Kelompok.2 Konsep Dan Implementasi Pembelajaran Seni Gerak Menurut Teori Kognitif
Kelompok.2 Konsep Dan Implementasi Pembelajaran Seni Gerak Menurut Teori Kognitif
Disusun oleh:
Lulu Nadhifah (17111241009), Audina Ratri Cahyaningtyas (17111241012),
Hafina Hafwa Hanifa Sunni (17111241016), Septiayuastuti (17111241043),
Anisa Dewi Munawaroh (17111241045), Eka Usdiawati (17111241046),
Rima Astuti Indahsari (17111244032)
B. Teori Kognitif
Kognitif berasal dari kata “cognition” yang memiliki kesamaan dengan kata
“knowing” dan berarti “mengetahui”. Dalam arti luas, kognisi adalah perolahan
penataan dan penggunaan pengetahuan. Teori belajar kognitif lebih menitik beratkan
pada proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, tetapi juga melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks (Nugroho, 2015: 290).
Baharuddin, dkk. (melalui Nugroho, 2015: 290) menjelaskan bahwa menurut
aliran kognitif, belajar merupakan sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Berdasarkan teori ini, ilmu pengetahuan
dibangun dalam diri seorang anak melalui proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan. Proses tersebut tidak berjalan secara terputus-putus, melainkan
melalui proses yang mengalir, sambung-menyambung, serta menyeluruh.
Teori kognitif muncul dipengaruhi oleh Psikologi Gestalt, yang berasumsi
bahwa setiap anak telah memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya.
Pengalaman dan pengetahuan tersebut tertata dalam bentuk struktur kognitif, dan
nantinya proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pelajaran yang beru
beradaptasi atau bersinambung secara tepat dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
oleh anak (Nugroho, 2015: 290).
Belajar kognitif berlangsung berdasarkan skemata atau struktur mental individu
yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu itu berkembang
sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif (Pahliwandari, 2016: 157).
Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang, maka semakin tinggi
kemampuan dan keterampilan dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan
yang diterima dari lingkungan (Pahliwandari, 2016: 157).
Teori belajar kognitif diulas oleh beberapa tokoh filsuf dunia seperti, Jerome
Bruner, Jean Piaget, Lev Vygotsky, dan David Paul Ausubel. Salah satu tokoh filsuf
yang paling terkenal dengan teori kognitifnya adalah Jean Piaget, yang merupakan salah
seorang profesor psikologi di Universitas Jenewa, Swiss. Jean Piaget (melalui Sutarto,
2017: 5) mengemukakan bahwa proses belajar akan terjadi bila ada aktivitas individu
yang berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya. Paiget
berasumsi bahwa kecerdasan manusia dan biologi organisme berfungsi dengan cara
yang sama, di mana keduanya merupakan sistem terorganisasi yang secara konstan
berinteraksi dengan lingkungan (Nugroho, 2015: 295).
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, dan perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi serta
aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Anak akan menghadapi tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif
(mental). Karenanya, setiap anak harus mengembangkan skema pikiran secara lebih
umum dan terperinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman tersebut (Nugroho, 2015: 295-296).
Menurut Piaget (melalui Sutarto, 2017: 5), perkembangan kognitif memiliki
peran yang sangat penting dalam proses belajar dan pada dasarnya merupakan proses
mental.
Proses mental tersebut pada hakikatnya merupakan perkembangan kemampuan
penalaran logis (development of ability to respond logically), dan berpikir dalam proses
mental tersebut lebih penting dari sekedar mengerti. Semakin bertambahnya usia
seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuan kognitifnya (Sutarto, 2017: 5).
Proses perkembangan mental bersifat universal dalam tahapan yang umumnya
sama, namun ditemukan adanya perbedaan penampilan kognitif pada tiap kelompok
manusia (Sutarto, 2017: 5). Terdapat beberapa proses belajar kognitif (Nugroho, 2015:
296).
1. Pertama, skema/skemata, yaitu struktur kognitif untuk beradaptasi yang
keberadaannya membuat seseorang beradaptasi dan terus mengalami
perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.
2. Kedua, asimilasi, yaitu proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru
ketika anak memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skema atau
perilaku yang sudah ada (Bahruddin, dkk., 2008: 119, melalui Nugroho,
2015: 296).
3. Ketiga, akomodasi, yaitu proses pembentukan skema atau konsep awal
sudah tidak cocok lagi.
