Oleh:
Arum Ambarsari 1820221058
Rizkia Ima Ardanti 1820221076
Pembimbing:
dr. Novita Elyana, SpRad
Disusun oleh:
Arum Ambarsari 1820221058
Rizkia Ima Ardanti 1820221076
Telah disetujui,
Pada tanggal, Juli 2019
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
LAPORAN KASUS
I.2. Subjektif
Anamnesis dan Alloanamnesis (06 Juli 2019 pukul 09.40 WIB)
a. Keluhan Utama:
Sesak napas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dibawa ke IGD RSUD Ambarawa oleh keluarganya hari Kamis
tanggal 04 Juli 2019 dengan keluhan sesak napas, dada terasa berat dan
gelisah. Sesak napas dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, dan terasa semakin
memberat sejak 2 hari sebelum masuk RS. Sesak dipengaruhi aktivitas dan
berkurang saat istirahat. Sesak napas terutama dirasakan saat malam hari
dan sering disertai keringat dingin. Pasien juga mengalami batuk tidak
berdahak sejak 2 hari sebelum masuk RS, hingga pasien sulit tidur.
Sebelumya pasien sempat dibawa ke klinik dan dilakukan pemeriksaan
oleh dokter jaga lalu dirujuk ke RSUD Ambarawa. Demam disangkal.
Nafsu makan menurun sejak 1 minggu sebelum masuk RS. BAB dan BAK
lancar. Setelah masuk di RSUD Ambarawa, pasien dirawat dalam ruang
perawatan Mawar namun karena sempat mengalami penurunan kesadaran
pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif di ICU.
1
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : disangkal
3) Penyakit Diabetes Mellitus : diakui, tidak terkontrol
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : diakui, tidak terkontrol
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
9) Riwayat Operasi : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : disangkal
3) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : disangkal
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di rumah bersama istrinya di Randusari RT 02/04,
Banyubiru. Pasien sudah tidak bekerja sejak 5 tahun yang lalu,
sebelumnya pasien bekerja sebagai pedagang asongan, sedangkan istri
pasien merupakan ibu rumah tangga. Anak-anak pasien tinggal terpisah
karena sudah berkeluarga. Berdasarkan keterangan keluarga pasien, pasien
memiliki kebiasaan merokok sewaktu muda, namun sudah berhenti
merokok sekitar 30 tahun hingga saat ini, pasien tidak sedang
mengonsumsi obat-obatan apapun. Pasien menggunakan Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS-Non PBI).
2
I.3 Objektif
Pemeriksaan Fisik (06 Juli 2019 pukul 13.00)
KU/Kesadaran : lemah, E4V5M5
Tekanan Darah : 186/83 mmHg
Laju Nadi : 85 x/menit reguler, isi tekanan cukup
Sp02 : 98% NRM 12 lpm
Laju Pernapasan : 40 x/menit
Suhu : 36.5 C
Status Generalis:
- Kepala : Mesocephal (+)
- Mata : CA (-)/(-), SI (-)/(-), RC (+)/(+), isokor 3mm/3mm
- Telinga : Discharge (-)
- Hidung : Discharge (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : Discharge (-), sianosis (-)
- Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
- Thoraks : Simetris, jejas (-)
P/ SDV (+)/(+), Ronkhi (+)/(+), Whz (-)/(-)
C/ S1 > S2, M (+), G (-)
Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sin
Batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2cm lateral dari linea
midclavikula sinistra
- Abdomen : Datar, BU (+) N, defans muscular (-), NT (-)
- Ekstremitas : Sianosis (-)/(-)//(-)/(-)
AH (+)/(+)//(+)/(+), edema (-)/(-)//(-)/(-)
Pemeriksaan Laboratorium 04 Juli 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah Lengkap
Hb 17.6 H 13.2 – 17.3 g/dl
Leukosit 17.4 H 3.8 – 10.6 ribu
Eritrosit 6.65 H 4.4 – 5.9 juta
Ht 53.0 H 40 – 52 %
Trombosit 387 150 – 400 ribu
MCV 79.7 L 82 – 98 fL
3
MCH 26.5 L 27 – 32 pg
MCHC 33.2 32 – 37 g/dl
RDW 15.2 10 – 15 %
MPV 9.4 7 – 11 mikro m3
Limfosit 6.14 H 1.0 - 4.6 10*3/mikro
Monosit 0.03 L 0.2 – 1.0 10*3/mikro
Eosinofil 0.71 0.04 – 0.8 10*3/mikro
Basofil 0.07 0 – 0.2 10*3/mikro
Netrofil 10.43 H 1.8 – 7.5 10*3/mikro
Limfosit % 36.3 26 – 40 %
Monosit % 0.2 L 2-8%
