Anda di halaman 1dari 16

Konsep Dan Implementasi Pembelajaran Seni Gerak

Menurut Teori Kognitif

Disusun oleh:
Lulu Nadhifah (17111241009), Audina Ratri Cahyaningtyas (17111241012),
Hafina Hafwa Hanifa Sunni (17111241016), Septiayuastuti (17111241043),
Anisa Dewi Munawaroh (17111241045), Eka Usdiawati (17111241046),
Rima Astuti Indahsari (17111244032)

A. Seni Dan Gerak Pada Anak Usia Dini


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tantang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 Ayat 14, anak usia dini adalah yang berusia 0-
6 tahun (Suryana, 2016: 5-6). Di umur ini pertumbuhan dan perkembangan anak dari
berbagai aspek tumbuh dengan pesat. Salah satunya aspek seni dan gerak dalam hal
aspek motorik halus dan motorik kasar anak. Setiap anak mempunyai ciri-ciri,
kebutuhan dan kemampuan yang berbeda. Salah satunya yaitu kebutuhan untuk
mengekspesikan diri.
Banyak faktor yang mendukung berkembangnya seni pada anak usia dini. Dan
harus ada dukungan dari berbagai lingkugan anak. Lingkungan sekolah sangat
berpengaruh untuk anak, karena keseharian anak dilalui di sekolah. Tidak bisa
dipungkiri bahwa guru masih mementingkan kompetensi kognitif seperti pintar
berhitung dan berbahasa dari pada kemampuan keterampilan atau bakat yang dimiliki
oleh masing-masing anak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia seni adalah kesanggupan anak untuk
mencipatakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa). Seni dalam arti sempit adalah
kegiatan manusia dalam mengekspresikan pengalaman hidup dan kesadaran artistiknya
yang melibatkan kemampuan intuisi, kepekaan indriawi dan rasa, kemampuan
intelektual, kreativitas, serta keterampilan teknik untuk menciptakan karya yang
memiliki fungsi personal atau sosial dengan menggunakan berbagai media (Tridjata &
Pekerti, 2016: 7). Seni merupakan hasil budaya yang sangat dihargai oleh masyarakat.
Gerak mengacu pada sesuatu yang dapat diamati dalam perubahan letak beberapa
bagian tubuh,
Gerakan adalah tindakan puncak yang menjadi dasar proses motorik. Kata
gerakan biasa diartikan secara luas namun secara umum berarti bahwa tindakan jelas
dan bergerak ( Nugraha, 2016: 3). Setiap gerak pada suatu seni mempunyai makna
tersendiri. Rachmi dkk (Melalui Setiawan, 2014: 5) berpendapat bahwa karakteristik
gerak yang biasa dilakukan anak usia dini pada umumnya adalah menirukan, manipulasi
dan bersahaja. Setiap seni pada anak usia dini mempunyai prinsip, tujuan dan fungsi
tersendiri.
Gerak dan seni untuk anak-anak sangatlah berbeda dengan orang dewasa,
terlihat dari setiap gerakan-gerakan yang terkandung dalam seni tersebut. Biasanya anak
akan lebih mudah memhami dan menghafal jika gerakan dan seni tersebut dengan
kehidupan anak-anak, contohnya seperti gerakan hewan yang dapat ditirukan oleh anak.
Dalam bergerak anak dapat mengembangkan aspek motorik alus dan motorik kasar
yang berkoordinasi dengan kemampuan kognitif anak. Seni dan gerak dapat
menumbuhkan semangat anak-anak saat mengikuti pemebelajaran didalam kelas.

