Anda di halaman 1dari 10

QAWAID FIQIYAH

Oleh :

BAIQ WILDA AL ALUF

(F1D019014)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVRSITAS MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk tugas ini, supaya tugas ini
nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga
tugas ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Mataram, 4 Oktober 2019

Penulis
QAWAID FIQHIYAH

A. Pengertian Qawaid Fiqhiyah

Kiadah fiqih merupakan istilah yang digunakan ulama fiqih untuk pengembangan
cakupan suatu hukum. Ada beberapa definisi kaidah fiqih yang dikemukakan para
ulama. Tajuddin As-Subki, seorang ulama dari mazhab Syafii mengatakan, kaidah
fiqih adalah suatu acuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum dari
kebanyakan persoalan parsial. Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani
mengatakan, kaidah fiqih adalah ketentuan umum yang dapat diterapkan untuk
mengetahui hukum persoalan-persoalan parsial. Perbedaan definisi tersebut terletak
pada cakupannya. Menurut As-Subki, tidak semua persoalan parsial dicakup oleh
kaidah itu.

Karena itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan persoalan parsial”.


Definisinya ini banyak diikuti oleh para ahli fiqih. Adapun definisi At-Taftazani tidak
membatasi persoalan parsial yang dapat dicakup oleh kaidah fiqih. Nama lain dari
qawaid fiqhiyah adalah al-asybahah wan nazhair, yang artinya kemiripan dan
kesejajaran. Kaidah fiqih merupakan ketentuan yang bisa dipakai untuk mengetahui
hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam Al-Qur’an,
Sunnah maupun ijmak sehingga lahirlah fiqih baru. Prosedur untuk mendapatkan
fiqih baru ini disebut dengan ilhaq, yaitu semacam proses kias yang contohnya tidak
didapatkan dari sumber wahyu, melainkan dari fiqih yang sudah jadi.
Secara terminologi qawaid fiqhiyah terdiri dari dua kata, yaitu qawaid dan fiqhiyah.
Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia
dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan.

Sedangkan secara terminologi fiqh berarti ilmu yang menerangkan hukum hukum
syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan
melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.

Maka Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah dasar-


dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih.
Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang
disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya
didalam nash.

B. Sejarah Munculnya Qawaid Fiqhiyah

Kaidah fiqih yang disusun oleh para ahli fiqih tidak muncul sekaligus, sebagaimana
sebuah undang-undang disusun, melainkan secara bertahap melalui proses dan
pemahaman terhadap hukum yang dikandung oleh teks suci. Kaidah fiqih yang paling
awal ditemukan dalam tulisan dan ungkapan para ulama fiqih abad ke-2 hijriyah.
Namun, tidak dapat diketahui siapa penyusun pertama kaidah fiqih itu. Adapun
kaidah fiqih sebagai salah satu ilmu tersendiri baru muncul abad ke-4 hijriyah yang
tersebar dalam mazhab fiqih.

Mazhab yang paling awal mengetrapkan kaidah fiqih adalah mazhab Hanafi. Imam
Abu Tahir Ad-Dibas, tokoh mazhab Hanafi yang hidup pada akhir abad ke-3 sampai
awal abad ke-4 hijriyah, telah mengumpulkan kaidah dasar dalam mazhab Hanafi.
Dengan demikian, kajian fiqih secara sistematis mendahului munculnya kaidah fiqih
sebagai ilmu.
C. Ruang lingkup qawaid fiqhiyah

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan


cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan
disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab
atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :

a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg


bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini
disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :

1. Al-Umuru bi maqashidiha.

2. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.

3. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

4. Adh-Dhararu Yuzal,

5. Al- ’Adatu Muhakkamah.

b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh


madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada
qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al-
Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan
bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau
masuk di bawah kaidah yg lebih umum.

c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang


menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini
terbagi pada 2 bagian :

1. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.

2. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.


Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan
karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak
di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang


diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu
furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu
madzhab.

Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang


dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada
madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.[5]

D. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dan Qawaid Ushuliyah

Perbedaan kaidah fiqih dan kaidah ushul perlu dijabarkan untuk mengetahui
peranannya masing-masing dari berbagai aspeknya. Perbedaan di antara keduanya
dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:

1. Aspek materi

Perbedaan dari aspek materi, kaidah ushul terdiri dari tiga perkara; pertama, ilmu
kalam, kedua, bahasa Arab, dan ketiga, gambaran hukum syarak. Sedangkan kaidah
fiqih terdiri dari tiga perkara juga; pertama, dalil syar’i, kedua, tujuan umum syariat,
dan ketiga, hukum furu’ yang memiliki kemiripan.

2. Aspek keterikatan

Perbedaan dari aspek keterikatan, kaidah ushul terikat dengan dalil tasyri’
(perundang-undangan). Sedangkan kaidah fiqih terikat dengan perbuatan-perbuatan
mukalaf.

3 .Aspek penggunaan
Perbedaan dari aspek penggunaan, kaidah ushul digunakan dalam hal penetapan
hukum syarak, penetapan dalil hukum syarak dan penetapan cara menggali hukum
dari dalil syarak.Sedangkan kaidah fiqih digunakan sebagai acuan umum berbagai
permasalahan yang dibahas dalam fiqih dalam satu payung hukum.

4. Aspek kegunaan

Perbedaan dari aspek kegunaan, kaidah ushul secara khusu berguna bagi mujtahid
yang dapat digunakan ketika menggali hukum syarak dari dalilnya. Sedangkan kaidah
fiqih berguna bagi mujtahid, hakim, mufti dan guru, karena kaidah umum untuk
berbagai kasus hukum (furu’) secara mudah dapat dikembalikan pada kaidah fiqih
tersebut

5. Aspek keterdahuluan

Perbedaan dari aspek keterdahuluan, kaidah ushul lebih dahulu muncul sebagai
sumber dalam mendasarkan hukum dan penggaliannya. Sedangkan kaidah fiqih lebih
akhir kemunculannya sebagai persetujuan terhadap hukum yang ditetapkan dan
sebagai pengikat bagi persoalan-persoalan yang berbeda-beda.

6. Aspek ketergantungan di antara keduanya

Perbedaan dari aspek ketergantungan di antara keduanya, kaidah ushul tidak


tergantung dengan kaidah fiqih, sedangkan kaidah fiqih tergantung pada kaidah
ushul.

E. Pentingnya Qawaid Fiqhiyah dan Kegunaannya

Kaidah fiqih memiliki arti penting dan posisi yang tinggi dalam hukum Islam. Di
antara kegunaannya sebagai berikut:

1. Sebagai pedoman berbagai kasus hukum, mempermudah mengetahui hukum dari


suatu kasus dan mudah mengingatnya.
2. Mengetahui kaidah fiqih menjadikan orang yang mengkajinya mengetahui rahasia
syariat, konsep hukum dan sumber pengambilan berbagai permasalahan hukum.

3. Memahami kaidah fiqih dapat menentukan pemahaman berbagai persoalan


sekaligus dapat mendatangkan hukumnya.

4. Mengembangkan penguasaan terhadap fiqih, karena dengan kaidah fiqih seseorang


akan mampu mengkiaskan (ilhaq) persoalan-persoalan dalam ruang lingkup tertentu.

5. Mengkaji kasus hukum tertentu tanpa kaidah bisa menyebabkan kehilangan


konsep, namun apabila mengkaji dengan kaidah akan bisa kaya konsep.

6. Dapat menjangkau tujuan umum syariat. Dengan mengetahui kaidah umum


seseorang dapat mengetahui tujuan umum syariat, misalnya “adh-dharuratu tubihul
mahzhurat (kemudaratan membolehkan susuatu yang dilarang)”. Dari kaidah tersebut
dapat dipahami bahwa menghilangkan kesulitan dan mengdatangkan kemudahan bagi
hamba salah satu dari tujuan syariat.
KESIMPULAN

Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah dasar-dasar atau asas-asas


yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid
al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara
general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari
kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia,
Bandung. 2007)
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta :
Amzah.
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama,
2008)

Anda mungkin juga menyukai