Eosinofil % 4.1 2-4%
Basofil % 0.4 0–1%
Neutrofil % 60.0 50 – 70 %
PCT 0.365 0.2 – 0.5 %
PDW 9.8 10 – 18 %
Kimia Klinik
SGOT 85 H 0 – 50 IU/l
SGPT 34 0 – 50 IU/l
Ureum 73 H 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 2.94 H 0.62 – 1.1 mg/dl
Na 144 136 – 146 mmol/L
K 4.6 3.5 – 5.1 mmol/L
Cl 110 H 98 – 106 mmol/L
Urin Lengkap
Warna Kuning -
Kekeruhan Keruh -
Protein urin 2 + 1.0 -
Glukosa urin - -
pH 5.0 5–8
Bilirubin urin - -
Urobilinogen - -
Berat jenis urin 1025 1000 – 1030
Keton urin - -
Leukosit - -
Eritrosit 3 + 200 -
Nitrit - -
Sedimen
Eritrosit 10446.3 < 6.4 uL
Leukosit 25.5 < 5.8 uL
Epitel 21.0 < 3.5 uL
Silinder 1.11 < 0.47 uL
Bakteri 64.4 < 23 uL
Kristal 0.5 -
Yeast 0.0 -
Epitel tubulus 15.3 -
4
Pemeriksaan Radiologi Thoraks 05 Juli 2019
I.4 Assesment
Assesment DPJP : Edema Paru Kardiogenik
I.5 Planning
- O2 10 lpm NRM
- Levofloksasin 250gr/24jam
- Inj Furosemid
- Inj Metilprednisolon 30gr/8jam
- Nebulizer Bricasma/8jam
- Inj Fluiruasil 600gr/hari
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2 Alveolus
Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa
dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri
daru dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel
simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2
atau biasanya disebut sebagai sel septal, merupakan sel epitel kuboid yang
6
berada diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat
utama pertukaran gas. Sedangkan sel alveolar tipe 2 merupakan sel yang
permukaannya terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi
untuk menjaga permukaan alveolus. Salah satu cairan alveolar tersebut adalah
surfaktan, yang terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi
menurunkan tekanan cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk
kolaps (Martini et al. 2013).
7
terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang
berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan
epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal
(Chruchill Livingstone, 2010).
8
II.2.2 Epidemiologi
Angka kejadian edema paru di seluruh dunia pada tahun 1994 adalah
sebanyak 74,4 juta penderita. Di Inggris terdapat sekitar 2,1 juta penderita
edema paru, di Amerika terdapat sekitar 5,5 juta penderita dan di Jerman
terdapat sekitar 6 juta penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif. Di Indonesia sendiri, edema paru pertama kali
terdeteksi pada tahun 1971, sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukkan meningkat (Rampengan, 2014).
II.2.3 Klasifikasi
a. Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik adalah edema yang disebabkan oleh adanya
kelainan pada organ jantung. Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan
di atrium kiri dan sebagian kapiler paru menyebabkan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke dalam paru tanpa ada
perubahan permeabilitas atau integritas dari membrane alveoli kapiler
dengan hasil akhir terjadinya penurunan difusi kemudian berlanjut pada
keadaan hipoksemia dan sesak nafas. Contoh penyebab seperti infark
miokard, hipertensi, pemyakit jantung katup, eksasebasi gagal jantung
sistolik maupun diastolik, kardiomiopati, dan lainnya (Mayo Clinic,
2019).
b. Edema Paru Non-Kardiogenik
Edema paru Non-Kardiogenik adalah edema paru yang tidak disertai oleh
peningkatan tekanan jantung atau bukan akibat peningkatan tekanan vena
pulmonalis. Penyebabnya ialah peningkatan permiabilitas kapiler,
penurunan tekanan onkotik plasma, peningkatan tekanan limfatik
maupun penyebab neurogenik. Contoh: tenggelam, overload cairan,
konsumsi obat-obatan (kokain, heroin, dan aspirin), emboli paru, aspirasi
benda asing, cedera inhalasi, infeksi virus, reaksi alergi, adult respiratory
distress syndrome (ARDS), perdarahan sub-araknoid, hipoalbuminia,
limfangitis karsinomatosis, dan sebagainya (Liwang dan Mansjoer,
2014).