B. Teori Kognitif
Kognitif berasal dari kata “cognition” yang memiliki kesamaan dengan kata
“knowing” dan berarti “mengetahui”. Dalam arti luas, kognisi adalah perolahan
penataan dan penggunaan pengetahuan. Teori belajar kognitif lebih menitik beratkan
pada proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, tetapi juga melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks (Nugroho, 2015: 290).
Baharuddin, dkk. (melalui Nugroho, 2015: 290) menjelaskan bahwa menurut
aliran kognitif, belajar merupakan sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Berdasarkan teori ini, ilmu pengetahuan
dibangun dalam diri seorang anak melalui proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan. Proses tersebut tidak berjalan secara terputus-putus, melainkan
melalui proses yang mengalir, sambung-menyambung, serta menyeluruh.
Teori kognitif muncul dipengaruhi oleh Psikologi Gestalt, yang berasumsi
bahwa setiap anak telah memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya.
Pengalaman dan pengetahuan tersebut tertata dalam bentuk struktur kognitif, dan
nantinya proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pelajaran yang beru
beradaptasi atau bersinambung secara tepat dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
oleh anak (Nugroho, 2015: 290).
Belajar kognitif berlangsung berdasarkan skemata atau struktur mental individu
yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu itu berkembang
sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif (Pahliwandari, 2016: 157).
Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang, maka semakin tinggi
kemampuan dan keterampilan dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan
yang diterima dari lingkungan (Pahliwandari, 2016: 157).
Teori belajar kognitif diulas oleh beberapa tokoh filsuf dunia seperti, Jerome
Bruner, Jean Piaget, Lev Vygotsky, dan David Paul Ausubel. Salah satu tokoh filsuf
yang paling terkenal dengan teori kognitifnya adalah Jean Piaget, yang merupakan salah
seorang profesor psikologi di Universitas Jenewa, Swiss. Jean Piaget (melalui Sutarto,
2017: 5) mengemukakan bahwa proses belajar akan terjadi bila ada aktivitas individu
yang berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya. Paiget
berasumsi bahwa kecerdasan manusia dan biologi organisme berfungsi dengan cara
yang sama, di mana keduanya merupakan sistem terorganisasi yang secara konstan
berinteraksi dengan lingkungan (Nugroho, 2015: 295).
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, dan perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi serta
aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Anak akan menghadapi tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif
(mental). Karenanya, setiap anak harus mengembangkan skema pikiran secara lebih
umum dan terperinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman tersebut (Nugroho, 2015: 295-296).
Menurut Piaget (melalui Sutarto, 2017: 5), perkembangan kognitif memiliki
peran yang sangat penting dalam proses belajar dan pada dasarnya merupakan proses
mental.
Proses mental tersebut pada hakikatnya merupakan perkembangan kemampuan
penalaran logis (development of ability to respond logically), dan berpikir dalam proses
mental tersebut lebih penting dari sekedar mengerti. Semakin bertambahnya usia
seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuan kognitifnya (Sutarto, 2017: 5).
Proses perkembangan mental bersifat universal dalam tahapan yang umumnya
sama, namun ditemukan adanya perbedaan penampilan kognitif pada tiap kelompok
manusia (Sutarto, 2017: 5). Terdapat beberapa proses belajar kognitif (Nugroho, 2015:
296).
1. Pertama, skema/skemata, yaitu struktur kognitif untuk beradaptasi yang
keberadaannya membuat seseorang beradaptasi dan terus mengalami
perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.
2. Kedua, asimilasi, yaitu proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru
ketika anak memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skema atau
perilaku yang sudah ada (Bahruddin, dkk., 2008: 119, melalui Nugroho,
2015: 296).
3. Ketiga, akomodasi, yaitu proses pembentukan skema atau konsep awal
sudah tidak cocok lagi.
4. Keempat, equilibrasi, yaitu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar
dengan struktur di dalamnya atau skemata. Proses perkembangan
intelektual berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui
asimilasi dan akomodasi, proses tersebut mengatur bagaimana potongan
informasi seseorang masuk ke dalam sistem yang tidak bertentangan.
(Nugroho, 2015: 296).

