah lama berdiri pada

pertemuan ini (UGM, UNAIR, UI, dll.), nampak bahwa sebagian institusi sedang

dalam proses pengembangan pembelajaran bioetika yang terintegrasi. Dalam diskusi

di antara semua institusi kedokteran, menunjukkan sebagian besar belum

mengembangkan pembelajaran yang formal, eksplisit dan sistematis dalam

kurikulumnya. Metode penilaian yang dikembangkan dalam mengajarkan bioetik

juga masih belum jelas dilakukan. Dari pertemuan terakhir ini, ternyata metode
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 9
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pembelajaran dan penilaian terhadap bioetika bagi mahasiswa kedokteran masih

menjadi masalah bagi sebagian besar institusi kedokteran. Bahkan masih sangat

terbatas data atau informasi yang menunjukkan dampak pembelajaran bioetika yang

sudah dilakukan pada sikap dan perilaku mahasiswa kedokteran ataupun dokter.

Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni 1945, mengandung tuntunan dinamis pada

perkembangan pendidikan dan kebudayaan Indonesia (Wuryadi, 2006). Bagi

perguruan tinggi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia harus menjadi dasar

dan pedoman bagi pengembangan ilmu (Sutaryo, 2006). Peran Pancasila dalam ilmu

pengetahuan dan teknologi adalah sebagai landasan kebijakan pengembangan ilmu

pengetahuan dan sebagai landasan etika ilmu pengetahuan dan teknologi

(Sastrapratedja, 2006). Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan, ketika

Pancasila masuk dalam keyakinan dan nilai yang dianut, menjadi konsensus seluruh

ilmuwan dan mempengaruhi cara kerja ilmu pengetahuan tersebut.

Karakter dasar sebagai bangsa yang disusun dari karakter individual yang

diturunkan dari sila-sila Pancasila, yaitu berakhlak mulia, berbudi luhur dan bermoral

utama (Ali, 2010), perlu diajarkan tidak hanya formal di sekolah tetapi juga melalui

keluarga dan masyarakat. Pembelajaran di sekolah sebagai trigger atau awalan saja,

sedangkan pengisian substansi pada keluarga dan masyarakat. Pelaksana langsung

pendidikan karakter adalah tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat),

sehingga hubungan interaktif yang harmonis perlu diciptakan di antara ketiganya.

Berdasar uraian di atas, dalam mengembangkan pembelajaran PP pada

pendidikan dokter di Indonesia terlihat pentingnya kembali kepada nilai-nilai yang


ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 10
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

terkandung dalam Pancasila. Pancasila yang menjadi ideologi bangsa dan negara

Indonesia mempunyai peran sebagai landasan untuk pengembangan ilmu dan

teknologi. Selain itu, Pancasila juga sebagai filter terhadap pengaruh globalisasi yang

merugikan. Karakter bangsa Indonesia yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila

selain gotong royong, yaitu berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan bermoral

utama, perlu dikembangkan dalam pendidikan dokter. Pembelajaran budi pekerti

yang dalam pendidikan temasuk domain afektif atau PP, menurut Dewantara (1977)

perlu dilakukan dengan metode ngerti-ngrasa-nglakoni, artinya menyadari,

menginsyafi dan melakukan. Dalam proses pembelajaran budi pekerti perlu diberikan

pengetahuan agar mengerti tujuan dan menyadari baik buruknya suatu perilaku dan

dapat melakukannya, sehingga menjadi kebiasaan yang baik.

Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu

berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia serta area pertama standar kompetensi

dokter, yaitu profesionalitas yang luhur (KKI, 2012), pembelajaran PP untuk

membangun karakter anak didik atau mahasiswa menjadi tuntutan sekaligus

kebutuhan dalam pendidikan dokter. Hal ini untuk mengantisipasi kondisi yang

berkembang di era global, yaitu kemajuan teknologi dan semakin meningkatnya

kejadian pelanggaran kejujuran atau integritas akademik dan etika, seperti uraian

berikut.

Kemajuan teknologi memberikan kontribusi yang besar dalam pendidikan

baik untuk tingkat sarjana, master dan doktor dengan ketersediaan akses informasi

yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Informasi yang dapat diakses melalui
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 11
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

internet dan web secara online dengan menggunakan berbagai media seperti

komputer, PDA, handphone, netbook dan sejenisnya yang semakin canggih ini dapat

mendukung untuk kepentingan riset, pembelajaran, kuliah, tugas, dll., namun

kemajuan ini ternyata memiliki problem etika, yaitu cheating dan plagiarism

(Mayville, 2011).