9
II.2.4 Etiologi
Etiologi dari edema paru dibagi berdasarkan pencetusnya, sebagai berikut:
a. Ketidangseimbangan Starling Forces
1) Peningkatan Tekanan Vena Pulmonalis
Pada keadaan stenosis katup mitral, gagal ventrikel kiri, atau
peningkatan tekanan arterial paru yang memicu peningkatan tekanan
kapiler paru sekunder, dapat menyebabkan kenaikan tekanan kapiler
pulmonar (normal: 8-12mmHg) yang melebihi tekanan osmotik koloid
plasma berkisar 28mmHg kemudian memicu terjadinya edema paru.
2) Penurunan Tekanan Onkotik Plasma
Peningkatan kapiler paru disertai kondisi hipoalbuminemia akan
menyebabkan perubahan konduksivitas cairan rongga interstisial
sehingga mudah terjadi ekstravasasi cairan diantara sistem vaskuler
kapiler dan sistem limfatik.
b. Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli (Acute Respiratory
Distress Syndrome)
Terganggunya permeabilitas kapiler yang disebabkan berbagai kondisi
medis akan berakibat langsung terhadap terjadinya edema paru, pada
keadaan ini terjadi peningkatan permeabilitas kapiler paru yang
mengakibatkan lolosnya kandungan cairan di jaringan interstisial antara
kapiler dan alveoli penyebabnya dapat berupa pneumonia, toksin yang
terinhalasi, bisa ular atau endotoksin dalam sirkulasi, aspirasi asam
lambung, pneumositis akibat radiasi, zat vasoaktif endogen, DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation), pneumositis hipersensitif,
shock lung pada trauma non thoraks, dan pankreatitis hemorragik akut.
Pneumonia, DIC, dan peradangan pada paru lainnya mengaktifan
kaskade inflamasi yang kemudian akan mengeluarkan mediator inflamasi
seperti asam arakidonat, histamin, dan kinin yang akan menyebabkan
kerusakan endotel dan menginduksi terjadinya perubahan permeabilitas
kapiler paru. Inhalasi toksin dalam konsentrasi tertentu dapat
menyebabkan pengaktifan peroksida lipid yang kemudian akan membuat
kerusakan sel endotel kapiler yang berujung pada gangguan
10
permeabilitas kapiler sehingga cairan dapat berpindah ke ruang
interstisial. Aspirasi asam lambung yang asam juga dapat menyebabkan
edema paru dalam beberapa menit melalui mekanisme yang sama.
c. Insuffisiensi Sistem Limfe
Terganggunya aliran limfatik akibat penyumbatan pada pembuluh limfe
dapat menahan cairan di rongga interstisial lebih lama dan tidak dialirkan
kembali ke dalam pembuluh darah. Kondisi ini dapat terjadi pada kondisi
limfangitis fibrotik, karsinomatosis limfangitis, dan post transplantasi
paru.
d. Edema Paru yang mekanismenya masih belum jelas
Edema paru neurogenik terjadinya rangsangan adenergik dari
hypothalamus yang kemudian menyebabkan pergeseran volume darah
dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan
“compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi penurunan pengisian
ventrikel kiri sehingga tekanan atrium kiri meningkat dan terjadilah
edema paru. Biasanya terjadi pada pasien setelah mengalami kejang atau
post operasi otak. Selanjutnya, edem paru karena tempat ketinggian lebih
dari 8.000 feet (atau sekitar 24.00 meter) sehingga menyebabkan kondisi
hipoksia. Ketinggian menyebabkan vasokontriksi arteriole paru dan
kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang peningkatan kardiak
output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya terjadilah
edema. Beberapa kondisi lain seperti overdosis obat narkotik, emboli
lemak pada paru, eklampsia, pasca anastesi, pasca kardioversi, serta post
cardiopulmonary bypass dapat menyebabkan terjadinya edema paru.
11
- Peningkatan tonus simpatis
- Diaforesis (Keringat berlebih)
- Lebih dari 24 jam secara bertahap pasien sering dilaporkan dispnea saat
aktivitas
- Ortopnea
- Dispnea nokturnal proksimal
- Batuk disertai dahak warna merah muda dan berbusa
- Nyeri dada
- Riwayat iskemia atau infark miokard akut atau disertai dengan diseksi
aorta dan regurgitasi aorta sebagai pemicu edema paru.
Pasien dengan edema pulmo Nonkardiogenik gejala yang ditimbulkan
tergantung dari penyebabnya dan dapat muncul secara tiba-tiba atau berkembang
seiirng waktu. Berikut gejala yang ditimbulkan:
- Napas sangat pendek atau sulit bernapas (dispnea) yang memburuk dengan
aktivitas atau saat berbaring.