Menurut Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu melalui interaksi terus


menerus dengan lingkungannya (Sutarto, 2017: 5). Menurut teori kognitif Piaget,
terdapat empat tahapan perkembangan kognitif, yaitu tahap sensorimotor (usia 0-2
tahun), tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun), tahap operasional konkrit (usia 7-11
tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas) (Sutarto, 2017: 6).
Pada tahap sensorimotor, belum ada kemampuan bahasa sehingga seluruh
interaksi anak dengan lingkungan sekitarnya sebagian besar menggunakan sensorimotor
(Nugroho, 2015: 297). Anak memahami segala sesuatu terkait lingkungannya dengan
mengoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorisnya (melihat, mendengar) dan
dengan tindakan-tindakan motorik fisik (Sutarto, 2017: 6). Jadi, pada usia 0-2 tahun,
dalam memahami sesuatu di luar dirinya, anak menggunakan gerakan, suara atau
tindakan yang dapat diamati maupun dirasakan oleh alat inderanya (Sutarto, 2017: 6).
Menurut Nugroho (2015: 297), pada akhir masa sensorimotor, anak
mengembangkan konsep permanensi objek di mana anak telah mengerti bahwa suatu
objek itu tetap ada meskipun wujudnya tidak terlihat.
Tahap kedua perkembangan kognitif adalah tahap pra-operasional yang
berlangsung dari usia 2-7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai berpikir prakonseptual (usia
2-4 tahun) di mana anak mulai mengklasifikasikan sesuatu dalam kelompok-kelompok
tertentu karena persamaannya, tetapi masih melakukan kesalahan di dalamnya.
Kemudian anak mulai berpikir intuitif (usia 5-7 tahun), di mana anak dapat
menyelesaikan suatu permasalahan secara intuitif karena belum mampu untuk berpikir
logis (Nugroho, 2015: 298).
Selain itu, anak mulai melukiskan dunia melalui tingkah laku dan kata-katanya.
Anak mulai memiliki kecakapan motorik untuk melakukan suatu hal dari apa yang
dilihat atau didengarnya, tetapi belum mampu untuk mengerti mengenai maksud atau
makna dari tindakannya (Sutarto, 2017: 6).
Pada tahap operasional konkrit, anak mulai berpikir secara logis mengenai
peristiwa-peristiwa yang bersifat konkrit dan dapat membedakan benda yang sama
dalam kondisi yang berbeda (Sutarto, 2017: 6). Anak juga telah memiliki kemampuan
konservasi, klasifikasi, seriasi, dan konsep angka (Nugroho, 2015: 299).
Terakhir, tahap operasional formal. Pada tahap ini, anak dapat mengatasi situasi
dengan menggunakan hipotesis dan kapasitas berpikirnya menggunakan prinsip-prinsip
abstrak, proses berpikir tidak terikat hal yang eksklusif dan langsung riil (Nugroho,
2015: 299). Pada masa ini anak mulai memasuki dunia “kemungkinan” atau mengalami
perkembangan penalaran abstrak. Anak dapat berpikir secara abstrak, lebih logis, dan
idealis (Sutarto, 2017: 6).
Selain Jean Piaget, ada Jerome Bruner yang juga memiliki teori belajar kognitif.
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat
yang banyak memberikan kontribusi pada psikolog kognitif dan teori belajar kognitif
pada psikologi pendidikan. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai
perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh
pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan menstransformasi pengetahuan. Dasar
pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta
informasi.
Teori belajar kognitif ini lebih menekankan arti penting proses internal, mental
manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak
dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah peristiwa
mental, bukan peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak
lebih nyata dalam setiap peristiwa belajar anak. Jadi, teori belajar kognitif lebih
menekankan pada bagaimana prosesnya daripada hasilnya. Ketika diimplikasikan pada
belajar, maka yang terjadi adalah bagaimana proses belajar itu sendiri, daripada hasil
dari belajar. Ada beberapa pokok pembahasan yang dipaparkan Bruner dalam teorinya
antara lain:
1. Discovery Learning

Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif ketika belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar
dengan menemukan atau discovery learning. Bruner menganggap bahwa belajar
penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh anak dengan
sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar anak
belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep dan prisnsip-prinsip agar
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen untuk menemukan prinsip-
prinsip itu sendiri. Lawan dari pendekatan ini disebut belajar ekspositori (belajar
dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini siswa diberi informasi umum untuk
diminta menjelaskan informasi tersebut melalui contoh-contoh khusus dan
konkret. Secara khusus belajar penemuan melatih ketrampilan kognitif anak
untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Belajar penemuan juga dapat membangkitkan keingintahuan anak, anak juga
dapat diminta untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya
menerima informasi saja. Pada dasarnya, belajar penemuan mendorong siswa
untuk aktif dan memberikan motivasi dalam belajar sehingga melatih
kemampuan kognitifnya untuk memecahkan suatu masalah.
2. Tahap Perkembangan Intelektual dalam Proses Belajar