Menurut Hejri et al. (2013), komitmen terhadap integritas akademik

mempunyai peran penting dalam pendidikan dokter karena cheating dapat

berpengaruh terhadap pembelajaran pengetahuan dan keterampilan mereka dan

membuat mereka akan lebih mudah melanggar kejujuran, menyalahgunakan

kepercayaan dalam menjalankan tugas profesinya. Beberapa bentuk academic

disintegrity yang paling sering terjadi antara lain plagiarisme, ketidakhadiran di kelas,

memalsukan tanda tangan, menyuap, memalsukan atau mengarang data, menyontek

dalam ujian atau memberikan contekan teman dalam ujian, dll. Studi yang bervariasi

di beberapa negara menunjukkan bahwa cheating atau menyontek dalam ujian

merupakan perilaku yang salah (misbehavior) yang umum dilakukan oleh mahasiswa

kedokteran. Bentuk academic disintegrity atau academic dishonesty lainnya adalah

memalsukan sebagian atau semua histori pasien, pemalsuan data lebih jarang diteliti.

Kejadian cheating atau academic dishonesty pada mahasiswa di perguruan

tinggi menunjukkan angka yang tinggi, dengan variasi antara 30% sampai dengan

96%. Menurut American Council on Higher Education, cheating semakin meningkat

dengan variasi antara 40% sampai dengan 60% bahkan 80%. Prevalensi cheating

menurut Mayville (2011 cit education portal, 2007), 75% sampai dengan 98% pada
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 12
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mahasiswa. Studi yang dilakukan oleh Hejri et al. (2013) tentang frekuensi kejadian

academic disintegrity atau academic dishonesty pada 124 mahasiswa clerkship dan

internship menunjukkan bahwa menyamar atau berkedok sebagai mahasiswa yang

tidak hadir di kelas merupakan kejadian yang paling banyak dilakukan, yaitu 93%

dan menyontek atau memberikan contekan dalam ujian pada urutan kedua, yaitu

67%.

Cheating yang dilakukan dalam pendidikan dokter di perguruan tinggi,

ternyata juga pernah dilakukan pada pendidikan sebelumnya atau waktu SMA. Studi

pada profesi dokter juga menunjukkan bahwa cheating merupakan best predictor,

dishonesty yang dilakukan pada waktu menjadi mahasiswa di perguruan tinggi juga

menyebabkan dishonesty pada waktu bekerja (Nonis & Swift, 2001; Harper, 2006).

Menurut Bolin (2004), academic dishonesty menjadi masalah besar dan persisten

dalam pendidikan, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Integritas akademik merupakan jantungnya misi pendidikan, sehingga pelanggaran

atau ketidakjujuran akademik merupakan masalah serius pendidikan yang perlu

diatasi.

Salah satu universitas terkemuka di US (Harvard University) menemukan

bahwa separuh kelas mahasiswanya (125) pada ujian akhir mata kuliah menyontek

atau memplagiat jawaban teman. Hal ini merupakan masalah serius yang melanggar

kepercayaan terhadap intelektualitas dalam pendidikan, sehingga dekan salah satu

fakultas di Harvard mengatakan bahwa mahasiswa yang terbukti menyontek akan

mendapatkan hukuman, bahkan skorsing selama satu tahun (Nurfuadah, 2012).


ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 13
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Masalah pendidikan di Indonesia sangat kompleks, baik pada aspek kebijakan

maupun pelaksanaannya, baik untuk meningkatkan kuantitas apalagi kualitas.

Ketidakjujuran dalam pendidikan, seperti pemalsuan nilai, ijazah, kenaikan kelas

yang dipaksakan, dll. masih merupakan salah satu problem utama pendidikan.

Perilaku ketidakjujuran ini menunjukkan kemorosotan moral dan akhlak yang tidak

bisa dilepaskan dari hubungan manusia dengan Allah SWT. Nafsu cinta terhadap

duniawi masih mengalahkan idealisme dalam pendidikan dan memaknai arti

kehidupan atau spiritualisme (Erhamwilda, 2004).