- Perasaan tercekik atau tenggelam yang memburuk saat berbaring.
- Mengi.
- Kulit dingin dan lembab.
- Gelisah.
- Batuk dengan dahak berbusa disertai darah.
- Bibir berwarna biru atau sianosis.
- Detak jantung yang cepat atau tidak teratur (palpitasi).
- Bengkak pada ekstremitas bawah
- Terbangun di malam hari dengan batuk atau perasaan sesak napas yang
bisa dihilangkan dengan duduk (Assad et al. 2017; Sovari, A 2017).
II.2.6 Patofisiologi
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan
pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir
yang Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
a. Membran Kapiler Alveoli
12
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke
ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian
cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh
limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute
dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental
membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru
sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap
adalah tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong
cairan keluar; Pis adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang
cenderung untuk mendorong cairan ke kapiler; dan I adalah koefisien
refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam mencegah
filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang
cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan
osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari
kepiler. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel
kiri (stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh
karena gangguan fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru
sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di
daerah interstisial peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium nonalveolar ini, cairan lebih sering
meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari
saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe
terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam keadaan
istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan
didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang
13
dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan di
atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan
mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam
jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema.
Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas
yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi (Hall, 2012; Chioncel
et al 2015).
II.2.7 Diagnosis
a. Anamnesa
Lakukan anamnesa pada pasien maupun keluarga pasien dimulai dari
keluhan utama, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu,
ada atau tidaknya riwayat sakit jantung/hipertensi/asma, riwayat alergi,
riwayat penyakit keluarga, riwayat konsumsi obat dan riwayat sosial
ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Monitoring tanda vital
14
Lakukan pemeriksaan tanda vital dan monitoring, meliputi
pemeriksaan nadi (frekuensi dan kualitasnya), tekanan darah, laju
pernapasan (frekuensi dan kualitasnya), saturasi oksigen dan suhu
(Baird, 2010).
2) Pemeriksaan fisik umum dengan fokus pada pemeriksaan sistem
kardiorespirator
Lakukan pemeriksaan fisik dimulai dari head-to-toe, dan fokuskan
pemeriksaan pada sistem kardiorespirator. Tanda klinis yang biasanya
dijumpai berupa (Baird, 2010) :
- Retraksi interkostal saat bernapas
- Suara napas tambahan; rhonki, wheezing
- Krepitasi
- Suara jantung abnormal; murmur, gallop
- Tekanan vena jugularis meningkat
- Apex beat pada jantung
- Sianosis
- Diaphoresis
- Edema perifer
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan EKG
Lakukan pemeriksaan EKG untuk menilai apakah terdapat gangguan
pada jantung seperti pembesaran ventrikel maupun atrium, artimia,
iskemia miokard maupun infark, serta lakukan monitoring EKG pada
pasien dengan edema paru. Pemeriksaan EKG juga dapat membantu
membedakan antara edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
(Rampengan, 2014).
2) Pemeriksaan Foto Thoraks
Foto thoraks dapat menjadi pemeriksaan penunjang yang cukup
adekuat dalam menegakkan diagnosis edema paru. Hasil temuan pada
pemeriksaan foto thoraks juga dapat membantu membedakan edema
paru kardiogenik dan non-kardiogenik (Lorraine et al, 2005).
3) Pemeriksaan Laboratorium
15
Lakukan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah
lengkap, dan pemeriksaan enzim jantung untuk membantu
menegakkan diagnosa kardiogenik atau non-kardiogenik. Peningkatan
kadar brain natriuretic peptide (BNP) dalam darah sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan di ventrikel. Kadar BNP > 500 pg/ml
dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik
(Rampengan, 2014).
4) Kateterisasi Jantung Kanan
Pengukuran Ppw (pulmonary capillary wedge pressure) melalui
katerisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien edema
paru kardiogenik. Ppw pada edema paru kardiogenik 25-35 mmHg
sedangkan Ppw pada non-kardiogenik biasanya berkisar 0-18 mmHg
(Rampengan, 2014).
16
penurunan tekanan rerata arteri (MAP) <65 mmHgm serta penurunan
curah jantung (CO <3,2 L/menit) (Perki, 2016).
II.2.9 Penatalaksanaan
Edema paru merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis (Rampegan, 2014).