Menurut Bruner seiring dengan pertumbuhan kognitif, anak harus


melalui tiga tahap intelektual, meliputi tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
a. Enaktif (0-3 tahun), yaitu pemahaman anak dicapai melalui eksplorasi
dirinya sendiri serta manipulasi fisik motorik melalui pengalaman
sensori. Anak belajar tentang dunia melalui respon terhadap suatu objek.
Dalam memahami dunia sekitarnya, anak menggunakan ketrampilan dan
pengetahuan motorik.
b. Ikonik (3-8 tahun), yaitu anak menyadari sesuatu ada secara mandiri
melalui gambar yang konkret. Anak-anak mencoba memahami dunia
sekitarnya melalui bentuk-bentuk perbandingan dan perumpamaan, dan
tidak lagi memerlukan manipulasi objek-objek pembelajaran secara
langsung.
c. Simbolik (>8 tahun), yaitu anak sudah memahami simbol-simbol dan
konsep seperti bahasa dan angka sebagai representasi simbol. Dalam
memahami dunia sekitarnya anak-anak belajar melalui simbol-simbol
bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Huruf dan lambang bilangan
merupakan contoh system simbol.
3. Scaffolding
Jerome Bruner menegaskan bahwa guru harus membantu anak dan
memimbingnya untuk melewati ketiga fase tersebut dengan suatu proses
yang disebut scaffolding. Melalui scaffolding, anak dibimbing menjadi
pembelajar yang mandiri. Menurut Bruner, tujuan pokok pendidikan
adalah bahwa guru harus membimbing anak sehingga mereka dapat
membangun basis pengetahuannya sendiri dan bukan karena diajari
melalui memori hafalan.
4. Fase-fase dalam Proses Belajar

Belajar merupakan proses aktif dengan cara mengkonstrukikan


konsep baru berlandaskan pengetahuan awal yang telah dimilikinya.
Menurut Bruner, dalam proses pembelajaran anak menempuh tiga fase,
yaitu: Pertama, informasi yaitu seorang anak yang sedang belajar
memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang
dipelajari. Di antara informasi yang diperoleh itu, ada yang sama sekali
baru dan beridiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah,
memperluas dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya. Kedua,
transformasi yaitu dalam fase ini informasi yang telah diperoleh,
dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak
atau konseptual. Ketiga, evaluasi yaitu dalam tahap evaluasi ini menilai
sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan dapat dimanfaatkan
untuk mmemecahkan masalah yang dihadapi.
C. Konsep Pembelajaran Kognitif
Anak dini menurut Nasional Assosiation in Education for Young Children
(NAEYC) adalah anak yang berada pada rentang usia lahir sampai usia 8 tahun. Anak
usia dini adalah masa dimana anak sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan
yang pesat. Bahkan para ahli menyebutnya golden age. Pada masa golden age,
pemberian stimulasi yang tepat sangatlah dibutuhkan oleh anak. Sehingga dapat
mengoptimalkan dalam proses tumbuh kembangnya.
Orang dewasa berperan penting untuk membantu belajar dalam proses
pembelajaran anak ketika anak mengalami perkembangan. Istilah belajar dan
pembelajaran terkesan sama bagi banyak orang, tetapi sebenarnya kedua istilah tersebut
memiliki perbedaan. Belajar menurut pandangan teori kognitif sebagai perubahan
persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang
tampak. Sedangkan Pembelajaran adalah pengembangan pengetahuan, keterampilan,
atau sikap baru ada saat seseorang individu berinteraksi dengan informasi dan
lingkungan Pembelajaran memiliki berbagai macam metode penyampaian pada siswa.
Di Indonesia sendiri, Direktorat TK & SD DEPDIKNAS tidak menyebutkan
aspek perkembangan, namun ada aspek-aspek perkembangan yang masuk dalam
kurikulum TK. Aspek-aspek perkembangan tersebut adalah:
a) Perkembangan fisik.
Dalam kurikulum TK tidak disebutkan masalah motorik halus dan motorik
kasar, namun yang disebutkan adalah keterampilan dan fisik. Sebenarnya
keterampilan adalah motorik halus dan fisik adalah motorik kasar.
b) Perkembangan Emosional dan sosial.
Perkembangan emosional dan sosial dalam kurikulum TK disebut sebagai
perkembangan moral dan perilaku.
c) Perkembangan kognitif/intelektual.
Dalam kurikulum TK perkembangan kognitif/intelektual ini disebut
dengan daya pikir.
d) Kreativitas yang tumbuh dari perkembangan yang sehat dari semua aspek
disebut daya cipta. Pada penelitian ini, anak usia dini yang menjadi sasaran
adalah anak usia dini yang dalam tahapan Piaget berada pada tahap pra-
operasional yaitu dengan rentang usia 3-5 tahun.