Sekelompok atribut atau elemen PP telah diidentifikasi oleh beberapa institusi

atau organisasi untuk pendidikan dokter seperti menurut American Board of Internal

Medicine (ABIM) ada enam atribut PP dokter, yaitu: 1) altruism; 2) accountability;

3) excellence; 4) duty; 5) honor and integrity dan 6) respect (Arnold, 2002); menurut

American Association of Medical Council (AAMC, 2002) ada delapan atribut PP,

yaitu: 1) altruism; 2) honor and integrity; 3) caring and compassion, 4) respect;

5) responsibility;6) accountability; 7) excellence and scholarship; dan 8) leadership;

menurut Castellani (2006) ada sepuluh atribut, yaitu: 1) autonomy; 2) altruism;

3) interpersonal competence; 4) personal morality; 5) professional dominance;

6) technical competence; 7) social contract; 8) social justice; 9) lifestyle; dan

10) commercialism. Meskipun sudah ada atribut-atribut PP tersebut, institusi atau

wilayah perlu untuk mengidentifikasi atribut PP yang dinilai penting dan sesuai

dengan kebutuhan atau kondisi masing-masing institusi atau wilayahnya (Luijk,

2004). Demikian pula untuk metode pembelajaran PP sangat bervariasi, seperti kuliah
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 14
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

interaktif, diskusi kelompok atau tutorial, problem based learning, bedside teaching,

workshop, konferensi, penugasan, dll. (Passi, 2010), namun belum ada satu metode

yang dinilai paling efektif dalam proses pembelajaran PP.

Beberapa model pembelajaran untuk atribut PP tertentu telah dikembangkan

oleh peneliti sebelumnya. Mengajarkan humanisme dengan role model dan self

reflection, dilakukan oleh Weissmann et al. (2006), mengajarkan altruism dilakukan

oleh Gedeit (2001) dengan workshop, mengajarkan professional responsibility

dengan kuliah singkat dilanjutkan dengan diskusi kelompok dengan cased based

teaching menggunakan video sebagai trigger dan penugasan oleh Rhodes et al.

(2001). Profesionalisme secara formal diajarkan dengan pendekatan cased based life

cycle menggunakan metode kuliah, diskusi kelompok serta patient-centered clinical

interactions oleh Fincher et al. (2001). Mengajarkan respect for patient, dengan

metode interview dengan pasien (mendengarkan keluhan pasien) secara rutin pada

rawat jalan, role model dan refleksi kasus oleh Branch (2006).

Atribut dan model pembelajaran dalam pendidikan dokter di Indonesia perlu

disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Karakter yang dimiliki bangsa

Indonesia sesuai dengan ideologi Pancasila adalah berakhlak mulia, berbudi pekerti

luhur dan bermoral utama (Ali, 2010). Pancasila menjadi ideologi bangsa bisa

menyatukan kondisi beragam atau pluralisme Indonesia dengan nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Untuk mengantisipasi pengaruh negatif iptekdok dan

kondisi yang berkembang dalam proses pendidikan dan profesi dokter, maka perlu
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 15
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

diidentifikasi atribut PP untuk pendidikan dokter di Indonesia dan dikembangkan

dalam suatu model pembelajaran

B. Perumusan Masalah

Berdasar latar belakang di atas, dirumuskan masalah penelitian, yaitu:

Bagaimanakah model pembelajaran perilaku profesional (PP) dalam pendidikan

dokter di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran

perilaku profesional (PP) dalam pendidikan dokter di Indonesia.

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. mengidentifikasi atribut PP dalam pendidikan dokter di Indonesia.

b. mengembangkan disain model pembelajaran PP dalam pendidikan dokter dan

validasi.

c. melakukan uji coba penerapan disain model pembelajaran PP dan evaluasi.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pendidikan

dokter di Indonesia tentang pengembangan model pembelajaran perilaku profesional

(PP) dan alternatif model untuk mengajarkan PP. Selain itu, hasil penelitian ini

diharapkan dapat melengkapi kompetensi kognitif dan psikomotor pada kurikulum

berbasis kompetensi (KBK) dengan kompetensi afektif atau PP.


ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 16
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

E. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya

dapat dilihat pada uraian sebagai berikut. Studi kualitatif dilakukan oleh Weissmann

et al. (2006) tentang teaching humanism untuk mahasiswa kedokteran dilakukan pada

12 dosen klinik dari empat fakultas kedokteran. Dosen klinik terbaik yang dipilih oleh

residen diamati dengan standardized field notes dalam berinteraksi dengan pasien.

Kemudian, pasien, mahasiswa, dokter dan residen diwawancara dengan semi

structure interview untuk diminta pendapatnya tentang performance dosen tersebut.

Hasil studi menunjukkan bahwa setiap dosen klinik mengajarkan aspek humanisme

untuk mahasiswa dengan cara unik, yaitu dengan role model dan menggunakan self

reflection untuk memperbaiki strategi mengajarnya. Selain itu, hasil studi tersebut

juga menyatakan bahwa identifikasi the best practices of effective teacher merupakan

langkah pertama bagi institusi kedokteran dalam mengembangkan kurikulum berbasis

bukti yang berkaitan dengan teaching etika, value dan humanisme.