Tujuan dari penatalaksanaan edema paru adalah untuk meningkatkan oksigenasi,
mempertahankan tekanan darah tetap adekuat, mengurangi kelebihan cairan
ekstraselular dan menangani etiologi dari edema paru tersebut (Purvey, 2017).
17
Tabel 1. Terapi Definitif Edema Paru (Baird, 2010)
Selain itu, dapat juga diberikan obat seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Terapi Lainnya untuk Edema Pulmo (Baird, 2010)
II.2.10 Komplikasi
18
II.2.10 Prognosis
Edema paru merupakan suatu keadaan gawat yang perlu diberikan
penanganan segera. Prognosis pada pasien edema paru tergantung pada penyakit
dasar dan faktor pencetur yang dapat diobati. Angka mortalitas edema paru
masih tinggi sekitar 15-20% pada kematian di Rumah Sakit (Sovari et al, 2017).
Sebagian pasien dapat pulih kembali dalam waktu yang cukup lama dan dengan
perawatan intensif di ICU (Huldani, 2014).
Gambaran foto thoraks juga dapat menentukan tingkatan edema paru, yang
dibagi menjadi 3 stadium, yaitu (Cremers et al, 2010):
a. Stadium I
Stadium I atau redistribusi. Pada foto thoraks normal dengan posisi
pasien erect, pembuluh darah paru yang memperdarahi lapang paru atas
19
lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan dengan yang memperdarahi
basal paru. Pada edema paru kardiogenik, pembuluh darah paru akan
terdistensi, kemudian menglami pemerataan aliran darah dan pada
akhirnya mengalami distribusi kearah kranial (kranialisasi/cephalisasi).
b. Stadium II
Stadium II ditandai dengan kebocoran cairan ke interlobular dan
interstitil perbronkial sebagai akibat dari meningkatkan tekanan pada
kapiler paru. Pada saat terjadi kebocoran cairan ke septum interlobular
perifer maka akan terlihat sebagai garis Kerley B. Garis Kerley B
biasanya terlihat di perifer sebagai garis horizontal sepanjang 1-2 cm
dekat sudut kostofrenikus. Selain garis Kerley B, dapat juga ditemukan
garis Kerley A dan Kerley C. Garis Kerley A merupakan garis oblique
sepanjang 2-6 cm dengan ketebalan <1 mm di lobus atas paru dan
mengarah ke hilus. Sedangkan garis Kerley C adalah garis yang berada
didaerah sentral. Selain ditandai dengan berbagai garis tersebut, stadium
II juga ditai dengan adanya peribronchial cuffing (penebalan dinding
bronkial) dan adanya bercak kesuraman seperti kabut atau perihiler haze.
20
Perihiler haze
c. Stadium III
Stadium ini ditandai dengan kebocoran cairan ke interstitial yang terus
berlanjut, dan sudah tidak dapat di kompensasi oleh drainasi limfatik.
Pada akhirnya akan menyebabkan kebocoran cairan ke alveolar yang
menyebabkan edema alveolar dan dapat meluas terjadi kebocoran ke
ruang pleura sehingga menyebabkan efusi pleura (Cremers et al, 2010).
Gambaran radiologi yang muncul pada keadaan ini menyerupai sayap
kelelawar karena terdapat opasitas yang simetris pada perihiler kanan dan
kiri disertai dengan kesuraman pada vaskular paru (blurring vascular)
sehingga disebut ’bat’s wing’ atau ’butterfly sign’ (Han et al, 2018).
21
perbedaan foto thoraks edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
Non-kardiogenik
kardiogenik
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
Hall, EJ 2012, Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed.12th, EGC,
Jakarta
Han, J, Xiang, H, Ridley, WE, Ridley, LJ 2018, “Bat Wing or Butterfly Sign:
Pulmonary Oedema”, The Royal Australian and New Zealand College of
Radiologists, diakses tanggal 10 Juli 2019
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/1754-9485.06_12785
Lorraine, Ware, Matthay, Michelle A 2015, “Acute Pulmonary Edema”, The New
England Journal of Medicine, diakses tanggal 9 Juli 2019
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmcp052699
24
Martini, FH, Ober, WC, Bartholomew, EF, Nath, JL 2013, Visual Essential
Anatomy and Phisology, Pearsonhighered, United States
Mayo Clinic 2019, Pulmonary edem, (Online) Mayo Foundation for Medical
Education and Research (MFMER), diakses pada tanggal 9 Juli 2019
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/pulmonary-
edema/symptoms-causes/syc-20377009
Singh, H & Sheikh H 2013, Atlas on X-ray and Angiographic Anatomy, Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd., India
25