Kesemuanya aspek diatas memiliki kesinambungan satu sama lain.


Perkembangan sebagai suatu proses yang selalu berkesinambungan menuju ke arah
suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses
pertumbuhan, kemasakan dan belajar.
Perkembangan kognitif sangatlah berhubungan erat dengan kualitas hidup
manusia dan merupakan salah satu aspek perkembangan yang muncul dan berkembang
pesat ketika usia 24-72 bulan. Perkembangan kognitif adalah ke- mampuan berpikir
manusia termasuk didalamnya perha- tian, daya ingat, penalaran, kreativitas, dan
bahasa. Dalam Peratutan Menteri Pendidikan Nasional tentang standar pendidikan anak
usia di- ni. Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan
Nasional (2010) perkembangan kognitif untuk anak usia 2-4 tahun meliputi
pengetahuan umum, mengenal konsep ukuran, bentuk dan pola, menerima dan
mengungkapkan bahasa. Untuk anak usia lebih dari empat tahun, meliputi pengetahuan
umum dan sains, konsep bentuk, warna dan pola, konsep bilangan, lambang bilangan
dan huruf, menerima dan mengungkapkan bahasa.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak tidak terlepas dari proses-proses
yang penting, diantaranya adalah:
1. Skema
Dalam hal ini skema berarti proses di mana anak mulai mengetahui atau
memahami tentang sesuatu. Contohnya, ketika anak melihat ada bunga
yang berduri itu adalah mawar, maka ketika anak melihat bunga yang
berduri anak akan menamainya mawar, padahal bunga yang berduri itu
tidak hanya bunga mawar. Akan tetapi, suatu saat nanti, anak akan
mengerti dengan sendiri bahwa bunga yang berduri tidak hanya bunga
mawar.
2. Asimilasi
Asimilasi di sini adalah sebuah proses menambah informasi anak untuk
menambah atau melengkapi informasi yang telah dimiliki oleh anak.
3. Akomodasi
Akomodasi di sini berarti anak melakukan penyesuaian terhadap apa
yang telah ia terima atau peroleh dengan adanya informasi baru yang
diterima oleh anak.
4. Ekuilibrium
Ekuilibrium adalah proses di mana anak mencapai keseimbangan. Anak
sudah mampu berfikir lebih sehingga anak akan berusaha untuk
menjelaskannya secara individu berdasar atas apa yang ia dapat dan
peroleh dengan menggunakan pengetahuannya, bukan berdasar atas apa
yang ia peroleh secara pasif dari luar.
Selain proses-prose penting di atas, Piaget mengemukakan beberapa tahap
perkembangan kognitif yang melalui empat tahap, diantaranya adalah:
a) Tahap sensori motor yang terjadi sekitar anak dari lahir sampai anak
berumur kurang lebih satu setengah tahun.
b) Tahap pra operasional yang terjadi sekitar anak berumur kurang lebih satu
setengah tahun sampai dengan anak kurang lebih berumur enam tahun.
c) Tahap operasional konkret yang terjadi pada anak sekitar umur kurang lebih
enam tahun sampai dengan anak kurang lebih umur dua belas tahun.
d) Tahap operasional formal yang terjadi apada anak sekitar berumur kurang
lebih dua belas tahun ke atas.