Pengalaman tentang teaching altruism dilakukan oleh Gedeit (2001) dengan

mengadakan workshop. Sebuah workshop mengenai altruism dengan video role play

diberikan kepada separuh mahasiswa tahun ke tiga yang sedang rotasi di bagian

pediatri, sedangkan separuhnya tidak mengikuti atau terpapar dengan workshop ini.

Kemudian, mahasiswa dinilai dengan OSCE, kemampuan pengetahuan klinis dan

komunikasi fokus pada perilaku/behavior yang berkaitan dengan altruism.

Pembelajaran professional responsibility diberikan pada mahasiswa

kedokteran tahun pertama. Konten materi antara lain mengenai sikap dan perilaku
ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 17
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dokter dalam interaksi dengan pasien dan teman sejawat, termasuk pengambilan

keputusan, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, penalaran klinis, dan

mengaplikasikan basic knowledge pada kondisi praktis. Metode dengan kuliah

singkat dilanjutkan dengan diskusi kelompok dengan cased based teaching

menggunakan video sebagai trigger. Penugasan berupa membaca artikel mengenai

etika, sumpah dokter dan menuliskan kasus diskusi sebagai refleksi untuk bahan

dalam diskusi on line dalam web (Rhodes et al., 2001).

Profesionalisme secara formal diajarkan pada mahasiswa kedokteran tahun ke

dua dengan pendekatan cased based life cycle integrasi dengan ilmu penyakit,

pemeriksaan fisik, dll. Kuliah, diskusi kelompok serta patient-centered clinical

interactions menjadi trigger untuk belajar. Tutor atau fasilitator menilai professional

behavior mahasiswa dengan menggunakan standar penilaian profesionalisme

(papadakis) yang sudah divalidasi (Fincher et al., 2001).

Mengajarkan respect for patient, diberikan pada mahasiswa tahun pertama

dengan metode interview dengan pasien (mendengarkan keluhan pasien) secara rutin

pada rawat jalan. Mahasiswa dihadapkan pada kasus tertentu (penyalahgunaan obat

dan menolak tindakan medis), dokter yang merawat memberikan informed consent

dihadapan mahasiswa, untuk tindakan medis yang akan dilakukan tersebut hingga

pasien bersedia (berhasil). Pada proses pembelajaran ini nampak adanya aspek role

model. Kemudian, mahasiswa ditugasi untuk membuat refleksi kasus secara formal

termasuk laporan critical incidentsnya. Refleksi kasus dilakukan bersama-sama

dengan diskusi kelompok (Branch, 2006).


ATRIBUT DAN DISAIN PEMBELAJARAN PERILAKU PROFESIONAL (PP) DALAM PENDIDIKAN
DOKTER DI INDONESIA 18
WIWIK KUSUMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Penelitian tentang model pembelajaran PP ini berbeda dari penelitian serupa

yang sudah dilakukan. Penelitian ini mencoba mengembangkan model pembelajaran

PP pada pendidikan dokter dengan atribut atau elemen PP yang didapatkan dari tiga

metode pengumpulan data, yaitu: FGD, wawancara mendalam dan studi pustaka.

Atribut PP yang didapatkan dari FGD yang juga didapatkan dari wawancara dan studi

pustaka, serta yang spesifik untuk kondisi Indonesia dipilih sebagai atribut PP yang

akan dikembangkan dalam disain pembelajaran PP.

Aspek religiositas (agama Islam) dan spiritualitas dimasukkan untuk

mewarnai dalam disain pembelajarannya. Hal ini sebagai ciri khusus penelitian ini,

yang sejauh peneliti ketahui belum pernah dilakukan dalam pendidikan dokter.

Metode yang dikembangkan meliputi kombinasi antara diskusi kelompok dengan

trigger film mengandung nilai-nilai PP bermuatan Islami dan spiritual sebanyak tiga

kali disertai refleksi dan panel ahli sebagai intervensi terakhir. Diskusi kelompok

dengan trigger film dalam penelitian ini berbeda dengan yang pernah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya (Naranchimeg, 2008; Ber & Alroy, 2002; Rhodes, 2001), yang

lebih menekankan pada interaksi dokter pasien (doctor – patient encounter). Panel

ahli melibatkan empat pakar dalam bidang etika, antropolog, dokter dan psikolog.

Dokter dan psikolog yang dipilih keduanya juga sebagai ustadz, dengan harapan

dapat lebih menekankan pada kaitan nilai-nilai PP yang diajarkan dengan agama

Islam.

Anda mungkin juga menyukai