4. Keempat, equilibrasi, yaitu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar
dengan struktur di dalamnya atau skemata. Proses perkembangan
intelektual berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui
asimilasi dan akomodasi, proses tersebut mengatur bagaimana potongan
informasi seseorang masuk ke dalam sistem yang tidak bertentangan.
(Nugroho, 2015: 296).
Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif ketika belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar
dengan menemukan atau discovery learning. Bruner menganggap bahwa belajar
penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh anak dengan
sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar anak
belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep dan prisnsip-prinsip agar
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen untuk menemukan prinsip-
prinsip itu sendiri. Lawan dari pendekatan ini disebut belajar ekspositori (belajar
dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini siswa diberi informasi umum untuk
diminta menjelaskan informasi tersebut melalui contoh-contoh khusus dan
konkret. Secara khusus belajar penemuan melatih ketrampilan kognitif anak
untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Belajar penemuan juga dapat membangkitkan keingintahuan anak, anak juga
dapat diminta untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya
menerima informasi saja. Pada dasarnya, belajar penemuan mendorong siswa
untuk aktif dan memberikan motivasi dalam belajar sehingga melatih
kemampuan kognitifnya untuk memecahkan suatu masalah.
2. Tahap Perkembangan Intelektual dalam Proses Belajar
Umur yang dijelaskan di atas tidaklah menjadi patokan yang paling utama saat
anak mengalami tahapan tersebut. Di sini, anak yang satu dengan anak yang lain
mengalami tahapan-tahapan dengan usia yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan tidak
semua anak memiliki perkembangan yang sama. Tahapan tersebut akan dilalui ketika
anak sudah siap dengan kondisi otak yang sudah cukup matang.
Pada tahap sensori motor anak menggunakan inderanya untuk mengenal
lingkungan di sekitarnya. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pra operasional, anak sudah
menunjukkan aktivitas kognitifnya, tetapi belum terorganisasi dengan sempurna. Pada
tahap operasional konkret, anak-anak sudah mampu berfikir tetapi belum mampu untuk
berfikir memecahkan masalah yang lebih dalam. Untuk tahap operasional formal, anak
sudah mampu berargumen, anak sudah mampu berfikir untuk memecahkan masalah
yang lebih dalam atau masalah yang kompleks.
Demikian kiranya pemaparan yang dapat kami tulis. Jika memang ada
benarnya, hal ini merupakan suatu hal yang lumrah sebab kami sebagai
mahasiswa hanya mengutip Ilmu yang sudah di ilhamkan Tuhan melalui
generasi dahulu. Pun jika dalam kami menyajikan paper ini banyak kekeliruan
dan kesalahan sehingga mengurangi kenyamanan banyak pihak, kami kelompok
2 selaku penyusun paper ini memohon maaf dengan segala kerendahan hati.
DAFTAR PUSTAKA
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/05/31/teori-belajar-kognitif-dan-
implementasi-dalam-proses-pembelajaran/ diakses pada, Selasa 9 OKtober 2018.
http://www.academia.edu/13973326/Teori_Belajar_Kognitif_Jerome_S._Bruner
diakses pada, Selasa 9 OKtober 2018.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/sisca-rahmadonna-spd-
mpd/PEMBELAJARAN%20UNTUK%20PAUD.pdf diakses pada, Selasa 9
OKtober 2018.
https://media.neliti.com/media/publications/39462-ID-pembelajaran-di-pendidikan-
anak-usia-dini-dengan-perkembangan-kognitif-pada-anak.pdf diakses pada,
Selasa 9 OKtober 2018.
Oku, Ria Palint. 2014. Peningkatan Kreativitas Anak Dalam Pembelajaran Seni Tari
Melalui Strategi Belajar Sambil Bermain Di Tk Aba Karangmalang.
http://eprints.uny.ac.id/20326/1/Ria%20Oku%20Palint%2010209241012.pdf diakses
pada 9 Oktober 2018
Tridjata, C. S., Widia Pekerti. 2016. Wawasan Seni dan Pendidikan Kesenian di Taman
Kanak-kanak. http://repository.ut.ac.id/4701/1/PAUD4206-M1.pdf, diakses
tanggal 09 Oktober 2018.
Setiawan, Aris. 2014. Strategi Pembelajaran Tari Anak Usia Dini, journal.um-
surabaya.ac.id, di akses tanggal 09 Oktober 2018