Umur yang dijelaskan di atas tidaklah menjadi patokan yang paling utama saat
anak mengalami tahapan tersebut. Di sini, anak yang satu dengan anak yang lain
mengalami tahapan-tahapan dengan usia yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan tidak
semua anak memiliki perkembangan yang sama. Tahapan tersebut akan dilalui ketika
anak sudah siap dengan kondisi otak yang sudah cukup matang.
Pada tahap sensori motor anak menggunakan inderanya untuk mengenal
lingkungan di sekitarnya. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pra operasional, anak sudah
menunjukkan aktivitas kognitifnya, tetapi belum terorganisasi dengan sempurna. Pada
tahap operasional konkret, anak-anak sudah mampu berfikir tetapi belum mampu untuk
berfikir memecahkan masalah yang lebih dalam. Untuk tahap operasional formal, anak
sudah mampu berargumen, anak sudah mampu berfikir untuk memecahkan masalah
yang lebih dalam atau masalah yang kompleks.

D. Implementasi Kognitif Dan Gerak


Masitoh dkk, (2012: 1.19) dalam Oku (2014), menyatakan pengembangan
bahwa salahsatu tujuan kemampuan kognitif adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir anak untuk dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat
menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, membantu anak
mengembangkan kemampuan logika matematikanya dan pengetahuan akan ruang dan
waktu, mengembangkan kemampuan memilah-milah dan mengelompokkan, serta
mempersiapkan pengembangan kemampuan berpikir teliti.
Sesuai dengan pemaparan Jerome Bruner terkait teori kognitif yang memiliki
beberapa tahap, mulai dari discovery learning, scaffolding dan tahap lainnya. Berikut
beberapa contoh konkrit pembelajaran seni gerak sesuai tupoksi teori kognitif Bruner.
1. Modeling (mencontohkan) yang terdiri dari dua yaitu modeling prilaku
melalui tampilan dan modeling kognitif yang dilakukan melalui proses kognitif.
Sebelum pendidik mencontohkan atau meragakan teknik gerak, terlebih dahulu
diberikan pengetahuan tentang karakteristik tari itu sendiri melalui audio-visual (VCD),
baik asal tarian dan makna yang trkandung dalam tari, agar karakter tari dapat dipahami
siswa/siswi. Pemberian pengetahuan di atas diharapkan peserta didik memiliki
audiovisual untuk belajar mandiri. Namun demikian tanpa tampilan atau peragaan dari
pendidik jelas pembelajaran tidak efektif, karena tidak semua peserta didik memiliki
dasar menari yang baik dan benar. Ini adalah kunci pendidik untuk memahami peserta
didik secara internal dan eksternal agar keseragaman pola yang diacunya bisa sama dan
seragam.
2. Coaching (pelatihan), bertujuan agar peserta didik dapat melakukan sepertiapa
yang dilakukan guru untuk menunjukkan penampilan yang sebenarnya. Hal ini dapat
diterapkan secara individu maupun kelompok. Secara berkelompok peserta didik dapat
mentransfer apa yang diragakan pendidik, tetapi dari aspek kualitas belum menjamin
tingkat kemahirannya. Untuk itu ketika diperagakan secara bersama kontrol dari peserta
didik sangat dibutuhkan, dari keseluruhan anggota tubuh yang digerakkan. Ketika
peserta didik tidak memiliki dasar menari, pendidik harus berperan aktif untuk
melayaninya. Sementara bagi yang telah memiliki keterampilan, pendidik juga harus
hati-hati untuk mengamatinya agar tidak terjadi tingkat kelebihan dari masingmasing
peserta didik ketika akan diuji.
3. Scaffolding, yaitu merestruktur tugas dari yang sederhana ke tingkat yang
lebih sulit sebagai alternatif penilaian. Artinya peserta didik bekerja dengan contoh-
contoh agar dapat memahami tingkat kesulitan teknik gerak tariproses belajar kognitif
dan gerak diperlukan cara yang tepat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Dalam sumber lain, dipaparkan juga implementasi kognitif dan gerak dalam
proses pembelajaran:
1. Yang pertama adalah pengalaman tilikan ( insight ): tilikan biasanya di
sebut dengan pemahaman mengamati pada lingkungan. Dalam proses
belajar anak-anak, seharusnya anak-anak mempunyai kemampuan tilikan
seperti mengenal keterkaitan suatu objek atau peristiwa yang di alami
langsung oleh anak-anak, seperti mengamati kupu-kupu di taman maka anak
bisa menirukan gerak kupu-kupu untuk menjadi suatu gerakan yang indah.
2. Yang kedua adalah suatu bembelajaran yang bermakna ( meaningful
learning ): dalam proses ini yang bermanfaat adalah sangat menunjang
pembentukan tilikan dalam suatu pembelajaran di PAUD. Proses ini akan
sangat berguna untuk membantu anak-anak dalam menghadapi suatu
masalah. Maka hal yang harus dipelajari oleh anak-anak harus memiliki
suatu makna yang jelas dan logis dalam suatu proses gerakannya.
3. Yang ketiga adalah berperilaku yang bertujuan ( pusposive behavior ): suatu
perilaku pada anak yang akan mulai terarah atau terfokus, maka proses
pembelajaran akan berjalan dengan baik jika anak-anak memahami yang
ingin di tirunya untuk menjadi suatu gerakan, maka dari itu seharunya para
guru lebih memperhatikan dan membantu anak-anak untuk memahami cara
mengikuti suatu gerakan yang di dapatkan di lingkungannya seperti
menirukan gerakan kupu-kupu.
4. Yang ke empat adalah prinsip ruang hidup ( life space ): perilaku pada anak-
anak akan mempunyai suatu hubungan dengan tempat dan lingkungan
dimana dia berada atau dia tinggal. Maka yang akan di ajarkan oleh anak
seharusnya harus berkaitan dengan suatu situasi dan kondisi pada anak-
anak saat berada di lingkungan. Maka anak akan mendapatkan setimulan
suatu gerakan yang di dapatkan di lingkungannya.
5. Yang ke lima adalah suatu transfer dalam belajar pada anak: ini adalah suatu
perpindahan suatu pola pada tingkahlaku suatu hewan,tumbuhan, atau
mahluk hidup ke anak. Proses pada transfer belajar pada anak ini akan
memudahkan anak untuk meniru gerakannya, pengertian objek dari satu
konfigurasi ke konfigurasi lain dalam tata susunan yang tepat pada anak.
Transfer belajar ini akan terjadi apabila anak-anak telah memahami dan
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan atau masalah dan
menemukan generalisasi untuk kemudian di gunakan untuk menirukan
gerakan-gerakan suatu hewan, tumbukan, angin, dan benda-benda di
sekelilingnya.
Dalam konsep pemikiran yang lebih sederhana, ketika kita akan
mengajarkan tarian burung terbang kepada anak, dalam teori kognitif, pendidik
atau kita tidak bisa hanya mendikte gerakan dan menuntut anak untuk
menghafal, halyang semacam ini akan sulit diterima oleh anak. Berikut
beberapa tahap sederhana implementasi pembelajaran seni gerak menurut teori
kognitif :
- Untuk menimbulkan kesan dan pengalaman, anak ditanya terlebih
dahulu, sejauh mana pengetahuan mereka tetntang burung.
- Lalu anak diminta mencontohkan seperti apa burung terbang,
- Setelah itu guru baru berperan memasukkan motif motif gerakan.
Misalkan tangan ke samping, disertai dengan jalan kaki berjinjit dan
kepala di patahkan ke kanan ke kiri.
- Sembari memasukkan motif, guru memberi contoh (modelling)
gerakan langsung didepan anak.
- Setelah tahap pemberian contoh, anak diminta berlatih
- Kemudian, masuk tahap scaffolding dimana anak akan menemukan
kesulitan kesulitan, baik dalam meyesuaikan dengan temannya, atau
kesulitan mengkoordinasikan gerakan tubuh, kemudian dalam fase
ini, guru memberi konklusi berupa pemberian hitungan atau ketikan
dalam gerak.
- Maka akan tercipta keselarasan seni gerak yang tumbuh dari
pemahaman dan pengalaman anak, bukan hanya sekedar hafalan
tanpa esensi.

Demikian kiranya pemaparan yang dapat kami tulis. Jika memang ada
benarnya, hal ini merupakan suatu hal yang lumrah sebab kami sebagai
mahasiswa hanya mengutip Ilmu yang sudah di ilhamkan Tuhan melalui
generasi dahulu. Pun jika dalam kami menyajikan paper ini banyak kekeliruan
dan kesalahan sehingga mengurangi kenyamanan banyak pihak, kami kelompok
2 selaku penyusun paper ini memohon maaf dengan segala kerendahan hati.

DAFTAR PUSTAKA

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/05/31/teori-belajar-kognitif-dan-
implementasi-dalam-proses-pembelajaran/ diakses pada, Selasa 9 OKtober 2018.

http://www.academia.edu/13973326/Teori_Belajar_Kognitif_Jerome_S._Bruner
diakses pada, Selasa 9 OKtober 2018.

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/sisca-rahmadonna-spd-
mpd/PEMBELAJARAN%20UNTUK%20PAUD.pdf diakses pada, Selasa 9
OKtober 2018.

https://media.neliti.com/media/publications/39462-ID-pembelajaran-di-pendidikan-
anak-usia-dini-dengan-perkembangan-kognitif-pada-anak.pdf diakses pada,
Selasa 9 OKtober 2018.

Ibda, Fatimah. 2015. PERKEMBANGAN KOGNITIF: TEORI JEAN PIAGET. Dosen


Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Ar-Raniry.

Khadijah. 2016. PENGEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA DINI. Medan: Perdana


Publishing.
Nugraha, Bayu. 2016. Manajemen Pembelajaran Gerak Untuk Anak.
https://media.neliti.com/media/publications/116233-ID-manajemen-
pembelajaran-gerak-untuk-anak.pdf , di akses tanggal 09 Oktober 2018.

Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan Kognitifisme dan Aplikasinya dalam Pembelajaran


Pendidikan Agama Islam Anak Usia Dini.
journal.stainkudus.ac.id/index.php/thufula/article/download/1251/pdf, diakses
tanggal 9 Oktober 2018.

Oku, Ria Palint. 2014. Peningkatan Kreativitas Anak Dalam Pembelajaran Seni Tari
Melalui Strategi Belajar Sambil Bermain Di Tk Aba Karangmalang.
http://eprints.uny.ac.id/20326/1/Ria%20Oku%20Palint%2010209241012.pdf diakses
pada 9 Oktober 2018

Pahliwandari, Rovi. 2016. Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif dalam


Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.
http://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/olahraga/article/download/383/372,
diakses tanggal 9 Oktober 2018.

Tridjata, C. S., Widia Pekerti. 2016. Wawasan Seni dan Pendidikan Kesenian di Taman
Kanak-kanak. http://repository.ut.ac.id/4701/1/PAUD4206-M1.pdf, diakses
tanggal 09 Oktober 2018.

Setiawan, Aris. 2014. Strategi Pembelajaran Tari Anak Usia Dini, journal.um-
surabaya.ac.id, di akses tanggal 09 Oktober 2018

Suryana, Dadan. 2016. Hakikat Anak Usia Dini.


http://repository.ut.ac.id/4697/1/PAUD4107-M1.pdf, diakses tanggal 09 Oktober
2018.
Sutarto. 2015. Teori Kognitif dan Implikasinya dalam Pembelajaran.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=523752&val=10700&title=
Teori%20Kognitif%20dan%20Implikasinya%20Dalam%20Pembelajaran,
diakses tanggal 9 Oktober 2018.

Sugihartono, dkk. 2013. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

Anda mungkin juga menyukai